Oleh : Afrizal Refo, MA

Makan dan minum adalah sesuatu yang dilarang dalam menjalankan ibadah puasa bulan suci Ramadhan. Menahan lapar dan haus dari waktu subuh hingga terbenamnya matahari. Faktanya, puasa bukan hanya tentang tidak minum atau makan seharian. Ibadah yang termasuk wajib bagi umat Islam ini memiliki tantangan lain, unik dan menyenangkan. Sebab pada dasarnya ibadah puasa adalah mengendalikan hawa nafsu, menahan emosi dan keinginan bertindak buruk.

Dalam Al-Qur’an pada surat Al Baqarah ayat 183 telah dijelaskan bahwa tujuan utama diperintahkannya puasa adalah terbentuk pribadi muslim yang bertaqwa. Taqwa ini sendiri adalah orang yang melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Ciri-ciri orang yang bertaqwa ini pun telah dijelaskan dalam Al Qur’an pada surat Ali Imran: 134. Salah satunya adalah orang yang mampu menahan amarahnya.

Rasulullah saw menginformasikan bahwa Ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah dan maghfirah, turunnya rahmat Allah secara melimpah, sekaligus sebagai ladang perlombaan untuk berbuat baik. Sebagaimana dalam hadits “Telah datang pada kalian bulan Ramadhan. Bulan yang diberkahi. Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa di dalamnya. Pada bulan itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasa’i). Hadits yang menggambarkan keistimewaan pahala puasa antara lain adalah sabda Rasulullah saw yang artinya : “Allah berfirman: ‘Setiap amal manusia adalah untuknya, kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya…” (Mutaffaq ‘Alaih).

Dalam hadits yang lain Rasulullah saw bersabda: “Semua amalan Bani Adam (manusia) akan dilipatgandakan. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipatnya. Namun Allah berfirman: ‘Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya,..” (HR Muslim).

Pertanyaannya kemudian, kualitas puasa seperti apa yang dapat mengantarkan orang yang berpuasa kepada ampunan Allah? Dalam Ihya ‘Ulum ad-Din, Hujjatul Islam al-Ghazali membagi orang yang berpuasa menjadi tiga kelompok dengan tingkatannya masing-masing, yaitu puasa awam (shaum al-‘awam), puasa orang istimewa (shaum al-khawash) dan puasa orang yang sangat istimewa (shaum khawash al-khawash). Menurut imam Al-Ghazali, ibadah puasa awam adalah tingkatan puasa yang paling rendah. Hanya menahan dirinya dari makan, minum, dan syahwat. Namun di luar itu, sikap, tingkah laku, perbuatan, perkataan dan gerak gerik yang dilakukannya masih belum dipuasakannya. Puasa orang istimewa (shaum al-khawash) adalah tingkatan puasa diatas puasa awam. Sebab, pelakunya tidak hanya menahan diri dari makan, minum dan syahwat, melainkan memelihara seluruh panca indra dan anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat dan dosa, mampu mempuasakan mata, telinga, tangan, kaki, hidung dan indera yang lain dari larangan Allah. Puasa tingkatan ini juga disebut puasanya orang-orang shaleh (shaum ash-shalihin). Puasa tingkatan tertinggi adalah puasanya orang yang sangat istimewa (shaum khawash al-khawash), yaitu mereka yang selain berhasil mencapai tingkat kedua, juga mampu mempuasakan hatinya dari segala keinginan yang hina dan segala pikiran duniawi, serta mencegah secara total dari memikirkan sesuatu selain Allah SWT (shaum al-qalbi ‘an al-himam al-duniyah wa al-afkar al-dun¬yawiyah wakaffahu ‘amma siwa Allah bi al-kulliyyah). Mereka yang telah mencapai level ini adalah mereka yang senantiasa merasa diawasi Allah, sering disebut mencapai derajat al-ihsan.

Kemampuan seseorang menjaga dan memelihara dari mengurangi pahala puasa adalah ikhtiar tertinggi, dapat dipastikan kualitas ibadah puasanya jauh lebih baik dari yang hanya mampu menjaga dan memelihara ibadah puasa dari yang membatalkannya. Rasulullah saw menyampaikan kualitas ibadah puasa bagi umatnya, seperti dalam hadits yang artinya “Siapa yang berpuasa tapi tidak meninggalkan perkataan dusta tapi malah melakukannya, maka Allah tidak memandang perlu ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR Bukhari). Dalam hadits yang lain Rasulullah saw bersabda yang artinya “Lima perkara yang menggugurkan puasa adalah perkataan dusta, ghibah, mengadu domba, melihat dengan syahwat, dan persaksian palsu.” (HR ad-Dailami). Oleh sebab itu ibadah puasa patut dijaga dan dirawat dari hal-hal yang mengurangi pahala meskipun dianggap hal sepele, seperti berbohong. Perbanyak membaca Al-Qur’an dan berzikir dapat membantu meningkatkan kesempurnaan ibadah puasa dihadapan Allah SWT.

Secara keseluruhan, bulan puasa adalah bulan yang sangat berharga bagi umat Islam di seluruh dunia. Bulan puasa bukan hanya sebagai bentuk penghormatan dan ketakwaan kepada Allah SWT, namun juga bulan yang penuh dengan nilai-nilai kebaikan seperti kesabaran, keteguhan hati dan keikhlasan. Maka marilah kita berpuasa dengan benar dan konsisten serta meningkatkan kualitas ibadah dan kegiatan sosial di bulan suci ini.

Penulis adalah Dosen Pendidikan Agama Islam IAIN Langsa, Sekretaris Umum Dewan Da’wah Kota Langsa dan Ketua Komunitas Generasi Rabbani.


Oleh Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

Adanya penolakan pendaratan kaum imigran Rohingya di beberap tempat  di Aceh adalah sangat menyedihkan dan menyayangkan mereka karena mereka setelah terhempas di laut lepas selama beberapa hari ditambah lagi dengan pengusiran di daerah-daerah yang mereka anggap bisa melepaskan keletihan mereka selama beberpa saat  (bulan dan tahun). Mereka orang yang diusir oleh pemerintah Kafir Budha dan kemudian diambil negerinya oleh penjajah Budha.

Tidak ada tempat bagi mereka lagi untuk tinggal, mencari makan, menyekolahkan anak-anak mereka dan  bersenag ria dan berbahagia. Pupuslah harapan mereka untuk hidup layak seperti manusia lainnya dan kini dialami pula  oleh saudara kita  ummat Islam Palestina di Gaza.

Tetapi saya ada membaca dalam  al-Qur’an dan beberapa  Hadis Rasulullah saw tentang persaudaraan Islam, siapa saudara kita dan siapa musuh ummat Islam  namun  yang jelas mereka orang Islam Rohingya bukan musuh ummat Islam walau mereka memiliki berbagai kekurangan, memang wajar karena mereka adalah ummat yang terusir dari negeri mereka sendiri sehingga  bisa  saja menimbulkan berbagai macam kejanggalan dan  keterbatasan pada diri mereka. Akibat dari penderitaan yang mereka rasakan berbulan-bulan  dan bertahun-tahun hidup dalam pengungsian, mungkin  saja peradaban dan tradisi serta akhlak-pun bisa bergeser.

Berbicara yang benar, mereka adalah penyembah Allah yang Esa, dan mengaku ummat Nabi Muhammad saw.  Cuma nasib mereka yang kurang  beruntung  karena sewaktu mereka  diserang, dibunuh, diusir tidak satupun ummat Islam di belahan dunia ini yang mau menolong mereka, kalau orang Yahudi yang minoritas di tengah-tengah negeri kaum Muslimin Arab, mereka banyak penolongnya dan banyak pula yang  mengakui kebiadaban mereka terhadap ummat Islam  sebagai kebenaran. Inilah yang membedakan antara  Rohingya dan Yahudi Israel.

Kini nasibnya  sedang dirasakan oleh  saudara kita di Palestina karena kebiadaban Pemerintah Yahudi Zionis laknatullah. Jika ummat Islam di dunia ini membiarkannya, maka negara Palestina juga akan dirampas oleh Yahudi Zionis.

Apakah orang Rohingya ini karena berkulit hitam, beragama Islam, atau karena membebani  atau menyengsarakan kita jika mereka berada disini? Tidakkah kita berfikir jernih,  mereka adalah musafir dan kaum muhajirin sementara kita adalah kaum ansar jika kita memakai bahasa itu?  Mungkin banyak orang asing lain di negeri ini yang sudah mati paspor atau habis izin tinggal, tetapi ada tempat-tempat tertentu mereka ditampung kok?

Kita bisa melihat ketika Suriah dilanda perang, Libiya dilanda perang dan Irak dilanda perang, hampir saban hari ummat Islam berbondong-bondong exodus ke Eropa, masuk ke Itali, German, Belanda, dan negara-negara Scandinavia, namun  mereka tidak diusir dan tidak pernah kita lihat mahasiswa mereka datang mengusir mereka dan melakukan sesuatu yang tidak patut dilakukan oleh orang yang berakhlak mulia, bertuhan Allah dan bernabi-Muhammad saw. Itu urusan pemerintah mereka dan  mereka ditampung  atau diberi tempat sementara, kemudian pihak UNHCR mencari dunia ketiga secara bertahap untuk memindahkan mereka. Namun ada juga yang dibiarkan menetap di negara Eropa atas hasil negosiasi puhak UN.

Mengutip pernyataan Ketua MPU Aceh Tgk. H. Faisal Ali (Abu Sibreh), dalam Serambi Indonesia , Kamis 23 November 2023, beliau tidak setuju pengusiran atau penolakan Muslim Rohingya yang mendarat pesisir Aceh. Karena menurut beliau masyarakat Aceh tidak memiliki sifat yang demikian karena mereka juga ummat Islam dan perlu dibantu walau hanya beberapa bulan  atau tahun.

Namun menurut Abu Sibreh  kemungkinan besar ada pihak-pihak tertentu yang mengusir mereka untuk  mendarat di Aceh. Coba dibayangkan, mereka terdiri dari anak-anak, wanita dan juga orang tua. Dan umumnya mereka tidak lagi  berpendidikan karena sudah sekian lama dalam pengungsian. Mungkin kita dulu pada masa konflik juga mengalami nasib yang sama seperti Rohingya, bedanya kita hanya melarikan diri buat sementara dan ketika situasi sudah aman kita bisa pulang kembali. Namun yang paling menyedihkan, mereka tidak tahu lagi mau kembali kemana? Negeri mereka sudah dirampas oleh junta militer Budha Miyanmar, tempat tinggal mereka dibakar semuanya, dan semuanya mereka tidak punya apa-apa.  Yang paling biadab adalah ini terjadi  di zaman modern yang semua orang sudah beradab dan berilmu, tetapi masih ada perlakuan drakula di dunia ini.

Kita mungkin tahu bahwa mereka bukan untuk selamanya di sini, cuma sambil menunggu UNHCR memindahkan mereka ke dunia ketiga secara step by step. Kalau kita berbuat buruk kepada orang, mungkin suatu saat keburukan atau kesedihan serupa akan kita rasakan juga lambat atau cepat. Kalau kita buka Al-Qur’an  Surat Al-Hujurat ayat 10. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu  mendapat rahmat.”

Mereka adalah saudara kita seiman, seakidah, mungkin tidak salah kalau kita membantunya atau menolongnya karena hampir semua orang tahu bagaimana nasib mereka, apakah karena mereka Islam, lalu kita enggan menerimanya?

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda yang artinya: Sikap seorang mukmin terhadap mukmin yang lain bagaikan sebuah bangunan yang bahagian-bahagiannya saling menguatkan satu sama lain.(H. R. Muslim)

Dalam hadis berikut Rasulullah saw bersabda yang artinya: Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam kecintaan, kasih sayang antara sesama mereka, ibarat seperti satu tubuh.  Apabila ada satu anggota badan yang sakit (mengeluh), maka seluruh tubuhnya tidak bisa tidur dan merasa demam.  (H.R.

Jika kita merenungkan ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw, mungkin siapapun kita akan merasa  terbebani dengan tanggung jawab ini karena mereka melarat, sengsara,  sedih, dan diperbodohkan oleh bangsa-bangsa besar dan bangsa beradab yang tidak berdab, kalau bukan sesama muslim, siapa yang akan menolong mereka? Coba lihat Al-Qur’an ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah firman Allah yang artinya:”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sebelum kamu mengikuti agama  mereka…  Contoh yang paling jelas Palestina sudah 25 ribu (Dua Puluh Lima Ribu lebih) orang Islam dibantai Israel, yang paling banyak adalah anak-anak dan wanita, tetapi coba lihat dunia mana yang membantu mereka. Bukankah ummat Islam semuanya? Lihat Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, India, Singapura, Thailand, Miyanmar, Filipina, dll semua membela Israel untuk  menggenosidakan ummat Islam Palestina, dan merampas negerinya. Ini yang perlu dicamkan, direnungkan, dan dipikirkan oleh orang-orang yang memiliki hati nurani dan takut kepada Allah.

Kita tidak perlu ikut Demokrasi dan Hak Azasi yang didengung-dengungkan oleh Barat karena  apa yang ada dalam otak mereka adalah demokrasi dan Hak Azasi Manusia adalah untuk kalangan mereka sendiri dan bukan untuk ummat Islam.  Lihat negara-negara demokrasi mana yang membela hak Muslim Rohingya, negara-negara pengusung  HAM mana yang membela hak Muslim Rohingya, demikian pula apa yang terjadi di Palestina, Muslim di India dan di Afrika. Kita sudah muak dengan slogan-slogan kosong yang tidak ada realisasinya, semakin hari-hari merajalela pelanggaran  hak hidup manusia oleh Barat yang mengklaim diri mereka beradab, padahal kalau kita rasakan dan kita lihat saban hari ummat Islam menjadi sarapan mereka, dan yang paling  menyedihkan lagi  apa yang dilakukan oleh Barat terhadap Islam dan kaum Muslimin, diamini oleh para penguasa negeri-negeri Muslim dan segelintir muslim juga.  Lihat contoh Mislim Rohingya yang ingin mendarat untuk kesekian kalinya di daratan Aceh, mereka dihalau ke laut lepas.

Padahal  menurut Kepala  Staf Angkatan Laut  (KASAL) Indonesia Laksamana  TNI  Muhammad Ali  mengatakan bahwa pengungsi Rohingya di Aceh  ditangani oleh  Komisioner Tinggi  Perserikatan Bangsa-Bangsa  untuk Pengungsi (United Nations High Comissioner for Refugees-UNHCR).  Ini disebabkan karena mereka mengungsi akibat perang ataupun  penindasan  dan sebenarnya tidak boleh dihalang-halangi. Demikian  pernyataan KASAL  saat dikonfirmasi oleh  RRI.co.id seusai  menerima  gelar adat  dari Kesultanan Ternate, Selasa  tanggal 12  Desember 2023.

Mungkin apa yang telah terjadi di Aceh dan juga di Palestina serta di negara-negara lainnya bisa menjadi pelajaran penting bagi ummat Islam dalam mensikapi persolan pengungsian, persoalan perlindungan dan bantuan  terhadap orang-orang lemah, orang-orang terdhalimi  dan orang-orang tertindas. Ingatlah  firman Allah dalam  al-Qur’an  dan hadis-hadis Rasululllah saw tentang sifat-sifat orang mukmin  terhadap mukmin yang lain, apa yang harus kita lakukan, dab bagaimana membantu orang-orang yang menderita dan terdhalimi.  Akan tetapi kalau kita merasa diri bukan orang mukmin, maka tidaklah terbebani dengan persoalan-persoalan ini, biarkanlah berlalu apa yang seharusnya terjadi, anggaplan ini kita hidup di negeri akhirat yang setiap orang harus  mengurus dirinya sendiri.

Prof. Dr.  Muhammad AR. M. Ed

Guru Besar Pendidikan Islam, UIN Ar-Raniry

 

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

A. Pendahuluan

Sudah menjadi kebiasaan yang kita lihat bahwa pemikiran seseorang seringkali dipengaruhi oleh pemikiran dan aktivitas gurunya (pendidiknya). Jika guru itu baik, lemah lembut, berilmu dan berwawasan luas, maka harapan kita adalah murid-muridnya nanti akan menjadi ulama, pemikir, dan inteletual Muslim yang bertanggung jawab baik kepada Allah Yang Maha Kuasa ataupun bertanggung jawab kepada ummat. Mereka akan menjadi leader (pemimpin), atau seorang pemikir dalam masyarakat dan ia pula akan menjadi orang yang menyenangkan di manapun ia berada karena eksistensinya, pemikirannya, keahliannya dibutuhkan ummat. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk belajar atau menuntut ilmu sebanyak-banyaknya dan di tempat yang jauh dari kampung halamannya dan dengan berguru atau belajar kepada banyak orang (banyak ulama). Coba bayangkan kalau seseorang hanya berguru kepada beberapa orang guru (pendidik) yang hanya belajar di level tingkat rendah, tidak jauh dari tempat tinggalnya, maka apa yang terwariskan kepada murid-muridnya.

Dengan menuntut ilmu, kita akan merobah diri pribadi menjadi orang alim dan pendidik yang propessional. Pendidik atau guru itu merupakan tokoh yang memikirkan tentang pendidikan bangsa dan kelangsungan hidup generasi muda yang akan mengemban tugas-tugas kenabian dan tugas ulama. Dengan ilmu yang dimilikinya dan loyalitas terhadap Penciptanya, maka ia tergolong dalam barisan para pemikir yang selalu merenung Kemahakuasaan Allah. Pemikir itu adalah ulul albab, mereka adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah dimanapun ia berada dan tidak terbatas oleh dimensi waktu serta selalu memikirkan yang telah diciptakan Allah. Makanya pemikir selalu tafakkur terhadap keagungan Pencipta.

Dalam Pendidikan Islam, guru atau pemikir itu memiliki tugas mulia sekali karena mereka bekerja, kadang-kadang siang dan malam hanya untuk memikirkan bagaimana orang yang diajarnya atau yang dididiknya suatu saat nanti akan menjadi orang yang berguna bagi agama, bangsa dan tanah air. Banyak energi yang dihabiskan demi melahirkan manusia-manusia yang istiqamah (idealis) dan pembela agama Allah. Inilah bahagian dari kerja pemikir yang selalu memberi perhatian kepada nasib bangsa. Memang para pendidik tidak terlalu jauh dan muluk-muluk keinginannya atau azamnya kepada setiap anak didiknya. Mereka (para pendidik ) senang dan bahagia jika muridnya berhasil dan menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat, konon lagi kalau muridnya menjadi pemimpin masyarakat baik pemimpin formal atau pemimpin informal serta pemimpin bangsa sekalipun. Namun semua ini akan lahir orang-orang cerdas dan bermoral tinggi jika guru-guru atau pendidik mereka semua memiliki integritas dan jatidiri sebagai guru pejuang dan pemikir kehidupan anak bangsa.

Allahyarham Pak Dr. Mohammad Natsir (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia atau mantan Perdana Menteri RI) sangat yakin akan keberhasilan pendidikan Islam di Indonesia jika kampus, masjid dan pesantren bersatu padu memikirkan ummat. Jika tiga institusi ini benar-benar mengesampingkan perbedaan dan mengutamakan Islam dan ummat Islam, maka pendidikan Islam akan berhasil dilaksanakan dengan menghasilkan manusia-manusia yang sesuai dengan harapan ummat.

Pak Natsir seorang pejuang, pendidik ummat, seorang da’I dan tokoh pemikir ummat serta penerus cita-cita Rasulullah khususnya dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia. Beliau sebagai guru dan pendidik ummat yang pergi ke seluruh dunia terutama sekali ke Timur Tengah dalam rangka memperkenalkan ummat Islam Indonesia dan persoalan ummat, sehingga banyak donator dan para muhsinin tidak segan-segan membantu umat Islam Indonesia dalam bidang apa saja. Namun Pak Natsir tidak pernah mengatasnamakan untuk pribadinya. Beliau pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Pendiri Partai Masyumi, Rumah Sakit Islam di Padang (Yarsi), Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dan sebagainya. Semua itu bukanlah miliknya dan tidak pernah mewariskan kepada keluarganya tetapi hingga sekarang menjadi milik ummat.

B. Pemikir Pendidikan Islam

Para pemikir Pendidikan Islam menulis beberapa hal tentang tugas dan tujuan para pencari ilmu adalah supaya kondusif terhadap agama; membangun kecerdasan manusia; menjadi sahabat dikala sunyi; bermanfaat terhadap masyarakat; dan dapat mendatangkan uang (penghidupan). Disini yang paling diutamakan bahwa pendidikan dan ilmu itu harus dapat membela agama, bukan mendiskreditkan agama, berusaha agar manusia keluar dari kebodohan dan ilmu itu bisa menjadi kawan atau sahabat ketika dalam kesunyian dan kesendirian, ilmu dan pendidikan itu dapat dinikmati manfaatnya oleh manusia, bukan gara-gara kita menuntut ilmu sehingga masyarakat tambah membingungkan, terakhir dengan ilmu dan pendidikan manusia dapat menopang kehidupannya dan kehidupan keluarganya.

Pendidikan Islam adalah sebuah system yang dikembangkan dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam menurut Musthafa al-Ghulayaini, bahwa upaya menanamkan nilai-nilai akhlak mulia ke dalam jiwa anak ketika masa pertumbuhannya dan memasukkan nilai-nilai kemuliaan, petunjuk, dan bimbingan, cinta kerja dan cinta tanah air serta mencintai kebaikan dan kejujuran. Jika kandungan atau isi kurikulum pendidikan Islam tidak membangkitkan roh Islam dan tidak berdasarkan pada nilai-nilai Islam, maka kurikulumnya harus disempurnakan. Kurikulum itu sudah seharusnya dapat mengakomodir segala kebutuhan ummat terutama sekali mereka yang berada dilingkungan Lembaga pendidikan.

Menurut Prof. Dr. Muhammad Naquib Al-Attas dalam pengantarnya untuk buku Aims and Objectives of Islamic Education, bahwa beliau mengatakan “It is true that the Muslim mind is now undergoing profound infiltration of cultural and intellectual elements alien to Islam.” Mungkin salah satu tantangan besar ummat Islam sekarang adalah adanya serbuan pemikiran-pemikiran asing yang merusak pendidikan Islam lewat budaya dan pemikiran sekuler dan liberal hingga terkontaminasi kaum intelektual Muslim. Tidak berlebihan kalau dikatakan, bahwa perang bersenjata jauh lebih ringan dibandingkan perang pemikiran yang sangat membahayakan ummat. Perang pemikiran dapat meruntuhkan agama, menghancurkan peradaban dan kebudayaan suatu bangsa.
Seorang pendidik Islam, Fu’ad al-Shalhub telah menjabarkan beberapa sifat Rasulullah sebagai guru atau pendidik dalam pendidikan Islam, yaitu ikhlas dalam bertugas, jujur dalam perkataan dan perbuatan, sesuai kata dan perbuatan (menjauhi sifat munafik), memilki sifat adil dan egaliter terhadap semua manusia, berakhlak mulia, memilki sifat tawadhu’, sifat berani, jiwa yang sehat, sifat sabar dan menahan amarah, menjaga lisan, sinergi dan musyawarah. Memang sangat pantas dan sesuai bagi setiap pendidik Islam menjadikan Rasulullah saw sebagai panduannya dalam mengajar manusia. Sehingga anak didik yang telah menjalani pendidikan bersama guru-guru yang berakhlak mulia, dan penuh tanggung jawab, serta terhindar dari virus sekularisme dan liberalisme serta pluralisme.

Prof. Dr. K.H. Yudian Wahyudi (mantan Rektor UIN Yogyakarta 2019) dan sekarang Ketua BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) mengatakan ”La ilaha Illallah ´diterjemahkan “Tidak ada sekolah kecuali NEM dan Bahasa Arab” dan Muhammadan Rasulullah diartikan “Siswa Sunan Averros harus lulus UN dengan rata-rata NEM minimal 9.5 dan Bahasa Arab 9.5” Man qaala La ilaha Illallah Dakhalal Jannah diartikan “Siswa Averous yang lulus UN dengan rata-rata NEM minimal 9.5 dan Bahasa Arab 9.5b diterima di manapun juga dan dapat beasiswa”.

Beginilah pemikiran para intelektual Muslim yang kalau kita lihat latar belakang pendidikannya sangat tergantung pada guru dan institusi di mana ia belajar. Memang seseorang murid pada umumnya mengikuti pemikiran dan pendapat para gurunya.

C. Guru yang Bermatabat

Dalam pandangan Islam guru adalah ilmuan dan muaddib (pendidik), karena tugas guru adalah menanamkan adab dan berbagai ilmu kepada anak didik. Dunia pendidikan tahu bahwa sukses dan gagalnya pendidikan tergantung kepada kualitas guru. Ada sebuah mahfuzhat yang terkenal misalnya: …wal-ustaadzu ahammu min al-thariiqah, wa ruuhul ustaz ahammu min-al-ustaz. (…guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari pada guru itu sendiri).

Memang keikhlasan, komitmen, kualitas dan keilmuan seorang guru perlu dan kita tidak menafikan banyak prestasi yang diperoleh murid karena hasil gemblengan guru semata-mata karena kesungguhannya. Itulah kadang-kadang penghargaan yang diterima oleh guru sangat menyedihkan karena tidak sesuai dengan pekerjaan yang mereka kerjakan. Atau lebih sering kita dengar “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun kalau ada kekhilafan dan ketimpangan yang dilakukan oleh guru spontan dan ramai-ramai menuntut dan menyalahkan. Begitulah nasib guru.

Pendidik merupakan pengarah atau pembimbing manusia terutama anak didik pada masa-masa perkembangannya. Ia mempersiapkan manusia agar bisa hidup dengan aman damai di masa hadapan yang memilki ilmu dan kepribadian yang mulia sesuai dengan petunjuk Islam. Guru atau pendidik yang bertanggung jawab serta kepeduliannya kepada anak didik karena para pendidik harus menganggap yang dididik itu adalah anak-anak mereka, bukan anak orang lain sehingga timbul kasih sayang kepada murid dan sebaliknya murid-murid-pun sayang kepada guru-guru mereka sebagaimana mereka menyayangi orang tuanya sendiri. Dengan demikian hubungan emosional antara murid dan guru selalu terbina. Ini sangat tergantung pada kurikulum di sebuah institusi pendidikan.

Pendidikan merupakan asas penting untuk sebuah peradaban, tanpa pendidikan mungkin peradaban pun akan punah (tidak akan wujud). Mungkin inilah yang membuat Rasulullah saw memilih tawanan Perang Badr yang tidak sanggup membayar uang tebusan, maka mereka disuruh mengajar anak-anak ummat Islam sebagai syarat untuk membebaskan diri. Setiap tawanan harus mengajar sepuluh orang anak-anak dalam jangka masa tertentu. Malah Umar bin Khattab, meminta semua tawanan Perang Badar itu dipenggal kepalanya saja, tetapi Rasulullah memanfaatkan jasa mereka dan memperlakukan tawanan dengan manusiawi, kelebihan yang ada sama mereka seperti membaca, menulis, berhitung, disuruh ajarkan kepada anak-anak ummat Islam. Ini artinya pada masa awal Islam guru-guru itu banyak dikalangan musyrik namaun mereka dibawah pengawasan Islam. Kemudian pada masa Umar bin Khattab memerintah (sebagai Khalifah), persoalan tatanan pemerintahan dibenahi sehingga para guru semuanya pada masa itu diberikan upah/honorarium yang dirhamnya atau dinarnya dibebankan kepada Baitul Mal. Kepada para ustad, guru, syaikh, atau mauddib akan mendapat upah setiap bulan sebagai kepedulian negara terhadap mereka (para pendidik).

Pada masa Umar bin Khattab nasib guru yang mengajar di Kuttab (madrasah) sangat diperhatikan kehidupannya, dan kepada mereka diberikan jerih payah dari Baitul Mal. Salah satu guru legendaris pada masa itu adalah ‘Amir bin Abdullah al-Khuza’I, yang disuruh mengajar anak-anak kaum muslimin oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sehingga pada masa Umar bin Khattab, banyak tokoh dan ilmuan yang lahir dari kuttab misalnya dari golongan lelaki dan peremuan, ‘Atha bin Abi Rabah, Az-Zuhri, Asy-Syifa bintu Abdullah al-Adhawiyah, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Ini artinya bahwa negara harus memperhatikan nasib guru karena tugas mereka sangat berat, dan menantang khususnya dalam mempersiapkan generasi muda sebagai bakal calon pemimpin di masa depan. Kalau guru tidak serius dan tidak memiliki sifat-sifat yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, sudah pasti risalah atau messej yang kan sampaikan kepada masyarakat tidak akan tersampaikan.

D. Pemikir Kurikulum Pendidikan Islam

Para pemikir atau thinkers dalam sebuah organisasi seperti sekolah atau Lembaga pendidikan Islam adalah sangat diperlukan keterlibatan mereka dalam rangka merancang, mengembangkan serta mengevaluasi sebuah kurikulum pendidikan. Memang kita mengakui kurikulum pendidikan Islam itu sudah baku, namun perlu renovasi hal-hal yang menyangkut kebutuhan masyarakat dewasa ini.

Kita tidak hidup pada zaman permulaan Islam yang sudah pasti kebutuhan pada waktu itu dan keperluan masa sekarang sungguh sangatlah berbeda. Mungkin selain dari persoalan ketauhidan, tatacara ibadah, dan banyak hal yang perlu diperhatikan agar kehidupan masyarakat di zaman modern ini tidak terpenuhi.

Kurikulum adalah manhaj atau sebuah pedoman yang didalamnya disebutkan apa yang harus dilaksanakan dan yang tidak boleh dilakukan. Bahasa yang ringkas adalah segala mata pelajaran, atau aturan yang akan dijalankan pada waktu tertetentu yang berlaku di dalam sebuah institusi, itu dianggap kurikulum. Kurikulum ini ada sifatnya tertulis dan ada pula yang sifatnya tersembunyi (hidden Curriculum), atau kurikulum ada yang tersurat atau tersirat, tetapi harus dipatuhi selama kita berada dalam lingkungan tersebut. Misalnya di lingkungan pesantren, ada kurikulum yang tersurat dan ada pula yang tersirat, keduanya sama penting dan harus diikuti oleh siapa saja yang berada dalam lingkungan itu.

Pembentukan kurikulum Islam perlu menghadirkan banyak orang yang memiliki berbagai kemahiran namun dalam hal ini kalau diikut sertakan para politisi boleh-boleh saja tetapi harus hati-hati karena mereka tidak bisa melepaskan diri dari kepentingannya, dan kepentingan kelompoknya. Kalau tokoh agama, stakeholder, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pegiat pendidikan, memang harus dilibatkan karena yang menikmati hasil pendidikan adalah mereka. Hidup di zaman millennium ini sungguh sangat berbeda dengan zaman dahulu kala, kebutuhan manusia dahulu sangat berbeda jika dibandingkan sekarang ini, yang tidak berbeda hanya dari segi ibadat atau tauhid, kalau yang lain semua sudah berubah. Oleh karena itu para pemikir Islam harus benar-benar menghayati dan merenungkan agar konten kurikulum harus disesuaikan dalam batas-batas tertentu.

Pada intinya kurikulum pendidikan Islam adalah bagaimana menanamkan adab ke dalam diri anak didik agar mereka memiliki mlndasan keimanan yang tangguh, keteladanan, pembiasaan yang baik dan benar, dan berusaha agar tidak melanggar hukum. Konsep adab atau akhlak mulia lebih mendasar jika dibandingkan dengan konsep karakter yang tidak menyandarkan pada ketauhidan dan keimanan. Memang kita akui bahwa pendidikan karakter yang dianut oleh bangsa Jepang, Korea Selatan, Cina dan lain-lain telah begitu unggul dalam mencintai kerja, cinta kejujuran, cinta kebersihan, namun dari segi ketauhidan, ketundukan dan ketaatan kepada Pencipta (Tuhan) sangat minim.

Wassalam


Oleh : Afrizal Refo, MA

Alhamdulillah kita telah memasuki Bulan Rajab tanggal 13 Januari 2024 artinya tidak lama lagi akan memasuki bulan suci Ramadhan.

Bulan Rajab diyakini sebagai bulan yang sakral dan penuh keistimewaan dan juga salah satu dari 4 bulan haram yang dimuliakan Allah SWT.

Selain penuh keberkahan, bulan Rajab juga dikenal sebagai bulan terjadinya peristiwa penting dalam Islam. Di bulan ini, Rasulullah untuk pertama kalinya mendapat perintah untuk menegakkan shalat 5 waktu. Keistimewaan bulan Rajab ini tentunya tak boleh terlewatkan.

Keistimewaan bulan Rajab dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis. Berikut bunyi ayat dan hadisnya:
Dari Abi Bakrah RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah bulan suci. Tiga darinya berturut-turut; Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharam dan Rajab”. (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).

Allah Ta’ala berfirman dalam QS. At Taubah: 36
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”

Rajab adalah satu dari empat bulan suci, termasuk Muharram, Zulkaidah, dan Zulhijah. Dalam bulan ini diharamkan melakukan pertempuran. Pada bulan ini umat Islam diharamkan berbuat maksiat. Rajab bersama dengan Syabān adalah awal dari bulan suci Ramaḍhan.

Keistimewaan bulan Rajab
1. Peristiwa Isra Mikraj
Rajab merupakan bulan di mana Isra Mikraj berlangsung. Isra Mikraj merupakan perjalanan Nabi Muhammad SAW, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian ke sidratul muntaha untuk bertemu Allah dan mendapat perintah menjalankan shalat 5 waktu. Kisah tersebut terjadi pada suatu malam pada tanggal 27 Rajab.

2. Bulan tercurahkan banyak nikmat
Rajab juga dikenal sebagai ‘Rajab al-Asabb’ atau ‘Rajab yang Melimpah’. Ini karena Allah mencurahkan banyak berkah dan nikmat-Nya di bulan ini, serta rahmat-Nya yang melimpah. Rajab juga dikenal sebagai Bulan Tawbah (taubat) dan Bulan Istighfar (memohon ampun).

3. Bulan tanpa perang
Rajab adalah bulan kedua dari bulan suci dan oleh karena itu haram untuk berperang atau terlibat dalam konflik selama waktu ini. Selama bulan Rajab, Allah melarang berlangsungnya peperangan. Rajab disebut juga ‘Rajab al-Asamm’ , yang berarti ‘Rajab yang Membungkam’. Hal ini karena siapapun tidak dapat mendengar peperangan pedang selama Rajab, karena pertempuran dilarang.

4. Bulan memohon ampun
Para ulama mengatakan bahwa Rajab adalah bulan untuk memohon ampun, Sya’ban adalah bulan untuk mendoakan Nabi Muhammad SAW, dan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Di bulan Rajab, Allah membebaskan manusia dari neraka setiap jamnya. Rajab adalah bulan yang sangat baik untuk bertaubat. Sebesar apapun dosa yang dilakukan jika bertaubat dengan ikhlas, maka insya Allah taubat akan diterima.

5. Bulan menyambut Ramadhan
Bulan Ramadhan akan datang setelah bulan Rajab dan Syakban. Penting bagi seluruh umat Islam untuk mulai mempersiapkan diri dari sekarang, meletakkan dasar-dasar kebiasaan yang baik dan membuat rencana tindakan untuk bulan yang penuh berkah ini.

Gambaran ini dengan sempurna menggambarkan pentingnya setiap bulan menjelang Ramadhan. Di bulan Rajab, umat Islam harus meletakkan fondasi dan membuat persiapan; Di bulan Sya’ban, persiapan akan semakin nyata dan ibadah yang meningkat akan menjadi kebiasaan – dan di bulan Ramadhan, amal kebaikan akan melimpah.

6. Bulan yang baik untuk berpuasa
Rajab adalah bulan yang baik untuk berpuasa. Ini sebabnya sangat dianjurkan untuk melakukan puasa sunat di bulan Rajab. Pada dasarnya puasa sunnah memang dianjurkan dilaksanakan untuk memperoleh kemuliaan Allah. Berpuasa di bulan Rajab juga bisa menjadi persiapan menyambut bulan Ramadhan.

Amalan di bulan Rajab
Adapun amalan yang utama dilakukan pada bulan Rajab diantaranya:
1. Memperbanyak membaca istighfar dan dzikir lainnya
Dzikir yang sangat dianjurkan dibaca pada bulan Rajab adalah istighfar yang berbunyi:

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ

Latin: Rabbighfirli warhamni watub ‘alayya.

Artinya: Ya Tuhanku ampunilah aku, rahmatilah aku, dan terimalah taubatku.

2. Memperbanyak melakukan puasa sunnah
Rasulullah SAW selalu mengerjakan puasa bulan Rajab. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya:

“Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman ibn Hakim al-Anshari berkata, aku bertanya kepada Sa’id ibn Jubair tentang puasa Rajab, padahal pada waktu itu di bulan Rajab, dia menjawab, aku pernah mendengar Ibn Abbas berkata, Rasulullah SAW berpuasa (Rajab) terus hingga kami berkata, beliau tidak berbuka, dan (pada waktu yang lain) beliau berbuka hingga kami berkata, nabi tidak puasa.” (HR. Muslim).

Makruh hukumnya jika dilakukan selama 1 bulan penuh. Disarankan melakukan puasa Rajab dilakukan dengan bertepatan pada hari-hari utama dalam bulan Rajab. Seperti pada ayyâmul bîdh (tanggal 13, 14, dan 15), hari Senin, Kamis, dan Jumat. Puasa Rajab juga bisa dilaksanakan dengan satu hari berpuasa dan satu hari tidak (puasa Daud).

Bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, diperbolehkan untuk mengqadhanya bersamaan puasa sunah Rajab. Bahkan, menurut Sayyid Bakri Syattha’ (w. 1892 M.) dengan mengutip fatwa Al-Barizi, andaikan puasanya hanya niat qadha, maka otomatis juga memperoleh kesunahan puasa Rajab. (Sayid Bakri, Hâsyiyah I’ânah at-Thaâlibîn, juz 2, halaman: 224).

3. Memperbanyak sedekah
Bersedekah termasuk amalan yang sangat baik untuk dilakukan pada saat bulan Rajab. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

“Nabi Muhammad SAW bersabda, siapa yang sedekah di bulan Rajab maka Allah Ta’ala menjauhkan dirinya dari neraka sejauh jarak terbang seekor burung elang yang terbang dari kecil hingga mati.”

4. Memperbanyak shalat sunnah
Memperbanyak shalat sunnah terutama sholat malam menjadi amalan baik pada bulan Rajab. Keutamaan yang besar pada bulan Rajab sangat sayang untuk dilewatkan untuk berdoa baik pada saat shalat maupun diluar sholat. Sedangkan salah satu tempat diijabah doa adalah pada saat shalat.

Penulis adalah Dosen PAI IAIN Langsa, Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa, Wakil Ketua Parmusi Kota Langsa, Ketua KGR Kota Langsa.

Prof. Syabuddin Gade

Oleh Prof Syabuddin Gade

Imam an-Nasai, meriwayatkan sebuah hadis Rasulullah SAW tentang empat golongan manusia yang dibenci Allah, yaitu;
أربعة يبغضهم الله تعالى؛ البياع الحلاف، والفقير المختال، والشيخ الزاني والإمام الجائر (رواه النسائي)
Artinya;
Empat golongan manusia yang dibenci Allah; penjual yang suka menabur sumpah, orang faqir yang sombong, orang tua penzina, dan pemimpin yang zalim (H.R. An-Nasai).

Jika ditelusuri makna hadis tersebut, maka di dalamnya terkandung pesan yang amat lugas dan jelas. Secara tekstual, di dalamnya terkandung empat golongan yang dibenci Allah.

Pertama, penjual atau pedagang yang menabur sumpah untuk meyakinkan pembeli agar barang dagangannya laku padahal boleh jadi barang dagangannya sudah kusut, lusuh, jelek, busuk, kadaluarsa, dan lain sebagainya. Ia berusaha meyakinkan pembeli dengan sumpahnya.

Golongan manusia semacam ini rupa-rupanya sudah muncul di era Nabi Muhammad SAW, bahkan di era jahiliah sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Rasul dan ternyata masih saja ditemukan dalam berbagai transaksi perdagangan era sekarang, mungkin teknisnya berbeda sambil menutup-nutupi kekurangan barang dagangannya. Karena itu, tuedukasi Rasullullah saw bukan hanya hendak menjelaskan kebencian Allah terhadap golongan pedagang yang suka menabur sumpah dalam transaksi jual beli, tapi jauh dari itu, agar umatnya kelak —jika ia memilih profesi pedagang— tidak mengikuti dan tidak berperilaku sebagai pedagang yang menaburkan sumpah demi lakunya barang dagangannya dengan rela berbohong. Sebab perilaku pedagang semacam ini akan mengundang kebencian Allah. Jika Allah sudah benci, maka pedagang itu pasti akan memperoleh keruagian yang besar cepat ataupun lambat. Betapa tidak, pembeli yang melakukan transaksi atas dasar kebohongan si penjual tentu akan sangat menyakitkan hatinya dan dipastikan ia tidak akan membeli lagi barang dagangan dari pedagang yang menabur sumpah kebohongan. Bahkan, sipembeli akan berkampanye bahwa “pedagang A” adalah sipenabur sumpah dan pembohong”. Hal semacam ini tentu bisa dibayangkan betapa nasib buruk yang akan menimpa pedagang semacam itu.

Kedua, orang faqir sombong. Allah benci kepada orang faqir yang menyombongkan diri, faqir di sini boleh jadi faqir harta atau faqir ilmu. Jadi, orang faqir pada sekurang-kurangnya sadar, tawadhu’ dan qanaah dengan keadaannya. Akan lebih baik lagi kalau ia terus berusaha memperbaiki keadaannya menjadi lebih baik, bukan justeru menyombongkan diri, karena orang faqir sombong akan mengundang kebencian dari Allah. Sebab, sesungguhnya yang berhak menyombongkan diri hanyalah Allah. Karena itu, tujuan edukasi Rasulullah dakam konteks ini adalah mengirim pesan kepada umatnya, terutama para fuqara, agar menjauhkan diri dari sikap sombong.

Ketiga, orang tua penzina (al-Syaikh al-Zani). Secara etimologis kata “al-syaikh” paling kurang mengandung tiga makna, antara lain; 1) “orang tua”, yakni orang yang berumur tua. Jika orang ini berzina, maka amatlah dibenci oleh Allah. Sebab, secara biologis, orang berumur tua nafsu libidonya sudah berkurang –‘tidak menggebu-gebu seperti anak muda. Seharusnya tidak terjebak dalam perbuatan zina, karena nafsu syahwat yang memaksanya malakukan zina sudah berkurang. Tetapi, ini bukan bermaksud anak muda boleh melakukan zina, zina tetap perbuatan keji yang haram dilakukan oleh setiap muslim dan mulimah; 2) Sebuah laqab bagi orang alim. Sering seorang ulama diberi laqab “syaikh”, karena kedalaman ilmu agamanya. Jika orang alim berzina, maka ini amat dibenci Allah. Seharusnya ia bisa menahan nafsu syahwat dengan ilmu dan imannya.

Perilaku semacam ini sering dikisahkan seperti kisah Syeikh Bal’am, bahkan kisah semacam ini sering terulang pada era sekarang di mana sering diberitakan di media tentang “orang alim” yang terjebak dalam selingkuh atau zina; 3) Dalam konteks kajian fiqih atau hadis, kata “al-syeikh” diartikan secara lebih sepesifik, yakni orang yang menyampaikan hadis atau orang yang darinya diambil hadis. Jika orang sekelas ini berzina tentu amat dimarahi Allah, sebab secara keilmuan ia pasti tahu betapa banyak hadis Rasulullah saw yang melarang tentang perbustan zina. Karena itu, dalam konteks ini tujuan edukasi Rasulullah saw adalah mengirim pesan kepada umatnya agar menjauhkan diri dari zina.

Keempat, pemimpin yang zalim. Pemimpin adalah orang yang melayani, membuat kebujakan dan mengambil keputusan terbaik bagi kepentingan dan hajat hidup rakyat di bawah kekuasaannya.

Ia harus mempertanggungjawabkan kekuasaanya itu bukan hanya di hadapan rakyat tetapi juga di hadapan Allah. Seorang pemimpin tidak boleh menzalimi, menyakiti merusak kepentingan rakyat, apalagi membungkam kebebasan dan menghilangkan nyawa rakyat.

Fakta menunjukkan bahwa tidak sedikit pemimpin yang berlaku zalim delam berbagai bentuk terhadap rakyatnya. Sejarah mencatat betapa kejamnya Genghis Khan, Hitler, Timur Lenk, Wu Zetian, Pol Pot, Slobodan Milosevic, dan lain-lain.

Apakah di Indonesia ada pemimpin yang kejam pada rakyatnya sendiri? Silakan baca sendiri sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia Indonesia? Karena itu, tujuan edukasi Rasulullah dalam konteks ini adalah menyampaikan pesan agar umatnya yang bertindak atau diberi amanah sebagai pemimpin tidak berlaku zalim kepada bawahan atau rakyatnya, karena kebencian Allah akan menimpa pemimpin yang zalim, baik pemimpin zalim itu beragama Islam ataupun tidak.

Golongan kedua, ketiga dan keempat tersebut juga dijelaskan dalam hadis yang lain dengan lafaz yang agak berbeda, yaitu;

وَعنْ أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه ﷺ: ثَلاثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمْ اللَّه يوْمَ الْقِيَامةِ، وَلاَ يُزَكِّيهِمْ، وَلا ينْظُرُ إلَيْهِمْ، ولَهُمْ عذَابٌ أليمٌ: شَيْخٌ زَانٍ، ومَلِكٌ كَذَّابٌ، وَعَائِل مُسْتَكْبِرٌ رواهُ مسلم.

Artinya; Dari Abi Hurairah ra berkata, bagwa telah bersabda Rasulullah saw; tiga golongan manusia tidak disapa, tidak disucikan, tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat, bahkan mereka akan ditimpa azab yang pedih, yakni; syaikh yang berzina, pemimpin pembohong, dan orang faqir yang sombong. ( H.R. Muslim).

Karena itu, jika ditelusuri lebih dalam tujuan edukatif yang terkandung dalam hadis tersebut bukan hanya sekedar menerangkan klasifikasi golongan manusia yang dibenci Allah, tetapi Rasulullah menginginkan agar umatnya menjauhkan diri dari keempat golongan manusia tersebut. Jika umat Islam mampu menjauhkan diri dari keempat golongan tersebut, maka mereka bukan hanya akan jauh dari kebencian Allah, tetapi mereka akan mendapatkan kasih sayang (ar-rahmu) kelembutan (al-hilm) ketenangan (sakinah) dan ridha dari Allah (al-ridha min Allah). Wallahu A’lam.


Oleh Afrizal Refo, MA

Tahun baru adalah momen saat di mana masyarakat merayakan pergantian tahun dari tahun yang sudah berlalu ke tahun yang akan datang. Akan tetapi telah terjadi berbagai polemik terhadap umat Islam di Indonesia khususnya dengan melakukan berbagai kegiatan perayaan tahun baru yang menyerupai agama lain yang meniup terompet, bakar kembang api, mercon dan sampai dengan melakukan maksiat dimalam pergantian tahun baru tersebut.

Lalu bagaimana hukum merayakan tahun baru menurut agama Islam? Karena, merayakan tahun baru dianggap haram karena merupakan tradisi non Islam yang berasal dari budaya Barat.

Sejarah Tahun Baru Masehi
Perayaan tahun baru ini dimulai pertama kali pada tahun 46 SM, pada masa kekuasaa Kaisar Romawi, yaitu Julius Caesar.

Ia mengganti penanggalan Romawi yang terdiri dari 10 bulan (304 hari), yang dibuat oleh Romulus pada abad ke-8 menjadi 1 tahun terdiri atas 365 hari. Saat itu ia dibantu dengan Sosigenes, seorang ahli astronomi asal Iskandariyah, Mesir. Nama pada bulan Januari ini diambil dari nama dewa dalam mitologi Romawi, yaitu Dewa Janus, yang memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan ke belakang.

Masyarakat Romawi juga meyakini bahwa Dewa Janus adalah dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk. Julius Caesar juga setuju untuk menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM, sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.

Untuk menghormati Dewa Janus, maka orang-orang Romawi mengadakan perayaan setiap tanggal 31 Desember tengah malam untuk menyambut 1 Januari.

Oleh karena itu pada saat tahun baru tersebut orang-orang kafir mengagung-agungkan setiap perbuatan yang mereka adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini, maka hal itu termasuk hari besar mereka.

Akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam agama Islam.

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi
Merayakan tahun baru Masehi masih kerap menjadi pertanyaan bagi sebagian besar umat Islam. Mengingat bahwa kalender Masehi sendiri bukanlah milik umat Islam. Lalu, bagaimana hukum merayakannya?

Secara umum, para ulama sepakat untuk tidak merayakan tahun baru Masehi. Salah satu alasannya yaitu hal-hal yang dilakukan dalam perayaan itu bisa menjerumuskan pada maksiat, misalnya saja berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang untuk membeli petasan dan membakar kembang api bahkan ada yang melakukan perbuatan zina pada malam pergantian tahun baru tersebut.

Selain itu, jika umat Islam merayakannya berarti telah mengikuti budaya kafir dan itu tidaklah diperkenankan. Karena, mengikuti budaya tersebut disebabkan oleh lemahnya iman yang dimiliki oleh seorang muslim.

Hal ini dijelaskan juga dalam kitab Al Mi’yar al Ma’riby, Ar Raudhah, Faydhul Qodir, Hasyiyah al Jamal ala al Minhaaj, dan Ihyaa ‘Ulumuuddin, bahwa merayakan tahun baru hukumnya haram karena dianggap tasyabbuh atau menyerupai orang kafir, karena tidak memberi manfaat apa-apa.

Dalil Al-Qur’an yang melarang seorang muslim untuk menyerupai orang kafir dijelaskan dalam surah Al Baqarah ayat 120 yang artinya:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Daud)

Berdasarkan Dalil Alquran dan Hadits Nabi SAW tersebut secara jelas menerangkan bahwa ikut serta dalam merayakan hari-hari besar kaum musyirikin (Tahun Baru, Natal, Valentine, dll) haram dilakukan oleh umat Islam. Momen tahun baru atau momen-momen lainnya dihukumi haram karena merupakan pencampuradukan antara al haq dan kebathilan yang mana lebih banyak mudharatnya ketimbang sisi positifnya.

Oleh karena itu diharapkan kepada seluruh kaum muslimin dan seluruh pemuda-pemudi untuk tidak merayakan kegiatan apapun dimalam pergantian tahun baru tersebut. Karena malam tersebut sama dengan malam lainnya tidak ada yang istimewa dan ditakutkan kita akan terjerumus kedalam perkara yang diharamkan oleh Allah.

Penulis adalah Dosen PAI IAIN Langsa dan Sekretaris Umum Dewan Dakwah Kota Langsa


Oleh Prof. Dr.Muhammad AR. M.Ed

Kalau kita lihat video atau media yang memperlihatkan cara bekerja dan berkelakuan tentara Israel terhadap ummat Islam Palestina, maka tidak ada manusia normal yang mengaku mereka beradab. Namun ada juga penyokongnya Amerika, Jerman, Inggris, Perancis dan negara-negara agen Israel lainnya.

Gambar-gambar yang ditampilkan dalam media semuanya seperti singa dan harimau memangsa lawan-lawannya yang tidak kenal belas kasihan, oleh karena itu setiap orang yang waras pikirannya dan jernih otaknya, maka mereka akan berkesimpulan bahwa bangsa Yahudi Zionis adalah super biadab di atas muka bumi ini.

Bukti otentik adalah sejak 7 Oktober 2023 hingga 25 November 2023. lebih kurang empat belas ribu dua ratus (14. 200) ummat Islam Palestina dibantai dan yang paling banyak adalah anak-anak dan wanita.
Belum lagi kalau kita runut kebelakang bagaimana kejamnya Arie Sharon membantai umat Islam dalam kamp Shabra & Shatila tibusn umat Islam syahid. Dan wajar Allah mengazabnya selama delapan tahun koma dan strok di rumah sakit di Israel. Belum lagi di alam kubur dan di hari akhirat kelak. Dan sekarang ini penghisap darah ummat Islam itu bernama Benjamin Netanyahu dan didukung oleh si tua dari paman Sam yang juga haus darah ummat Islam.

Bukan hanya itu, jika ada tawanan yang ditangkap oleh tentara Israel, lebih baik mati dari pada diintrogasi oleh tentara mereka walaupun itu sanderanya anak-anak. Demikian biadabnya mereka sehingga bangsa-bangsa pengagung demokrasi dan pengusung HAM terdiam seperti dicekik oleh Buno (sejenis hantu yang selalu mencekik orang tidur dimalam hari).

Sebenarnya arti demokrasi dan HAM adalah membantai semua ummat Islam di negerinya dan kemudian mengusir mereka dari tanah airnya dan mengambil negeri mereka. Contohnya Pemerintah Budha Miyanmar terhadap Muslim Rohingya dan kini sedang berlangsung Di Gaza (Palestina) oleh Bangsa Terkutuk yaitu Yahudi. Inilah arti demokrasi dan HAM yang dimaknai oleh Amerika , Eropa, Thailand, Viatnam, India, Singapura, Filipina dll. Mereka ketika melihat umat Islam matanya buta, hatinya bengkak, telinganya tuli, perasaanya seperti kulit gajah, dan begitulah manusia biadab yang sentiada mengagung-agungkan demokrasi dan HAM.

Umat Islam teroris karena mempertahankan agamanya, harga dirinya, nyawanya, harkat dan martabatnya, serta tanah airnya. Begitulah pikiran Yahud dan pengikut setianya. Kita ummat Islam memiliki senjata yang paling ampuh yaitu doa kepada Allah karena jangan pernah luput berdoa kepada saudara kita di Palestina dan di seluruh dunia; senhata verikutnya adalah boykot semua barang atau produk Yahudi dan pendukungnya, mungkin dalam sebulan kedepan kita dapat menyaksikan kehancurannya dengan izin Allah.

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

 Ibadah qurban (penyembelihan hewan) yang dilakukan oleh kaum muslimin dan muslimat pada setiap Hari Raya Idul Adha adalah sebuah model peribadatan kepatuhan dan ketaatan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Ibadah ini bermula diawali oleh Nabi Ibrahim a.s. yang bermimpi untuk menyembelih anaknya tercinta yaitu Nabi Ismail a.s. Memang mimpi bagi para Nabi adalah sebuah kebenaran bahkan banyak wahyu yang diterima oleh para Nabi, diantaranya  adalah melalui mimpi.  Karena itu mimpi Nabi Ibrahim a.s. adalah hal yang biasa bagi beliau karena ini terjadi bukan hanya satu kali perintah untuk menyembelih anaknya Ismail. Bahkan menurut riwayat, Nabi Ibrahim tiga malam berturut-turut bermimpi menyembelih anaknya Islamil. Ketika  persoalan ini disampaikan kepada anaknya, Ismail, dia dengan senang hati menerimanya.

Mungkin jika ini berlaku bagi manusia biasa, sudah pasti tidak akan dilakukan atau dituruti karena manusia terlalu banyak menggunakan logika dan sangat kurang percaya kepada hal-hal yang transcendental (yang tidak dapat dijangkau akal). Memang benar bahwa Allah akan menguji seseorang sesuai kemampuannya. Karena itu betapapun hebatnya manusia selain Nabi atau Rasul Allah, maka kemampuan sabar menerima cobaan dan hinaan serta cacian tidak wujud pada manusia. Namun  Nabi Allah dan Rasul All-lah  yang sanggup menerima ujian betapapun hebatnya cobaan atau ujian yang menimpanya.

Cobaan dan ujian yang diterima Nabi Ibrahim a.s. dan anaknya Ismail adalah sangat berat bagi ukuran manusia biasa dan bahkan sulit dipercaya dengan akal sehat untuk menyembelih anak manusia. Namun yang diuji ini adalah para Nabi sudah pasti  segala rintangan dan tantangan ini akan dihadapi dengan kesabaran karena mereka telah dibekali oleh Allah bahwa kesabaran ujung-ujungnya adalah kemenangan dan ini pasti. Demikian pula Ibunda Nabi Ismail, Siti Hajar, yang bukan pertama kali menerima  ujian ini dari Allah, bahkan ketika Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail kecil di Lembah Bekaa (Makkah) yang tandus dan kering kerontang dan tidak ada seorang manusiapun saat itu disekelilingnya, namun mereka siap ditinggalkan oleh suaminya, Nabi Ibrahim asalkan itu datangnya dari Allah azza wajalla. Sebegitu yakinnya mereka terhadap eksistensi Allah  dalam darah dagingnya sehingga tidak terbetik sedikitpun kegusarannya.

Inilah model keluarga yang paling tangguh dari segi ketauhidannya kepada satu-satunya Penguasa Langit dan Bumi. Inilah keluarga yang memiliki ketahanan lahir dan batin dan tidak pernah terbetik sedikitpun keengganan dalam hatinya untuk mengingkari perintah Allah swt. Ketauhidan Ibrahim, Ismail, dan Hajar mungkin tidak salah kalau kita mengikutinya dalam hal bagaimana kita percaya akan Keagungan Allah, Keperkasaan-Nya, dan Kemaha-Kuasaan-Nya serta Ketepatan janji-Nya.

Ketahanan Keluarga

dicontohi oleh ummat Islam  dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Disini kita melihat keluargaMungkin model ketahanan keluarga Nabi Ibrahim, anaknya Ismail, dan isterinya Hajar patut dic Nabi Ibrahim sangat patuh atau tha’at kepada perintah Allah apapun yang diperintahkan Allah tetap patuh untuk dikerjakan; kemudian Ismail sebagai seorang anak juga tidak akan pernah mengatakan ‘tidak’, terhadap apa yang diutarakan oleh bapaknya, Ibrahim; kemudian isterinya, Siti Hajar, tidak pernah menampakkan  keengganannya atau kesedihannya akan kehilangan putranya  karena tindakan suaminya untuk menyembelihnya. Ketiga orang ini sudah memiliki  ketauhidan yang sama dan tangguh serta sangat tha’at terhadap segala perintah Allah, tidak ada rasa kerisauan sedikitpun dalam hati mereka terhadap  keputusan Allah azza wajalla.

Melalui ibadah qurban ini setiap keluarga, jika tidak keberatan, boleh mengikuti  model ketaatan kepada Rabb dalam menjalankan segala perintahnya walaupun itu pahit dan penuh resiko. Allah tidak akan membebani manusia kalau mereka tidak mampu melaksanakannya, namun sebaliknya Allah akan menguji manusia sekedar kesanggupannya.  Selanjutnya Allah tidak akan mencelakakan hambanya dengan ujian yang Dia berikan, jika hamba yang diuji  dan dicoba dan bersabar dengannya, maka kemenangan dan kemuliaan akan disandangnya. Perlu diketahui bahwa Allah tudak akan mendhalimi hamba-Nya sedikitpun. Pelajaran berikutnya yang dapat kita petik dari keluarga Nabi Ibrahim adalah menjadikan Allah  sebagai pelindungnya, sebagai tempat bergantung, sebagai tempat berdoa dan meminta  dalam segala keadaan, karena itu mereka tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. Akibat ketaatan dan menjadikan Allah sebagai tempat bergantung dan tempat memohon sesuatu, pisau yang hendak memotong  leher Ismail menjadi tumpul, leher Ismail digantikan dengan seekor kibas, dan inilah akabat kepatuhan.

Pendidikan Akhlak

Sesungguhnya kepatuhan anak terhadap orang tua (ibu-bapak) adalah sebuah kemuliaan, kepatuhan isteri kepada suaminya juga sebagai sebuah ketaatan, demikian pula kepatuha Ibrahim a.s. kepada perintah Allah lewat mimpinya adalah kepatuhan moral yang agung kepada Rabbnya. Ibadah Qurban ini merupakan symbol ketaqwaan dan keikhlasan dan Allah akan menerima pengorbanan ini karena ketawaannya kepada Allah. Kita kembali  kepada pengornanan anak Adam antara Habil dan Qabil. Ternyata pengorbanan Habil yang diterima Allah karena ketaqwaannya dan keshalehannya. Pengorbannan Qabil ditolak karena akhlak mulianya tidak dinampakan ketika melakukan pengorbanan.    Nampaknya disini perlu mengambil kira  bagaimana akhlak terhadap Allah yang diperlihatkan oleh Ibrahim dan Ismail atau para pengorban lainnya selanjutnya akhlak anak terhadap ayahnya atau orang tuanya antara Ismail  dan Ibrahim,  kemudian akhlak seorang isteri terhadap suaminya. Semuanya perlu akhlak mulia dibarengi dengan ketaqwaan, keikhlasan, kesalehan  dan kepedulian kepada sesama ummat manusia.

 Pengorbanan Kepada Syariat

Jika kita sudah memiliki harta dan kelebihan untuk berqurban di Hari Raya Idul Adha ini dengan menyembelih hewan  Qurban, dengan tujuannya adalah untuk mencapai nilai ketaqwaan, membantu fakir miskin, dan mempertahankan syariat Islam dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan bernegara, maka sungguh sangat aneh kalau syariat di bidang lainnya kita tinggalkan. Kalau berqurban menyembelih binantang sudah rela dilaksanakan, kenapa kita tidak berani dan ikhlas  berkorban untuk menghapuskan sistim ribawi di Aceh, mengapa kita tidak berani berkorban perasaan  dan tenaga  untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah di Aceh, mengapa kita tidak berani berkorban menolong pengemis di kedai-kedai dan restoran dan di lampu-lampu merah, anak-anak dibawah umur berjualan dan mengemis di traffic lights atau badut-badut berkeliaran di simpang-simpang jalan. Dan juga lain-lain fenomena di hampir seluruh kabupaten kota di Aceh, apakah dalam hal ini pemerintah tidak ada nyali untuk berkorban pemikiran, pengalokasian dana, dan pembinaan mereka yang suka mengemis dan terakhira melakukan patrol-patroli agar kota ini bersih dari orang-orang yang mengemis.  Wallahu ‘alam

Penulis adalah Guru Besar UIN Ar-Raniry


Oleh Afrizal Refo, MA

Umat Muslim di seluruh dunia saat ini sudah melaksanakan setengah lebih puasa bulan Ramadhan. Ada peristiwa penting yang terjadi pada Ramadhan adalah turunnya Al-Quran atau Nuzulul Quran.
Nuzulul Quran adalah peristiwa turunnya Alquran dari Allah kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril.

Kata nuzulul quran berasal dari dua kata yaitu nuzul dan Alquran. Secara harfiah arti kata nuzul adalah menurunkan sesuatu dari tempat tinggi ke rendah. Sementara, kata quran diambil dari Alquran yang merupakan kitab suci umat Islam.

Apabila digabungkan, arti nuzulul quran adalah proses turunnya Alquran dari tempat yang tinggi ke muka bumi. Arti lebih lengkapnya adalah peristiwa turunnya Alquran dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril.

Sejarah Nuzulul Quran

Proses turunnya Al-Quran ke bumi secara bertahap, di mana hal itu tidak dialami oleh kitab-kitab sebelumnya sehingga menunjukkan keagungan dan kemukjizatan Al-Quran seperti firman Allah SWT yang artinya:
“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Q.S. Al Isra: 17)

Proses turunnya Alquran terjadi dalam dua tahap yakni, Tahap pertama, Alquran diturunkan pada malam lailatul qadar. Alquran diturunkan dari Lauh Mahfuz pada malam lailatul qadar. Tahap kedua, diturunkan secara bertahap melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.

Alquran pertama kali diturunkan saat Rasulullah SAW berada di Gua Hira pada tahun 610 M. Saat itu Nabi Muhammad SAW sedang menyendiri untuk menenangkan hati.

Pada saat yang bersamaan Allah SWT meminta Malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyuNya kepada Rasulullah. Malaikat Jibril membawa ayat yang pertama kali diturunkan, surat Al-Alaq yang berisikan 5 ayat.

Malaikat Jibril meminta Nabi Muhammad SAW untuk membaca surat tersebut. Namun, Rasulullah bergeming dan mengatakan bahwa dirinya tidak bisa membaca surat tersebut.

Maka dari itu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca melalui surat Al-Alaq.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya,” firman Allah dalam surat Al-Alaq ayat 1-5, ayat Alquran yang pertama kali diturunkan.

Surat ini jugalah yang menjadi penanda bahwa Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul.

Rasulullah tidak bisa membaca saat wahyu pertama diturunkan kepadanya, Malaikat Jibril yang diutus oleh Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk membaca “Iqra” (bacalah). Wahyu tersebut adalah surah Al-Alaq (ayat 1-5). Ayat ini menjadi pendorong, penggerak dan memotivasi umat Islam untuk bisa membaca.

Setelah tahap pertama ini, Alquran turun secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun. Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah SWT menyesuaikan dengan keadaan sosial, keagamaan, kisah-kisah para Nabi terdahulu hingga hikmah, di masa nabi.

Ayat terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah surat Al-Maidah ayat 3. Ayat itu turun sesudah waktu Ashar pada hari Jumat di Padang Arafah saat musim haji terakhir.

Setelah itu, Nabi Muhammad pergi dari Makkah ke Madinah untuk mengumpulkan pada sahabat. Beliau memberikan kabar bahagia bahwa agama Islam telah sempurna dengan turunnya Alquran.

Para sahabat yang mendengar kabar bahagia tersebut, seraya berkata: “Agama kita telah sempurna. Agama kita telah sempurna.”

Perbedaan Nuzulul Quran dan Lailatul Qadar

Nuzulul quran berkaitan dengan lailatul qadar. Itu karena keduanya merupakan malam saat Al-Qur’an diturunkan. Maka dari itu banyak yang menganggap keduanya sama. Padahal keduanya merupakan peristiwa berbeda.

Tentang turunnya Al-Qur’an di malam lailatul qadar tertera dalam surat Al-Qadr ayat 1-5
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”

Sementara tentang nuzulul quran tertera dalam Surat Al-Baqarah ayat 185.
Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”

Para ulama kemudian menyimpulkan bahwa lailatul qadar adalah malam ketika Al-Qur’an diturunkan secara utuh untuk pertama kalinya. Sementara nuzulul quran adalah malam peristiwa turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad.

Keutamaan Nuzulul Quran

Dikutip dari sumber yang sama, Nuzulul Quran menunjukkan kekuatan hati Rasulullah SAW dan para sahabat dalam memperjuangkan dakwah dalam menyebarkan agama Islam kepada umat manusia yang tidak mudah dan penuh tantangan. Maka dari itu, Nuzulul Quran memiliki keistimewaan dan keutamaan berikut ini.

1. Malam Turunnya Al-Quran

Malam Nuzulul Quran yang pertama yaitu malam turunnya Al-Quran dan ini tidak terjadi di malam-malam yang lain. Kitab suci Al-Quran ini diturunkan bukan untuk Nabi Muhammad sendiri tetapi untuk menjadi pembeda antara hak dan bathil juga menjadi petunjuk bagi umat Muslim.

2. Diturunkannya Wahyu yang Pertama

Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah surat Al Alaq ayat 1-5. Saat wahyu tersebut diturunkan, Nabi Muhammad sedang melakukan khalwat di Gua Hira. Setelah itu, datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu tersebut.

3. Diangkatnya Nabi Muhammad SAW

Menjadi Utusan Allah dan Menjadi Nabi yang Terakhir
Tepat setelah menerima wahyu yang pertama, Nabi Muhammad diangkat menjadi seorang Rasulullah. Beliau juga merupakan Nabi terakhir dalam sejarah Islam, yang artinya Nabi yang membawa kita dari zaman jahiliyah hingga menuju zaman yang terang benderang.

Demikianlah ringkasan singkat yang dapat di sampaikan mengenai pengertian, sejarah, perbedaan Nuzulul Qur’an dan Lailatul qadar serta keutamaan Nuzulul Quran yang akan kita temui di bulan Ramadhan ini, semoga bermanfaat ya.

Penulis: Dosen Pendidikan Agama Islam IAIN Langsa dan Sekretaris Dewan Da’wah Kota Langsa.


Oleh Afrizal Refo, MA

Aceh adalah salah satu daerah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, Aceh memiliki tradisi khas yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satu tradisi itu adalah “meugang” atau juga dikenal dengan sebutan Makmeugang.

Tradisi meugang merupakan sebuah tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat Aceh dan dilaksanakan di seluruh wilayah dalam Provinsi Aceh, khususnya pada umat Islam. Tradisi ini berupa pemotongan hewan (kerbau atau sapi). Selain kerbau dan sapi, masyarakat Aceh juga menyembelih ayam dan bebek.

Meugang adalah tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga, kerabat dan yatim piatu oleh masyarakat Aceh. Meugang atau Makmeugang adalah tradisi menyembelih hewan berupa kerbau atau sapi dan dilaksanakan setahun tiga kali, yakni Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha

Tradisi Meugang di Aceh berlangsung selama dua hari yaitu meugang cet (meugang kecil) dan meugang Rayeuk (meugang besar) yang dilaksanakan sebelum ramadhan maupun sebelum lebaran. Semarak Meugang akan langsung terasa jika kita melewati sejumlah pasar kaget atau pasar musiman di Aceh.

Sejarah Meugang

Tradisi ini telah muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh yaitu sekitar abad ke-14 M. Ali Hasjimy menyebutkan bahwa tradisi ini sudah dimulai sejak masa kerajaan Aceh Darussalam. Tradisi meugang ini dilaksanakan oleh kerajaan di istana yang dihadiri oleh para sultan, menteri, para pembesar kerajaan serta ulama (Iskandar, 2010:48). Pada hari itu, raja memerintahkan kepada balai fakir yaitu badan yang menangani fakir miskin dan dhuafa untuk membagikan daging, pakaian dan beras kepada fakir miskin dan dhuafa. Semua biayanya ditanggung oleh bendahara Silatu Rahim, yaitu lembaga yang menangani hubungan negara dan rakyat di kerajaan Aceh Darussalam (Hasjimy, 1983:151)

Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan rasa terima kasih kepada rakyatnya. Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun. Tradisi meugang juga dimanfaatkan oleh pahalawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan.

Pelaksanaan Meugang

Meugang sangat penting bagi masyarakat di Aceh, karena sesuai dengan anjuran agama Islam, datangnya bulan Ramadhan sebaiknya disambut dengan meriah, begitu juga dengan dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa yaitu hari Meugang, masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembu yang terbaik untuk dihidangkan. Meskipun yang utama dalam tradisi Meugang adalah daging sapi, namun ada juga masyarakat yang menambah menu masakannya dengan daging kambing, ayam juga bebek.

Seperti di pasar kaget atau pasar daging musiman di Aceh. Penjual daging meugang mulai menjajakan daging dari pukul 05.00 WIB pagi. Masyarakat pun terlihat antusias membeli daging meskipun harganya beragam mulai dari 160 ribu rupiah hingga 180 ribu rupiah perkilogramnya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi meugang

Dilihat dari konteks sejarah dahulu meugang atau daging sapi dibagikan kepada fakir miskin dan dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh. Akan tetapi kalau dilihat sekarang meugang hanya dinikmati oleh kalangan kelas menengah dan kalangan kelas atas sedangkan untuk kalangan bawah terkadang tidak pernah mereka menikmati daging sapi, kalaupun ada itupun diwaktu kurban di hari raya Idhul Adha jika ada yang berkurban dikampungnya.
Semestinya hal ini bisa kita kembalikan kepada jayanya Islam dahulu yaitu nilai kepedulian saling berbagi diantara tetangga fakir miskin dan anak yatim yang tidak meugang dikarenakan harga daging sapi yang cukup mahal di Aceh sehingga ada Masyarakat Aceh yang tidak mampu membelinya.

Selain itu Perayaan meugang ini juga menjadi momen penting untuk berkumpul seluruh keluarga. Biasanya pada hari meugang, anak dan sanak saudara yang merantau atau telah berkeluarga dan tinggal di tempat yang jauh, mereka akan pulang dan berkumpul di hari Meugang. Nilai kebersamaan inilah yang ingin ditanamkan oleh umat Islam melalui tradisi meugang.

Harapannya tradisi meugang ini tetap dipertahankan oleh masyarakat Aceh dan bisa dinikmati oleh warganya baik yang kaya maupun miskin dan pemerintah setempat bisa menangani atas semua ini dan dapat menikmati daging sapi atau kerbau di hari meugang.

Penulis adalah Dosen PAI IAIN langsa dan Sekretaris Dewan Da’wah Kota Langsa