Oleh: Hj. Muzayyanah Yuliasih, M.M., M.Pd. (Ketua Bidang Pendidikan & Pelatihan PP Muslimat Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia)
Pemerintah melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menandatangani Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi, 31 Agustus 2021 lalu.
Permendikbud ini spontan mendapat respon, kritik keras dari berbagai pihak disertai kecaman agar dicabut dan dibatalkan. Ada apa gerangan? Berdasarkan kajian kritis terhadap Permendikbud Ristek no 30 Tahun 2021 yang penulis himpun dari berbagai pihak, mengangkat beberapa catatan penting, antara lain:
1. Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 rupanya merupakan modifikasi yang sebenarnya adalah duplikasi dari draft lama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang berkali-kali diajukan Komnas Perempuan namun ditolak masyarakat luas dan DPR selama periode 2014-2019. Penolakan RUU P-KS karena rancangannya dianggap bertentangan dengan landasan moralitas bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila, terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang Adil dan beradab.
2. Karena diadopsi dari RUU PKS yang ditolak, Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 ini masih mengandung paradigma “sexual-consent”, yang menganggap standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai agama, tapi berdasarkan persetujan dari para pihak, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Hal ini menjadi fatal, bertolak belakang dengan landasan moralitas bangsa Indonesia yang berketuhanan yang Maha Esa. Jika dibiarkan tanpa koreksi maka peraturan ini akan menjadi pintu gerbang budaya liberal dan sekuler: pergaulan bebas, perzinahan, dan penyimpangan seks dengan segala bentuknya (LGBT: Lesbian-Gay-Biseksual-Transgender).
Dalam Alquran surat Al-Isra ayat 32 Allah berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.
Ibnu Abbas radliyallah ‘anhuma berkata: “Mereka pada masa jahiliyah memandang zina yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tidaklah mengapa. Namun, mereka memandang buruk zina yang dilakukan dengan terang-terangan. Lalu Allah mengharamkan zina yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.”
Dari Abdullah bin Umar radliyallahu‘anhuma, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi sampai orang-orang bersetubuh di jalan-jalan seperti layaknya keledai.” Aku (Ibnu ‘Umar) berkata, “Apa betul ini terjadi?”. Beliau lantas menjawab, “Iya, ini sungguh akan terjadi.”
Allah SWT melarang para hamba-Nya mendekati perbuatan zina. Maksudnya adalah mendekati zina, melakukan perbuatan yang membawa pada perzinaan. Secara tegas Islam mengharamkan perbuatan zina, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Jika perbuatan itu dibiarkan merajalela di tengah-tengah masyarakat, dalam insitusi yang menjadi basis pendidikan, hal itu sama artinya dengan mencetak generasi yang akhlaknya serendah binatang (keledai).
3. Definisi ‘Kekerasan Seksual’ dalam Permendikbud no 30 tahun 2021 mengacu pada perspektif feminisme radikal yang dikembangkan oleh budaya Barat yang sesungguhnya justru melanggengkan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Mahasiswa akan dianggap melakukan kekerasan seksual jika mengomentari pakaian yang dikenakan mahasiswi yang menimbulkan hasrat seksual. Perlu diketahui, konten yang diusung kaum feminis ini berakar dari pemikiran Marxisme yang cenderung antipati terhadap nilai-nilai agama.
4. Penjelasan pada Pasat 1 ayat 1 yang berbunyi: “Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban…”.
Ayat dalam pasal ini rancu. Di satu sisi menyebutkan kekerasan seksual meliputi diskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, tetapi pada sisi lain secara jelas melindungi identitas gender korban.
Penting dipahami, ada perbedaan utama antara kata ‘jenis kelamin’ dengan istilah ‘gender’. Kata ‘jenis kelamin’ menunjukkan identitas perempuan dan laki-laki saja. Hal ini merujuk universalitas Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
- يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Adapun istilah “gender’, digunakan pertama kali pada sebuah pernyataan pers pada 21 November 1966 oleh sebuah suratkabar di Amerika yang mengumumkan sebuah klinik baru bagi transeksual [sic] di Rumah Sakit Johns Hopkins di Baltimore, Maryland, USA. Istilah ini kemudian dipakai meluas, dan saat ini dominan menggantikan kata “sex” yang berarti jenis kelamin. Perbedaannya, istilah gender tidak terbatas pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, melainkan termasuk juga pengakuan atas keberadaan transgender, yang secara meledak-ledak diperjuangkan eksistensinya oleh kaum feminism atas dasar Hak Azasi Manusia (HAM).
Ada bahaya besar jika negara memberi ruang dan pengakuan pada transgender. Pasal ini juga sekaligus berpotensi mengkriminalisasi dosen, mahasiswa, dan sivitas akademika yang secara umum yang tidak setuju dengan perilaku LGBT, karena siapapun yang dianggap “mendiskriminasi identitas gender seseorang”, akan dianggap telah melakukan kekerasan seksual.
5. RUU PPKS memuat pasal tentang proses pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual yang dibentuk oleh panitia seleksi dengan syarat ( pasal 24 ayat 4) yang berbunyi: “Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. Pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual;
b. Pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;
c. Pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau
d. Tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual…”.
Kriteria sangat khusus, sehingga mengandung unsur monopoli bahwa pihak yang terlibat dalam penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan hanya tertentu saja, yaitu gerakan perempuan yang mengusung feminisme dalam perjuangannya. Kriteria itu menutup kepesertaan gerakan/organisasi perempuan lain (yang kontra feminism) dan gerakan/organisasi agama yang juga memiliki kompetensi mendampingi korban kejahatan seksual.
6. Permendikbudristek no 30 tahun 2021 tidak memberikan ruang untuk melibatkan peran keluarga serta penguatan nilai-nilai moral dan agama di lingkungan pendidikan tinggi. Padahal tidak bisa dipungkiri, keluarga beserta penanaman nilai moral dan agama memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pencegahan sekaligus penanganan terjadinya kejahatan seksual.
7. Dalam pasal 6 ayat (2) disebutkan : “.. mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian”. Pertanyaannya, modul seperti apa yang akan dibentuk jika peraturan yang diterbitkannya pun melegalisasikan seks bebas dengan persetujuan dalam kehidupan kampus? Sungguh tidak bisa dipercaya.
Ketika seorang atau sekelompok mahasiswa/i mendapat perlakuan amoral berupa kekerasan seksual secara sepihak, sudah seharusnya negara memberinya sanksi hukum yang berat kepada pelakunya, termasuk memberi perlindungan hukum, rehabilitasi psikis dan perawatan fisik kepada korban. Hukuman ini juga sudah sewajarnya berlaku untuk pelaku pelecehan seksual dengan segala bentuknya.
Pertanyaannya adalah, bagaimana jika para mahasiswa dan mahasiswi serta para staf pengajar dan elemen-elemen lain yang difungsikan dalam kehidupan kampus, melakukan interaksi seksual secara suka sama suka, tanpa keterpaksaan, atau bahkan hal itu terjadi dan dipertontonkan oleh pasangan atau kelompok sesama jenis di dalam kampus? Akankah mereka dibiarkan melakukan dan atau mempertontonkannya di dalam kampus karena alasan dewasa (18+)?
Dalam pandangan penulis, peraturan itu hanya bagus di cover-nya saja – Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi – tetapi kandungannya justru mengusung agenda tersembunyi melalui celah-celah yang tidak dibahas, yang artinya akan dibudayakan tanpa ada sanksi hukum. Apakah itu? Liberalisasi seksual dan legalisasi perzinahan dalam kehidupan kampus termasuk LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) dengan persetujuan alias suka sama suka!
Peraturan itu tentu tidak menjiwai semangat berketuhanan YME dalam Pancasila, kontra produktif dengan semangat UUD 1945 Pasal 31 (3) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga bertentangan dengan Pasal 5 (a) UU No. 12 tahun 2012 yang tegas menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah: Berkembangnya potensi mahasiswa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Tidak habis pikir, bagaimana mungkin Menteri Dikbudristek yang didukung segudang ahli dalam rancang bangun pendidikan nasional justru meliberalisasikan kehidupan kampus, mengentalkan sekularisme, melindungi LGBT, prokehidupan kampus yang antituhan, yang efeknya adalah merusak standar nilai moral, menjauhkan dari agama, adab, dan akhlak mulia.
Penulis menilai Permendikbudristek tersebut wajib ditolak. Secara pribadi penulis menilai Menteri Dikbudristek gagal memahami esensi perjuangan mencetak generasi bermoral, bermartabat, beragama, berbudaya dan beradab berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Jika hal itu dipengaruhi kurangnya pengetahuan agama sang menteri, maka seperti apa format tim Kemendikbud Ristek yang ditunjuk untuk merancang peraturan ini? Akan sulit diterima logika jika alasannya sama dengan kekurangan menterinya. Apakah ini agenda untuk mengubah wajah peradaban bangsa Indonesia? Wallahu a’lam bishawab. Waspada perlu.
Beberapa hal yang jelas, (a) Permendikbud no 30 tahun 2021 wajib ditolak, (b) Tim perancang undang-undang perlu di evaluasi dan dirombak susunannya dengan mengikutsertakan elemen ahli agama, ahli sosiologi, ahli psikologi, dan organisasi-organisasi pendidikan-keagamaan. (c) Untuk selanjutnya tim baru bekerja merevisi dan menyempurnakan peraturan yang tertolak. (d) Tim dapat bekerja cermat dalam waktu cepat.
Semoga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi memahami makna kritik dan penolakan masyarakat atas Permendikbud no 30 tahun 2021. Arah peradaban masa depan bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan berakhlak.
Sumber : https://mediadakwah.id/waspada-legalisasi-zina-dalam-peraturan-menteri/