Archive for month: Agustus, 2022

Aceh Besar — Sebanyak 26 mahasantri angkatan ke VIII Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Dewan Dakwah Aceh mengikuti tasyakuran dan pengukuhan dalam rangka wisuda tahun akademik 2021/2022 di kampus ADI komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kec. Krueng Barona Jaya, Kab. Aceh Besar, Sabtu (27/8/2022).

Prosesi pengukuhan dilakukan oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof Dr Muhammad AR, MEd bersama Sekretaris Dewan Dakwah Aceh, Zulfikar SE MSi. Didampingi Direktur ADI Aceh, Dr Abizal Muhammmad Yati, Lc MA dan Sekretaris ADI, Hanisullah, MPd beserta para Wakil Direktur ADI lainnya.

“Sebanyak 26 mahasantri yang di wisuda dan dikukuhkan itu terdiri atas 15 laki-laki dan 11 perempuan. Mareka berasal dari Subulussalam sebanyak 7 wisudawan, Aceh Singkil 12 wisudawan, Aceh Selatan 2 wisudawan, Aceh Barat Daya 1 wisudawan, Bireun 1 wisudawan, Bener Meriah 1 wisudawan, Aceh Timur 1 wisudawan, dan Dairi Sumatra Utara 1 wisudawan,” kata Direktur ADI Aceh Dr Abizal Muhammad Yati lc, MA.

Abizal menjelaskan seluruh mahasantri tersebut usai diwisuda dan dikukuhkan akan melanjutkan kuliah S-1 di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir di Jakarta. Mareka direncanakan berangkat pada tanggal 3 September 2022.

“Kita berharap mereka dapat menyelesaikan studinya tepat waktu dan menjadi kader da’i/daiyah yang siap menjalankan misi dakwah di kampung mereka masing-masing di wilayah perbatasan dan pedalaman Aceh,” kata Abizal.

Sementara itu Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof Dr Muhammad AR, M.Ed menyampaikan bahwa saat ini Aceh kekurangan tenaga dai yang siap bertugas di pedalaman dan perbatasan Aceh. Juga kekurangan dai yang siap dengan segala tantangan dan resiko.

“Padahal di Aceh banyak Perguruan Tinggi Islam dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun belum mampu melahirkan kader dai Ilallah yang ikhlas dalam menyebarkan misi dakwah Rasulullah di pedalaman dan perbatasan Aceh,” kata Prof Muhammad AR.

Menurutnya saat ini di pedalaman dan perbatasan Aceh sangat dibutuhkan para dai yang bisa mengajarkan ilmu agama, mengajarkan Al-Qur’an, membimbing anak-anak dan generasi muda serta menuntun mereka menuju jalan kebaikan.

“Semoga para kader dakwah yang di tempa ADI Aceh dan STID Mohammad Natsir, akan menjawab tantangan tersebut. Dan mareka akan berada di garda terdepan dalam menjaga akidah ummat di daerah perbatasan dan pedalama Aceh,” jelas Prof Muhammad AR.

Kegiatan tersebut juga diisi dengan orasi ilmiah yang disampaikan oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Zawiyah Cotkala Langsa, Prof Dr Iskandar Budiman, MCL dengan tema “menyiapkan kader dai Ilallah dalam rangka membangun dan selamatkan Indoensia. dengan dakwah”.

Afrizal Refo, MA

Oleh Ust Afrizal Refo, MA

Sejak diberlakukannya SI di Aceh menjadi harapan bagi umat Islam khususnya di Aceh umumnya di Indonesia. Artinya SI itu sendiri sebuah jalan untuk menuntun masyarakat utk bisa melaksanakan agamanya sesuai aturan yg berlaku dlm Alquran dan hadis

SI di Aceh sudah dilaksanakan yaitu tahun 2002 dan tepat pada hari ini tahun 2022 SI sudah berjalan sekitar 20 tahun. SI adalah hadiah terbesar yg diberikan oleh pemerintah pusat kepada Aceh untuk menjalankan SI di Aceh. Kenapa harus Aceh? Untuk menjawab ini ada 3 alasan penting Aceh diberikan SI, pertama Karena Aceh dipandang sejak dari dulu kental akan keislaman nya , apa lagi dilihat adanya sejarah awal masuk Islam yaitu kerajaan Islam samudra pasai dan mulai meluas pada masa Sultan Iskandar muda hingga Kampung Malaka Malaysia bahkan di negeri Campa Kamboja hari ini, kedua diberikan kekhususan karena Aceh mayoritas beragama Islam sekitar 97%, jadi sangat wajar jika diberikan SI.
Adapun alasan ketiga yaitu permintaan yg tertunda yg dijanjikan kpd Tgk. Muhammad Daud Bereueh yg meminta kepada Sukarno agar Aceh dapat menjalankan Si. Atas dasar itulah penulis mencoba untuk memutar sejarah sehingga SI diberikan di Aceh.

Seiring berjalannya waktu SI di Aceh seakan-akan tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap masyarakat Aceh khususnya. Tetapi mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tapi jika dikaji lewat kacamata Syariah Aceh sudah mampu menunjukkan cukup baik pelaksanaan SI di Aceh dibandingkan daerah lain yang semakin hari semakin merebak kemaksiatan dan kemungkaran yang menyeleweng yang seakan-akan para pelaku pelanggar SI tanpa sadar dan sesuka hati melakukan perbuatannya tersebut tanpa ada rasa takut akan janji Allah SWT akan diberikan hukuman bagi orang yang melakukan perbuatannya tersebut.

Timbul pertanyaan mengapa SI di Aceh tidak lebih baik dari sebelumnya. Jawabannya bukan gagal menurut hemat penulis tapi belum maksimal dijalankan SI tersebut. Seakan-akan DSi jalan ditempat Dan tidak melakukan perubahan. Yang perlu kita garis bawahi bahwa yg menjalankan SI itu sendiri bukan dibawah payung DSI tapi seluruh umat Islam di Aceh harus bahu-membahu mendukung agar SI di Aceh tetap eksis berjalan dengan semestinya.

Ini harus ada dukungan dari berbagai pihak mulai dari pemerintah Aceh , DPRA, Polri dan TNI dan seluruh SKPA harus membuat program yang mendukung SI itu di Aceh dapat berjalan . Berbagai upaya telah dilakukan oleh DSI selama ini utk memberikan warna baru bagi terlaksananya proses SI di Aceh. Menurut hemat penulis sebenarnya SI di Aceh bisa berjalan dengan semestinya jika ada tindak andil dari pemerintah Aceh dan juga pemerintah daerah setempat untuk memfasilitasi SI itu berjalan.

Contoh hal kecil yang bisa di lakukan oleh salah satu dinas yaitu Dinas pendidikan dengan membuat kurikulum atau aturan yang membuat aturan ketika sebelum memulai belajar dimulai dengan baca doa dan setiap pendidik harus spakat untuk mengingatkan Peserta didiknya untuk senantiasa Shalat dan melakukan kebaikan. Jika ini disampaikan penulis menyimpulkan bahwa si peserta didik tersebut besar kemungkinan akan lebih baik karena mendapat perhatian dari gurunya.

Contoh lain misal dinas kesehatan juga dikaitkan dengan SI di Aceh bagaimana dalam Islam sngat penting nya menjaga kesehatan sperti tidk membuang smpah sembarangan dan Dinas pertanian juga kaitkkan.dengan pendapatan seseorang maka jika dapat hasil yang maksimal maka keluarkan zakat .
jadi SI itu dapat berjalan dibaantu oleh skpa lainnya untuk menyampaikan bahwa sI itu penting dalam kehidupan.

Begitu juga pemerintah Aceh juga harus sinkronisasi deenggan pemerintah daerah, pemerintah Kabupaten, kecamatan maupun desa. Sehingga apa yang kita harapkan informasi SI tersampaikan kepada kalangan bawah. Sehingga dengan sendirinya SI akan dirasakan oleh Masyarakat itu sendiri. Contoh Yaang pernah dipaparkan oleh pemerintah Aceh seperti Program Magrib mengaji ini tetap bisa dilaksanakan tapi bukan hanya sekedar wacana tapi dibuat dan dipraktekkan dengan menghidupkan mesjid , mushalla maupun rumah2 untuk mengaji dan memberikan himbauan bagi pelaku usaha agar menutup usahanya pada waktu magrib sampai isya hanya 45 menit saja.

Jadi DSI itu ibaratnya adalah sebagai Rumah SI yang berfungsi untuk memonitor bagian mana SI yang perlu disampaikan untuk Cocok di Sampaikan kepda masing-masing Skpa..

Dsi itu bukan utk di lebur tapi untuk diperkuat dan dijaga serta dilestarikan layaknya bagaimana kita menjaga bangsa ini yang sudah 77 tahun merdeka agar anak cucu bisa merasakan kemerdekaan ini begitu juga SI yg telah diberikan harus dijaga benar2 untuk diisi dengan menghidupkan kegiatan bernuansa SI dan tanpa disadari Masyarakat akan merasakan pentingnya SI itu tetap tegak dibumi nanggroe Aceh yang juga harapan satu2nya bagi provinsi lain bahwa Aceh layak di contoh untuk di apresiasi.

Ini bisa terlihat bahwa SI itu penting yaitu kalo kita lihat di daerah perbatasan yang cukup terbatas nya Dai didaerah tersebut sehingga timbul kegelisahan oleh masyarakat disana bagaimana cara menjalankan ibadah dengan baik jadi mereka membutuhkan dai agar bisa membina Mereka dan generasi muda agar tidak tergerus oleh budaya barat akibat begitu cepat berkembang nya globalisasi.

Penulis menemukan benang merah kenapa SI di Aceh tidak berkembang dengan semestinya yaitu ada 5 masalah yaitu pertama seperti ada upaya SI itu hanya dijalankan dibawah DSI tanpa didukung oleh pemerintah Aceh, DPRA dan lainnya secara praktek, kedua kurangnya pengawasan dari pemerintah atau lembaga yang ditunjuk, ketiga belum smpainya informasi kepada masyarakat tentang pentingnya SI dijalankan, keempat kurikulum pendidikan yang haanya membatasi penyampaian SI itu sendiri dan kelima kurangnya gebrakan untuk mewujudkan SI itu bisa tegak di Aceh.

Memang berat untuk mewujudkan itu semuanya tapi Allah tidak menilai hasil yang akan kita lakukan tapi bagaimana proses nya sudah dilaksanakan. Itu berawal bagaimana kesungguhan bagi kita untuk melakukan perubahan demi tegaknya SI di Aceh. Kita semuanya akaan diminta pertanggungjawaban sebagai pemimpin apa yang kamu lakukan ketika kamu diberi wewenang padahal kamu dapat melakukannya.

Adapun solusi yang ditawarkan penulis agar SI itu bisa berjalan dengan maksimal yaitu seluruh pemerintah daerah, TNI dan polri, Dpra , MAA, M.PD, SKPA, Pemerintah daerah dan bekerja sama sama untuk menjalankan SI itu menurut bidangnya masing-masing sehingga tidak ada pengkotak-kotakan ini adalah tugas DSI yang menjalankan.

Jadi semua itu cita2 dan harapan umat Islam di Aceh agar SI itu benar-benar bisa dijalankan dengan semestinya.

Penulis adalah Pemerhati Syariat Islam.
Sekjen Dewan Da’wah Kota Langsa

Oleh Dr. Tgk Hasanuddin Yusuf Adan

(Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

 

BACGROUND

Embrio bayi syari’at Islam di Aceh berbenih semenjak disahkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Lalu diperkuat dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Ketika terjadi perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI) 15 Agustus 2005 lahir lagi Undang-undang RI. Nomor 11 Tahun 2006 tengtang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai amanah dari MoU Helsinki. Ketika UUPA disahkan maka UU.RI. No. 18 tidak berlaku lagi.

Serimonial deklarasi dan pembukaan berlakunya syari’at Islam di Aceh secara resmi dideklarasikan pada tahun 2002 yang dimeriahkan oleh kedatangan beberapa orang menteri negara plus ketua Mahkamah Agung ke Aceh di tahun baru Hijriah hari Jum’at 1 Muharram 1423 H/15 Maret 2022. Tahun 2003 masa pemerintahan gubernur Abdullah Puteh dengan Prof. Alyasak Abubakar sebagai Kepala Dinas Syari’at Islam disahkan tiga qanun paling awal di Aceh: qanun  no. 12 tentang minum khamar. qanun nomor 13 tentang maisir dan qanun nomor 14 tentang khalwat.

Pada waktu itu para alim ulama dan pembesar Aceh sepakat untuk menerapkan syari’at Islam di Aceh secara perlahan, muslihat, lembut, bersahaja namun pasti. Untuk itulah dimulai dari tiga jarimah dalam tiga qanun tersebut, yang satu jarimah hudud dan dua lainnya masuk wilayah jarimah ta’zir. Semua itu dilakukan untuk menjaga perasaan dan kemuslihatan Aceh agar secara perlahan bangsa Islam di Aceh menyatu dengan syari’ah. Hari ini amal baik para orang tua dahulu sudah ada hasilnya sehingga masyarakat sendiri yang meminta untuk diperluas wilayah implementasi syari’ah di Aceh. Maka dalam masa pemerintahan gubernur Zaini Abdullah (Abu Doto) disahkanlah qanun Aceh nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

10 poin jarimah yang tertera dalam qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 adalah: Khamar;  Maisir;  khalwat; Ikhtilath; Zina; Pelecehan seksual; Pemerkosaan; Qadzaf; Liwath; dan Musahaqah. Semua itu sudah berlaku dan berjalan di Aceh dan sudah terjadi panishment (‘uqubah) terhadap pelanggar qanun tersebut. Ini menunjukkan implementasi syari’at Islam di Aceh tidak gagal, hanya berjalan secara perlahan dan sedikit lambat dikarenakan para pemimpin Aceh mulai dari Wali Nanggroe, gubernur, bupati, wali kota serta para kepala dinas, kepala badan dan kepala biro belum menyatu dan belum memiliki kapasitas syari’ah dalam tubuh badannya. Jadi kalau dikatakan syari’at Islam di Aceh telah gagal salah dan tidak benar, buktinya ia masih berjalan dan ada pemberlakuan hukuman.

 

IMPLEMENTASI SYARI’AT ISLAM DI ACEH

Berlakunya syari’at Islam di Aceh merupakan efek dari pertempuran GAM terhadap RI yang menelan korban tak terhitungkan. Sebelum GAM menuntut kemerdekaan Aceh dari RI syari’at Islam tidak pernah diwujudkan di Aceh oleh RI, malah pasca damai gerakan DI/TII antara Aceh dengan RI tahun 1962, Aceh tertipu dan ditipu oleh RI dengan memberikan gelar Daerah Istimewa terhadap Aceh dalam bidang agama, bidang Adat istisadat dan bidang pendidikan namun liciknya RI tidak pernah memberikan undang-undang seperti hari ini sehingga Aceh ibarat orang menerima check kosong dari RI yang ketika mau narik di bank uangnya tidak ada. Tertipuuuuu.

Ketika RI kewalahan memadamkan GAM maka RI menawarkan segala macam untuk Aceh selain merdeka, tatkala itulah pihak ketiga Aceh selain pihak GAM dan RI berinisiasi untuk melempar kardus syari’at Islam sebagai peredam konflik yang berkepanjangan. Upaya tersebut terkoneksi dengan bencana gempa dan tsunami besar yang melanda Aceh sehingga dua pihak yang bermusuhan tersebut yang dahulu menutup pintu perundingan bersedia berunding untuk mencari solusi perdamaian di Aceh. Dari situlah lahir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang menuntut untuk lahirnya UUPA.

Dengan UUPA tersebutlah implementasi syari’at Islam di Aceh semakin transparan dan absolut sehingga bangsa Islam di Aceh merasa senang dan gembira walaupun para penguasa yang terkena penyakit sepilis sedikit linglung, ibu-ibu aktifis gender mulai muram karena takut dengan berlaku syari’at Islam di Aceh terbuka peluang suami-suaminya akan berpoligami. Namun semua itu terjawab oleh zaman yang berbicara sehingga hari ini bangsa Islam Aceh sangat menyatu dengan implementasi syari’at Islam di Aceh dan syari’at Islam di Aceh tidak gagal dengan kandungan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 berjalan lancar dan para pelanggarnya seperti penjudi, peliwath, pengkhalwat, pezina dan lainnya dihukum cambuk sesuai kandungan qanun, itu terjadi sampai tahun 2022 ini.

 

MASIH JALAN TAPI LAMBAN

Implementasi syari’at Islam di Aceh berjalan dengan baik tetapi lamban, ini bukan berarti gagal, tetapi lamban. Kalau ada orang yang mengatakan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh telah gagal, itu orang tidak mengikuti perjalanan syari’at Islam di Aceh atau tidak paham tentang hukum Islam yang sedang berlaku di Aceh karena bukan bidang yang ditelusurinya atau ia paham tetapi tidak senang dengan implementasi syari’at Islam di Aceh. Kalau itu yang terjadi maka itu orang sama seperti pemain bola yang mencetak goal kegawang sendiri, kalau ini yang terjadi maka bahaya besar untuk implementasi syari’at Islam di Aceh karena orang Aceh sendiri tidak mengerti pemberlakuan syari’ah di Aceh.

Efeknya media anti syari’ah mulai merebus isu tersebut untuk memojok pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Merebus itu beda dengan menggoreng, kalau menggoreng panasnya cepat berlalu tetapi kalau merebus panasnya lambat berakhir karena ada kuwahnya yang mempertahankan panas seperti beda mi goreng dengan mi rebus. Karenanya seorang Aceh yang punya jabatan apalagi jabatannya masih baru mesti berhati-hati dalam menyampaikan informasi dan statement di dalam forum-forum tertentu, efeknya bisa menjerat diri sendiri, sebaiknya bicara apa yang ada dalam kapasitas dirinya sebagai seorang ilmuan agar tidak gagal paham.

Pertanyaan hari ini adalah kenapa pelaksanaan syari’at Islam di Aceh berjalan lamban? Jawabannya ada pada pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sebagai pihak yang bertanggung jawab berjalannya syari’at Islam di Aceh sesuai dengan ketentuan qanun Aceh nomor 8 tahun 2014 tentang pokok-pokok syari’at Islam pasal 5, 6 dan 8 yang berlaku. Dalam Bab III pasal 4 ayat (1) qanun tersebut berbunyi: syari’at Islam dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi pada setiap tingkatan pemerintahan di Aceh di bawah arahan Wali Nanggroe. Pertanyaan yang muncul adalah apakah Wali nanggroe mengetahui pasal 4 ayat (1) tersebut sebagai bahagian dari tugas dan tanggung jawabnya?

Kalau dihitung dari tahun 2002 yang berlaku tiga qanun untuk tiga jarimah, lalu di tahun 2014 berlaku qanun yang menetapkan 10 jarimah berlaku di Aceh sudah berjalan 12 tahun dan dari 2014 sampai 2022 sudah berjalan delapan tahun, semestinya konsep hukum pidana Islam (fiqh jinayah) yang terdiri dari qishash/diyat, hudud dan ta’zir harus sudah diimplementasikan di Aceh. Bukan hanya itu tetapi enam fikih yang terdapat dalam syari’ah, yakni; fiqh ibadah, fiqh mawaris, fikih mu’amalah, fikih siyasah, fikih munakahah dan fikih jinayah harus berlaku penuh di Aceh sesuai dengan ketentuan Bab II pasal 2 qanun Aceh nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syari’at Islam.

Tidak terkafernya point-point tersebut dalam amalan syari’at Islam di Aceh bukan berarti pelaksanaan syari’at Islam telah gagal melainkan lamban disebabkan oleh lalainya pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota serta Wali Nanggroe yang semua mereka makan gaji untuk melaksanakan dan memajukan syari’at Islam di Aceh bukan untuk duduk bertumpang dagu. Bek lagei ureueng jak u la-ot, beungoh geutubiet geuba jeue, cot uroe geugisa geupuwor saboh plastik eungkot (pagi pergi kelaut membawa jaring, tengah hari pulang membawa satu plastik ikan. Tidak pernah terbayang dalam kepalanya untuk memperoleh ikan yang lebih banyak untuk dijual dan mendapatkan banyak duit, mencari ikan hanya sekedar untuk sehari makan. Pemerintah Aceh dan kabupaten kota harus bijak melaksanakan dan memajuklan syari’at Islam di Aceh, jangan pandai merebut kursi gubernur, bupati/walikota tetapi tidak tau menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Lebih-lebih lagi seorang Wali nanggroe yang tidak punya nanggroe yang oleh beberapa anggota DPRA mau dipertahankan seumur hidup, untuk apaaa? Untuk mematikan syari’at Islam di Aceeeh?

 

KHATIMAH

Dengan adanya Dinas Syari’at Islam, adanya muhtasib yang bergerak di lapangan, terjadinya penangkapan terhadap pelanggar qanun, terjadinya penyidangan di Mahkamah Syar’iyyah dan terjadinya ‘uqubah sebagai hukuman yang ditetapkan dalam qanun selama ini, maka itu menjadi bukti bahwa implementasi syari’at Islam di Aceh tidak gagal. Yang gagal adalah peran Wali nanggroe, gubernur, bupati/walikota yang sama sekali tidak menjalankan ketentuan qanun, baik qanun Aceh nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syari’at Islam, qanun Aceh nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat maupun qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Satu hal lagi yang keliru dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh adalah ketika Dinas Syari’at Islam dibebani penuh untuk menjalankan syari’at Islam di Aceh, sementara dinas-dinas lain plus gubernur, bupati dan walikota tinggal keutep-keutep jaroe tidak berbuat apa-apa tentang syari’at Islam. Yang benar mengikut ketentuan qanun sebagaimana yang telah kita bahas di atas adalah gubernur, bupati/walikota berposisi sebagai panglima dan komandan lapangan untuk implementasi syari’at Islam di Aceh.

Kondisi seperti itu tidak akan wujud kalau sistem demokrasi masih digunakan dalam pemilihan pemimpin di Aceh, untuk itu pula pemerintah Aceh harus segera melahirkan qanun siyasah untuk keperluan politik di Aceh sebagai bahagian dari implementasi syari’at Islam di Aceh.

Afrizal Refo, MA

Muharram memiliki arti yang diutamakan atau dimuliakan, karena beragam peristiwa bersejarah dan sangat penting bagi peradaban, perkembangan dan kemajuan Islam, salah satunya Hijrah Nabi Besar Muhammad SAW, terjadi di bulan yang penuh rahmat ini.

Keutamaan Bulan Muharram khususnya tauladan Hijrah Nabi Besar Muhammad SAW, menyiratkan pelajaran hidup mengenai perubahan yang selalu menjadi impian dan harapan, yang seyogianya harus disertai dengan usaha dan tekad kuat dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, agar kita menjadi pribadi yang berbudi, sederhana, jujur dan istiqomah menjaga integritas sebagai hamba-Nya.

Meskipun di beberapa tempat dan daerah, terdapat peringatan tahun baru Islam 1444 Hijriyah secara sederhana. Namun, yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana memaknai muharram, yang di dalamnya terdapat peristiwa hijrah manusia yang Agung dan Mulia, Nabi Muhammad Saw, beserta umatnya.

Pada saat yang sama, bangsa Indonesia, beberapa hari lagi ke depan akan dihadapkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai titik keabsahan sebuah bangsa yang berdaulat ke dalam dan ke luar. Sebagai warga negara yang baik, tentu tidak ada larangan memperingati dan sekaligus memaknai kemerdekaan bagi masyarakat Indonesia.

Berjuang melawan penjajah dengan senjata, barangkali sudah selesai. Sekarang berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan ragam aktivitas dan sekaligus memaknai kemerdekaan di era pasca pandemi ini. Di sinilah pentingnya, bagaimana antara peristiwa bulan Muharram dan Kemerdekaan saling berdialog di satu sisi.

Di bulan Agustus 2022 ini ada dua momentum penting yang kita alami. Yang pertama adalah peringatan tahun baru Islam (Hijriyah) yang sering kita sebut dengan bulan Muharram.

Sedangkan yang kedua adalah peristiwa kebangsaan yang diperingati sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ke 77.

Dua hal tersebut merupakan peristiwa yang penuh hikmah dan makna berharga jika kita renungkan sebagai bentuk syukur kita kepada Allah SWT. Keduanya menceritakan tentang sejarah yang dapat kita ambil beberapa pelajaran penting untuk diamalkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Setidaknya ada dua semangat yang harus ada dalam pribadi kita sebagai umat Rasulullah SAW dan warga negara yang baik.

1. Semangat Tahun Baru Islam
Tahun baru Islam bukanlah sekedar peringatan seremonial, akan tetapi harus kita renungkan bahwa dunia ini sudah mulai tua dan pikun, umur kita juga semakin berkurang. Maka supaya kita tidak menjadi manusia merugi, kita harus sering intropeksi diri. Bulan Muharram yang menjadi awal tahun baru Hijriyah tidak ada artinya jika kehidupan kita tidak ada peningkatan alias jalan ditempat.

Ada dua Gerakan yang harus kita laksanakan didalam semangat tahun baru Islam tersebut.

Pertama, gerakan perubahan menjadi lebih baik, Kenapa saya sebut gerakan? Itu artinya dilakukan secara bersama-sama.

Untuk melakukan kebaikan jika bisa dilakukan secara bersama atau berjamaah kenapa harus sendiri. Maka dari itu kita sebagai makhluk sosial harus mampu bergotong-royong, bersatu, bahu-membahu melakukan perubahan yang lebih baik. Sesuatu yang dilakukan bersama-sama akan terasa ringan jika dibandingkan dengan sendirian.

Banyak hal yang bisa kita lakukan, diantaranya adalah menghidupkan kembali organisasi yang lama vakum dengan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan.

Kedua, melakukan gerakan kepedulian terhadap sesama, serta menggerakkan segala potensi yang ada agar menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama. Maka, semangat Muharram harus kita gunakan untuk tetap belajar bersama dan sama sama belajar dalam menyikapi kehidupan dengan berbagai masalah dan peristiwa yang ada.

Karena sesungguhnya setiap peristiwa ada pelajaran berharga yang Allah berikan agar kita mampu untuk merenungkan dan hakikat tujuan hidup yang sebenarnya.

2. Semangat kemerdekaan,
Kata merdeka tentu sering terdengar ditelinga kita. Namun pernahkah kita membayangkan betapa sulitnya memperoleh sebuah kemerdekaan yang haqiqi.

Seperti halnya yang diperoleh Bangsa kita yang sebelumnya selama 350 tahun dijajah oleh bangsa lain (Belanda). Sebuah peristiwa yang penuh dengan penderitaan, penindasan, tantangan, perjuangan dan kebersamaan untuk mencapai sebuah puncak kemerdekaan yang berhasil disampaikan lewat sebuah teks proklamasi 77 tahun yang silam.

Para pahlawan dan pendahulu kita berjuang mengangkat senjata dengan berkeringat darah dan air mata, sepenuh jiwa raga demi mendapatkan kedaulatan negara yang berkeadilan.

Setiap memasuki bulan Agustus, selalu diiringi dengan penyambutan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yang bertepatan pada tanggal 17. Semarak menyambutnya telah terlihat dari jauh-jauh hari. Itu dapat terlihat dengan adanya spanduk, bendera, umbul-umbul, dan baliho-baliho yang bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalanan.

Namun, dalam kesemarakannya, terdepat beberapa pertanyaan yang terbesit dalam benak kita; apakah arti kemerdekaan itu? Bagaimana seharusnya kita menyikapi makna kemerdekaan yang sebenarnya? Bagaimana memahami Islam dan kemerdekaan?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara etimologi merdeka berarti bebas. Kemerdekaan artinya kebebasan. Sedangkan secara terminologi, merdeka dapat diartikan dengan bebas dari segala penjajah dan penjajahan.

Kemerdekaan juga dapat dimaknai sebagai keadaan rohani yang tidak terpaut oleh segala sesuatu yang berkenaan dengan rasa tertindas, yang menindih, sehingga dapat mempengaruhi jiwa, pikiran dan perilaku seseorang. Dilain sisi, kemerdekaan diartikan denngan keadaan hati yang tentram.

Menurut Islam, manusia adalah makhluk yang bebas/merdeka sejak ia dilahirkan. Dalam lain paradigma, manusia adalah makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya. Karena manusia diciptakan oleh-Nya, maka manusia akan menjadi hamba ketika ia berhadapan dengan Rabb-Nya. Dengan begitu dapat dipahami bahwa, manusia tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak orang lain. Perbudakan antar manusia sama artinya dengan melanggar hak Allah.

Kemerdekaan manusia dalam Islam sudah diperoleh semenjak ia dilahirkan dari rahim seorang ibu. Maka dari itu tidak dibenarkan seseorang memperbudak sesamanya atas dasar kekuasaan apapun. Pendapat inipun diimplementasikan oleh para Nabi utusan Allah melalui perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistim perbudakan dengan berbagai cara.

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa Islam memandang kemerdekaan tidak dari satu sisi saja, melainkan dari beberapa sisi yang mencangkup lahiriyah maupun batiniyah. Sehingga makna kemerdekaan yang sesungguhnya ialah ketika seseorang mampu berada dalam fitrahnya (Islam dan tauhid).

Maka dari itu, setiap individu seoserang muslim kiranya dapat memaknai arti kemerdekaan sebagai bentuk melepaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kesyirikan. Lalu, perlu dipahami juga adalah kemerdekaan seorang muslim ketika terbebasnya hamba dari segala dinamika kehidupan yang tidak berlandaskan atas aturan yang sudah ditentukan oleh Islam.

Islam juga memandang kemerdekaan dengan tunduk atas kuasa Tuhan dan melepaskan diri dari jeratan nafsu. Seorang hamba dapat menemukan arti kemerdekaan yang sebenarnya, jika ia mampu terbebas dari semua belenggu yang berasal dari godaan setan dan hawa nafsu, dan mengembalikan segala sesuatu kembali kepada aturan Allah

Orang yang terjerat oleh nafsu dipastikan sudah menyimpang dari jalan yang telah diberikan oleh Allah, karena ia sudah menjadi budak nafsu. Maka dari itu, memerdekakan diri sendiri dari belenggu nafsu merupakan kemenangan dan kebebasan terbesar.

Hari ini kita harus bersyukur bisa menikmati kemerdekaan tersebut. Selain untuk menghargai jasa para pahlawan dan mendoakan mereka agar kelak mendapatkan tempat terbaik disisi Nya, maka semangat kemerdekaan ini harus kita isi dengan hal hal positif.

Lalu bagaimana cara kita mensyukuri nikmat ini? Caranya yaitu kita mensyukurinya dengan hati, lisan, dan perbuatan.

Mensyukuri dengan hati yakni dengan meyakini bahwa nikmat kemerdekaan itu datangnya dari Allah SWT. Mensyukuri dengan lisan yakni dengan mengucapkan bahwa nikmat itu datangnya dari Allah SWT, bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan dan tetesan keringat para syuhada, alim ulama, asatidz, dan para santri.

Adapun mensyukuri dengan perbuatan yaitu dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah SWT. Bukan mengisinya dengan kemaksiatan tapi justru dengan amalan ketakwaan. Maka perlu kita evaluasi bagaimana cara bersyukur kita selama ini, jangan sampai ada cara-cara keliru yang kita lakukan.

Agar seluruh aktivitas manusia dapat bernilai ibadah di mata Allah SWT seperti dalam bidang sosbud, pendidikan, ekonomi, dan politik, maka haruslah semua aktivitas tersebut diatur dengan aturan-aturan dari Allah SWT bukan dengan menggunakan aturan buatan manusia.

Maka dari itu, perjuangan kita saat ini adalah berjuang untuk bisa meraih kemerdekaan hakiki dengan dapat menerapkan aturannya dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga kita dapat menjadikan negeri ini baldatun toyyibatun ghafur (negeri yang penuh dengan berkah dan ampunan Allah SWT).

Caranya tiada lain yakni kita sebagai umat Islam harus saling membantu dan menguatkan dalam kebenaran, bukan malah menjadi penjegal atau penghalang kebenaran.

Selain itu, kita harus siap dan ikhlas dalam mengorbankan apa pun yang ada pada diri kita untuk memperjuangkan Islam ini agar tegak di muka bumi menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis : Afrizal Refo, MA
• Sekretaris Dewan Da’wah Kota Langsa
• Dosen PAI IAIN Langsa

Jakarta- Kerja nyata Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) Dewan Dakwah selama pandemi Covid-19 kembali menuai penghargaan. Kali ini datang dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Menteri PPPA memberikan LAZNAS Dewan Dakwah penghargaan atas upaya di bidang perlindungan anak khususnya bagi yatim, piatu dan yatim piatu korban Covid-19.

“Alhamdulillah, saat ini badai covid telah berangsur meninggalkan negara tercinta. Namun pandemi banyak meninggalkan duka yang mendalam bagi banyak anak yang kehilangan sebagian dari anggota keluarganya,” kata Direktur LAZNAS Dewan Dakwah, Tjaturadi Waluyo Selasa (02/08/22).

Laznas Dewan Dakwah, lanjutnya, senantiasa berusaha menjembatani berbagai pihak untuk saling membantu, menguatkan keluarga terutama anak-anak yang ditinggalkan orang tua dan menjadi yatim karena efek Covid 19.

“Dengan dukungan pemerintah terutama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, LAZNAS Dewan Dakwah bersama dengan lembaga zakat seluruh Indonesia bertekad untuk memberikan pendampingan, pembinaan dan penguatan anak- anak yatim, piatu dan yatim piatu korban covid 19,” pungkas Tjatur. [mediadakwah]

Afrizal Refo, MA

Bulan Muharram awalnya dikenal sebagai bulan suci dan dimuliakan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada bulan Muharram ini, masyarakat dilarang melakukan hal-hal yang tidak baik dan menyakiti orang lain, seperti peperangan dan bentuk perkelahian lainnya.

Kemudian, Islam datang dan semua tradisi umat jahiliyah dihapuskan, termasuk kesepakatan untuk tidak melakukan peperangan pada bulan tersebut

Bulan Muharram sendiri merupakan salah satu dari empat bulan yang mulia dalam kalender Hijriyah selain Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Di bulan-bulan tersebut manusia dilarang menzalimi diri sendiri dan melakukan perbuatan dosa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu. [at Taubah/9:36]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib (lima waktu) adalah shalat malam.“ (HR. Muslim)

Hadits yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan Muharram, bahkan puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya, setelah bulan Ramadhan.

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini :
Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa ‘Asyura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya, dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya beliau bersabda,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu“.

Dosa yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil, karena dosa besar hanya dapat dihapuskan dengan bertaubat.

Dari Abu Qatadah ra. bahwa rasulullah saw bersabda: “Puasa pada hari arafah dapat menghapus dosa selama dua tahun, yaitu tahun yang berlalu dan tahun yang akan datang. dan puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa tahun yang lalu.” (H.R jamaah kecuali Bukhari dan Tirmidzi)

Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengkan dengan puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disampaikan kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).”

Adapun hadits,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

“Berpuasalah pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya“, maka hadits ini lemah sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram.

Sebagian ulama ada yang berpendapat dimakruhkannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya.

Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal 10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ

“Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka“. Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram.

Adapun amalan yang bisa dilakukan dalam bulan Muharram, seperti bulan Dzulhijjah, pada bulan Muharram, umat Islam juga dianjurkan untuk memperbanyak amalan saleh. Tentu saja mengerjakan amalan baik di bulan istimewa akan mendapatkan pahala dan mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Memperbanyak amalan saleh bisa dimulai dengan berzikir, bersedekah, hingga tilawatil quran dan mengamalkannya.

Penulis : Afrizal Refo, MA
• Dosen PAI IAIN Langsa
• Sekretaris Dewan Da’wah Kota Langsa
• Wakil Ketua Parmusi Kota Langsa

Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

Oleh: Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

MUQADDIMAH

Hidup ini terwujud karena kita dihidupkan oleh Allah, hidup ini berlanjut karena diberi fasilitas hidup oleh Allah , hidup ini menjadi kuat karena diberi kekuatan oleh Allah, hidup ini bermanfa’at karena dimanfa’ati oleh Allah dan hidup ini bermartabat karena dimartabati oleh Allah. Semua itu bermuara kearah kesempurnaan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat melalui langkah-langkah penjagaan diri yang juga diperintahkan oleh Allah. Maka siapa saja yang benar-benar menjaga diri dan seluruh keluarganya dari ancaman api neraka tentunya bakal memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat kelak.

Tidak mungkin seseorang itu hidup kalau bukan karena dihidupkan oleh Allah, demikian juga sebaliknya tidak akan mati seseorang kita kalau bukan karena dimatikan oleh Allah. Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. (Fathir: 35 ayat 11)

Bukti lain bahwa Allah yang menghidupkan dan mematikan adalah apa yang tertera dalam Al-Qur’an di bawah ini: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (Al-Mukminun: 23 ayat 12). Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (Al-Mukminun: 23 ayat 15). Jadi tidak dapat dibantah dengan akal sehat dalam perspektif tauhid kalau manusia dihidupkan dan dimatikan oleh Allah sebagai satu-satunya Tuhan di dunia ini.

MENJAGA DIRI DAN KELUARGA

Pengertian menjaga diri dan keluarga yang kita maksudkan di sini adalah beramar ma’ruf bernahi mungkar, berbuat kebajikan dan meninggalkan kejahatan baik untuk diri sendiri maupun untuk tanggungannya seperti anak, cucu, orang tua dan lainnya, dengan demikian kita sudah mengikuti perintah Allah yang telah menghidupkan dan memberi hidup dan kehidupan kepada kita. Allah SWT berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.  (Attahrim: 66 ayat 6)

Diriwayatkan oleh Sufyan As Sauri bahwa maksud jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka adalah didiklah dan ajarilah anak-anak dan keluargamu. Sementara Ali ibnu Abu Talhah memaknainya: amalkan keta’atan kepada Allah dan hindarilah perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah, serta perintahkan kepada keluargamu untuk berzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kamu dari api neraka. Sedangkan menurut Mujahid: bertaqwalah kamu kepada Allah dan perintahkan keluargamu untuk bertaqwa kepada Allah. Qatadah pula mengatakan:  engkau perintahkan keluarga untuk ta’at kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadap Allah.

Terkait dengan menjaga keluarga wabil khusus menjaga anak, Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmuzi bersabda murush shabiya bish shalah iza balagha sab’a sinin, fa iza balagha ‘asyra sinin fadhribuhu ‘alaiha yang artinya: Perintahkan anakmu untuk melaksanakan shalat manakala berusia tujuh tahun dan pukul (ajari) dia manakala berumur 10 tahun. Itu merupakan bahagian dari menjaga keluarga dari ancaman api neraka.

Kenapa kita harus menjaga diri dan keluarga dari api neraka? Karena waquwduhannas wal hijarah (bahan bakar dalam neraka nanti manusia dan batu-batuan). Kalau kita tidak menjaga diri dan keluarga agar jauh dari api neraka dalam kehidupan ini dengan beramar ma’ruf bernahi mungkar maka akhir hidup kita dan anak cucu kita bertempat dalam neraka, na’uzubillah. Batu yang dimaksudkan dalam ayat ini menurut Tafsir Ibnu Katsir adalah batu-batu yang disembah oleh manusia selama hidupnya, baik disembah secara langsung dan transparan maupun disembah secara tidak langsung dan dalam bentuk kiasan. Firman Allah dalam surah Al-Anbiyak: 21 ayat 98: Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya.

Kenapa kita harus menjaga diri dan keluarga dan harus takut kepada neraka, selain api neraka sangat panas sekali, ‘alaiha malaikatun ghiladzun syidadun la ya’shunallaha ma amarahum wa yaf’aluna ma tukmarun. Di dalam neraka itu ada malaikat-malaikat yang kasar lagi keras yang tidak pernah melawan dan berbuat salah kepada Allah dan selalu menjalankan semua perintah Allah. Tentunya bagi orang-orang yang tidak menjaga diri dan keluarga dari api neraka ketika mati masuk neraka di sana akan didatangi oleh para malaikat yang kasar lagi keras tersebut untuk menyiksanya. Karena itulah kenapa ummat Islam harus menjaga diri dari ancaman api neraka.

Allah telah memperingatkan hambaNya tentang neraka yang menyala-nyala dan gambarkan siapa yang bakal menjadi penghuni neraka tersebut.        Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Al-Lail: 92 ayat 14-16. Yang dimaksud dengan mendustakan kebenaran dalam ayat ini adalah mereka sudah tau Islam dan seluruh ajarannya benar tetapi mereka merendah-rendahkan Islam dan ajarannya, mereka memburukkannya, mereka menyerangnya, mereka tidak mengikuti kebenaran yang datangnya dari Allah, untuk hari ini kaum semisal itu ada dalam kelompok Separatisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis), nasionalis dan komunis yang berkatepe Islam tetapi mendustakan kebenaran Islam.

Mereka yang berpaling dari iman adalah orang-orang yang tidak mau beriman kepada Allah (kafir), orang-orang yang sudah beriman kepada Allah tetapi murtad dan orang-orang yang mengaku beriman tetapi dalam amalah hariannya mereka musyrik, munafik, fasik, zindiq dan semisalnya. Merekalah orang-orang yang paling celaka dalam gambaran ayat Allah tersebut dan mereka pula yang menjadi santapan api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusi-manusia seperti itu dan batu-batu yang mereka sembah dan persembahkan kepada anak cucu seperti batu bangunan rumah, kedai, toko yang melalaikan mereka menyembah dan beriman kepada Allah yang disebut dalam Al-Qur’an waquwduhannasu wal hijarah.

MENJAGA UMMAH

Surat at-Tahrim ayat enam tersebut mengindikasikan kita perintah menjaga diri dan keluarga yang dalam bahasa Al-Qur’an tersebut denga kata wa ahliykum nara. Kata ahli di sini bukan hanya mengindikasikan arti keluarga sedarah saja sebagaimana ramai dipahami orang selama ini, ia juga mengandung arti keluarga seiman dan seagama. Jadi kewajiban menjaga ahli itu termasuklah ahli yang satu ‘aqidah yakni ‘aqidah Islamiyah, selaras dengan hadis Nabi al muslim akhul muslim dan firman Allah surah al-Hujurat (49) ayat 10; Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Dengan demikian maka tanggung jawab seorang muslim dalam kategori umum dan tanggung jawab seorang juru dakwah dalam lingkupan khusus bukan saja menjaga diri dan keluarga sedarah dari ancaman api neraka melainkan mereka juga bertanggung jawab untuk menjaga dan mengawal diri sendir, anak cucu, suami isteri plus orang kampung, bawahannya, muridnya, pekerjanya dan ummat Islam semuanya yang hidup bersamanya maupun yang berjauhan hidup dengannya. Itulah hak dan tanggung jawab seorang muslim yang Allah perintahkan dalam hidup[ dan kehidupan.

Tidak akan sempurna Islam kalau ummat Islam hanya hidup nafi-nafsi dengan menjaga dan menyelamatkan diri sendiri dan anak cucu serta suami isterinya saja. Karena Nabi sudah mengatakan kehidupan ummat Islam ini kal jasadul wahid seperti tubuh yang satu yang apabila mulut enak makan sesuatu makanan maka yang kenyang bukan mulut tetapi perut, ketika usaha tangan menghasilkan banyak duit maka yang senang gembira bukan tangan melainkan kepala dan pikiran. Demikian juga sebaliknya, ketika seseorang dioperasi usus buntu maka yang sakit bukan tempat dioperasi bertepatan letak usus buntu saja melainkan tangan juga ikut sakit karena dipasang jarum impus, kepala juga sakit karena memikirkan di mana ambil uang untuk bayar operasi, mulut juga sakit tidak enak makan dan seterusnya.

Demikianlah gambaran perumpamaan bahwa antara seorang muslim dengan muslim lainnya tidak dapat dipisahkan, tidak boleh bercerai berai apalagi berkelahi, bermusuhan, berperang dan semisalnya. Sebagaimana tubuh yang satu ketika satu bagiannya yang senang seluruh tubuh ikut bersenang dan manakala satu bagian tubuh sakit maka seluruh tubuh ikut sakit. Ketika seorang muslim senang semestinya semua muslim harus ikut senang dan manakala seorang muslim susah dan sakit maka semestinya semua muslim juga ikut sakit sehingga seluruh muslim harus bangkit untuk meperbaiki suasana. Begitulah tanggung jawab yang tergambar dalam makna quw anfusakum wa ahliykum nara. Kalau konsep Al-Qur’an itu dapat diamalkan ummat Islam secara komprehensif maka seluruh ummat Islam akan jauh dari ancaman neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu-batu.

Penulis adalah Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry.