Beberapa catatan dimaksud adalah:
1. Referensi kitab tafsir hanya mengutip tafsir-tafsir kaum “modernis dan liberal” seperti; Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Wahbah Zuhaili, Ath-Thaba-thaba’i, Ath-Thabarsyi, Quraish Shihab (baca Catatan Pustaka), jadi lebih tepat diberi judul “poligami perspektif beberapa mufassir modern” .
2. Sejak awal sudah apriori dengan poligami, sehingga pembaca digiring, dengan sejumlah justifikasi, untuk menolak poligami. Pembaca ditakut-takuti tentang sisi buruk poligami, tanpa sedikitpun mengupas sisi maslahah dari kebolehan poligami dengan realitas kehidupan masyarakat hari ini yang lebih melegalkan lokalisasi perzinaan, free sex, budaya permisivisme. Jadi terkesan unfair dalam mengulas topik poligami.
3. Analisa masalah, yang oleh penulis menolak hukum Islam (baca;poligami) karena praktek poligami selama ini tidak mengikuti aturan. Akan lebih produkti kalau sekiranya yang di-lakukan adalah menga-jarkan bagai-mana berpoligami yang sesuai dengan syari’at. Bukan malah sebaliknya, ketika umat Islam keliru dengan konsep poligami dalam aplikasi, konsep itu sendiri yang kita minta untuk ditinggal-kan. Perbaiki ummat, karena konsep Islam tidak mungkin salah, yang salah adalah umat Islam yang merealisasi konsep tersebut.
4. Menjadikan realitas wanita Islam hari ini, yang memiliki kecenderungan tidak mau dimadu (baca hal. 50), sebagai alasan menolak poligami merupakan sebuah sikap yang naif. Karena realitas tidak bisa dijadikan alat pembenar untuk membatal-kan ajaran (baca;nilai ideal). Analoginya; kalau realitas orang berat untuk melaksanakan puasa, zakat, meninggalkan riba, dan seterusnya. Apakah semua aturan tersebut mesti ditolak?
5. Pertanyaan lain yang patut ditanyakan, kendati terkesan menggugat, adalah untuk apa Allah Swt. menurunkan sebuah syari’at kalau memang dari awal sudah dipastikan tidak mampu dilaksanakan?
6. Secara fitrah, yang sesuai dengan sunatullah, adanya konsep poligami justeru menjadi solusi yang aman agar suami tidak terjebak dalam perseling-kuhan (baca;zina). Karena perempuan mengalami masa-masa–haidh dan nifas–yang menyebabkan suami tidak dapat menggaulinya.
7. Realitas hari ini jumlah perempuan di dunia lebih banyak dari laki-laki. Dengan demikian, kalau poligami tidak dibolehkan, terhadap perempuan yang tidak mendapat jatah suami hanya ada tiga pilihan; tidak kawin seumur hidup, menjadi pelacur (wanita simpanan atau sebagai lain-lain yang negatif) atau menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat yang sah. Tidak ada alternatif keempat. Dari ketiga alternatif ini, sekiranya ditanyakan kepada orang yang sedikit saja dapat berfikir jernih (semoga penulis juga termasuk dalam orang yang berfikiran jernih) akan menjawab menjadi isteri kedua, ketiga, keempat yang sah jauh lebih terhormat. Sekiranya pun ketiga alternatif tersebut merusak (baca;melahirkan mafsadah) bagi kehidupan perempuan, maka yang lebih sedikit mafsadahnya adalah menjadi isteri yang sah, apakah isteri kedua, ketiga atau keempat.
8. Sekali lagi ditegaskan, hukum tidak bisa dihapuskan disebabkan ada seba-gian orang yang melanggarnya.
ª Penulis Buku Pandangan Islam Tentang Poligami, diterbitkan atas kerjasama Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, Jakarta, 1999.