Oleh Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed
Guru Besar Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau, Akhmad Mujahidin (2016) “mengatakan bahwa Dalam masyarakat beradab, kepemimpinan dibangun atas dasar konsensus nilai-nilai kearifan lokal. Jika kultur dan kearifan lokal dikaitan dengan aktivitas kepemimpinan, maka ia menjadi sebuah entitas yang tidak bisa dipisahkan. Kepemimpinan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial masyarakat yang dianut. Ia tidak bisa dipertentangkan, tetapi ia harus direlasikan atau bahkan diintegrasikan. Salah satu ciri kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya.”
Dari paparan Profesor Akhmad Mujahidin dapat diambil contoh untuk Aceh bahwa siapapun yang menjadi pemimpin khususnya di Aceh paling tidak ia memahami syari’at Islam dan adat istiadat Aceh-pun sesuai dengan syari’at. Jika persoalan-persoalan kearifan local dilecehkan mungkin kalau dulu akan diambil solusi keacehan seperti solusi terhadap Portugis, Belanda, dan Jepang, bahkan terakhir dengan Jakarta sekalipun selama tiga puluh tahun. Namun dewasa ini solusi keacehan sudah berubah seiring dengan perkembangan imu pengetahuan dan orang Aceh banyak yang sudah terdidik, dan cara berpikir-pun sudah berubah.
Kalau ada yang menyalahi syari’at dan tatakrama keacehan, dan kedhaliman, solusi lain akan dijalankan yaitu, dengan melapor kepada Penguasa Langit dan Bumi. Hasilnya itu tanggal 26 Desember 2004. Dia sendiri yang mengabulkan doa rakyat Aceh yang terdhalimi hingga Dia mendatangkan gempa dan tsunami hingga lahirlah MOU Helsinki. Ketika itu kita lihat mayat-mayat orang Aceh baik yang bersalah ataupun yang innocent, bergelimpangan dipinggir jalan, di sungai, di gunung-gunung, di tepi pantai, dan kota-kota. Rakyat Aceh tidak tahu lagi mau mengadu kemana, kecuali Sang Maha Kuasa. Karena itu jangan biarkan rakyat melapor kepada Nya.
Dalam perspektif Islam, setiap manusia itu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin wajib mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan semasa kepemiminannya. Kalau dipikir-pikir secara normal konon lagi menyandarkan pada Hadis Rasulullah saw, maka sulit rasanya bagi seseorang untuk menghindari dirinya untuk tidak menjadi pemimpin. Jadi atau tidak jadi kita sudah terangkat sendiri menjadi pemimpin, artinya walau kita memimpin untuk diri sendiri, memimpin keluarga ataupun, memimpn negara, maka kepemimpinan untuk semua level itu akan ada pertanggung jawabannya dihadapan Allah melalui pengadilan-Nya yang Maha Adil. Di sini setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya. Oleh karena itu, janganlah senang atau berlomba-lomba mau menjadi pemimpin baik formal ataupun non-formal, konon lagi kalau kita memperoleh tampuk kepemimpinan dengan cara yang tidak beradab.
Jika kita benar-benar mau menjadikan Rasulullah saw, Abu Bakar Siddik, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Azis, dan Harun Ar-Rasyid sebagai contoh dalam memimpin, maka kemungkinan besar kita dapat menghindari diri amukan neraka Jahannam di Yaumul Mahsyar nanti.
Pada suatu hari, Barirah (hamba sahaya Aisyaha r.a.) berkata kepada Sulaiman bin Abdul Malik (ketika beliau sebelum menjadi khalifah), wahai Sulaiman, saya mendengar dari Nabi saw bahwa nanti di hari kiamat, seorang pemimpin ketika masuk ke dalam sorga, ia terhalang oleh noda merah. Kemudian ia bertanya kepada Allah swt, ‘Ya Rabb apa yang menyebabkan aku tidak bisa masuk ke dalam sorga-Mu?’ Allah menjawab, ‘kamu dulu seorang pemimpin, dan ketika engkau berkuasa ada darah-darah yang tercecer tanpa alasan yang jelas’.
Demikianlah susahnya seorang pemimpin untuk masuk sorga karena keteledorannya dalam memimpin. Banyak orang mati dibawah pengendalian kita tanpa alasan yang dibolehkan syar’i, banyak orang terdhalimi dari segi keadilan dan keamanannya, banyak orang dan binatang mati kelaparan karena kemiskinan dan ketiadaan makanan, semua itu terpulang kepada pemimpin. Karena itu janganlah berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin formal (masyarakat) karena kemungkinan meleset akan berlaku. Power tends to corrupt (kekuasaan cenderung untuk korupsi). Ini tidak dapat dibantah kalau kita lihat pengadilan dan penjara selama ini.
Pemimpin dan Pendidikan
Kalau kita merujuk ke masa lalu atau pada masa awal Islam setiap orang yang dibebankan tugas oleh Rasulullah saw semuanya berdasarkan keprofessinalannya (keilmuannya), dan ini sesuai dengan salh satu Hadis beliau yang maknanya adalah “jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.”
Kalau kita memiliki kapasitas pemikiran normal dan hati yang jernih, mungkin makna hadis tersebut sangat dalam artinya, dan orang normal akan mengatakan bahwa “saya tidak mampu menjalankan urusan ini karena saya tidak mempunyai ilmu atau kemahiran tentang itu”.
Jangan gara-gara kekurangan yang saya miliki , rusak masyarakat semuanya. Ini perkataan orang-orang yang bertanggung jawab. Oleh karena itu dimanapun kita berada dan berbuatlah sesuai dengan ilmu dan pengetahuan anda.
Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang akan nampak pada prilakunya, pemikirannya, dan idenya untuk masa depan bangsa dan negara. Mungkin kalau orang tidak punya ilmu, jangankan untuk memikirkan persoalan ummat, persoalan pribadinya amburadul, jangankan untuk memberikan solusi untuk ummat, mendengar saran dari orang lainpun tidak bisa dipahaminya. Disinilah letak pentingnya ilmu dan kemahiran.
Pemimpin dan Tanggung Jawab
Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, maka hukumlah denan adil. (Q.S. An-Nisa’ 58). Kemudian Rasulullah saw bersabda yang artinya: Kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya tentang apa yang dipimpinnya, imam adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggung jawabannya, orang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia akan diminta pertanggung jawabannya tentag apa yang dipimpinnya. Isteri juga pemimpin yang mengendalikan rumah tangga suaminya dan ia akan diminta pertanggungjawabannya, pembantu rumah juga pemimpin terhadap harta majikannya dan ia akan diminta pertanggungjawabannya pula. H. R. Bukhari.
Ayat dan Hadis di atas rasanya sudah lebih dari cukup sebagai landasan berpijak bagi semua kita yang tiap hari kerjanya sebagai pemimpin, oleh karena itu kehati-hatian dalam kehidupan ini sangat diperlukan karena persoalan kepemimpinan berujungnya ke dalam neraka. Banyak pertanyaan yang harus kita jawab baik di alam kubur ataupun di alam mahsyar nanti, pemimpin yang adil tempatnya di dalam sorga sementara pemimpin dhalim dan tirani tempatnya dalam Jahannam.
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam UIN Ar-Raniry