DDII menyatakan, dalam menjalankan syariat Islam, haruslah dimulai dari keteladanan para pemimpin dari tingkat provinsi hingga tingkat gampong (desa). Untuk itu, sehubungan semakin dekatnya Pilkada gubernur/wakil dan 18 bupati/walikota secara serentak di Aceh, DDII mengimbau muslimin Aceh, agar memilih pemimpin yang benar-benar sesuai kriteria islami, memiliki komitmen menjalankan syariat Islam, mencintai rakyat dan dicintai oleh rakyatnya.
Pada bagian lain rekomendasi yang ditulis tiga halaman itu, DDII mengharapkan pemerintah lebih hati hati-hati dan menyeleksi investor asing dan tamu luar Aceh, agar tidak membawa misi yang bertentangan dengan pelaksanaan syariat Islam. Orang non muslim haruslah menghargai Aceh yang sedang menjalankan syariat Islam sebagai identitas negerinya.
Sementara untuk MPU, diharapkan bertindak tegas dan berani dalam membuat fatwa. Memanggil pemerintah untuk dinasehati apabila terdapat kebijakan yang diberlakukan merugikan Islam. Supaya kebedataan MPU lebih kuat, hendaknya dalam kepengurusan MPU melibatkan unsur Ormas Islam dan lembaga dakwah.
Muswil DDII Aceh ke 3 ditutup oleh Ketua terpilih kembali secara aklamasi untuk empat tahun kedepan, Drs Tgk H Hasanuddin Yusuf Adan MCL, MA. Pengurus lengkap PW DDII Aceh 2011-2015 akan diumumkan pasca Idul Fitri 1432 Hijriah oleh formatur yang telah ditunjuk forum Muswil, yang terdiri dari Ketua: Hasanuddin Yusuf Adan, anggota: Nazaruddin Idris, Said Azhar, Bismi Syamaun, M. Yusran Hadi, Muhammad AR dan Samir Abdullah.
Tak cukup hanya Aceh
Forum Muswil juga diboboti dengan Dialog Da’wah dan Bedah Buku. Dalam presentasi makalahnya, Ketua Umum DDII Pusat H Syuhada Bahri Lc mengatakan, seharusnya pilot proyek pelaksanaan syariat Islam seharusnya tak hanya berlangsung di Aceh saja, sehingga lebih mudah dievaluasi. “Tak cukup hanya Aceh saja, mestinya ada tiga provinsi lagi,” katanya. Apabila satu provinsi dianggap gagal, maka akan ada provinsi lain yang menjadi model sukses.
Menurut dia, pelaksanaan syariat Islam haruslah berlangsung di seluruh Indonesia. Itulah yang terus diperjuangkan oleh DDII dan komponen Islam lainnya melalui berbagai aktivitas dakwah dan pendekatan politik. Implementasi syariat Islam kaffah di Indonesia adalah hal wajar, mengingat negeri ini bebas dari penjajahan kolonial tak terlepas peran besar muslimin melakukan jihad fisabilillah melawan penjajah. “Muslimin mayoritas di Indonesia,’ tegasnya.
Untuk itu, dia berharap pengurus DDII dan aktivis dakwah di seluruh Indonesia dapat meningkatkan aktivitas dakwah, sehingga secara bertahap masyarakat Islam tak lagi menolak syariat Islam. Dalam pengetahuannya, selama ini, sering kali jika ada tuntutan pemberlakukan syariat Islam, maka yang menolaknya juga ummat Islam. Lihat saja pemberlakuan Perda-Perda syariat Islam di beberarapa daerah, justru yang memprotesnya dari kalangan Islam.
Syuhada Bahri berharap, syariat Islam di Aceh yang telah mendapat legitimasi UU dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga tidak gagal dan menjadi momok bari daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini DDII mestilah lebih serius lagi meningkatkan dakwah Islamiah, memperkuat jalinan kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota dan melakukan advokasi terhadap berbagai pelanggaran syariat Islam.
Dia mengharapkan dakwah dilakukan dengan santun di seluruh Indonesia, memperkuat SDM da’i, manajemen dakwah dan meningkatkan jaringan DDII kab/kota di seluruh Indonesia. “Di era otonomi sekarang ini, yang mesti ditingkatkan adalah keberadaan DDII kab/kota, sehingga dapat lebih mewarnai pelakasanaan syariat Islam dan bermitra dengan bupati/walikota,” harapnya.
Dialog Da’wah dilanjutkan dengan bedah buku “Aceh dan Inisiatif NKRI” karya Ketua DDII Aceh, Hasanuddin Yusuf Adan. Buku itu dibedah oleh Sekjen DDII Pusat, H Amlir Syaifa Yasin MA. Buku yang terdiri dari 252 halaman dan diterbitkan Adnin Foundation Banda Aceh 2010 itu memuat sejarah kekecewaan Aceh terhadap Jakarta sejak DI/TII dan konflik GAM-RI. “Buku ini merekam sejarah kekecewaan Aceh terhadap NKRI, kareka tak mau melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara,” kata Hasanuddin.
Wagub yang hadir dan membuka Muswil Ke-3 Dewan Da’wah, dalam amanatnya mengidentifikasi problem ummat Islam yang menjadi tantangan pelaksanaan syariat Islam. di antaranya, secara internal masih rendahnya pemahaman agama di kalangan ummat, polarisasi pemahaman beberapa furu’iyah berimbas kepada perpecahan, kemampuan manajemen yang kurang memadai serta etos kerja dan citra ummat Islam yang baik dan bersih belum dapat diwujudkan. Di sisi lain, secara eksternal, Wagub menyebutkan pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi informasi, mainstream politik global yang menyudutkan ummat Islam dengan citra teoris, radikal dan upaya misionaris, menjadi hambatan lain guna menciptakan kehidupan Islami.
Menyahuti persoalan di atas, jalan keluar yang perlu ditempuh, di antaranya alah perkuat kegiatan da’wah yang bil-hikmah, mauidhah hasanah dan mujadalah yang baik. Hidupkan kembali pengajian di rumah-rumah, meunasah. Perkuat kontrol orang tua terhadap anak, khususnya ketika anak sudah menginjak remaja. Khusus untuk ormas Islam, hendaklah menjadi problem solver bukan sebaliknya hanya sebagai trouble maker. Saya yakin, Dewan Da’wah dapat menjadi salah satu ormas Islam yang menyelesai masalahkan masalah ummat, demikian Muhammad Nazar mengakhiri amanatnya.
Banda Aceh, 18 Juli 2011
Panitia Pelaksana,
Drs. M. Nasir Idris
Sekretaris