Oleh : Afrizal Refo, MA
Hijrah merupakan salah satu risalah penting dalam Islam. Bahkan penanggalan bulan dalam Islam dimulai dari hitungan momentum hijrahnya nabi dari Makkah ke Madinah.
Mengapa fenomena hijrah menjadi mementum penting dalam sejarah Islam?
Hal ini karena hijrah memberikan arahan tentang langkah memulai perubahan dari realitas yang buruk menuju realitas yang baik.
Definisi Hijrah
Secara bahasa hijrah adalah berpindah, berpisah.
Sementara secara istilah, menurut pakar leksiografi Al-Quran, Raqib al-Isfahani berpendapat bahwa kata hijrah mengacu kepada tiga pengertian, yaitu:
Pertama, Meninggalkan negeri yang berpenduduk kafir menuju negeri yang berpenduduk muslim, seperti hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah,
Kedua, Meninggalkan syahwat, akhlak yang buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT,
Ketiga, Mujahadah an-nafs atau menundukkan hawa nafsu untuk mencapai kemanusiaan yang hakiki.
Dalam konteks ini maka yang tepat adalah pengertian yang kedua dan ketiga. Yaitu suatu jiwa berniat untuk melakukan perubahan perbaikan diri dari dunia “hitam” menuju dunia “putih”.
Perubahan diri dari realitas hidup yang awalnya serba borju, hura-hura, foya-foya, senang-senang seakan tanpa batas, berubah menuju realitas hidup anak muda yang serba baik, suka ke masjid, hadir majelis taklim, menjadi aktifis dakwah dan segala perubahan kebaikan lainnya. Inilah sejatinya hijrah itu.
Kehidupan adalah sebuah dinamika perubahan sejak manusia lahir hingga meninggal dunia. Setiap manusia yang normal secara umum memiliki visi dan misi dalam hidupnya atau paling minimal memiliki harapan untuk hidup yang lebih baik. Upaya perubahan hidup manusia berupaya semaksimal mungkin bertujuan untuk mencapai kehidupan yang sukses baik secara individu maupun kolektif. Namun dalam realitas masih banyak manusia belum mampu mengelola perubahan yang terjadi untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Adapun Rasulullah saw bersama sahabatnya adalah contoh tauladan terbaik bagaimana beliau memanfaatkan semua potensi yang ada untuk membangun sebuah perubahan. Kondisi Jazirah Arab pada saat itu berada pada peradaban hidup yang rendah (jahiliyah). Meliputi kebodohan, kezaliman, perang antar kabilah, kerusakan moral, pelecehan nilai kehormatan wanita, penyembahan berhala serta berbagai bentuk kejahatan. Bagaimana Rasulullah saw dapat merubah kehidupan yang buruk itu menjadi kehidupan yang berperadaban yang tidak ada bandingannya sepanjang zaman.
Tentu semua atas bimbingan Allah swt sebagai nabi dan rasul terakhir sebagai rahmatan lil’alamin. Diharapkan menjadi contoh bagi manusia setelah beliau wafat dalam membangun peradaban kehidupan dunia sampai hari kiamat.
Ada 3 (tiga) instrumen yang dijalankan oleh Rasulullah saw dalam melakukan perubahan sebagaimana dalam al-quran surah al-baqarah ayat 218. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. yaitu iman, hijrah dan jihad atau secara umum kita sebut keyakinan, perubahan dan perjuangan.
Ketiga prinsip hidup tersebut harus berjalan serasi, sejalan dan seiring agar tujuan hidup manusia yaitu bahagia dunia dan akhirat dapat tercapai. Keyakinan adalah dasar untuk berjuang dalam melakukan perubahan. Dan sangat mustahil ada perubahan tanpa perjuangan. Demikian halnya, mustahil ada perjuangan tanpa ada keyakinan.
Allah swt berfirman dalam QS. ar-Ra’du:11 “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Hijrah sebagai salah satu prinsip hidup, harus senantiasa kita maknai dengan benar.
Dalam suasana menjelang tahun baru Islam 1 Muharram 1444 Hijriyah yang tinggal beberapa hari lagi ini, mari kita kembali meletakkan pemahaman yang benar tentang hijrah. Hijrah tidak hanya berarti meninggalkan tempat tetapi juga berarti meninggalkan sikap/perbuatan, yang tidak produktif dan tidak diridhai Allah menuju sikap/perbuatan yang produktif dan diridhai Allah swt. Secara maknawi hijrah dibedakan beberapa macam, yaitu:
Pertama, Hijrah i’tiqadiyah atau keyakinan adalah sesuatu yang menjadi penentu setiap amal kita. Tanpa sebuah keyakinan dalam setiap amal, niscaya tidak akan sukses amal tersebut. Karena begitu pentingnya i’tiqadiyah yang benar dalam diri kita, maka inilah sesuatu yang pertama kali harus kita hijrahkan.
Diakui atau tidak, selama hidup ini, kita sering bersinggungan dengan keyakinan yang kurang benar, baik dalam hal kesehatan, pekerjaan, rezeki, jodoh dan lain sebagainya. Dan terkadang tidak banyak di antara kita yang menyadarinya padahal perbuatannya sudah mendekati bahkan masuk dalam ruang kesyirikan.
Hijrah i’tiqadiyah, menjadi sebuah keharusan bagi setiap muslim, karena i’tiqadiyah merupakan pondasi dan motivasi amal agar segala aktivitas kita diterima dan diridhoi Allah swt.
Kedua, hijrah fikriyyah atau pemikiran. Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran bisa kita akses secara online. Dibutuhkan kemampuan untuk memfilter arus informasi agar informasi yang diterima tidak menimbulkan perubahan pikiran yang bisa merusak nilai- nilai agama, budaya dan akhlak yang baik. Dalam perang pemikiran (ghazwul fikri) berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang tersebut laksana amunisi dari senjata-senjata perenggut nyawa.
Isu sekularisasi, kapitalisasi, liberalisasi, pluralisasi, LGBT, bahkan demokratisasi tanpa arah telah menyusup ke dalam sendi-sendi dasar pemikiran kita yang murni. Ia menjadi virus ganas yang sulit terdeteksi oleh kaca mata pemikiran biasa. Keberadaannya samar dan dipoles dengan nilai-nilai yang seolah-olah Islami.. Hijrah fikriyah menjadi sangat penting mengingat kemungkinan besar pemikiran kita telah terserang virus ganas tersebut.
Mari kita kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni. Pemikiran yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, melalui para sahabat, tabi’in, tabi’t tabi’in dan para generasi pengikut salaf.
Ketiga, Hijrah Syu’uriyyah atau cita rasa, kesenangan, kesukaan dan semisalnya, semua yang ada pada diri kita sering terpengaruhi oleh nilai-nilai yang kurang Islami. Banyak hal seperti hiburan, bacaan, gambar/hiasan, pakaian, idola, organisasi, dan banyak lagi, sebagian besar tak luput dari pengaruh nilai-nilai di luar Islam.
Mode pakaian juga tak kalah pentingnya untuk kita hijrahkan. Hijrah dari pakaian gaya jahiliyah menuju pakaian Islami, yaitu pakaian yang benar-benar mengedepankan fungsi bukan gaya. Apa fungsi pakaian? Tak lain hanyalah untuk menutup aurat dan estetika, bukan justru memamerkan aurat. Ironis memang, banyak diantara manusia berpakaian tapi aurat masih terbuka. Kata Nabi, berpakaian tapi telanjang. Ada yang sudah tertutup tapi ketat dan transparan, sehingga lekuk tubuhnya bahkan warna kulitnya terlihat. Dan masih banyak model-model pakaian masa kini yang nyeleneh-nyeleneh.
Keempat, Hijrah Sulukiyyah yaitu tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut juga akhlaq. Dalam perjalanannya akhlaq dan kepribadian manusia tidak terlepas dari degradasi dan pergeseran nilai. Pergeseran dari kepribadian mulia (akhlaqul karimah) menuju kepribadian tercela (akhlaqu sayyi’ah).
Sehingga tidak aneh jika bermunculan berbagai tindak amoral dan asusila di masyarakat. Pencurian, perampokan, pembunuhan, anarkis, pelecehan, pemerkosaan, penghinaan, gosip dan penganiayaan seolah telah menjadi biasa dalam masyarakat kita. Penipuan, korupsi, prostitusi, suap dan manipulasi, ketidak adilan hampir bisa ditemui di mana-mana.
Kelima, hijrah amaliah yaitu, setiap muslim harus memiliki komitmen untuk menerapkan nilai-nilai Islam, baik yang terkait dengan ibadah maupun muamalah. Dalam muamalah mari kita menegakkan ekonomi ilahiyah yang kita yakini dapat menjadi solusi terhadap keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Sehingga dapat mewujudkan tatanan ekonomi yang berkeadilan, mensejahterakan, dan memberikan kebahagiaan dunia – akhirat. Begitu pula dalam bidang lain seperti bidang politik, pendidikan, sosial, budaya, keamanan dan lingkungan dengan berupaya menerapkan nilai-nilai ilahiyah.
Oleh karena itu dalam momentum hijrah ini mari kita melakukan evaluasi terhadap masa yang telah kita lewati untuk melakukan perubahan yang lebih baik dimasa yang akan datang agar kita tidak termasuk orang yang merugi. Karena sesungguhnya orang yang beruntung adalah hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih hebat dibandingkan hari ini. Kesuksesan hanya dapat dicapai dengan perubahan dan perubahan memerlukan perjuangan dan pengorbanan. Wallahu ‘Alam
Penulis adalah Sekretaris Dewan Da’wah Kota Langsa, Dosen FTIK IAIN Langsa, Aceh.