Archive for month: Januari, 2007

Untuk itu bermacam cara dilakukan agar dapat mengeluarkan ummat Islam dari keyakinan dan agamanya,mulai dari cara-cara halus, bujuk rayu sampai cara-cara kasar melalui intimidasi dan kekerasan. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, kegiatan misionaris kristen telah berlangsung lama kendati tidak menyeluruh dan lebih fokus di daerah-daerah  perbatasan.           

Kegiatan misionaris ini kembali semarak setelah musibah tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, di mana Aceh menjadi daerah yang sangat terbuka untuk didatangi oleh berbagai warga negara dengan beragam agama.Peristiwa dahsyat  yang  menimpa masyarakat Aceh tersebut, ternyata telah menimbulkan rasa simpatik masyarakat baik yang berasal dari dalam negeri, maupun masyarakat luar negeri (internasional). Berbagai bantuan mengalir  ke Aceh, terutama masa-masa tanggap darurat (emergency), dan sampai hari ini upaya membantu  Aceh melalui donor, NGO dan LSM lokal terus berlanjut. Bantuan berupa makanan, pakaian, perumahan, sarana produksi, bantuan ekonomi, rumah ibadah dan bantuan-bantuan lain merupakan simpatik kemanusiaan dan bentuk kepedulian terhadap penderitaan masyarakat Aceh. 

Bantuan yang diberikan oleh masyarakat internasional dan nasional kepada masyarakat Aceh, sejak masa emergency sampai hari ini, sudah sepatutnya dihargai dengan ucapan terima kasih. Jika, bantuan-bantuan yang diberikan didasarkan pada niat yang tulus untuk peduli sesama umat manusia yang ditimpa musibah dan bukan ada  maksud lain dibalik pemberian bantuan kemanusiaan tersebut. Akhir-akhir ini banyak ditemukan kegiatan NGO, LSM dan donor dalam  penyaluran bantuannya terindikasi adanya usaha-usaha yang mengarahkan pada pendangkalan aqidah bagi anak-anak dan masyarakat Aceh. Ditemukannya Injil dalam bahasa Aceh yang sudah beredar di sebagian barak, adanya do’a-do’a makbul yang bercampur antara do’a dalam ajaran Islam dengan do’a dalam ajaran Kristen, pengobatan ala Kristen, mendirikan bangunan liar untuk tempat ibadah agama tertentu, ditemukannya simbol-simbol Kristen pada kardus makanan, peralatan mandi, pakaian (mukena), dan pada pamplet tertentu, jelas mengarah kepada upaya pendangkalan aqidah Islamiyah dan pemurtadan bagi anak-anak dan masyarakat Aceh.

Kegiatan semacam ini tentu sangat bertentangan  dengan ajaran Islam,  kultur masyarakat Aceh, dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.  Falsafah negara Pancasila, mengamanatkan bahwa  sesama pemeluk agama harus saling hormat menghormati dan hargai-menghargai. Amanah ini ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang melarang menyebarkan agama kepada pemeluk yang sudah beragama. Kegiatan yang meresahkan masyarakat ini akhirnya direspon dan ditindak lanjuti oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR NAD-Nias) dengan  membetuk Tim Pembinaan dan Pengawasan Pendangkalan Aqidah, dengan SK  No. 23/KEP/BP-BRR/II/2006. Tim ini bertugas  untuk melakukan investigasi, pembinaan, dan pengawasan, analisa dan merumuskan laporan tentang kegiatan atau usaha-usaha yang mengarah kepada pendangkalan aqidah Islamiyah, untuk mendapatkan solusi dan penanganan yang tepat demi penyelamatan aqidah rakyat Aceh.

Landasan Yuridis Penyiaran Agama, Pembangunan Rumah Ibadah dan Bantuan Luar Negeri           

Dalam kaitan dengan kehidupan umat beragama di Indonesia, negara mengakui adanya keragaman agama yang dianut oleh warga negara Indonesia. Agama yang diakui sebagai agama resmi bagi warga negara Indonesia adalah Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, dan Budha, dimana diharapkan semua umatnya dapat hidup rukun, saling menghormati dan menghargai, tidak saling menipu dan mengganggu.           

Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Penegasan konstitusi ini mengharuskan setiap warga negara untuk hormat– menghormati dan hargai–menghargai terhadap agama yang dianut oleh warga negara Indonesia. Negara menjamin kemerdekaan warganya untuk menganut agama tertentu sesuai dengan keyakinannya masing-masing.           

Adanya jaminan konstitusi terhadap keaneka-ragaman agama dan jaminan untuk menganut agama yang sesuai dengan keyakinan masing-masing memberikan beberapa pengertian. Pertama, adanya kewajiban setiap warga negara untuk menghormati dan menghargai keyakinan (aqidah) agama yang dianut oleh warga negara yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh adanya pemaksaan keyakinan agama kepada orang lain. Oleh karenanya, setiap penganut agama berkewajiban untuk memperkuat keyakinan agamanya dan melindungi dari rongrongan pihak manapun.           

Kedua, adanya kewajiban menghormati dan menghargai pelaksanaan ibadah yang dilakukan oleh penganut berdasarkan agamanya itu. Hal ini bermakna tidak boleh adanya upaya-upaya untuk menghambat dan mengganggu pelaksanaan ibadah oleh setiap penganut agama. Ketiga, makna menghormati agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap warga negara, termasuk di dalamnya tidak melakukan upaya-upaya pendangkalan aqidah dan pemurtadan seseorang dari agamanya. Oleh karena itu, kegiatan–kegiatan yang mengarah kepada pendangkalan aqidah bagi korban tsunami di Aceh yang dilakukan oleh kelompok tertentu dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.           

Dalam kandungan makna Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) dan ayat (2) yang ditindak lanjuti oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melalui kebijakan program hubungan antar umat beragama, hubungan interen umat beragama dan hubungan antar umat beragama dengan pemerintah. Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri yang dituangkan dalam berbagai keputusannya.[1] menjelaskan beberapa hal. Pertama, dalam rangka menciptakan kerukunan antar umat beragama tidak boleh dilakukan upaya-upaya pemaksaan agama atau upaya-upaya yang menarik dan mengarahkan seseorang untuk keluar dari agamanya. Kedua, penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara; menggunakan bujukan, pemberian barang bantuan, pengobatan dan bentuk-bentuk pemberian lainnya, menyebarkan pamplet, majalah, buletin, buku-buku dan bentuk-bentuk barang cetakan lainnya kepada orang yang telah memeluk agama, melakukan kunjungan ke rumah-rumah umat yang telah memeluk agama. Ketiga, pemerintah berkewajiban untuk memantau dan mengawasi kegiatan keagamaan termasuk pelaksanaan ibadah, sehingga akan tercipta kerukunan antar umat beragama. Keempat, pemerintah memfasilitasi kegiatan-kegiatan keagamaan termasuk penguatan dalam bidang aqidah, sehingga kehidupan umat beragama akan semakin baik dan kokoh.            

Kecuali aturan hukum di atas, hubungan kehidupan keagamaan di Indonesia juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang tidak dibenarkan melakukan penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan cara melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran agama itu.[2]           

Merujuk kepada kebijakan Menteri Agama tersebut dan KUHP, maka kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pendangkalan aqidah masyarakat muslim, khususnya  korban tsunami di Aceh yang dilakukan oleh lembaga maupun perorangan dapat dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam bidang kehidupan keagamaan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah dalam bidang kehidupan keagamaan bertujuan untuk menciptakan dan menjaga kestabilan dan ketentraman masyarakat. Oleh karenanya, jika ditemukan kegiatan atau usaha yang mengarah kepada pendangkalan aqidah dan pemurtadan, sehingga dapat meresahkan masyarakat maka kegiatan tersebut harus dihentikan oleh aparat yang berwenang dan diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Kristenisasi di Aceh  Dalam Lintasan Sejarah

Agama Islam bagi masyarakat Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya. Islam telah dijadikan pandangan hidup (way of life) dan norma yang mengatur seluruh perilaku kehidupan masyarakat Aceh. Orang Aceh identik dengan muslim, dan sebaliknya muslim identik dengan masyarakat Aceh. Hubungan erat  masyarakat Aceh dengan agama Islam dapat dideskripsikan dari sejarah masuknya Islam ke nusantara.           

Agama Islam pertama menapakkan kakinya di Pasai – Aceh, yang dibawa oleh pedagang yang berasal dari India dan Arab. Islam yang disampaikan oleh pedagang kepada msyarakat Aceh melalui jalur akulturasi, sehingga tidak ada penolakan dan dinyatakan menyatu dengan perilaku kehidupan masyarakat Aceh. Pada masa awal masuk Islam ke Aceh, Islam belum menjadi kekuatan politik tetapi diyakini oleh masyarakat sebagai agama yang menuntun umatnya ke jalan yang benar. Islam baru menjelma sebagai kekuatan politik ketika Raja Pasai yaitu Meurah Silu masuk Islam dan dinyatakan Kerajaan Samudera pasai sebagai Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara.           

Penyatuan Islam dengan kehidupan masyarakat Aceh berlangsung cukup lama sampai terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam. Islam sebagai kekuatan poliltik mulai berakhir dengan jatuhnya kerajaan Aceh Darussalam dan muncunya kolonial Belanda. Meskipun demikian, masyarakat Aceh masih tetap berpegang teguh dengan keyakinan aqidah islamiyahnya. Pada masa kolonial Belanda upaya-upaya merongrong keyakinan dan aqidah masyarakat Aceh terus menerus dilakukan. Hadirnya Snouck Hugronje di Aceh yang membawa misi politik Islam menandakan adanya kegiatan menjauhkan masyarakat Aceh dengan keyakinan agamanya. Namun, upaya tersebut sia-sia dan tidak menuai hasil apapun di Aceh. Masyarakat Aceh tetap istiqamah terhadap aqidah islamiyah.           

Upaya merongrong aqidah islamiyah masyarakat Aceh sudah mulai terasa kembali terutama pasca gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004. Upaya tersebut ditempuh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melalui bantuan kemanusiaan. Tsunami memang telah meluluh-lantakkan tatanan kehidupan masyarakat Aceh, namun persoalan aqidah merupakan persoalan yang sensitif dan harga mati bagi masyarakat Aceh. Oleh karena itu, kegiatan pendangkalan aqidah yang diduga terjadi selama ini cukup meresahkan kehidupan masyaraka Aceh. Akibatnya, ketentraman dan keamanan yang sudah tercipta selama ini merasa terusik. Bila hal ini tidak tertangani oleh aparat yang berwenang dikhawatirkan akan terjadi ketidak-harmonisan kehidupan antara umat beragama yang sudah terjalin cukup baik selama ini.Gerilya salib dalam lintasan sejarah[3], tidak hanya dilakukan lewat pemurtadan. Di era kolinialisme kuno, penyebaran salib dilakukan berbarengan dengan perampokan negeri-negeri kaya di Selatan, penjajahan, dan pembunuhan, yang selama ini dikenal dengan istilah 3G (Gold, Glory, and Gospel). Ketiganya dilakukan bersamaan, sehingga tidak mudah menilai apakah kedatangan penjajah Eropa di negeri-negeri kaya di Selatan itu bermotif politik, ekonomi, atau semangat penyebaran agama. Di seluruh dunia, penyebaran salib senantiasa dilakukan berdarah darah. Pidato Theo Syafei di Kupang beberapa tahun lalu sebelum pecah kerusuhan agama di Maluku membenarkan hal ini. Ironisnya, perampokan ini direstui oleh Paus seperti yang tertuang dalam perjanjian Tordesillas yang seenaknya membagi bola Dunia menjadi dua kavling sasaran perampokan, satu kavling diserahkan untuk Spanyol dan lainnya untuk Portugis. Tentu saja, negeri-negeri Kristen Eropa (Christendom ) tidak dimasukkan dalam target ini.Di dalam laci kerja dari setiap kaum imperialis, baik bersifat kuno ataupun yang sudah bersifat modern, selalu tersimpan dengan baik rencana pengkristenan dan ketimuran,”[4]        

Walau dianggap sebagai yang terkuat dalam armada laut saat itu, namun armada salib Portugis menemui kegagalan besar di Aceh. Bahkan, Aceh Darussalam berhasil memukul mundur dan mengejar armada kafir ini hingga berhasil membunuh sejumlah petinggi militernya. Nanggroe Aceh Darussalam merupakan benteng Islam terkuat di seluruh Nusantara. Dari ujung Utara pulau Sumatra inilah cahaya Islam datang dari Mekkah dan kemudian diteruskan ke seluruh bumi persada Nusantara, sebab itu Aceh hingga kini dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah.Dalam hal menghadapi upaya penyebaran salib, Aceh memiliki pengalaman berabad-abad lamanya. Mulai dari kedatangan armada salib Portugis di selat Malaka tahun 1511, kelicikan VOC Belanda, kecongkakan bala tentara Dai Nippon yang di mata rakyat Aceh adalah kaum kafir penyembah berhala matahari, dan yang ironis menghadapi konspirasi pemerintahan bangsanya sendiri yang selama puluhan tahun secara halus maupun kasar berupaya menghancurkan eksistensi muslim Aceh dan memutuskan urat nadi rakyat Aceh yakni Islam. Terlebih, di bawah rezim Orde Baru di mana seluruh daerah di Nusantara hendak dijadikan ”Majapahit”. Semua itu dihadapi rakyat Aceh dengan gagah berani, giat, dan tabah. Cobaan demi cobaan terus berlangsung berabad-abad lamanya, dan itu semua malah membuat rakya Aceh begitu kokoh dan kuat. Ada kalimat dari orang bijak berkata,” semak paling kuat adalah semak yang tumbuh di cadas yang paling keras.” Dan inilah rakyat Aceh.           

Walau menghadapi cobaan dan fitnah bertubi-tubi, Aceh tetap berdiri kokoh. Dalam peta dunia penyebaran misi salib, wilayah Aceh diberi tanda hitam yang sangat pekat, menandakan wilayah tersebut merupakan daerah yang amat sangat sulit dijangkau Injil. Namun demikian, misi penyebaran salib untuk Aceh dari waktu ke waktu terus diupayakan. Mereka terus menunggu sasarannya hingga kondisi memungkinkan mereka bergerak dengan leluasa, demikianlah sikap para penginjil terhadap Aceh. Berabad-abad lamanya mereka menunggu momentum yang dianggap tepat untuk bisa masuk ke Aceh. Selama itu juga, dengan cara halus dan kasar, mereka terus memerangi dan melemahkan muslim Aceh agar bisa dijauhkan dari Islam yang kaffah. Usaha missionaris dalam melakukan kristenisasi di Aceh telah mengalami masa yang panjang dimulai pada masa penjajahan Belanda. Kaum kolonial memberi dukungan kuat kepada para missionaris. Karena bila rakyat Indonesia memeluk agama Kristen itu akan memperkuat cengkraman penjajahan kolonial Belanda di Nusantara dan perlawanan bumi putra pasti akan mengendor dan segala program penjajahan akan berjalan dengan mulus. Namun upaya itu terus menerus gagal karena keislaman rakyat Aceh sangat kuat. Mereka sangat benci kepada kaum penjajah ( kafir ). Semua gereja yang dibangun Belanda di Aceh ditempatkan di pusat-pusat konsentrasi tentara ( asrama-asrama militer Belanda ).           

Pada masa kemerdekaan usaha missionaris secara rahasia tetap berjalan sebagaimana hebohnya kasus Singkil dan Pulau Banyak. Pada awal tahun 1962.  Di mana  tanah –tanah yang kosong dekat perkampungan kaum muslimin dibangun gereja-gereja kecil  sebagai siasat untuk menguasai tanah. Namun pada akhirnya masyarakat marah dan menghancurkan semua geraja-gereja kecil itu, sebelum sempat diselesaikan oleh Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo waktu itu (Tgk H. Muhammad Dawud Beureu-eh), yang berencana berkunjung ke daerah tersebut.           

Pada tahun 1967 terjadi kehebohan di kota Bakti Pidie karena diadakan upacara gereja besar-besaran di SMP kota Bakti yang dihadiri oleh umat Kristen seluruh Aceh, sementara  penduduk tetap di kota Bakti 100 % beragama Islam marah besar dengan kegiatan tersebut, yang katanya didalangi oleh pihak-pihak  yang memiliki kekuasaan, namun tidak sempat melahirkan tindakan anarkis disebabkan kedatangan Tim Dakwah Mahasiswa IAIN Ar-Raniry yang dapat meredam amarah masyarakat.           

Pada tahun 1976,  Missionaris Simamora[5] secara  meyakinkan menjelaskan bahwa umat Kristen akan mengembangkan misinya di Aceh melalui tiga penjuru; Singkil, Aceh Tenggara dan Sabang. Telah di cetak 100.000 Injil dalam bahasa Aceh akan di sebarkan di Aceh secara meluas. Tahun 1982 heboh Cot Girek Aceh Utara, Pendeta John dari Banda Aceh menjanjikan bantuan bibit tanam-tanaman, peralatan pertanian dan uang Rp 50.000 ( Lima puluh ribu rupiah) bagi mereka yang mau mengikuti Yesus Kristus. Pertemuan besar Umat Kristen di Cot Girek dan merekomendasikan Cot Girek sebagai pusat untuk penyebaran Kristen di Aceh. Hanya saja rencana ini dapat diketahui oleh kepala kampung Cot Girek Abdullah Hasan dan menyampaikan hal tersebut pada masyarakat, dengan amarah yang sangat, masyarakat meroboh balai tempat pertemuan mereka.            

April 2004 heboh kasus di Sabang, di mana umat Kristen sebagai umat minoritas, ingin membangun gereja besar di Sabang yang seimbang Mesjid Agung. Rencana ini gagal karena pemerintah dan pemuka masyarakat Sabang serta ulama segera meredam keinginan yang sangat menggelisahkan masyarakat Sabang. Kekurang berhasilan, kalau tidak dikatakan gagal, upaya kristenisasi pada masa-masa yang lampau di Aceh telah menyebabkan mereka menanti-nanti saat yang tepat untuk berhasil dengan mudah menjalankan misinya di Aceh. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Ahad pagi, 26 Desember 2004, gelombang Tsunami menghempas Aceh dan sekitarnya. Ratusan ribu Muslim Aceh meninggal seketika, ratusan ribu anak terenggut masa depannya. Akibat tragedi kemanusiaan terbesar abad ini, Aceh bagaikan bumi tanpa tuan. Hanya masjid-masjid, rumah Allah, yang masih tetap berdiri tegak mengawal bumi Serambi Mekkah. Dunia bersedih, namun yang sulit dicerna akal sehat, di tengah kesedihan itu ternyata ada yang tersenyum. Di tengah lautan kesengsaraan, ternyata ada yang tertawa gembira. Entah harus diterangkan dengan logika apa, mereka-“para penginjil”-beranggapan bahwa tragedi kemanusiaan terbesar abad ini merupakan cara Tuhan untuk membuka pintu Aceh dan daerah-daerah lainya bagi misi penyebaran salib. Presiden Gospel for Asia (GFA) K.P. Yohannan dalam Philadelphia Inquirer seperti dikuti situs www.news-leader.com pada tanggal 10 Januari 2005 tanpa rasa bersalah menyatakan,” Bencana ini merupakan salah satu kesempatan terbesar Tuhan yang diberikan pada kami untuk berbagi cinta-Nya dengan orang –orang itu.”Koordinator Sauthern Baptist, Pat Julian Robertson yang amat anti Islam juga mengatakan, tsunami telah menyediakan kesempatan fenomenal bagi para penginjil untuk menyebarkan misi Yesus bagi Muslim Aceh dan sekirtarnya. Pat Robertson, salah seorang penginjil fundamentalis AS dan anggota Tim Doa Kepresidenan George  W Bush, sangat senang dengan kenyataan ini.Tidak saja GFA, Penginjil Vernon Brewer yang menjadi pimpinan dari World Help, sebuah organisasi missionaris yang berpangkalan di Virginia AS, juga menyatakan bahwa dengan adanya bencana tsunami maka daerah-daerah yang tadinya sulit dijangkau penginjil kini terbuka lebar.” Di masa normal, Banda Aceh tidak begitu mudah bagi orang asing dan juga penyebar agama. Tetapi karena kondisi darurat tak terelakkan, ada gempa tektonik dan tsunami, para penginjil memiliki hak untu masuk dan kesempatan ini digunakan untuk menyebarkan agama mereka,” demikian Brewer dalam situs resmi dalam World Help beberapa hari setelah bencana tsunami terjadi.

Solusi

Melihat kondisi riil kegiatan Misionaris/Kristenisasi di Aceh, maka ada beberapa solusi yang perlu ditawarkan, di antaranya:

  1. Diperlukan pengawasan secara terencana dan terpogram terhadap aktivitas NGO & LSM yang menyimpang dari missi kemanusiaan, syari`at Islam, adat dan budaya Aceh.
  2. Diperlukan upaya-upaya yang intensif dalam memantapkan aqidah, peningkatan ibadah, dan pelaksanaan amar makruf nahi mungkar melalui Lokakarya Peran serta Ormas/OKP Islam dalam pembinaan dan Pengawasan Aqidah Ummat.
  3. Pengiriman da`i/khatib ke berbagai huntara dan lokasi-lokasi yang rawan terhadap pendangkalan aqidah
  4. Penyusunan dan penyebaran buku-buku, brosur-brosur tentang penguatan aqidah.
  5. Mengadakan konseling agama, terutama bagi para korban yang sudah melenceng dari nilai-nilai ajaran Islam, budaya dan adat-istiadat masyarakat Aceh.
  6. Pelatihan kader-kader da`i, muballigh, guru-guru pengajian.
  7. Melakukan kegiatan pengawasan terhadap ajaran sempalan/sesat.
  8. Menyusun panduan syari`at bagi orang asing (dalam kaitan dengan antisipasi pendangkalan aqidah).
  9. Melakukan tindakan lanjutan (studi kasus) terhadap lembaga-lembaga tertentu yang terindikasi melakukan upaya-upaya pendangkalan aqidah.
  10. Diminta kepada pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap pendirian gereja illegal yang melanggar SKB tiga mentri.


——————————————————————————–

[1]Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 Pasal 4 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia Nomor  3 Tahun 1988  Point A (1-2), Tentang Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8-9 Tahun 2006 Pasal 13-14 ayat (1-3) Tentang Pendirian Rumah Ibadah.
[2]Pasal 156a KUHP(Jo) Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Pasal 4 (L.N. 1965 No.3), pelanggaran terhadap pasal ini akan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, dan kalau dilakukan oleh sebuah organisasi/aliran maka Presiden setelah mendapat Pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan  Menteri Dalam Negeri dapat membubarkan organisasi tersebut dan dinyatakan sebagai organisasi/aliran terlarang. Apabila setelah dinyatakan terlarang dan dibubarkan anggotanya masih melakukan aktivitas tersebut maka anggota pengurus dari organisasi/aliran tersebut dipidana penjara selama-lamanya lima tahun.
[3]Rizki Ridyasmara dalam buku; Gerilya Salib di Serambi Mekkah dari Zaman Portugis Hingga Paska Tsunami, Pustaka al-Kutsar, 2006, hal. XV-XV
[4]Sebagaimana dikutip oleh Rizki…. dalam; H. Zainal Abidin Ahmad; Ilmu Politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya, Bulan Bintang, Cet 1, 1979, hal. 168.
[5]Hasil Perbincangan Drs. Tgk. H. A. Rahman Kaoy  dengan Simamora di Tanjung Balai Tahun 1976.