Archive for year: 2022

Oleh Prof.Dr. Muhammad Ar, M.Ed

Kita adalah hamba Allah yang sangat dhaif bagaimana memahami scenario Zat Yang Maha Kuasa. Jika kita telusuri jejak sejarah (khusus bagi yang tidak benci sejarah), Jenderal Thariq bin Ziyad, berangkat dari Maroco melintasi selat Iberia yang melintasi Portugal dan Spanyol dan ketika melewati  dua laut yang tidak pernah bercampur airnya (marajal bahrain dalam Al Qur’an), kemudian Jenderal Thariq mermerintahkan  kepada pasukannya untuk membakar semua kapal perang yang bersandar di tepi lau. Selepas itu beliau berucap “Sekarang kalau mau pulang anda akan  mati karena kendaraan perang telah  dibumihanguskan semuanya, anda akan menjadi hantaman ombak, dan santapan binatang laut yang menyeramkan,  dan di depan anda adalah gunung dan dibalik gunung itu ada pasukan  musuh yang akan menyambut Anda semua dengan senjata mereka, maka pilihlah sekarang  apakah anda ingin mati konyol di hantam ombak dan binatang laut, atau mau mati terhormat di medan dakwah dalam menyebarkan risalah Islam,  mengibarkan  bendera tauhid atau agama tauhid kepada penduduk Andalus”?

 

Akibat perjuangan Jenderal Thariq bin Ziyad dan pasukan Islam, maka 7 abad Andalus (Spanyol) diterapkan syariat Islam, digerek bendera tauhid,  didengung-dengungkan azan lima waktu dan tidak ada lagi paganisme di Eropa, semua peradaban Arab Islam sudah menjadi bahagian dari  kehidupan bangsa di Andalus. Andalus dihias bak dunia moderen masa kini dan ini tidak dinafikan oleh setiap ahli sejarah yang normal walau ia sejarawan identitas.

 

Namun, akhirnya karena umat Islam terkena penyakit keduniaan, sehingga sangat mencintai dunia, tahta, kemewahan, dan saling memperkuat posisinya sebagai penguasa  dengan menggandeng bersama orang-orang yang tidak seakidah untuk mempertahankan kedudukan dan tahta. Berpunca dari sini, tanpa disadari mereka saling memusuhi sesama kaum muslimin dan bersumpah setia dengan raja-raja Kristen di negara tetangganya dalam rangka membasmi lawan lawan politiknya, dan hal hal yang mengganjal kekuasaannya walau mereka sesama muslim. Oleh karena itu,  tentu saja  mereka menawarkan beberapa permintaan atau bargaining  sehingga dengan demikian kekuatan muslim berada dalam genggaman raja raja kafir,  akhirnya sesuai peringatan Allah dalam Al-Baqarah ayat 120; yang artinya  yahudisasi dan nasranisasi tidak akan pernah berakhir sehingga kamu ikuti agama mereka.

 

Akhirnya kaum muslimin di seluruh Andalusia harus memilih dua pilihan yaitu, ” masuk agama Kristen atau dibunuh?” Karena kebanyakan kaum muslimin terkena penyakit cinta dunia dan takut mati, maka segolongan   mereka menjadi Nasrani, dan sebagian yang penuh keimanan dan ketaqwaan siap gugur demi membela agama Allah hingga titik darah yang penghabisan. Jadi, dengan bahasa kasar,  kaum muslim diusir secara membabi buta dari Andalus, hampir sama perlakuannya seperti  di zaman moderen ini yang dialami  umat Islam Uighur (Xinjiang) Komunis  Cina,  Muslim Rohingya oleh Pemerintah Budha  Myanmar, dan Muslim Palestina, oleh zionis Israel. Namun dalam piala dunia Qatar 2023 Portugal dan Spanyol diusir secara terhormat dari Lapangan Sepak bola, sehingga kilas balik ini menjadikan ini momen  terbaik bagi keturunan keturunan Islam di negara tersebut mengundang kembali Islam ke daratan Eropa yang telah ditinggalkan oleh moyang-moyang mereka.

Raja Qatar bersama para rakyatnya yang secara totalitas  adalah muslim, telah benar -benar memperlihatkan kemuslimannya yang hampir tidak dapat ditemukan ketimpangan dan kekurangan sedikitpun oleh para kaum anti  identitas selama ini. Bagaimana tidak, sehabis sepak bola selesai, mereka  semua memberikan kue dan minuman halal secara gratis, apakah hal seperti ini ada dilakukan di negara-negara Barat? Mungkin yang lebih menarik lagi  adalah umat Islam Qatar  menyuguhkan makanan dan minuman kepada manusia yang memiliki identitas yaitu, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, Confusion, Zoroaster, Manusia, Yahudi dan Sebagainya seperti yang punya identitas agama—communism.

Masihkah Islam diberikan  label terrorist, fun?

Banda Aceh — Dewan Dakwah Aceh bersama dengan Laznaz Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia menyalurkan bantuan untuk masyarakat yang terdampak banjir di Aceh Tamiang, Langsa dan Aceh Timur, Kamis (10/11/2022).

Bantuan berupa sembako seperti Beras, minyak, Telur, mie instan ini berasal dari pengurus dewan dakwah Aceh, muksinin, donatur dan simpatisan Dewan Dakwah serta para Ibu Pengajian Subuh Masjid Baitusshalihin Ulee Kareng, Banda Aceh.

Ketua Dewan Dakwah Aceh Prof. Dr. Muhammad AR, M.Ed melalui Sekretaris Umum Zulfikar, SE.,M.Si menyampaikan apresiasi atas apa yang telah dilakukan oleh Dewan Da’wah Aceh sebagai bentuk kepedulian dan berkhitmad kepada masyarakat.

“Kami mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Dewan Da’wah Aceh, ini merupakan bentuk kepedulian sosial dan berkhidmat untuk masyarakat, walaupun tidak seberapa bantuan yang diberikan namun bagaimana membangun kebersamaan senasib dan sepenanggungan seperti dalam ajaran Islam,” kata Zulfikar

Zulfikar melanjutkan, pihaknya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyaluran bantuan ini.

“Terimakasih untuk Pengurus Dewan Dakwah Kota Langsa, Aceh Timur dan Aceh Tamiang yang telah membantu penyaluran bantuan ini,” ujar Zulfikar

Zulfikar menerangkan, di Aceh Tamiang paket yang disalurkan berjumlah 80 paket sembako, 20 paket alat kebersihan.
Untuk Kota Langsa, paket yang disalurkan berjumlah 33 Paket sembako, sementara di Aceh Timur jumlah paket yang disalurkan berjumlah 45 paket.

“Di Aceh Tamiang ada lima desa, yakni Desa Lubuk batil, Desa Balai, Mesjid Sunyai iyu, Desa Lambung blang dan Desa Kp Raja, sementara di langsa ada dua desa, yakni Desa Sidorejo dan desa Sidodadi,” terang Zulfikar

Banjir kali ini merupakan banjir terparah yang terjadi disejumlah daerah di Aceh.

“Kalau kita lihat ini banjir terparah yang terjadi dalam kurun waktu 29 tahun terakhir.” tutup Zulfikar

Banda Aceh — Aceh sekarang sedang menerima bala dari Allah yaitu banjir.

Sebenarnya hujan itu Rahmat jika hujan itu turun cukup hanya untuk tumbuh-tumbuhan dan binatang ternak.

Inilah yang membuat Rasulullah Saw kadang berkerut kening ketika melihat gumpalan asap hitam di langit. Karena mengira bahwa hujan itu bukan hanya sekedar rahmat, tetapi bisa pula menjadi malapetaka bagi semua, khususnya penduduk fakir dan miskin yang tidak tahu kemana harus lari ketika diterjang banjir seketika.

Memang kalau kita kembali ke Al-Quran, ayat 41 Ar Room, bahwa hampir semua bala bencana yang terjadi di laut dan di darat mesti ada keterlibatan manusia.

Bahasa lugasnya adalah saham manusia ini terbanyak dalam hal perusakan bumi.

Hutan digunduli, padahal itu penyimpan air dan paru paru dunia, gunung diratakan padahal itu pasak bumi menurut Al Quran, ayat 7 An Naba’.

Namun yang paling menyedihkan para pelaku perusak bumi tersebut hampir semuanya orang orang yang sama sekali tidak mengerti akan kehidupan manusia lain dan makhluk lain.

Mereka hanya memikirkan perutnya saja, keluarganya saja, kroninya saja, dan kesenangannya saja. sedangkan orang lain biar mampus semuanya. Inilah drakula penghisap darah. Manusia rakus, tamak. loba, dan sangat uncivilized.

Yang paling menyakitkan lagi para perusak bumi itu adalah kebanyakan nya orang asing (bukan pribumi) tetapi mendapat legalitas pengendali negara.

Kalau bisa dikatakan bahwa memang bumi ini di republik Indonesia namun pemiliknya bangsa asing. Bangsa ini adalah menjadi babu di negeri sendiri.

Para tauke sawit dan juragan kayu, pemilik tambang atau penambang, juragan katrol di laut, pebisnis haram (pemilik judi online), pemasuk sabu sabu aman di hotel hotel mewah dan condominium mewah yang tidak tersentuh banjir dan bencana.

Sampai kapan bangsa ini mengenal dirinya sendiri dan sampai kapan negeri ini mandiri dan bebas ketergantungan dengan negeri-negeri penjajah.

Orang Singapura hidup dengan uang rakyat Indonesia. yang datang kesana 500 orang perhari dan bank bank Singapura juga banyak penyimpan nya dari Indonesia.

Jika mereka Indonesia dan Malaysia memutuskan hubungan dengan Singapura, mungkin dua hari mereka akan gelap.

Jangankan untuk menambah penduduk, orang mati saja tidak tau mau kemana dikuburkan.

Air minum dan mandi mereka beli dari Johor Baru. Sayuran dari Batam, dll dari Indonesia

Mampukah manusia ini berfikir jernih dan tidak mau menerima grativikasi dan suap dari orang asing?

Ketika ini sudah berlaku dan keadilan sudah berjalan, hukum tajam ke semua lini, bukan tumpul ke atas. Maka Allah akan menurunkan Rahmat dan kasih sayang Nya kepada bangsa ini.

Dari hamba yang dhaif,
Muhammad AR

Penulis adalah Ketua Dewan Dakwah Aceh

Innalillahi wainnailaihi raji’un.

Keluarga Besar Dewan Dakwah Aceh menyampaikan rasa duka yang mendalam atas berpuang ke rahmatullah salah seorang pengurus wilayah DDA.

Ketua Bidang Luar Negeri PW DDA Periode 2021 – 2026, Ust Ir. Nazar Idris, M.P, pada Selasa, 18 Oktober 2022, sekitar jam 3.40 (waktu Indonesia), di Klang, Malaysia.

Kami menjadi saksi hidup, Yang Bersangkutan adalah orang baik dan sholeh, yang senantiasa bersemangat dalam dakwah.

Semoga Allah merahmati beliau, menerima segala amal baiknya dan mengampuni segala dosa dosanya.

Semoga beliau meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan Husnul Khatimah, insya Allah.

“Ya Allah ampunilah saudara kami Tgk Nazar Idris dan terimalah semua amal baik beliau serta pengorbanannya untuk dakwah dan kami mohon ya Rabb agar beliau ditempatkan ke dalam sorga Mu bersama orang orang shalih dan para syuhada,” tulis Ketua Dewan Dakwah Aceh, Prof. Muhammad AR, Selasa (18/10/2022).

Ucapan duka dan do’a terus mengalir, baik dari sesama jama’ah Dewan Dakwah maupun dari masyarakat umum.

Jenazah akan dikebumikan di Desa Dayah Kleng Meureudu. Pidie Jaya.

Langsa — Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Kota Langsa, Prof. Dr. Iskandar Budiman, MCL dikukuhkan sebagai Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Sabtu (15/10/2022).

Pengukuhan Guru Besar tersebut menjelang puncak pelaksanaan Milad ke-42 IAIN Langsa, di Aula Laboratorium Terpadu kampus setempat.

Prof. Dr. Iskandar Budiman, MCL bersama rekannya Prof. Dr. Ismail Fahmi Arrauf Nasution, M.A dikukuhkan langsung oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI Prof. Dr. Nizar Ali, M.Ag.

Prof. Dr. Iskandar Budiman, MCL adalah Guru Besar dalam bidang Fiqh Muamalah sementara Prof. Dr. Ismail Fahmi Arrauf Nasution, M.A merupakan Guru Besar dalam bidang Ilmu Pemikiran Islam.

Prof. Iskandar dalam orasi ilmiahnya mengangkat tema tentang “Legalitas Akad dalam Hukum Perjanjian”.

Sedangkan Prof. Ismail dalam orasi ilmiahnya mengusung tema “Transformasi Pemikiran Islam untuk Moderasi dan Modernisasi Indonesia”.

Sementara itu, Sekjen Kemenag RI Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.Ag, mengatakan, gelar Profesor ini dapat diraih oleh siapa saja, apalagi kemenag telah melahirkan regulasi yang memangkas birokrasi dalam penilaian PAK profesor bagi dosen rumpun ilmu agama di lingkungan PTKI.

“Hal ini akan mempercepat lahirnya profesor-profesor muda,” kata Prof Nizar

Saat ini, lanjut Prof Nizar, Kemenag telah menetapkan sebanyak 78 Profesor rumpun ilmu agama hingga Oktober 2022 ini.

Prof Nizar berharap, agar kedua Guru Besar yang dikukuhkan agar mampu berkarya hingga level nasional dan internasional, tetap bersikap low profile.

Selain itu juga harus mampu memberi inspirasi kepada para sarjana dengan tetap mengajar di tingkat Strata Satu (S-1).

Rumpet — Anggota DPR Aceh, Tgk H Irawan Abdullah, SAg mengisi pengajian subuh di Masjid Al Kawari, Kompleks Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kec. Krueng Barona Jaya, Kab. Aceh Besar, Jumat (14/10/2022).

Dalam pengajian selama 40 menit dan diikuti oleh para pengurus Dewan Dakwah Aceh, mahasiswa ADI Aceh, muallaf binaan Dewan Dakwah Aceh, dan jamaah umum lainnya, anggota DPR Aceh daerah pemilihan Aceh Besar, Banda Aceh dan Sabang itu menyampaikan sebuah kutipan dari Imam Ash Syahid Hassan Al Banna dalam Risalatul Ta’lim, yaitu “kami adalah dai sebelum segala sesuatu atau sebelum segala sesuatu, kita adalah dai”.

“Berangkat dari kutipan tersebut, sehingga tugas-tugas dai dan dakwah itu sebenarnya telah melekat pada setiap orang. Dan ini merupakan wujud kalau seandainya kita sebagai seorang muslim yang taat ingin mendapatkan pahala yang banyak dari Allah SWT, maka harus melekat pada diri pribadi bahwa kita ini adalah dai,” kata Tgk Irawan.

Ia menjelaskan bahwasanya tugas sebagai dai itu sudah melekat pada diri manusia sebelum ianya mempunyai jabatan-jabatan apapun lainnya. Sehingga peluang sebagai dai itu, ada pada setiap orang dengan amanah yang diberikan dan tinggal lagi apakah orang tersebut menjalankan dan melaksanakan tugas sebagai dai atau tidak.

“Jadi tugas sebagai dai itu tidaklah terbatas nanti ketika sudah menjadi anggota dewan, anggota parlemen, menjadi seorang pejabat atau dosen, baru akan berdakwah,” kata Tgk Irawan.

Wakil Ketua Fraksi PKS itu menekankan, yang harus digarisbawahi bahwa kewajiban melaksanakan dakwah itu lahir pada setiap manusia sebagai orang yang beriman kepada Allah. Hal tersebut sesuai dengan Surat Ali ‘Imran Ayat 104, yaitu Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.

“Surat Ali ‘Imran Ayat 104 ini menunjukkan bahwa tidak semua orang yang lahir didunia ini untuk mengemban misi dakwah dalam kehidupannya. Hanya sebagian saja diantara kita,” kata Tgk Irawan.

Ia mencontohkan, misalnya ada yang berpofesi sebagai manajer klub sepakbola atau presiden dalam satu cabang olahraga. Seandainya mengemban misi dakwah maka dalam olahraga pun harus memasukkan nilai-nilai bagaimana dakwah dalam berolahraga walaupun tidak sempurna dan tidak maksimal seluruhnya.

Selain itu, lanjut Tgk Irawan, harus digarisbawahi juga bahwa asas utama daripada dakwah itu mengajak kepada persatuan dan bukan memecah belah ummat. Dan ini menjadi penting sehingga tugas dai itu akan melekat kepada kita dan menjadi rahmad bagi semuanya.

“Walaupun terkadang berbicara tiori dan narasi terkesan lebih mudah daripada praktik termasuk juga dalam tugas dakwah. Karena tugas-tugas dakwah itu juga mempunyai tantangan dan hambatan dimana prosesnya itu membutuhkan kesabaran dan penguatan lainnya. Semoga tugas kita sebagai dai akan dimudahkan,” tegas Tgk Irawan Abdullah.

Sementara itu Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh mengatakan program Shalat Subug Berjamaah dan Kajian Bersama Dewan Dakwah Aceh (SABDA) rutin dilaksanakan pada setiap subuh jumat. Kajian tersebut diisi oleh berbagai narasumber dari semua lapisan yang kompeten dibidangnya dengan topik yang berbeda-beda sesuai kondisi kekinian.

“Alhamdulillah, program dakwah SABDA ini sudah berlangsung selama dua tahun. Kita berharap akan terus berjalan sehingga menjadi motivasi bagi kita untuk senantiasa berdakwah di jalanNya,” pungkas Prof Muhammad AR.

Rumpet — Bupati Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, H Satono S Sos MH, isi kuliah umum di Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kec. Krueng Barona Jaya, Kab. Aceh Besar, Selasa (11/10/2022).

Kuliah umum dengan judul “Dakwah Melalui Jalur Politik” yang berlangsung selama satu jam lebih itu diikuti oleh pengurus Dewan Dakwah Aceh, civitas akademika Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh, mahasiswa-mahasiswi ADI Aceh dan undangan lainnya.

“Aceh dengan Sambas layaknya seperti saudara kandung yang dari sisi usia tentu lebih tua Aceh. Penduduk Sambas 80 % diantaranya beragama muslim dan Sambas juga digelar dengan Serambi Mekkah,” kata Satono saat mengawali kuliah umumnya.

Ia mengatakan di tengah krisis global dan juga krisis pangan, haruslah bersyukur karena hidup di negara Indonesia, khususnya Aceh dan Sambas, di mana alamnya yang subur dan cenderung aman dibanding wilayah yang minoritas muslim.

Menurutnya kondisi tersebut dikarenakan gerakan amar makruf dan nahi mungkar yang selalu berjalan termasuk dalam bidang politik. Karena dakwah dan politik merupakan satu dari dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dan inilah yang diamanatkan oleh pendiri Dewan Dakwah, Allahyarham Mohd Natsir.

“Politik dalam Islam merupakan segala aktivitas dalam mengelola persoalan publik atau masyarakat sesuai dengan syariat Islam. Bagi seorang muslim, tindakan politik itu baik apabila tindakan tersebut bermanfaat bagi seluruh rakyat sesuai dengan rahmatan lil ‘alamin,” kata Satono.

Bupati Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, H Satono S Sos MH, saat isi kuliah umum di Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kec. Krueng Barona Jaya, Kab. Aceh Besar, Selasa (11/10/2022).

Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohd Natsir angkatan pertama ini menambahkan estafet dakwah hendaknya dilanjutkan oleh mahasiswa ADI yang saat ini sedang digembleng dan dididik di Dewan Dakwah seluruh Indonesia termasuk juga di Aceh. Meskipun Aceh terletak di wilayah ujung Indonesia akan tetapi dalam penguasaan ilmu pengetahuan tetap harus didepan.

“Saya memiliki pengalaman pribadi menuntut ilmu di tempat sepi dan terpencil. Ternyata tempat bukan menjadi ukuran tetapi kualitas kepribadian dan daya saing yang perlu diutamakan,” ungkapnya

Sementara itu, Ketua Dewan Dakwah Aceh, Prof Dr Muhammad AR MEd menyambut baik dan mengapresiasi kunjungan Bupati Sambas Kalimantan Barat, yang juga kader dai Dewan Dakwah alumni STID Mohd Nasir angkatan pertama ke Markaz Dewan Dakwah Aceh.

“Mudah mudahan kunjungan dan kehadiran Bapak Satono dapat memotivasi dan menginspirasi mahasiwa ADI Aceh agar lebih giat untuk belajar dan memiliki militansi dakwah di tengah-tengah masyarakat,” pungkas Prof Muhammad AR.

Ketua Dewan Dakwah Aceh, Prof Dr Muhammad AR MEd menyerahkan cendera mata kepada Bupati Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, H Satono S Sos MH, usai isi kuliah umum di Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kec. Krueng Barona Jaya, Kab. Aceh Besar, Selasa (11/10/2022).

Aceh Besar — Sebanyak 26 mahasantri angkatan ke VIII Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Dewan Dakwah Aceh mengikuti tasyakuran dan pengukuhan dalam rangka wisuda tahun akademik 2021/2022 di kampus ADI komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kec. Krueng Barona Jaya, Kab. Aceh Besar, Sabtu (27/8/2022).

Prosesi pengukuhan dilakukan oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof Dr Muhammad AR, MEd bersama Sekretaris Dewan Dakwah Aceh, Zulfikar SE MSi. Didampingi Direktur ADI Aceh, Dr Abizal Muhammmad Yati, Lc MA dan Sekretaris ADI, Hanisullah, MPd beserta para Wakil Direktur ADI lainnya.

“Sebanyak 26 mahasantri yang di wisuda dan dikukuhkan itu terdiri atas 15 laki-laki dan 11 perempuan. Mareka berasal dari Subulussalam sebanyak 7 wisudawan, Aceh Singkil 12 wisudawan, Aceh Selatan 2 wisudawan, Aceh Barat Daya 1 wisudawan, Bireun 1 wisudawan, Bener Meriah 1 wisudawan, Aceh Timur 1 wisudawan, dan Dairi Sumatra Utara 1 wisudawan,” kata Direktur ADI Aceh Dr Abizal Muhammad Yati lc, MA.

Abizal menjelaskan seluruh mahasantri tersebut usai diwisuda dan dikukuhkan akan melanjutkan kuliah S-1 di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir di Jakarta. Mareka direncanakan berangkat pada tanggal 3 September 2022.

“Kita berharap mereka dapat menyelesaikan studinya tepat waktu dan menjadi kader da’i/daiyah yang siap menjalankan misi dakwah di kampung mereka masing-masing di wilayah perbatasan dan pedalaman Aceh,” kata Abizal.

Sementara itu Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof Dr Muhammad AR, M.Ed menyampaikan bahwa saat ini Aceh kekurangan tenaga dai yang siap bertugas di pedalaman dan perbatasan Aceh. Juga kekurangan dai yang siap dengan segala tantangan dan resiko.

“Padahal di Aceh banyak Perguruan Tinggi Islam dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun belum mampu melahirkan kader dai Ilallah yang ikhlas dalam menyebarkan misi dakwah Rasulullah di pedalaman dan perbatasan Aceh,” kata Prof Muhammad AR.

Menurutnya saat ini di pedalaman dan perbatasan Aceh sangat dibutuhkan para dai yang bisa mengajarkan ilmu agama, mengajarkan Al-Qur’an, membimbing anak-anak dan generasi muda serta menuntun mereka menuju jalan kebaikan.

“Semoga para kader dakwah yang di tempa ADI Aceh dan STID Mohammad Natsir, akan menjawab tantangan tersebut. Dan mareka akan berada di garda terdepan dalam menjaga akidah ummat di daerah perbatasan dan pedalama Aceh,” jelas Prof Muhammad AR.

Kegiatan tersebut juga diisi dengan orasi ilmiah yang disampaikan oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Zawiyah Cotkala Langsa, Prof Dr Iskandar Budiman, MCL dengan tema “menyiapkan kader dai Ilallah dalam rangka membangun dan selamatkan Indoensia. dengan dakwah”.

Afrizal Refo, MA

Oleh Ust Afrizal Refo, MA

Sejak diberlakukannya SI di Aceh menjadi harapan bagi umat Islam khususnya di Aceh umumnya di Indonesia. Artinya SI itu sendiri sebuah jalan untuk menuntun masyarakat utk bisa melaksanakan agamanya sesuai aturan yg berlaku dlm Alquran dan hadis

SI di Aceh sudah dilaksanakan yaitu tahun 2002 dan tepat pada hari ini tahun 2022 SI sudah berjalan sekitar 20 tahun. SI adalah hadiah terbesar yg diberikan oleh pemerintah pusat kepada Aceh untuk menjalankan SI di Aceh. Kenapa harus Aceh? Untuk menjawab ini ada 3 alasan penting Aceh diberikan SI, pertama Karena Aceh dipandang sejak dari dulu kental akan keislaman nya , apa lagi dilihat adanya sejarah awal masuk Islam yaitu kerajaan Islam samudra pasai dan mulai meluas pada masa Sultan Iskandar muda hingga Kampung Malaka Malaysia bahkan di negeri Campa Kamboja hari ini, kedua diberikan kekhususan karena Aceh mayoritas beragama Islam sekitar 97%, jadi sangat wajar jika diberikan SI.
Adapun alasan ketiga yaitu permintaan yg tertunda yg dijanjikan kpd Tgk. Muhammad Daud Bereueh yg meminta kepada Sukarno agar Aceh dapat menjalankan Si. Atas dasar itulah penulis mencoba untuk memutar sejarah sehingga SI diberikan di Aceh.

Seiring berjalannya waktu SI di Aceh seakan-akan tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap masyarakat Aceh khususnya. Tetapi mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tapi jika dikaji lewat kacamata Syariah Aceh sudah mampu menunjukkan cukup baik pelaksanaan SI di Aceh dibandingkan daerah lain yang semakin hari semakin merebak kemaksiatan dan kemungkaran yang menyeleweng yang seakan-akan para pelaku pelanggar SI tanpa sadar dan sesuka hati melakukan perbuatannya tersebut tanpa ada rasa takut akan janji Allah SWT akan diberikan hukuman bagi orang yang melakukan perbuatannya tersebut.

Timbul pertanyaan mengapa SI di Aceh tidak lebih baik dari sebelumnya. Jawabannya bukan gagal menurut hemat penulis tapi belum maksimal dijalankan SI tersebut. Seakan-akan DSi jalan ditempat Dan tidak melakukan perubahan. Yang perlu kita garis bawahi bahwa yg menjalankan SI itu sendiri bukan dibawah payung DSI tapi seluruh umat Islam di Aceh harus bahu-membahu mendukung agar SI di Aceh tetap eksis berjalan dengan semestinya.

Ini harus ada dukungan dari berbagai pihak mulai dari pemerintah Aceh , DPRA, Polri dan TNI dan seluruh SKPA harus membuat program yang mendukung SI itu di Aceh dapat berjalan . Berbagai upaya telah dilakukan oleh DSI selama ini utk memberikan warna baru bagi terlaksananya proses SI di Aceh. Menurut hemat penulis sebenarnya SI di Aceh bisa berjalan dengan semestinya jika ada tindak andil dari pemerintah Aceh dan juga pemerintah daerah setempat untuk memfasilitasi SI itu berjalan.

Contoh hal kecil yang bisa di lakukan oleh salah satu dinas yaitu Dinas pendidikan dengan membuat kurikulum atau aturan yang membuat aturan ketika sebelum memulai belajar dimulai dengan baca doa dan setiap pendidik harus spakat untuk mengingatkan Peserta didiknya untuk senantiasa Shalat dan melakukan kebaikan. Jika ini disampaikan penulis menyimpulkan bahwa si peserta didik tersebut besar kemungkinan akan lebih baik karena mendapat perhatian dari gurunya.

Contoh lain misal dinas kesehatan juga dikaitkan dengan SI di Aceh bagaimana dalam Islam sngat penting nya menjaga kesehatan sperti tidk membuang smpah sembarangan dan Dinas pertanian juga kaitkkan.dengan pendapatan seseorang maka jika dapat hasil yang maksimal maka keluarkan zakat .
jadi SI itu dapat berjalan dibaantu oleh skpa lainnya untuk menyampaikan bahwa sI itu penting dalam kehidupan.

Begitu juga pemerintah Aceh juga harus sinkronisasi deenggan pemerintah daerah, pemerintah Kabupaten, kecamatan maupun desa. Sehingga apa yang kita harapkan informasi SI tersampaikan kepada kalangan bawah. Sehingga dengan sendirinya SI akan dirasakan oleh Masyarakat itu sendiri. Contoh Yaang pernah dipaparkan oleh pemerintah Aceh seperti Program Magrib mengaji ini tetap bisa dilaksanakan tapi bukan hanya sekedar wacana tapi dibuat dan dipraktekkan dengan menghidupkan mesjid , mushalla maupun rumah2 untuk mengaji dan memberikan himbauan bagi pelaku usaha agar menutup usahanya pada waktu magrib sampai isya hanya 45 menit saja.

Jadi DSI itu ibaratnya adalah sebagai Rumah SI yang berfungsi untuk memonitor bagian mana SI yang perlu disampaikan untuk Cocok di Sampaikan kepda masing-masing Skpa..

Dsi itu bukan utk di lebur tapi untuk diperkuat dan dijaga serta dilestarikan layaknya bagaimana kita menjaga bangsa ini yang sudah 77 tahun merdeka agar anak cucu bisa merasakan kemerdekaan ini begitu juga SI yg telah diberikan harus dijaga benar2 untuk diisi dengan menghidupkan kegiatan bernuansa SI dan tanpa disadari Masyarakat akan merasakan pentingnya SI itu tetap tegak dibumi nanggroe Aceh yang juga harapan satu2nya bagi provinsi lain bahwa Aceh layak di contoh untuk di apresiasi.

Ini bisa terlihat bahwa SI itu penting yaitu kalo kita lihat di daerah perbatasan yang cukup terbatas nya Dai didaerah tersebut sehingga timbul kegelisahan oleh masyarakat disana bagaimana cara menjalankan ibadah dengan baik jadi mereka membutuhkan dai agar bisa membina Mereka dan generasi muda agar tidak tergerus oleh budaya barat akibat begitu cepat berkembang nya globalisasi.

Penulis menemukan benang merah kenapa SI di Aceh tidak berkembang dengan semestinya yaitu ada 5 masalah yaitu pertama seperti ada upaya SI itu hanya dijalankan dibawah DSI tanpa didukung oleh pemerintah Aceh, DPRA dan lainnya secara praktek, kedua kurangnya pengawasan dari pemerintah atau lembaga yang ditunjuk, ketiga belum smpainya informasi kepada masyarakat tentang pentingnya SI dijalankan, keempat kurikulum pendidikan yang haanya membatasi penyampaian SI itu sendiri dan kelima kurangnya gebrakan untuk mewujudkan SI itu bisa tegak di Aceh.

Memang berat untuk mewujudkan itu semuanya tapi Allah tidak menilai hasil yang akan kita lakukan tapi bagaimana proses nya sudah dilaksanakan. Itu berawal bagaimana kesungguhan bagi kita untuk melakukan perubahan demi tegaknya SI di Aceh. Kita semuanya akaan diminta pertanggungjawaban sebagai pemimpin apa yang kamu lakukan ketika kamu diberi wewenang padahal kamu dapat melakukannya.

Adapun solusi yang ditawarkan penulis agar SI itu bisa berjalan dengan maksimal yaitu seluruh pemerintah daerah, TNI dan polri, Dpra , MAA, M.PD, SKPA, Pemerintah daerah dan bekerja sama sama untuk menjalankan SI itu menurut bidangnya masing-masing sehingga tidak ada pengkotak-kotakan ini adalah tugas DSI yang menjalankan.

Jadi semua itu cita2 dan harapan umat Islam di Aceh agar SI itu benar-benar bisa dijalankan dengan semestinya.

Penulis adalah Pemerhati Syariat Islam.
Sekjen Dewan Da’wah Kota Langsa

Oleh Dr. Tgk Hasanuddin Yusuf Adan

(Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh)

 

BACGROUND

Embrio bayi syari’at Islam di Aceh berbenih semenjak disahkannya Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Lalu diperkuat dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Ketika terjadi perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI) 15 Agustus 2005 lahir lagi Undang-undang RI. Nomor 11 Tahun 2006 tengtang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai amanah dari MoU Helsinki. Ketika UUPA disahkan maka UU.RI. No. 18 tidak berlaku lagi.

Serimonial deklarasi dan pembukaan berlakunya syari’at Islam di Aceh secara resmi dideklarasikan pada tahun 2002 yang dimeriahkan oleh kedatangan beberapa orang menteri negara plus ketua Mahkamah Agung ke Aceh di tahun baru Hijriah hari Jum’at 1 Muharram 1423 H/15 Maret 2022. Tahun 2003 masa pemerintahan gubernur Abdullah Puteh dengan Prof. Alyasak Abubakar sebagai Kepala Dinas Syari’at Islam disahkan tiga qanun paling awal di Aceh: qanun  no. 12 tentang minum khamar. qanun nomor 13 tentang maisir dan qanun nomor 14 tentang khalwat.

Pada waktu itu para alim ulama dan pembesar Aceh sepakat untuk menerapkan syari’at Islam di Aceh secara perlahan, muslihat, lembut, bersahaja namun pasti. Untuk itulah dimulai dari tiga jarimah dalam tiga qanun tersebut, yang satu jarimah hudud dan dua lainnya masuk wilayah jarimah ta’zir. Semua itu dilakukan untuk menjaga perasaan dan kemuslihatan Aceh agar secara perlahan bangsa Islam di Aceh menyatu dengan syari’ah. Hari ini amal baik para orang tua dahulu sudah ada hasilnya sehingga masyarakat sendiri yang meminta untuk diperluas wilayah implementasi syari’ah di Aceh. Maka dalam masa pemerintahan gubernur Zaini Abdullah (Abu Doto) disahkanlah qanun Aceh nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat dan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

10 poin jarimah yang tertera dalam qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 adalah: Khamar;  Maisir;  khalwat; Ikhtilath; Zina; Pelecehan seksual; Pemerkosaan; Qadzaf; Liwath; dan Musahaqah. Semua itu sudah berlaku dan berjalan di Aceh dan sudah terjadi panishment (‘uqubah) terhadap pelanggar qanun tersebut. Ini menunjukkan implementasi syari’at Islam di Aceh tidak gagal, hanya berjalan secara perlahan dan sedikit lambat dikarenakan para pemimpin Aceh mulai dari Wali Nanggroe, gubernur, bupati, wali kota serta para kepala dinas, kepala badan dan kepala biro belum menyatu dan belum memiliki kapasitas syari’ah dalam tubuh badannya. Jadi kalau dikatakan syari’at Islam di Aceh telah gagal salah dan tidak benar, buktinya ia masih berjalan dan ada pemberlakuan hukuman.

 

IMPLEMENTASI SYARI’AT ISLAM DI ACEH

Berlakunya syari’at Islam di Aceh merupakan efek dari pertempuran GAM terhadap RI yang menelan korban tak terhitungkan. Sebelum GAM menuntut kemerdekaan Aceh dari RI syari’at Islam tidak pernah diwujudkan di Aceh oleh RI, malah pasca damai gerakan DI/TII antara Aceh dengan RI tahun 1962, Aceh tertipu dan ditipu oleh RI dengan memberikan gelar Daerah Istimewa terhadap Aceh dalam bidang agama, bidang Adat istisadat dan bidang pendidikan namun liciknya RI tidak pernah memberikan undang-undang seperti hari ini sehingga Aceh ibarat orang menerima check kosong dari RI yang ketika mau narik di bank uangnya tidak ada. Tertipuuuuu.

Ketika RI kewalahan memadamkan GAM maka RI menawarkan segala macam untuk Aceh selain merdeka, tatkala itulah pihak ketiga Aceh selain pihak GAM dan RI berinisiasi untuk melempar kardus syari’at Islam sebagai peredam konflik yang berkepanjangan. Upaya tersebut terkoneksi dengan bencana gempa dan tsunami besar yang melanda Aceh sehingga dua pihak yang bermusuhan tersebut yang dahulu menutup pintu perundingan bersedia berunding untuk mencari solusi perdamaian di Aceh. Dari situlah lahir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang menuntut untuk lahirnya UUPA.

Dengan UUPA tersebutlah implementasi syari’at Islam di Aceh semakin transparan dan absolut sehingga bangsa Islam di Aceh merasa senang dan gembira walaupun para penguasa yang terkena penyakit sepilis sedikit linglung, ibu-ibu aktifis gender mulai muram karena takut dengan berlaku syari’at Islam di Aceh terbuka peluang suami-suaminya akan berpoligami. Namun semua itu terjawab oleh zaman yang berbicara sehingga hari ini bangsa Islam Aceh sangat menyatu dengan implementasi syari’at Islam di Aceh dan syari’at Islam di Aceh tidak gagal dengan kandungan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 berjalan lancar dan para pelanggarnya seperti penjudi, peliwath, pengkhalwat, pezina dan lainnya dihukum cambuk sesuai kandungan qanun, itu terjadi sampai tahun 2022 ini.

 

MASIH JALAN TAPI LAMBAN

Implementasi syari’at Islam di Aceh berjalan dengan baik tetapi lamban, ini bukan berarti gagal, tetapi lamban. Kalau ada orang yang mengatakan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh telah gagal, itu orang tidak mengikuti perjalanan syari’at Islam di Aceh atau tidak paham tentang hukum Islam yang sedang berlaku di Aceh karena bukan bidang yang ditelusurinya atau ia paham tetapi tidak senang dengan implementasi syari’at Islam di Aceh. Kalau itu yang terjadi maka itu orang sama seperti pemain bola yang mencetak goal kegawang sendiri, kalau ini yang terjadi maka bahaya besar untuk implementasi syari’at Islam di Aceh karena orang Aceh sendiri tidak mengerti pemberlakuan syari’ah di Aceh.

Efeknya media anti syari’ah mulai merebus isu tersebut untuk memojok pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Merebus itu beda dengan menggoreng, kalau menggoreng panasnya cepat berlalu tetapi kalau merebus panasnya lambat berakhir karena ada kuwahnya yang mempertahankan panas seperti beda mi goreng dengan mi rebus. Karenanya seorang Aceh yang punya jabatan apalagi jabatannya masih baru mesti berhati-hati dalam menyampaikan informasi dan statement di dalam forum-forum tertentu, efeknya bisa menjerat diri sendiri, sebaiknya bicara apa yang ada dalam kapasitas dirinya sebagai seorang ilmuan agar tidak gagal paham.

Pertanyaan hari ini adalah kenapa pelaksanaan syari’at Islam di Aceh berjalan lamban? Jawabannya ada pada pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sebagai pihak yang bertanggung jawab berjalannya syari’at Islam di Aceh sesuai dengan ketentuan qanun Aceh nomor 8 tahun 2014 tentang pokok-pokok syari’at Islam pasal 5, 6 dan 8 yang berlaku. Dalam Bab III pasal 4 ayat (1) qanun tersebut berbunyi: syari’at Islam dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi pada setiap tingkatan pemerintahan di Aceh di bawah arahan Wali Nanggroe. Pertanyaan yang muncul adalah apakah Wali nanggroe mengetahui pasal 4 ayat (1) tersebut sebagai bahagian dari tugas dan tanggung jawabnya?

Kalau dihitung dari tahun 2002 yang berlaku tiga qanun untuk tiga jarimah, lalu di tahun 2014 berlaku qanun yang menetapkan 10 jarimah berlaku di Aceh sudah berjalan 12 tahun dan dari 2014 sampai 2022 sudah berjalan delapan tahun, semestinya konsep hukum pidana Islam (fiqh jinayah) yang terdiri dari qishash/diyat, hudud dan ta’zir harus sudah diimplementasikan di Aceh. Bukan hanya itu tetapi enam fikih yang terdapat dalam syari’ah, yakni; fiqh ibadah, fiqh mawaris, fikih mu’amalah, fikih siyasah, fikih munakahah dan fikih jinayah harus berlaku penuh di Aceh sesuai dengan ketentuan Bab II pasal 2 qanun Aceh nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syari’at Islam.

Tidak terkafernya point-point tersebut dalam amalan syari’at Islam di Aceh bukan berarti pelaksanaan syari’at Islam telah gagal melainkan lamban disebabkan oleh lalainya pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota serta Wali Nanggroe yang semua mereka makan gaji untuk melaksanakan dan memajukan syari’at Islam di Aceh bukan untuk duduk bertumpang dagu. Bek lagei ureueng jak u la-ot, beungoh geutubiet geuba jeue, cot uroe geugisa geupuwor saboh plastik eungkot (pagi pergi kelaut membawa jaring, tengah hari pulang membawa satu plastik ikan. Tidak pernah terbayang dalam kepalanya untuk memperoleh ikan yang lebih banyak untuk dijual dan mendapatkan banyak duit, mencari ikan hanya sekedar untuk sehari makan. Pemerintah Aceh dan kabupaten kota harus bijak melaksanakan dan memajuklan syari’at Islam di Aceh, jangan pandai merebut kursi gubernur, bupati/walikota tetapi tidak tau menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Lebih-lebih lagi seorang Wali nanggroe yang tidak punya nanggroe yang oleh beberapa anggota DPRA mau dipertahankan seumur hidup, untuk apaaa? Untuk mematikan syari’at Islam di Aceeeh?

 

KHATIMAH

Dengan adanya Dinas Syari’at Islam, adanya muhtasib yang bergerak di lapangan, terjadinya penangkapan terhadap pelanggar qanun, terjadinya penyidangan di Mahkamah Syar’iyyah dan terjadinya ‘uqubah sebagai hukuman yang ditetapkan dalam qanun selama ini, maka itu menjadi bukti bahwa implementasi syari’at Islam di Aceh tidak gagal. Yang gagal adalah peran Wali nanggroe, gubernur, bupati/walikota yang sama sekali tidak menjalankan ketentuan qanun, baik qanun Aceh nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syari’at Islam, qanun Aceh nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat maupun qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Satu hal lagi yang keliru dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh adalah ketika Dinas Syari’at Islam dibebani penuh untuk menjalankan syari’at Islam di Aceh, sementara dinas-dinas lain plus gubernur, bupati dan walikota tinggal keutep-keutep jaroe tidak berbuat apa-apa tentang syari’at Islam. Yang benar mengikut ketentuan qanun sebagaimana yang telah kita bahas di atas adalah gubernur, bupati/walikota berposisi sebagai panglima dan komandan lapangan untuk implementasi syari’at Islam di Aceh.

Kondisi seperti itu tidak akan wujud kalau sistem demokrasi masih digunakan dalam pemilihan pemimpin di Aceh, untuk itu pula pemerintah Aceh harus segera melahirkan qanun siyasah untuk keperluan politik di Aceh sebagai bahagian dari implementasi syari’at Islam di Aceh.