Oleh: Muhammad Syafi’i Saragih
Persepsi atau cara pandang itu adalah hasil dari sebuah bentukan pikiran. Apa yang dipikirkan akan menghasilkan sebuah cara sikap, dan cara bersikap itu akan melahirkan cara berperilaku.
Menurut saya muaranya dari sini. Kita itu dituntut untuk memulai semua pandangan terhadap sesuatu dengan cara yang positif, bukan negatif. Kalau mikirnya positif, auranya juga positif. Begitu sebaliknya.
Kenapa orang, terkadang karena hal yang barangkali sepele bisa terpicu amarah yang luar biasa? Bahkan bisa sampai ke penganiayaan fisik dan bahkan pembunuhan? Banyak kejadian kita dengar dan saksikan, apakah di rumah tangga, kehidupan bertetangga, di pasar, dan di tempat umum lainnya, orang adu mulut, berkelahi yang tak jarang pula berujung pada kematian, karena masalah sepele. Kenapa? Ini lagi-lagi ini soal persepsi.
Motivator Muslim dunia Dr. Ibrahim Elfiky (2009) menulis buku fenomenal berjudul “Terapi Berpikir Positif”. Menurutnya, berpikir positif ternyata bisa menyembuhkan, menjadi obat bagi mereka yang ingin hidupnya bahagia, dan juga bisa menjadi solusi praktis bagi mereka yang saat ini hidupnya dipenuhi kesulitan demi kesulitan.
Ketika kita berpikir positif, yang dalam bahasa agama “Husnudzon”, maka itu akan membangkitkan sugesti dari dalam diri. Sehingga muncul semangat yang jika sugesti itu kian kuat, maka semangat itupun bergunung-gunung, yang mana semangat itu akan mengalirkan kekuatan pada tubuh. Orang yang lemah dengan sendirinya akan menjadi kuat, yang takut jadi berani, yang ciut jadi nekat.
Satu bukti sejarah yang tak terbantahkan tentang pikiran positif itu mampu membangkitkan kekuatan dahsyat adalah ketika raja Thalut dan pasukannya akan berperang melawan Zalut penguasan zalim. Para pasukan sudah merasa ciut mendengar kebengisan dan kekejaman Zalut, dan jumlah tentaranya yang banyak, yang kala itu menurut beberapa riwayat jumlah pasukan Thalut hanya berkisar tiga ratusan saja.
Adapun pasukan Zalut diperkirakan berjumlah ribuan orang. Namun, itu tak menyurutkan langkah para mujahidin di jalan Allah Swt, persepsi mereka tentang perang adalah jalan jihad bertemu dengan sang Rabbul Jalil, yang membuat perang menjadi ladang jihad, di mana perang bagi banyak adalah hal yang menakutkan. Kisah ini begitu apik diabadikan dalam Al-Qur’an Surah Al Baqarah ayat 249;
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍۚ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْۚ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَاِنَّهٗ مِنِّيْٓ اِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً ۢبِيَدِهٖ ۚ فَشَرِبُوْا مِنْهُ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۗ فَلَمَّا جَاوَزَهٗ هُوَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۙ قَالُوْا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ ۗ قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوا اللّٰهِ ۙ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: Maka, ketika Talut keluar membawa bala tentara(-nya), dia berkata, “Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan sebuah sungai. Maka, siapa yang meminum (airnya), sesungguhnya dia tidak termasuk (golongan)-ku. Siapa yang tidak meminumnya, sesungguhnya dia termasuk (golongan)-ku kecuali menciduk seciduk dengan tangan.” Akan tetapi, mereka meminumnya kecuali sebagian kecil di antara mereka. Ketika dia (Talut) dan orang-orang yang beriman bersamanya menyeberangi sungai itu, mereka berkata, “Kami tidak kuat lagi pada hari ini melawan Jalut dan bala tentaranya.” Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.” Allah bersama orang-orang yang sabar. (Q.S. Al Baqarah; 249)
Bukankah keberhasilan tentara Thalut karena pikiran dan persepsi positif? Begitulah, pikiran dan persepsi positif, sekali lagi saya katakan mampu memberikan kekuatan yang bisa jadi tak terduga. Persepsi positif ini akan melahirkan sugesti dari dalam diri yang akan menghasilkan kekuatan dan semangat yang kuat.
Seringkali, ketika orang sedang dalam keadaan sakit, dokter dan siapapun yang menjenguk pasti akan mengatakan kalimat-kalimat yang memberi semangat. Nah, kalimat-kalimat itulah yang kalau direspon dengan positif maka akan menjadi kekuatan dan sugesti terhadap diri sendiri untuk bangkit dan yakin bahwa Allah swt akan memberinya kesembuhan. Imbasnya, akan berpengaruh pada imun tubuh yang secara alamiah dan berdasarkan sunnatullah, akan berdampak pulih secara berangsur-angsur.
Orang yang sedang mengalami masalah besar, juga selalu dianjurkan untuk memandangnya secara positif. Agar apa? Agar dapat membangkitkan kembali semangatnya yang jatuh, kekuatannya yang sedang melemah, pikirannya yang sedang galau. Hal paling kecil dari pikiran positif dalam hal ini adalah terjauhkannya kita dari stress, depresi, dan bahkan mungkin kegilaan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah Muhammad Saw junjungan kita bersabda;
“Telah bercerita kepada kami Yahya bin Bukair dari al-Laits bin Sa’ad dari Ja’far bin Rabi’ah dari al-A’raj, ia berkata: bahwa Abu Hurairah berkata dari Rasulullah SAW bersabda, “Berhati-hatilah kalian terhadap prasangka, sesungguhnya prasangka merupakan kebohongan yang terbesar (HR. Al-Bukhori)
Hadis di atas menjelaskan kepada kita tentang larangan berprasangka buruk, karena prasangka buruk memberikan dampak negatif yang sangat besar bagi kehidupan manusia, dan dampak tersebut bahkan bisa menggerogoti semua kebaikan yang telah dilakukannya.
Islam memerintahkan umatnya untuk selalu berpikir positif, meskipun berpikir positif itu sendiri kerap mendapatkan kesulitan untuk dipraktekkan. Banyak orang yang mengetahui tentang konsep berpikir positif, tetapi mereka tidak memberikan perhatian yang cukup kepada pikirannya. Sehingga sadar atau tidak, pikirannyapun masih berdampak negatif.
Lantas bagaimana cara kita membangun dan membiasakan berpikir positif?.
Menurut sebuah riset, manusia setiap harinya kurang lebih berpikir 60 ribu kali. Bahkan, riset dari Fakultas Kedokteran Universitas San Fransisco (1986) menyebutkan, 80 persen dari pikiran manusia cenderung menyuruh pada hal-hal yang negatif. Dari pikiran-pikiran negatif ini akan mengarahkan untuk berperilaku buruk dan menyimpang. Jika tidak dikendalikan sejak awal, perilaku negatif ini akan membentuk watak dan karakter buruk seseorang. Ini yang harus kita hindari bersama.
Agama juga telah mengajarkan pada kita resep sederhana, yaitu dengan riyadhah (latihan) berpikir positif bahwa segala sesuatu itu terjadi tidak lepas dari takdir Allah. Nah, kita diminta untuk selalu husnuzan kepada takdir Allah. Apa pun itu! Karena, sesuai dengan firman-Nya yang artinya:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui“, (QS al-Baqarah: 216)
Ini bukti bahwa Allah Swt itu selalu bersama kita (muraqabah). Apa pun yang terjadi, ketika kita merasa dekat dengan Allah, kita akan terus mampu berpikir positif. (mediadakwah)
Allahu A’lam
Penulis adalah Ketua DDII Kab. Simalungun, Sumut.