Oleh : Dr. Hasanuddin Yusuf Adan
MUQADDIMAH
Istilah Hamba Allah terdiri dari dua kata; Hamba dan Allah. Hamba menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna; abdi atau budak belian. Secara umum hamba itu bermakna jongos, babu, pembantu dan orang yang tunduk patuh kepada tuan/majikannya. Sedangkan menurut istilah hamba berarti seseorang yang bekerja sepenuhnya dan siap dihatur serta tunduk patuh kepada tuan atau majikannya. Sementara Allah yaitu tuhan ummat manusia yang menciptakan alam dan isi semuanya, yang menghidupkan dan yang mematikan, yang wajib disembah oleh semua makhlukNya.
Dengan demikian apabila dipadukan kedua kata tersebut menjadi; Hamba Allah maka keluarlah pengertian tersendiri yang saling mengikat antara dua kata tersebut dan akan lari jauh maknanya manakala dipisahkan keduanya. Hamba Allah adalah ummat manusia yang menghambakan diri kepada Allah dalam berbagai kesempatan dan kesempitan sehingga tidak ada aktivitas yang dilakukan kalau bukan karena perintah dan ridhaNya, demikian juga tidak ada larangan yang ditinggalkannya melainkan karena dilarang olehNya.
Pure Hamba Allah adalah orang beriman, bertaqwa dan beramal shalih yang selalu melaksanakan perintah Allah sebesar apapun perintah tersebut dan senantiasa meninggalkan larangan Allah sekecil apapun larangan tersebut. Kalau ada manusia yang hanya melaksanakan perintah Allah yang kecil-kecil saja atau yang mudah-mudah saja dan meninggalkan larangan Allah yang besar-besar saja tidak meninggalkan larangan-larangan kecil, maka dia bukan Pure Hamba Allah sebagaimana pengertian Hamba Allah yang sebenarnya.
HAMBA ALLAH
Abdullah (‘Abd Allah) merupakan sebutan dalam bahasa Arab, ‘Abid/’abdun (hamba) dari akar kata ‘abada-ya’budu-‘abid, mengandung arti orang yang mengabdi atau orang yang beribadah. Ketika disebuat ‘Abdullah berarti orang yang berbakti atau menghambakan diri kepada Allah dengan tunduk patuh setunduk-tunduknya dan sepatuh-patuhnya hanya kepada Allah. Manakala berhadapan antara perintah Allah seperti shalat dengan perintah manusia seperti bekerja penuh masa tanpa menghiraukan waktu shalat maka seorang Hamba Allah wajib melaksanakan shalat dengan meninggalkan perintah kerja penuh masa.
Manakala berhadapan dengan larangan Allah seperti jangan membunuh nyawa manusia dengan perintah komandan untuk membunuh orang yang dibencinya, maka Hamba Allah wajib menolak dan tidak pernah mau melaksanakan perintah komandan nntuk menghabisi nyawa seorang manusia. Kalau ada manusia yang membunuh manusia lain karena perintah atasan atau karena mendapatkan bayaran padahal Allah melarangnya maka tatkala itu manusia tersebut menjadi hamba atasan bukan lagi Hamba Allah, itu dosa besar hukumnya.
Jadi Hamba Allah yang sesungguhnya sesuai dengan definisi hamba adalah orang-orang beriman (beragama Islam, bertuhan kepada Allah, dan meyakini semua rukun iman) yang setiap sa’at mengabdi, menghambakan diri serta tha’at kepada Allah. Dengan demikian orang-orang kafir yang jelas-jelas tidak bertuhan kepada Allah yang Esa dan menolak beriman kepada rukun iman tidaklah termasuk dalam kategori hamba Allah tetapi mereka menjadi makhluk Allah sederetan dengan makhluk-makhluk lainnya.
Bedanya antara makhluk dengan hamba adalah, makhluk merupakan semua ciptaan Allah dalam alam raya ini mulai dari manusia, hayawan, tumbuh-tumbuhan, iblis, jin, syaithan, malaikat, lat batat kayu batu adalah makhluk. Sedangkan hamba hanya jenis manusia beriman, malaikat, jin yang beriman yang senantiasa menghambakan diri semata-mata kepada Allah. Kenapa manusia non muslim tidak masuk dalam kategori hamba karena mereka tidak mau menghambakan diri kepada Allah dan yang diperintahkan Allah, maka mereka menjadi makhluk biasa saja.
HAKIKAT DAN TUGAS HAMBA ALLAH
Sebenarnya kalau kita lebih teliti dengan kandungan-kandungan kitab Allah yang terakhir (Al-Qur’an) maka nampak jelaslah hakikat seorang hamba. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku“. (surah adz-Dzariyat ayat: 56). Allah berikrat tidak menciptakan jin dan manusia kecuali baru Allah ciptakan semata-mata bertugas untuk menghambakan diri kpada Allah bukan kepada atasan, bukan kepada komandan, bukan pula kepada jin, iblis, hantu beulawu dan syaithan.
Orang-orang kafir tidak pernah berikrar sebagaimana ikrarnya orang-orang Islam yang minimal lima kali sehari dalam masa lima kali shalat mengucapkan iqrar: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan“. (surah Al-Fatihah: 5). Ikrar inilah yang menjadi hakikat muslim sebagai Hamba Allah yang dijanjikan syurga di kemudian hari sesuai dengan firmanNya: “…Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar”. (An-Nisak: 13).
Kenapa Hamba Allah itu mendapatkan kemenangan di hari kemudian karena mereka tunduk patuh kepada semua perintah Allah dan meninggalkan semua laranganNya. Allah berfirman dalam surah An-Nisak: 36: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Mengikut keterangan ayat tersebut orang yang menyembah Allah, tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, menjalin silaturrahim, menjaga ukhuwwah Islamiyah, tidak sombong dan tidak membangga-banggakan diri, mereka termasuk dalam kategori Hamba Allah. Ketika hakikat Hamba Allah sudah melekat pada diri seseorang lalu mereka menjalankan tugas sebagai hamba Allah dengan sebenar-benarnya maka selaraslah dengan perintah Allah dalam surah Al-Baqarah: 21 yang artinya: “Wahai manusia ! Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu terpelihara (bertakwa)” .
Kenapa hamba harus tunduk patuh kepada Allah, karena hamba sangat amat membutuhkan kepada Allah dalam berbagai keperluan hidupnya dan Allah tidak pernah membutuhkan suatu apapun daripada manusia. firmanNya: “Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15). Seorang hamba yang tidak mau menggantungkan diri kepada Allah bermakna tidak memuji Allah, tidak beribadah kepada Allah dan tidak menyembah Allah, kalau demikian yang terjadi maka dia bukanlah Hamba Allah lagi. Boleh jadi pada waktu itu dia sudah menjadi hamba manusia, hamba jin, iblis, syaithan dan sebagainya.
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Al-furqan: 63). Ayat ini menegaskan bahwa yang masuk kedalam kategori Hamba Allah adalah orang-orang yang tidak sombong, yang merendahkan diri, rendah hati, yang apabila dicemo’oh, dihina dan dicaci maki dia membalas dengan perkataan yang baik lagi terpuji. Itulah performance seorang Hamba Allah yang sebenarnya.
Dalam kajian tafsir terkait dengan surah Al-Baqarah ayat 21 dalam tafsir Al-Azhar diterangkan bahwa suruhan menyembah Allah merupakan Tauhid Uluhiyah sebagai perpaduan dan penyatuan pusat menyembah kesatu titik sentral yaitu Allah. Karena Allahlah yang telah menjadikan dan menciptakan kita dan endatu kita dan kita tidak menyekutukanNya dengan yang lain maka ia menunjukkan kepada Tauhid Rububiyah.
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah “Kesempurnaan makhluk (manusia) itu dibuktikan dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah semata”. Penghambaan diri kepada Allah SWT (‘Ubudiyyah) merupakan posisi manusia yang paling tinggi di hadapan Allah SWT. Dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai Hamba Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis adalah Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry