Oleh Dr. Muhammad AR. M.Ed

Salah satu amal ibadah yang sangat berguna, di dalam Islam,  baik di dunia maupun di akhirat adalah sedeqah. Ada beberapa ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi saw yang mengelaborasikan tentang manfaat sedeqah. Namun, ada anggapan sebagian orang kalau mau bersedekah harus kepada yang membutuhkannya, seperti kepada orang fakir, orang miskin, untuk pembangunan masjid, pembangunan tempat pengajian dan pendidikan Islam serta yang  sejenisnya. Jarang sekali orang berniat memberi sedekah kepada orang kaya, kepada pelaku maksiat, kepada pencuri, kepada pelacur,  kepada orang kafir dan kepada  orang yang tidak membutuhkannya. Karena kebanyakan orang berpikir bahwa memberi sedeqah kepada orang-orang yang tersebut tadi tidak tepat sasaran alias pahalanya berkurang, atau tidak memperolehnya sama sekali karena mereka bukan orang yang pantas menerimanya.

Namun apa yang terjadi ketika seseorang yang sangat ikhlas memberikan sedekah tanpa melihat siapa yang akan menerimanya, kepada siapa sedekahnya akan mengalir atau diberikan, dan bagi orang seperti ini hal tersebut tidak penting karena tugas ia adalah memberi sedekah dengan penuh  harap akan  redha Allah swt. Ternyata dengan nawaitu keihklasan  dan mencari keredhaan Allah, maka Allah-pun akan menampakkan manfaat memberi sedekah sebagaimana diperjelas dalam salah satu Hadis Rasulullah saw berikut ini.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda: “Seseorang berkata, “Aku akan bersedekah”.  Ia kemudian mengeluarkan sedekah, tapi ia berikan kepada seorang pencuri.  Pada pagi harinya, orang ramai berkata,  ‘Seorang pencuri diberikan sedekah oleh seseorang tadi malam.’

Ia kemudian berkata, ‘Ya Allah! Bagi-Mu segala puji. Aku akan bersedekah (lagi).’ Ia kemudian mengeluarkan sedekah, tetapi ia berikan kepada  seorang wanita pelacur. Pada pagi harinya,  orang ramai  berkata, ‘Seorang wanita pelacur diberikan sedekah oleh seseorang tadi malam.’

Kemudian orang itu berkata lagi, ‘Ya Allah! Bagi-Mu segala puji atas (sedekah yang aku berikan kepada)  seorang wanita pelacur. Aku akan bersedekah (lagi). ‘Ia kemudian mengeluarkan sedekah lagi, tetapi ia berikan kepada seorang yang kaya. Pada pagi harinya, orang ramai berkata, ‘Orang kaya diberi sedekah tadi malam oleh seseorang.’  Ia kemudian berkata, ‘Ya Allah, Bagi-Mu segala puji atas (sedekah yang aku berikan kepada)  seorang pencuri, seorang wanita pelacur dan orang kaya.

Ia kemudian didatangi (seseorang dalam mimpinya), lalu dikatakan kepadanya, ‘Adapun sedekahmu untuk seorang pencuri, mudah-mudahan ia menahan diri dari mencuri. Adapun sedekahmu kepada wanita pelacur, mudah-mudahan ia menahan diri dari perbuatan zina. Dan adapun sedekahmu untuk orang kaya, mudah-mudahan ia  bisa memetik pelajaran, lalu  menginfakkan sebagian  (rezeki) yang Allah berikan kepadanya. (H.R. Bukhari dalam Sahihnya  bab Zakat 1421).

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya bahwa Yazid bin Akhnas menyerahkan  uang  beberapa dinar kepada  seseorang di masjid dan memintanya untuk membagikan uang tersebut kepada yang berhak. Akhirnya anak  Yazid: Ma’an datang dan  lalu menerima  uang tersebut.  Ia tidak tahu uang tersebut berasal dari ayahnya.  Akhirnya ia datang menemui ayahnya dan si ayah menolak uang tersebut diambil anaknya, Ma’an. Ayahnya berkata, “Bukan untuk kamu  yang aku maksudkan sedekah tersebut.” “Akhirnya si anak tersebut melaporkan   ayahnya di hadapan Rasulullah saw., lalu beliau  bersabda  sebagai seorang  mufti dan hakim, “Engkau mendapatkan apa yang telah engkau niatkan, wahai Yazid!  Dan engkau mendapatkan apa  yang engkau  terima, wahai Maan. (Shahih Muslim 1422).

Kalau kita sudah berniat untuk memberikan sedekah, maka anggaplah sedekah tersebut pasti diberikan kepada yang berhak menerimanya dan benar-benar membutuhkannya. Oleh karena itu  harta yang telah disedekahkan itu sudah diterima oleh yang berhak,  tidak ada lagi bersama kita, artinya itu kita sudah menyampaikannya. Jadi tidak perlu diusik atau diungkit-ungkit lagi, karena harta kita yang tinggal adalah itulah yang telah kita infakkan dan sedekahkan  dan inilah saham kita yang akan kita ambil kembali di hari kiamat kelak.  Demikian pula para guru, para ustad, para teungku, para dosen, para pendidik yang telah mentransfer ilmunya kepada murid-murid, siswa, dan mahasiswa, semoga inilah ilmu yang  bermanfaat yang salah satu pertanyaan dalam alam Barzakh atau alam kubur adalah tentang ilmu yang bermanfaat. Mudah-mudahan segala ilmu yang diajarkan kepada manusia adalah ilmu yang bermanfaat bagi dirinya, bagi keluarganya, dan bagi masyarakat banyak.  Dan inilah salah satu jawaban untuk malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur nanti tentang  al-ilmu yuntafa’u bihi.

Wahai diriku, dan  saudara-saudaraku seiman dan seakidah camkanlah ada dua hal yang akan diminta oleh orang meninggal dan orang kafir ketika mereka telah mati. Allah menyebutkan dalam al-Qur’an yang artinya bahwa manusia ketika manusia meninggal dunia, ia meminta kepada Allah swt untuk dikembalikan ke dunia untuk   beramal salih dan  untuk bersedekah. Namun ini adalah permintaan-permintaan yang kedaluarsa yang sama sekali tidak mungkin terjadi menurut ilmu Allah sebab kita telah diberi waktu yang cukup untuk berpikir, berbuat, merenung, melihat, dan menyelidiki kebenaran Ilahi.  Makanya sesuai dengan makna salah satu Hadis Nabi saw yaitu “jagalah yang  lima sebelum datang  lima hal; jagalah masa mudamu sebelum  datang masa tuamu; jagalah masa sehatmu sebelum datangnya sakit;  pergunakanlah waktu lapang sebelum datangnya waktu sempit; jagalah ketika kamu kaya sebelum datang masa papa (miskinmu); dan jagalah hidupmu sebelum datang kematianmu.

Waktu  masih tersedia dan hartapun  masih ada walau sedikit, para penerima sedekah ataupun bantuan masih ada, sebab ketika akhir zaman manusia semua manusia sudah kaya dan makmur sehingga orang-orang pergi ke seantero dunia untuk memberikan sedekah kepada orang, namun pada saat itu semua orang menolak sedekah atau bantuan karena mereka semua sudah berkecukupan. Tunggulah akan datang masa tersebut sebelum kiamat tiba! Janganlah menunggu hingga mata hari keluar dari arah barat. Karena pada waktu itulah segala amal tidak diperhitungkan lagi.

Dalam syarahan  ayat 99-100 Surat Al-Mukminun para mufassirin menjelaskan bahwa ada beberapa kesempatan manusia memohon sangat kepada Allah agar dikembalikan ke dunia. Pertama  ketika  manusia sedang sakratul maut (diambang kematian); kedua  ketika hari berbangkit; ketiga  ketika hari manusia dibariskan dihadapan Allah Yang Maha Perkasa sambil menunggu keputusan apakah ke neraka atau ke sorga; keempat  ketika manusia digiring ke neraka; dan kelima  ketika manusia tenggelam di tengah kobaran api neraka. Inilah penyesalan yang tidak ada guna sama sekali, oleh yang demikian marilah kita saling mengingatkan akan peristiwa dahsyat ini, mudah-mudahan kita dan sanak keluarga kita serta semua rakan-rakan kita yang muslimin dan muslimat terbebas dari semua itu.

Saya akhiri tulisan ini  dengan mengutip salah satu Hadis Raulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Hakim, Ibn Hibban dan Al-Baghawi yang atinya: “Barangsiapa yang mencintai dunia, akan menimbulkan mudharat terhadap akhiratnya, dan barangsiapa mencintai akhiratnya, akan  menimbulkan mudharat terhadap dunianya. Maka hendaklah kalian lebih mementingkan yang kekal dari yang fana.”  Dalam bahasa yang lugas  bisa kita maknai bahwa  akhirat sudah jelas tujuannya dan  sudah jelas pula balasan yang diperbuat seseorang.  Akhirat itu pasti dan  apa yang ada di dunia ini semuanya akan sirna, karena itu kejarlah kepastian dan kebenaran sebab ini pasti berlaku, dan tinggalkan keragu-raguan dan ketidakpastian—-dunia.

Penulis adalah Ketua Dewan Dakwah Aceh

Oleh Dr. Hasanuddin Yusuf Adan

MUQADDIMAH

Secara harfiah sedekah sinonim dengan makna; derma, pemberian percuma, keikhlasan memberi dan semacamnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sedekah diartikan: pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya di luar kewajiban zakat (maal dan fithrah). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sedekah itu adalah suatu pemberian (dalam bentuk material, jasa, kebaikan dan kemurahan hati seseorang kepada orang lain) yang ikhlas dan tidak mengharapkan balasan daripada orang yang menerimanya.

Dengan demikian ada sedikit beda antara pengertian shadaqah dengan infaq, kalau shadaqah itu lebih cenderung sifatnya kepada nuansa ibadah dalam pengertian yang luas. Sementara infaq itu sendiri lebih mengarah kepada sifatnya ibadah konsumtif, yaitu mengeluarkan dan membelanjakan harta untuk donasi yang berkaitan dengan berbagai jenis material seperti infaq uang, infak air, infak nasi, infaq kuwe muwe dan sejenisnya. Walaubagaimanapun hakikat makna keduanya lumayan sulit untuk dipisahkan karena keduanya bernilai pengeluaran harta dari satu pihak kepihak lain secara percuma, ikhlas dan tulus.

Dalam perjalanan hidup ummat manusia khususnya ummat Islam yang memahami hakikat dan makna shadaqah dan infaq tersebut selalu dijadikannya sebagai modal kemajuan, modal kejayaan dan modal persahabatan yang paling bermakna. Dengan infaq dan shadaqah itulah Islam jaya raya, dengan infaq dan shadaqah pula ukhuwwah semakin bermakna, dan dengan infaq dan shadaqah itu jualah kekuatan perjuangan Islam semakin tangguh, berhasil dan dapat melestarikan diynullah tersebut sampai keakhir zaman dunia.

 

KEWAJIBAN

Terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan ummat Islam wabil khusus orang-orang beriman untuk bersedekah dan menginfakkan hartanya di jalan Allah. Perintah Allah itu dalam qaidah ushul fiqh menunjukkan kepada wajib (kullu amrin yadullu ‘alal wujub) setiap perintah Allah itu menunjukkan kepada wajib. Demikian juga sebaliknya setiap larangan Allah itu menunjukkan kepada haram (kullu nahyin yadullu ‘alat tahrim) seperti larangan Allah dalam Al-Qur’an; wa la taqrabuz zina (jangan dekat kepada zina), itu bermakna dekat dengan zina apalagi kalau berbuat zina menjadi haram dan dosa besar hukumnya.

Sadaqah itu dapat diartikan kedalam dua makna kewajiban; kewajiban muthlaq berkenaan dengan shadaqah zakat (maal dan fithrah) firman Allah SWT: Ambillah shadaqah (bermakna zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo`alah kepada mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (At-Tawbah: 103). Shadaqah yang tertera dalam ayat tersebut khusus untuk zakat yang menjadi satu kewajiban bagi setiap muslim.

Sementara kewajiban temporer terkait dengan situasi dan kondisi yang membahayakan Islam kalau tidak ada pihak yang bershadaqah seperti; ada masjid yang sudah bocor atau sudah rendah lantainya sehingga kalau hujan turun tergenang air sehingga ummat Islam tidak dapat melaksanakan shalat jum’at di dalamnya. Dalam kondisi seperti itu shadaqah hamba Allah yang sebelumnya bersifat sunat menjadi wajib karena untuk menjalankan satu kewajiban khusus seperti itu harus ada fasilitas khusus pula, manakala fasilitas khusus tersebut sudah wujud dan memadai maka fungsi shadaqah yang dasarnya sunat tadi kembali beralih dari wajib kesunat hukumnya.

Sementara shadaqah dalam artian sunat juga dapat dibelah dua; sunat dalam pengertian biasa dan sunat muakkad yang mendekati wajib. Sunat biasa semisal seseorang yang masuk masjid lalu memasukkan shadaqah kedalam celeng yang ada di dalamnya, orang-orang yang memberikan shadaqah kepada para penuntut ilmu tanpa mengetahui kondisi keuangan si penuntut tersebut dan semacamnya. Sementara yang bersifat muakkad seperti orang bershadaqah terhadap masjid yang tidak tertampung jama’ahnya pada hari jum’at karena masjidnya kecil sehingga muslimin terpaksa shalat di pekarangan dan halaman masjid tersebut. Ini bermakna kalau masjid tidak diperluas ibadah shalat Jum’atnya masih dapat dilaksanakan tetapi kurang selesa.

Untuk kepentingan itulah kalau kita membaca beberapa ayat Al-Qur’an dapat dipahami betapa esensilnya nilai shadaqah itu dalam kehidupan seseorang muslim, sebagaimana firman Allah berikut: Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (Q.S.Al-Baqarah: 254). Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S.Al-Baqarah: 195).

Ayat pertama itu mendeskripsikan kita bahwa shadaqah itu ada masanya untuk ditunaikan dan nanti akan ada masanya pula untuk tidak bermanfa’at lagi harta itu untuk dishadaqahkan, pada waktu itu pula tidak ada lagi jual beli, persaudaraan dan syafa’at yang selama ini dirasakan seseorang muslim. Sementara dalam ayat kedua mendeskripsikan kita bahwa shadaqah itu dapat menyelamatkan diri dari kebinasaan ketika Allah menganjurkan kita untuk berbelanja di jalan Allah untuk menghindari terjerumus kedalam kebinasaan. Dengan langkah demikian seseorang itu telah melakukan kebaikan dan Allah menyukai amalan kebaikan tersebut dengan bershadaqah.

Karena itulah bershadaqah dalam bentuk, keadaan dan zaman bagaimanapun juga merupakan salah satu amalan sangat amat penting, muslihat, mendesak, terhormat dan mulya sepanjang zaman dan masa. Ummat Islam harus sering memaknai shadaqah itu sebagai sebuah kewajiban walaupun ianya dalam keadaan normal bersifat sunat. Dengan sikap demikian akan banyak faedan dan manfa’at bagi eksistensi dan keberlangsungan Islam dan muslimin di muka bumi ini. Dengan anggapan itu pula dapat mendorong kita untuk selalu bershadaqah sekecil apapun ia wujudnya, jangan pula ada anggapan orang kaya banyak pahala karena banyak nilai shadaqahnya sementara orang miskin sedikit pahala karena sedikit shadaqahnya. Nabi telah menyatakan kepada para shahabat bahwa nilai shadaqah sedikit bagi orang miskin sebanding dengan nilai banyak shadaqahnya orang kaya, sekali lagi bershadaqahlah sekecil apapun bendanya.

Kita mesti yakin keberhasilan Rasulullah SAW menyebarluaskan Islam keseluruh dunia karena ramainya orang-orang yang bershadaqah seperti Khadijah, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad ibnu Waqi’ dan lainnya. Keberhasilan merampas kedaulatan Republik Indonesia (RI) dari tangan penjajah juga tidak dapat dinafikan peran infaq dan shadaqah dari ummat Islam dalam berbagai bentuk (harta benda, jiwa raga, tenaga, pikiran dan pemikiran) serta shadaqah do’a muslimin yang sangat amat dominan di sana.

Ketika terjadi invasi kedua Belanda terhadap RI di penghujung tahun 1948, bangsa Islam Aceh berduyun-duyun menginfaqkan harta bendanya untuk membeli pesawat terbang, untuk membiayai duta keliling Indonesia H. Agus Salaim, duta RI untuk India L. N. Palar, mendirikan Radio Rimba Raya, mensuplai beras, uang, keurupuk mulieng ke pertempuran Medan Area yang terjadi di Sumatera Timur yang berhadapan antara Muslim Aceh dengan penjajah Belanda. Ternyata infaq dan shadaqah harta benda, jiwa raga, pikiran pemikiran dan sejenisnya telah membawa hasil yang sangat gilang gemiling bagi bangsa Islam yang doyan berinfaq dan bershadaqah. Untuk itulah infaq dan shadaqah itu tidak boleh putus dalam kehidupang ummat Islam di jagad raya ini.

 

PENGABAIAN DAN PENYESALAN

Sering sekali ummat Islam lupa akan hakikat berinfaq dan bershadaqah ini sehingga mereka cenderung beranggapan dalam kondisi hidup normal seperti hari ini tidak perlu sangat bershadaqah. Karena semuanya hidup dalam keadaan normal dan tidak ada yang perlu dishadaqahkan. Anggapan semacam ini merupakan anggapan yang khilaf, keliru dan salah karena berinfaq dan bershadaqah itu bukan ketika ada orang hampir mati karena sudah sepekan tidak makan, bershadaqah itu bukan pula ketika ada orang yang memintanya tetapi bershadaqah itu sunat dilakukan kapan dan di mana saja dalam kondisi dan situasi bagaimanapun juga. Sementara kalau ada orang mau mati karena tidak makan sepekan maka shadaqah dari orang berpunya itu menjadi wajib hukumnya.

Jangan ada orang yang menyesal ketika dunia ini berakhir yang ia tidak pernah bershadaqah dalam kondisi dunia normal tetapi mau bershadaqah pada hari terakhir tersebut sama sekali tidak bermakna lagi dan tidak diterima lagi oleh Allah sebagaimana bershadaqahnya orang lain pada masa normal seperti sekarang ini. Firman Allah: hari itu tidak lagi bermanfa’at harta benda (yang melimpah ruah) dan anak-anak (yang berpangkat tinggi) kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim (bersih dan suci), (Asy-Syu’arak: 88-89). Di sana ada dua konsekwensi dalam ayat berikutnya: dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa, dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat”, (Asy-Syu’arak: 90-91). Dapat dimaknai salah satunya orang bertaqwa adalah orang yang bershadaqah dan orang yang sesat yang dekat dengan neraka adalah salah satunya mereka yang tidak mau bershadaqah.

Pengabaian bershadaqah di hari ini pasti akan menuai penyesalan di hari nanti, kikir dalam kehidupan hari ini tidak akan pernah dapat diganti dengan murah pada hari nanti ketika Allah sudah menutup buku amalan hamba. Berlomba-lomba menumpuk harta hari ini tidak akan mampu menyelamatkan kita dari api neraka di hari nanti manakala mati dan berpisah dengan harta yang tidak pernah bershadaqah dengannya. Mewariskan harta benda kepada anak cucu di dunia ini tanpa bershadaqah tidak akan pernah punya peluang dan kesempatan bagi anak dan cucu kita untuk mampu membela kita di hari nanti. Rasulullah SAW bersabda: apabila mati seseorang manusia (anak Adam) maka putuslah semua perkara dunianya kecuali tiga perkara; pertama adalah shadaqah jariyah, kedua ilmu yang bermanfa’at kepadanya, dan ketiga anak shalih yang senantiasa berdo’a kepadanya. Selain itu tidak akan pernah bersama kita manakala kita sudah tidak lagi hidup di dunia yang fana.

Jangan pula ada di antara kita yang ketika tiba masanya lalu meminta kepada Allah untuk ditangguhkan kematiannya hanya sekedar untuk bershadaqah karena selama hidupnya tidak pernah atau kurang sekali bershadaqah. Itupun menjadi sesuatu yang diibaratkan jauh panggang dari api karena masa sudah berlalu tidak akan mungkin diulangi kembali. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Munafiqun ayat 10 yang artinya: Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bershadaqah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”

Penyesalan demi penyesalan tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan, kewajiban demi kewajiban hanya berfaedah dan bermanfa’at manakala pada waktunya diamalkan, kewajiban demi kewajiban hanya bermakna ketika ia tepat masa dan tepat sasaran dijalankan, permintaan demi permintaan tidak akan pernah bermanfa’at dan berguna ketika nyawa sudah meninggalkan badan. Untuk itulah pelajaran demi pelajaran harus dijadikan peringatan untuk meningkatkan amalan dalam kehidupan sehingga kehidupan yang singkat ini tidak berakhir dengan penyesalan demi penyesalan, tidak berakhir dengan kekecewaan demi kekecewaan, tidak berakhir dengan keterlanjuran demi keterlanjuran, tidak berakhir dengan memiliki peluang menuju jahannam. Na’uzubillah dan Wallahu a’lam…

Oleh Dr. Hasanuddin Yusuf Adan

KALAM PEMBUKA

Kekuatan shadaqah (The Power of Shadaqah) bagi kehidupan seorang muslim sangat luar biasa effeknya kalau diperhatikan dan dirasakan dengan penuh perasaan yang mendalam. Ianya memiliki dua nikmat yang sulit diperoleh dari ibadah selainnya bagi seorang penyedaqah, nikmat pertama ia sangat senang dan bahagia karena dapat berinfaq dan bershadaqah kepada pihak lain yang menyisakan amal shalihnya di sana. Dan yang kedua ia akan memperoleh ganjaran daripada Allah SWT di hari kemudian yang sangat luar biasa dan tidak mampu diduga ketika ia bershadaqah.

Bershadaqah itu berarti ada pihak yang menginfaqkan sejumlah hartanya secara ikhlas kepada pihak lain yang membuat pihak penerima tersebut memperoleh keuntungan dari shadaqah yang diberikan oleh penyedaqah. Dalam kontek shadaqah menyedaqah ini lahir nilai ukhuwwah, kasih sayang, rasa peduli, mengurangi beban sampai kepada mendapatkan pahala daripada Allah sang pencipta kepada kedua belah pihak yang bershadaqah dan yang menerima shadaqah atas dasar keikhlasan.

Shadaqah itu sangat sulit dikeluarkan oleh orang Islam yang belum memahami makna, hakikat dan kekuatan daripada shadaqah itu sendiri. Ia juga berat sekali dikeluarkan oleh orang kikir dan mencintai harta yang menurutnya bershadaqah itu memberi harta yang capek dicari kepada orang lain yang tidak mencarinya. Dalam pemikiran seperti itu memberikan shadaqah kepada orang lain yang membutuhkannya merupakan salah satu cara mengurangi hartanya maka ia tidak mau bershadaqah. Namun demikian bagi seseorang yang memahami makna dan hakikat bershadaqah itu sungguhlan senang berinfaq dan bershadaqah.

 

KENAPA HARUS BERSHADAQAH

Sejumlah orang sering bingung dengan shadaqah dan mereka juga sering bertanya-tanya kenapa harus bershadaqah, mereka tidak tau maksud dan tujuan bershadaqah sehingga shadaqah itu tidak melekat dalam kepalanya. Tetapi kalau ia tau bershadaqah itu sebagai perintah Allah yang menciptakan langit dan bumi beserta dengan isi semuanya maka ia harus berpikir bahwa shadaqah itu suatu amalan penting lagi wajib pada masa-masa tertentu. Kalau daya pikirnya sudah sampai kesitu maka terjawablah pertanyaan dan keraguan yang ada dalam kepalanya berkaitan dengan shadaqah.

Orang-orang bershadaqah itu digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai orang yang bertaqwa yang memperoleh keberuntungan, sebagaimana firman Allah berikut ini; Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Qur’an surah Al-Baqarah ayat 2,3,5). Jadi orang yang bershadaqah adalah mereka yang bertaqwa karena bershadaqah, beriman, mendapat petunjuk dan akhirnya mendapat keberuntungan karena infaq dan shadaqahnya, karena taqwanya dan karena imannya.

Allah juga memanggil orang-orang beriman untuk menginfaqkan hartanya sebelum datangnya hari terkhir (Q.S. Al-Baqarah; 254). Beliau juga menganjurkan dan memerintahkan hambaNya untuk berinfaq dan bershadaqah hartanya pada jalan Allah (Al-Baqarah; 195). Kedua ayat tersebut dapat menjawab pertanyaan; kenapa kita harus bershadaqah, jawabannya adalah karena berinfaq dan bershadaqah itu merupakan perintah Allah kepada muslimin dan mukminin.

 

KEKUATAN SHADAQAH

The power of shadaqah itu sulit sekali diperhitungkan dengan analisa dan pemikiran tetapi ia mudah sekali diukur dengan ketentuan Al-Qur’an dan kenyataan di lapangan. Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 261 Allah menggambarkan kekuatan shadaqah yang berlipat ganda balasannya, firman Allah SWT: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Harta yang dinafqahkan di jalan Allah itu dapat dirinci seperti berinfak dan bershadaqah untuk pembangunan masjid, untuk membangun pendidikan Islam yang benar bukan Islam sepilis, untuk membebaskan kesulitan muslim fakir dan miskin, untuk menyantuni anak yatim, untuk menegakkan agama Allah (jihad fi sabilillah), untuk mengembangkan gerakan dakwah Islamiyah dan sejenisnya. Semua itu tergolong kedalam bershadaqah di jalan Allah dan semua itu harus dilakukan jauh dari ria, takabbur, dan menyakiti hati orang yang menerima shadaqah, selaras dengan firman Allah:

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan sipenerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 262). Dalam ayat lain Allah sengaja memanggil orang-orang beriman untuk menampakkan efek daripada shadaqah tersebut, firmannya: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah ayat 264)

Dalam sebuah kisah nyata yang terjadi di Jeddah negeri Saudi Arabia, seorang pembantu rumah tangga asal Jawa Timur Republik Indonesia yang bekerja pada seorang majikan yang isteri majikan tersebut mengalami sakit kanker rahim yang sudah berkali-kali berobat kerumah sakit dan dokter di sana berkesimpulan penyakit kangkernya berhadapan dengan maut. Dokter tersebut menyarankannya untuk banyak baca Al-Qur’an dan banyakkan ibadah karena harapan hidup sudah sangat tipis sekali.

Apa yang terjadi kemudian, isteri majikan tersebut hari-hari memperhatikan tingkah laku pembantunya selalu setelah selesai bekerja urusan rumah tangga majikannya masuk kamar mandi dalam limit waktu yang sangat lama. Karena sudah tiap hari terjadi demikian maka suatu hari isteri majikan tersebut memanggilnya dan menanyakan gerangan apa yang membuat pembantunya selalu berlama-lama di kamar mandi. Sang pembantu bercerita; bahwa ketika dia memohon untuk menjadi pekerja di Arab Saudi dahulu dia baru menikah dan lama sampai satu tahun tidak ada pengumuman diterima atau tidak sehingga ia melahirkan seorang bayi. Baru sebulan ia melahirkan baru ada panggilan untuk bekerja di Arab Saudi, diapun dengan besar hati meninggalkan suami dan anak tercinta untuk mencari rizki di negeri orang. Karena itulah lanjutnya saya harus berlama-lama di kamar mandi untuk membuang ASI anak saya karena terasa sakit sekali kalau saya tidak membuangnya.

Mendengar cerita tersebut isteri majikannya sontak berucap: kalau begitu kamu mempunyai tanggungjawab besar sekali untuk bayimu di sana maka kamu segera pulang menyusui bayimu, ini nomor HP saya manakala kamu sudah selesai tugas tersebut mau bekerja dengan saya lagi hubungi saya dan saya berikan gaji kamu untuk dua tahun kontrak secara full tidak saya kurangi walaupun lamanya kerjamu bersama saya belum sampai dua tahun penuh. Mendengar jawaban tersebut sang pembantu terbelai seperti berada dalam mimpi, hampir-hampir dia tidak percaya dengan ucapan tersebut. Sang majikan memintanya untuk berkemas semua pakaian dan keperluan yang mau dibawa pulang dan tiketpun segera dipesan. Esok harinya janji gaji penuh dua tahun kontrak diberikan serta dihantarkan ke bandara menuju Jawa Timur.

Berakhirlah kisah pilu sang pembantu karena susah menahan air susu yang berhak dimunum oleh bayinya yang baru berusia tiga bulan. Kembali kisah kepada isteri majikannya yang tiba giliran periksa kangker ke rumah sakit, ketika dokter memeriksanya untuk kesekian kali semua dokter jadi tercengang karena kangker yang dipastikan tidak mampu diobati lagi secara ajaib sudah tiada, para dokter menjadi heran dan bingung. Mereka bertanya kepada pasiennya: ibuk ada makan obat apa selama ini, ibu itu menjawab: saya tidak makan obat apapun selain yang dokter berikan dan anjurkan untuk saya makan. Dokter tidak percaya dan bertanya lagi apa yang pernah terjadi dengan anda selama rentang waktu kontrol ulang sebelumnya dengan hari ini. Ibu itu teringat kalau pembantunya ada masalah dengan bayinya seperti kisah tersebut di atas, mendengar jawaban sang ibu para dokter serentak berucap: itulah The Power of Shadaqah yang telah membantu ibu menghilangkan kanker kronis yang sulit diobati dengan upaya medis tetapi mudah bagi Allah untuk membalas kebaikan ibuk dengan kekuatan shadaqah, inna zalika ‘alallahi yasiyr.

Kisah serupa pernah terjadi terhadap seorang anggota parlemen Indonesia yang tiba-tiba jatuh sakit berat yang diselimuti perasaan dekat dengan maut. Merasakan sakit semacam itu dia memanggil semua anggota keluarganya mulai dari isteri, anak-anak dan menantunya untuk meninggalkan wasiat karena perasaannya berbisik bahwa ia tidak lama lagi akan meninggal dunia. Bersamaan dengan itu pula ia meminta keluarganya untuk menghubungi orang-orang yang pernah berhutang padanya untuk dibebaskan tidak dipungut bayarannya lagi termasuk hutang dari panita masjid yang apabila dijumlahkan semuanya berada pada deretan ratusan juta rupiah. Ketentuan Allah juga terjadi untuk dirinya, sepekan kemudian dia mulai banyak makan, mulai bangun dari tempat tidur dan mulai berbicara lancar dengan anggota keluarganya serta sakit parahnya pulih total di luar perkiraannya. Ternyata semua itu terjadi berkat The Power of Shadaqah, kekuatan shadaqah yang ikhlas itu tidak mampu diukur, tidak mapu diprediksi dan tidak mampu dihargai kekuatannya.

The Power of Shadaqah itu ternyata bukan hanya menjadi keaiban di dunia saja melainkan balasan Allah di akhirat nanti lebih luarbiasa lagi selaras dengan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 133-134: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Ternyata orang-orang yang bershadaqah itu termasuk salah satu orang yang bertaqwa dan orang taqwa tersebut tentunya calon penghuni syurga; Barangsiapa tha`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (An-Nisak: 13). Untuk itu semua marilah kita berlomba-lomba untuk berinfaq dan bershadaqah terutama sekali untuk perjuangan Islam di jalan Allah yang hari ini Islam sudah dikebiri, dimanipulasi, didiskriminasi, diradikalisasi dan diterorisasi oleh kafir musuh-musuh Allah dan juga muslim KTP yang sepilis. Berinfaklah di jalan Allah agar Allah memudahkan jalan kita bertemu denganNya di syurga kelak.

Penulis adalah Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

Tak terasa kita memasuki bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu agung yaitu bulan Ramadhan. Setelah sekian lama berpisah, kini Ramadhan kembali akan hadir di tengah-tengah kita. Bagi seorang muslim, kedatangan Ramadhan tentu akan disambut dengan rasa gembira dan penuh syukur, karena Ramadhan merupakan bulan maghfirah, rahmat, menuai pahala dan sarana menjadi orang yang muttaqin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan diri untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan, agar Ramadhan kali ini benar-benar memiliki nilai yang tinggi dan dapat mengantarkan kita menjadi orang yang bertaqwa. Namun, bagaimana cara kita menyambut Ramadhan sesuai dengan tuntunan syariat? Apa yang mesti kita persiapkan? Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Menurut penulis, banyak amalan yang perlu dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri menyambut  kedatangan bulan Ramadhan, di antaranya yaitu:

Pertama, berdoa kepada Allah, sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafusshalih. Mereka berdoa kepada Allah Swt agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya, dan selama enam bulan berikutnya mereka berdoa agar puasanya diterima Allah Swt. Berjumpa dengan bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah Swt. Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya para salaf berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan berikutnya agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka kerjakan” (Lathaif Al-Ma’aarif: 174)

Kedua, menuntaskan puasa tahun lalu. Sudah seharusnya kita mengqadha puasa sesegera mungkin sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun kalau seseorang mempunyai kesibukan atau halangan tertentu untuk mengqadhanya seperti seorang ibu yang hamil dan yang sibuk menyusui anaknya, maka hendaklah ia menuntaskan hutang puasa tahun lalu pada bulan Sya’ban. Sebagaimana Aisyah r.a  tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. Menunda qadha puasa dengan sengaja tanpa ada uzur syar’i  sampai masuk Ramadhan berikutnya adalah dosa, maka kewajibannya adalah tetap mengqadha, dan ditambah kewajiban membayar fidyah menurut sebagian ulama.

Ketiga, persiapan keilmuan. Menuntut ilmu ibadah hukumnya wajib ’ain. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara beribadah dengan benar yaitu sesuai dengan petunjuk Nabi saw sehingga ibadah kita diterima oleh Allah Swt. Mu’adz bin Jabal r.a berkata: ”Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar tersebut dengan berkata: ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.

Oleh karena itu, suatu ibadah tanpa dilandasi ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Ibadah tanpa mengikuti petunjuk Rasulullah saw tidak akan diterima Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang mengada-adakan urusan baru  dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan berasal daripadanya, maka amalannya ditolak” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa yang melakukan suatu amalan  yang bukan berasal dari petunjuk kami, maka amalannya ditolak”. (HR. Muslim)

Ibadah yang dilakukan tanpa petunjuk Rasul saw tidak hanya ditolak, namun juga menuai murka Allah Swt. Rasul saw bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaurrasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian mengada-adakan urusan baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) itu bid’ah, dan semua bid’ah itu kesesatan”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah).

Rasulullah saw juga bersabda: ”Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah (Al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk urusan adalah mengada-adakan urusan baru (dalam agama). Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).

Suatu ibadah akan diterima oleh Allah Saw bila dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Maka, menjelang Ramadhan ini sudah sepatutnya kita untuk mempersiapkan keilmuan kita dengan membaca kitab/buku mengenai Fiqh Puasa dan ibadah yang berkaitan dengan Ramadhan seperti shalat tarawih, tadarus Al-Quran, i’tikaf dan lainnya, agar ibadah kita sesuai Sunnah Nabi saw.

Kempat, persiapan jiwa dan mental. Persiapan ini penting dilakukan, agar jiwa kita siap untuk beribadah dengan full time dan optimal pada bulan Ramadhan. Caranya, dengan memperbanyak puasa sunnat di bulan sebelumnya (minimal di bulan Sya’ban) seperti puasa sunnat Senin dan Kamis, puasa ayyamul bidh (hari ke 13, 14, dan 15 pertengahan bulan hijriah) dan puasa Nabi Daud (sehari berpuasa dan sehari berbuka). Terlebih lagi pada bulan Sya’ban kita sangat dianjurkan memperbanyak puasa sunnat. Aisyah r.a berkata: “Aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa (sunnat) sebanyak yang ia lakukan di bulan Sya’ban. (HR. Muslim).

Adapun pengkhususan ibadah seperti shalat malam dan puasa pada nisfu  sya’ban  (pertengahan Sya’ban) dengan menyangka bahwa ia memiliki keutamaan, maka menurut para ulama perbuatan itu tidak ada satupun dalil shahih yang mensyariatkannya. Puasa nisfu Sya’ban tidak dikerjakan dan tidak pula diperintahkan oleh nabi saw.

Menurut para ulama, hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu sya’ban adalah dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan kebanyakannya maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, para ulama Fiqh tidak menyebutkan dalam kitab-kitab Fiqh mereka bahwa shalat malam nisfu Sya’ban itu sebagai shalat Sunnat dan puasa nisfu Sya’ban itu sebagai puasa sunnat. Bahkan para ulama hadits menjelaskan kepalsuan hadits-hadits tersebut.

Imam Ibnu Al-Jauzi telah mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam berbagai persoalan agama, termasuk mengenai keutamaan nishfu Sya’ban di dalam kitabnya yang beliau beri nama Al-Maudhu’at (hadits-hadits palsu). Beliau memasukkan hadits-hadits palsu mengenai keutamaan nishfu Sya’ban dalam kitab tersebut.

Begitu pula Imam Ibnul Qayyim mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam kitabnya Al-Manar Al-Muniif fii ash-shahih wa adh-dhaif. Beliau mengatakan bahwa hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu Sya’ban itu maudhu’ (palsu).

Syaikh Al-Mubarakfuri berkata: “Saya tidak mendapatkan hadits marfu’ yang shahih tentang puasa pada pertengahan bulan Sya’ban. Adapun hadits keutamaan nisfu Sya’ban yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah hadits yang sangat lemah” (Tuhfah Al-Ahwazii: 3/444).

Dalam kitabnya Al-Fataawaa, Syaikhul Azhar Mahmud Syaltut berkata: “Yang shahih dari Nabi saw dan diriwayatkan dari para shahabat serta diterima oleh para ulama itu hanya keutamaan bulan Sya’ban semuanya. Tidak ada beda antara satu malam dengan malam lainnya. Dianjurkan padanya untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan, khususnya memperbanyak puasa untuk melatih jiwa dalam berpuasa dan untuk persiapan menyambut Ramadhan agar tidak mengejutkan orang-orang dengan perubahan kebiasaan mereka sehingga tidak menyusahkan mereka. Nabi saw pernah ditanya: “Puasa apa yang utama setelah Ramadhan? Beliau menjawab Sya’ban untuk mengagungkan bulan Ramadhan.” Mengangungkan bulan Ramadhan itu dengan cara menyambutnya dengan baik dan merasa nyaman dengan Ramadhan dengan ibadah padanya dan tidak bosan dengannya. Adapun mengkhususkan malam nisfu Sya’ban dan berkumpul untuk menghidupkan malamnya dengan amalan tertentu, shalat dan doa malam nisfu Sya’ban, maka itu semua tidak ada satupun dalil yang shahih dari Nabi Saw dan tidak dilakukan oleh para generasi sahabat.” (Al-Fataawaa: 165-166).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah, beliau berkata: “Mengkhususkan puasa pada hari nisfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersebut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih” (Fiqh As-Sunnah: 1/416).

Dalam kitabnya Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha, Syaikh Hasan Ayyub berkata: “Tidak ada haditS shahih mengenai puasa nisfu Sya’ban. Adapun kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang pada malam nisfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid-masjid dan doa dengan doa’ khusus, semua itu bid’ah yang tidak ada asalnya dalam agama Allah swt.” (Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha: 421).

Begitu pula Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Ash-Shiyam berkata: “Perlu kami ingatkan bahwa yang dilarang dalam puasa yang bid’ah ini (puasa nisfu Sya’ban) yaitu mengkhususkan puasa pada hari itu. Namun jika seseorang berpuasa hari itu dengan puasa sunnat yang biasa dia lakukan seperti Senin dan Kamis, atau puasa pertengahan bulan (hari ke 13, 14 dan 15) setiap bulan hijriah, maka itu tidak dilarang dan tidak ada masalah. (Fiqh Ash-Shiyam: 138)

Syaikh Usamah Abdul Azis berkata: “Menetapkan puasa secara khusus pada nishu Sya’ban tanpa hari-hari lain karena meyakini keutamaan yang tidak dimiliki hari-hari lain adalah perbuatan bid’ah. Ini karena tidak ada dalil yang shahih yang menjelaskannya. Hadits-hadits yang ada dalam masalah ini adalah hadits yang sangat lemah dan bahkan palsu.” (Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah: 68)

Beliau menukilkan perkataan Syaikh Shalih bin Fauzan: “Tidak ada dalil yang shahih dari Nabi saw tentang anjuran shalat pada malam pertengahan bulan Sya’ban secara khusus dan puasa pada siang harinya secara khusus pula. Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits palsu sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan hijriah), maka ia boleh melakukan puasa pada nisfu Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja, tapi hari itu secara kebetulan.” (Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah: 70)

Termasuk persiapan jiwa dan mental yaitu dengan memperbanyak melakukan shalat-shalat sunnat dan membaca Al-Quran pada bulan sya’ban ini, agar kita terbiasa melakukannya sehingga memudahkan kita dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut pada bulan Ramadhan nantinya.

Kelima, persiapan fisik yaitu menjaga kesehatan. Persiapan fisik agar tetap sehat dan kuat di bulan Ramadhan sangat penting. Kesehatan merupakan modal utama dalam beribadah. Bila kita sehat, maka kita dapat melakukan ibadah dengan baik dan optimal. Namun bila kita sakit, maka ibadah kita terganggu. Rasul saw bersabda, “Pergunakanlah kesempatan yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Hakim) Maka, untuk meyambut Ramadhan kita harus menjaga kesehatan dan stamina dengan cara menjaga pola makan yang sehat dan bergizi, dan istirahat cukup.

Keenam, persiapan dana. Pada bulan Ramadhan ini setiap muslim dianjurkan memperbanyak amal shalih seperti infaq, shadaqah dan ifthar (memberi bukaan). Maka, sebaiknya dibuat sebuah agenda maliah (keuangan) yang mengalokasikan dana untuk shadaqah, infaq serta memberi ifhtar selama bulan Ramadhan. Moment Ramadhan merupakan moment yang paling tepat dan utama untuk menyalurkan ibadah maliah kita, karena mengikuti sunnah Rasul saw.  Ibnu Abbas r.a berkata, ”Nabi Saw adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Termasuk dalam persiapan maliah adalah mempersiapkan dana untuk berbuka puasa dan sahur. Begitu pula persiapan dana untuk keluarga selama i’tikaf, agar dapat beri’tikaf dengan baik tanpa memikirkan beban ekonomi untuk keluarga.

Ketujuh, menyelenggarakan tarhib Ramadhan. Di samping persiapan secara individual, kita juga hendaknya melakukan persiapan secara kolektif, di antaranya adalah melakukan tarhib Ramadhan. Tarhib Ramadhan adalah mengumpulkan kaum muslimin di masjid atau di tempat lain untuk diberi pengarahan seputar puasa Ramadhan, adab-adabnya, syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya atau amal ibadah lainnya yang dapat kita lakukan secara maksimal di bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw ketika memasuki bulan Ramadhan, beliau memberikan penjelasan mengenai puasa dan keutamaan Ramadhan kepada para shahabat.

Akhirnya, marilah kita sambut bulan Ramadhan yang sudah di ambang pintu ini dengan gembira dan suka cita. Marilah kita mempersiapkan diri untuk beribadah dengan optimal pada Ramadhan ini. Kita berdoa dan berharap kepada Allah Swt semoga ibadah kita selama ini dan di bulan Ramadhan nanti diterima. Dan semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan kali ini dan dapat meraih berbagai keutamaannya. Amin..!

 

Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Pengurus Dewan Dakwah Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

“Muslimat harus mengambil perannya dalam kebangkitan ekonomi Islam”, demikian pesan Ir. Muhammad Iqbal mewakili Pengurus Dewan Da’wah Pusat membuka Pelatihan Home Industri dan Motivasi bagi ibu-ibu muslimah di Aula Masjid Al-Furqan, Jakarta (Kamis, 15/3).
Melihat pertumbuhan ekonomi saat ini yang ternyata didominasi oleh para konglomerat non-muslim, muslimat harus bisa mengambil peran membangkitkan ekonomi umat walaupun hanya dengan keripik singkong. Hal ini, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw yang berhasil membangun ekonomi Islam dengan menguasai pasar-pasar saat berada di Madinah.
Pelatihan yang bertajuk “Berani Gagal, Berani Sukses” ini mendatangkan pemateri Ibu Muslimah, seorang pengusaha keripik singkong yang cukup sukses meraup omset ratusan juta rupiah setiap bulannya.
Motivator yang dahulunya seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia ini membeberkan rahasia kesuksesannya berbisnis kripik singkong berlabel “Cantir”. Ia memulai usahanya hanya bermodalkan Rp50 ribu. Inspirasinya datang lantaran ia merasa orang kampung, yang juga terbiasa dengan cita rasa jajanan kampung berupa olahan singkong. Usahanya bermula dengan berjualan di kereta commuter linenya yang tadinya masih diperbolehkan, lalu dititipkan di warung-warung tradisional.
“Untuk mengembangkan usaha, akhirnya saya beranikan meminjam modal dari KUR, waktu itu dapat Rp5 juta,” katanya sambil menambahkan, selain keripik Cantir, wanita ini juga membuat jenis jajanan lainnya berbahan dasar singkong.
Di tangannya yang terampil, sisa-sisa potongan singkong tak bernilai diolah menjadi cemilan nikmat dan gurih. Wanita berkerudung ini mampu merubah jajanan ‘kampung’ menjadi cemilan trendi di Jakarta. “Saya beri nama Cantir untuk melestarikan budaya aslinya, juga agar nama yang tadinya terlalu kampungan jadi terkenal,” ujar Ibu Muslimah.
Turut hadir dalam pelatihan yang berlangsung satu hari ini, Ustadzah Andi Nuruljannah, Lc selaku Ketua Muslimat Dewan Da’wah Pusat. Dalam sambutannya, ia menjelaskan bahwa pelatihan ini merupakan salah satu program Biro Ekonomi dan UKM Muslimat Dewan Da’wah Pusat. “Pelatihan ini akan berlanjut di beberapa perwakilan Muslimat Dewan Da’wah Daerah di seluruh Indonesia salah satunya kota Medan yang menyatakan telah siap”, jelasnya. Dewan Da’wah Pusat pun telah siap memfasilitasi seandainya perwakilan daerah menghendaki pelatihan serupa.
Peserta yang berjumlah ratusan tampak cukup antusias mengikuti jalannya acara. Tidak hanya teori yang didapat, peserta juga berkesempatan praktik membuat dan mencicipi keripik singkong olahan Ibu Muslimah yang saat ini pangsa pasarnya sudah go Internasional.

A.   Pengertian Harta

 

Harta secara sederhana mengandung arti sesuatu yang dapat dimiliki. Ia termasuk salah satu sendi bagi kehidupan manusia di dunia, karena tanpa harta atau secara khusus adalah makanan, manusia tidak akan dapat bertahan hidup. Oleh karena itu Allah SWT.menyuruh manusia memperolehnya, memilikinya dan memanfaatkannya bagi kehidupan manusia dan Allah SWT.melarang berbuat sesuatu yang akan merusak dan meniadakan harta itu. Ia dapat berwujud dalam bentuk bukan materi seperti hak-hak dan dapat pula berwujud materi. Yang berwujud materi ini ada yang bergerak dan ada pula yang tidak bergerak.[1]

 

Menurut Hanafiyah bahwa harta mesti dapat disimpan, maka sesuatu yang tidak dapat disimpan tidak dapat disebut harta, maka manfaat menurut Hanafiyah tidak termasuk harta, tetapi manfaat termasuk milik, Hanafiyah membedakan harta dengan milik, yaitu:

Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain.

Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri oleh orang lain, maka menurut Hanafiyah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan).[2]

 

B.   Unsur-unsur Harta

 

Menurut para Fuqaha bahwa harta bersendi pada dua unsur, unsur ‘aniyab dan unsur ‘urf: Yang dimaksud dengan unsur ‘aniyab ialah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (‘ayan), maka manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tapi termasuk milik atau hak.

Unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali manfaatnya, baik manfaat madiyab maupun manfaat ma’nawiyab.[3]

 

 

C.   Memperoleh Harta

 

1.     Harta itu merupakan salah satu sendi dalam kehidupan manusia, maka Allah memerintahkan manusia untuk memperolehnya secara halal.

2.     Seseorang berusaha mencari karunia Allah dengan sekuat tenaganya, maka Allah meminta kepada orang tersebut unuk memohon kepada Allah kiranya Allah melimpahkan karunianya itu dalam bentuk rezeki.

3.     Jika telah berusaha memperoleh rezeki Allah dan telah meminta pula perkenaan dari Allah, maka Allah akan memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.[4]

 

Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk:

Pertama: memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapa pun. Bentuk yang jelas dari mendapatkan harta yang baru sebelum menjadi milik oleh siapapun adalah menghidupkan (menggarap) tanah mati yang belum dimiliki atau yang disebut ihya al-mawat.

Kedua: memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi.

 

Kedua cara memperoleh harta ini harus selalu dilakukan dengan prinsip halal dan baik agar pemilikan kekayaan tersebut diridhai Allah SWT.

 

D.   Pemanfaatan Harta

 

Bila harta dicari dan diperoleh sesuai dengan panduan yang ditetapkan Allah yang tersimpul dalam prinsip halal dan thaib, maka harta yang telah diperoleh itu pun harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan Allah.

 

Hal ini banyak dinyatakan Allah dalam al-Quran di antaranya pada surat Ali-Imran ayat 109:

 

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ  وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ

 

Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan kepada-Nya dikembalikan segala urusan.

 

Dalam surat al-Maidah ayat 17:

 

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

 

Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang adadi bumi dan apa ang ada di antara keduanya. Ia menciptakan apa yang Ia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

 

“kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051).

 

Oleh karena itu, banyak berdoa lah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Doa yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa:

 

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

 

Ya allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketaqwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina. (HR. Muslim no. 2721).

 

Tujuan pertama dari harta itu diciptakan Allah adalah untuk menunjang kehidupan manusia. Oleh karena itu, harta itu harus digunakan untuk maksud tersebut. Tentang penggunaan harta yang telah diperoleh itu ada beberapa petunjuk dari Allah sebagai berikut:[5]

 

1.     Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri.

 

Dalam firman-Nya dalam al-Quran pada surat: al-Mursalat ayat 43:

 

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

 

Makan dan minumlah kamu dengan enak dengan apa yang telah kamu kerjakan.

 

Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan minum, namun tentunya yang dimaksud di sini adalah semua kebutuhan hidup seperti pakaian dan perumahan dan lainnya. Hal ini bearti Allah menyuruh menikmati hasil usaha bagi kepentingan hidup di dunia. Namun dalam memanfaatkan hasil usaha itu ada beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan oleh setiap muslim:

a.     Israf yaitu berlebih- lebihan dalam memanfaatkan harta meskipun untuk kepentingan hidup sendiri. Yang dimaksud dengan israf atau berlebih-lebihan itu ialah menggunakannya melebihi ukuran yang patut, seperti makan lebih dari tiga kali sehari; mempunyai mobil lebih dari yang diperlukan dan mempunyai rumah melebihi kebutuhan. Larangan hidup berlebih-lebihan itu dinyatakan Allah dalam surat al-A’araf ayat 31:

 

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

 

Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan.

 

b.     Tabzir atau boros dalam arti menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaa. Bedanya dengan israf sebagaimana disebutkan diatas ialah bahwa israf itu untuk kepentingan kehidupan sendiri, sedangkan boros itu untuk kepentingan lain, seperti membeli mobil balap yang mahal harganya sedangkan dia bukan seorang pembalap mobil. Allah melarang pemborosan yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 26-27 :

 

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27

 

 

Dan janganlah kamu mengahmbur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya orang yang pemboros itu adalah teman syaitan sedangkan syaitan itu kafir terhadap tuhannya.

 

2.     Digunakan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam:

  1.      Kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama seperti keperluan membayar zakat, nazar atau lainnya.
  2.      Kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga yaitu istri, anak dan kerabat.

 

 

3.     Dimanfaatkan bagi kepentingan sosial.

 

Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun yang diberikan Allah tidaklah sama untuk setiap orang. Ada yang mendapat banyak sehingga melebihi keperluan hidupnya sekeluarga; dan ada pula yang mendapat sedikit dan kurang dari keperluannya.

Kenyataan berbedanya perolehan rezeki ini dinyatakan Allah dalam Firman-Nya pada surat al-Nahl ayat 71:

 

وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ

 

…dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian dalam hal rezeki.

 

Orang yang medapatkan kelebihan rezeki itu dituntut untuk menafkahkan sebagian dari perolehannya itu, sebagaimana disebutkan Allah dalam banyak tempat, diantaranya dalam surat al-Munafiqun ayat 10:

 

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ

 

…dan infaqkanlah sebagian apa yang Allah telah memberi rezeki kepadamu sebelum maut mendatangimu.

 

Disamping Allah memberi pedoman pemanfaatan harta yang telah diberikan kepada seseorang dalam bentuk rezeki maka Allah melarang umat Islam menggunakan hartanya itu kedalam hal yang tujuannya negatif yang dapat menyulitkan atau menyusahkan kehidupan orang lain, menyakiti orang dan menjauhkan orang dari melaksanakan perintah agama.

Dalam hal larangan tersebut Allah berfirman dalam surat al-Anfal ayat 36:

 

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

 

…sesungguhnya orang-orang kafir itu menggunakan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.

 

Secara lebih khususnya lagi Nabi Muhammad SAW melarang menggunakan harta yang diperolehnya dengan cara sebagai berikut:

 

a.     Ihtikar yang bearti penimbunan barang.

b.     Iddikhar yaitu menumpukkan barang untuk kepentingan diri sendiri.[6]

 

 

E.   Sebab-sebab kepemilikan

 

Menurut para ulama ada emapat cara pemilikan harta yang disyaratkan Islam, yaitu:

  1.      Harta yang mubah.
  2.      Melalui transaksi yang dilakukan  melalui lembaga badan hukum
  3.      Melalui peninggalan seseorang (harta warisan) atau (ahli waris).
  4.      Hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang.[7]

 

Sedangkan menurut Pasal 18 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, benda dapat diperoleh dengan cara:

  1.      Pertukaran
  2.      Pewarisan
  3.       Hibah
  4.      Jual beli
  5.       Luqathah (barang temuan)
  6.        Wakaf
  7.      Dan cara ain yang dibenarkan menurut syariah.[8]

 

 

 

Teuku Zakiyun Fuadi

(Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsyiah prodi Ekonomi Syari’ah)

 


[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta Timur, Fajar Interpratama, 2003, Hlm 117.

[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, Raja Grafindo, 2002, Hlm 9.

[3] Ibid, hlm. 10.

[4] Ibid, hlm. 181.

[5] Ibid, hlm., 2002, Hlm 184.

[6] Amir Syarifuddin, Op.Cit, Hlm 189.

[7] Nasrun Haroen, Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta, Kencana, 2012, Hlm 67.

[8] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta, Kencana, 2012, hlm 67.

  1.        Pengertian  Musyarakah (partnership, project financing participation)

Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana (amal/axpertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko (kerugian) akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[i]

Dalam hal kerugian, para ulama sepakat bahwa kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing.[ii]

Musyarakah juga merupakan satu skim fiqih yang fleksibel penggunaannya, seperti di Iran misalnya, skim ini digunakan untuk pembiayaan sektor produksi, jasa, dan belakangan untuk kepemilikan rumah. Dalam khazanah ilmu fiqh, musyarakah melingkupi jenis-jenis transaksi yang sangat luas.[iii]

  1.        Landasan Musyarakah

Islam menyukai kerja sama dalam berbagai bentuk usaha kebajikan dan sebaliknya menolak usaha-usaha yang bisa mendatangkan kemudharatan untuk diri sendiri dan orang banyak oleh karenanya kegiatan musyarakah dibolehkan oleh syariat Islam seperti Firman Allah SWT dalam beberapa surat, “….Tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” (QS. An-Nisa: (12), dan dalam surat lainnya “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman & mengerjakan amal saleh.” (QS Shad [38]: 24).

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa musyarakah (persekutuan) tersebut dibenarkan oleh syariat dan musyarakah yang benar adalah musyarakah yang didasari pada keimanan dan dikerjakan secara ikhlas (amal saleh).

Dari  Abu Huraira RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman,“Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat (berkongsi) selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya apabila ia mengkhianatinya, maka aku keluar dari serikat (perkongsian) itu”. (HR. Abu Dawud dan Hakim). Berdasarkan hadits Rasulullah SAW di atas jelas Islam telah menghalalkan dan memberkahi perkongsian (musyarakah) selama di dalamnya tidak terdapat unsur tipu-menipu (saling mengkhianati).

Sedangkan menurut ijma’, umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.[iv]

  1.        Rukun dan Syarat Musyarakah

Menurut jumhur ulama rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah pelaku akad (mitra usaha), objek akad (modal, kerja, dan keuntungan), dan shighah (ijab dan qabul)[v].

Sedangkan syarat-syarat syirkah menurut Hanafiyah terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

  1.    Syarat yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik harta, maupun lainnya. Pertama, benda yang diakadkan harus berupa benda yang dapat diterima sebagai perwakilan. Kedua, berkaitan dengan keuntungan, pembagiannya harus jelas dan disepakati oleh kedua belah pihak.
  2.    Syarat yang terkait dengan harta (mal). Pertama, modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran yang sah (nuqud). Kedua, adanya pokok harta (modal) ketika akad berlangsung baik jumlahnya sama atau berbeda.
  3.    Syarat yang terkait dengan syirkah mufawadhah yaitu, modal pokok harus sama, orang yang bersyirkah yaitu ahli kafalah, dan objek akad yang disyaratkan syirkah umum, yaitu semua macam jual-beli atau perdagangan.
  4.    Syarat yang berkaitan dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.

Malikiyah menambahkan bahwa orang yang melakukan akad syirkah disyaratkan merdeka, baligh, dan pintar.[vi]

  1.        Pembagian Syirkah
  1.    Syirkah Ibahah, yaitu suatu bentuk perkongsian yang membolehkan kaum muslimin untuk mengambil manfaat secara bersama-sama terhadap suatu objek yang halal ain-nya dan diketahui bahwa objek tersebut sangat diperlukan manfa’atnya untuk memenuhi hajat hidup. Para ulama sepakat yang termasuk dalam syirkah ini adalah memiliki bersama ke atas air, udara dan api, seperti Sabda Rasulullah SAW: “Dari Abi Kharasy dari sahabat Rasulullah SAW bahwa kaum muslimin itu berkongsi pada tiga    hal yaitu: udara, air dan api”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
  2.    Syirkah Milki ialah perkongsian yang terjadi antara dua orang atau lebih atas sesuatu sebab dari sebab-sebab pemilikan seperti pembelian, penerimaan sesuatu pemberian (hibah), penerimaan wasiat, warisan atau percampuran harta mereka dalam bentuk yang tidak dapat dipisahkan.
  3.    Syirkah ‘Uqud adalah perkongsian yang di bentuk berdasarkan aqad antara dua orang atau lebih terhadap mudah dan keuntungan dengan syarat-syarat yang disepakati bersama.[vii]

Dari ketiga jenis syirkah di atas, hanya ada satu syirkah yang sangat populer dan berlaku secara aktif dalam dunia usaha yaitu syirkah ‘uqud.

  1.        Jenis Musyarakah Akad (Syirkah ‘Uqud)

Musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad dibagi menjadi:

  1.    Syirkah ‘Inan (شركة العنان)

       Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih, masing-masing memberikan kontribusi dana dan berpartisipasi dalam kerja. Porsi dana dan bobot partisipasi dalam kerja tidak harus sama, bahkan memungkinkan hanya salah satu pihak yang aktif mengelola yang ditunjuk oleh partner lainnya. Keuntungan atau kerugian dibagi menurut kesepakatan bersama.[viii] Para ulama sepakat membolehkan bentuk syirkah ini.[ix]

  1.    Syirkah Mufawadhah (شركة المفاوضة)

       Masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama dan berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Untung dan rugi harus dibagi secara sama pula.[x] Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan syirkah yang seperti ini, sementara mazhab Syafi’i dan Hambali melarangnya karena secara realita sangat sukar terjadi persamaan pada semua unsurnya.[xi]

  1.    Syirkah A’mal (  شركة الأعمال)

     Kerja sama antara dua pihak atau lebih yang memiliki profesi dan keahlian tertentu, untuk menerima serta melaksanakan suatu pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari hasil yang diperoleh.[xii] Jumhur ulama, yaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan, sementara mazhab Syafi’i melarangnya karena mazhab ini hanya membolehkan syirkah modal dan tidak boleh syirkah kerja.[xiii]

  1.    Syirkah Wujuh (شركة الوجوه)

                   Kerja sama tanpa setoran modal uang. Modal yang digunakan hanyalah nama baik yang dimiliki, terutama karena kepribadian dan  kejujuran masing-masing dalam berniaga (perkongsian atas dasar kepercayaan).[xiv] Mazhab Hanafi dan mazhab Hambali membolehkan syirkah seperti ini, sedangkan mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i melarangnya.[xv]

Dari ke empat jenis syirkah ‘uqud di atas hanya syirkah ‘inan saja yang relevan dengan produk bank-bank Islam serta di setujui oleh empat mazhab besar Islam.

  1. Bentuk-Bentuk Musyarakah

Dalam prakteknya ada dua bentuk fundamental musyarakah berdasarkan perubahan porsi dana para mitra, yaitu:

  1. Musyarakah permanen, yaitu musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra bersifat tetap hingga akhir masa akad.
  2. Musyarakah menurun (musyarakah Mutanaqisah), yaitu musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu mitra akan dialihkan bertahap kepada mitra lainnya, sehingga bagian dananya akan menurun dan pada akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha itu.[xvi]
  1.       Berakhirnya Akad Musyarakah

Perkara yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal sebagai berikut:

  1.    Pembatalan syirkah secara umum, yaitu pembatalan dari salah seorang yang bersekutu, meninggalnya salah seorang syarik, salah seorang syarik murtad dan gila.
  2.    Pembatalan syirkah secara khusus
  1.     Harta syirkah rusak sebelum dibelanjakan. Hal ini terjadi pada syirkah amwal karena yang menjadi barang transaksi adalah harta.
  2.     Tidak ada kesamaan modal dalam syirkah mufawadhah pada awal transaksi, perkongsian batal sebab hal itu merupakan bagian dari syarat transaksi mufawadhah.[xvii]
  1.        Aplikasi Musyarakah Di Sektor Perbankan Sebagai Solusi Islam untuk Menghapus Praktik Ribawi di Bank

Bunga uang merupakan bagian dari teori riba. Bunga bank termasuk ke dalam riba nasi’ah (riba karena perpanjangan waktu).[xviii] MUI secara tegas telah menyatakan bahwa praktik pembungaan itu “hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Koperasi, Pasar Modal, Pegadaian dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu”.[xix]

Allah SWT berfirman, “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk  riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (Qs. Ar-Ruum: (39). Ayat ini jelas menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil.

Dalam memperlancar roda perekonomian, perangkat bunga jelas memiliki peran penting, oleh karena itu Islam memberikan solusi pemecahan untuk mengembangkan peranan bank tetapi bebas dari sifat-sifat kotor dan negatifnya, salah satunya dengan cara musyarakah/syirkah (persekutuan), dalam musyarakah pihak bank dan pihak penguasa sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan, mereka mengelola usaha patungan dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian Profit and Loss Sharing.[xx] Dan pasti bebas bunga.

Seperti yang sudah diketahui bahwa bank konvensional membiayai sebuah proyek melalui pinjaman berbunga. Hubungan bank dengan risiko proyek dapat dipastikan tidak ada, artinya para peminjam tetap berkewajiban membayarkan pokok pinjaman dan bunganya kepada pihak bank tanpa melihat apakah proyek yang dibiayai itu rugi atau untung, sedangkan di dalam akad musyarakah semua tanggungjawab, keuntungan dan kerugian dibagi secara proporsional kepada masing-masing pihak yang ber-musyarakah. Pada bank konvensional nasabahlah yang memperoleh semua keuntungan dan menanggung semua kerugian proyek.[xxi] Terlihat jelas bahwa sistem perbankan konvensional ini sangat eksploitatif dan tidak dapat diterima oleh syariah.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka bisa dikatakan pembiayaan dengan menggunakan akad musyarakah pada bank Islam adalah pembiayaan bank Islam yang bersifat riil dan menyentuh kehidupan ekonomi secara langsung. Di samping menanamkan sahamnya pada proyek-proyek, bank Islam juga melakukan praktik bisnis yang Insya Allah bebas dari prinsip kotor dan di berkahi Allah SWT.

  1.           Musyarakah: Salah Satu Langkah Mencapai Falah

Di dalam Islam manusia tidak hanya dituntut untuk menghasilkan harta (berorientasi pada profit semata), tetapi juga pada falah yaitu kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (dunia dan akhirat). Modal utama seorang manusia adalah ‘Islam’ sehingga segala aktivitas (termasuk bermuamalah seperti ber-musyarakah) yang dilakukan dengan berdasarkan ketentuan syari’ah pastilah di hitung sebagai bentuk ibadah dan menambah berkah pahala di sisi-Nya.

Islam mensyari’atkan syirkah sesuai dengan maqashid asy-syari’ah itu sendiri, yaitu salah satunya adalah memelihara harta dengan terjamin kehalalan dan pengembangan harta itu sendiri serta juga memenuhi nilai-nilai kebersamaan antar ummat. Islam mengatur cara untuk menghasilkan dan membelanjakan  harta. Seorang manusia wajib untuk mencari rezeki untuk menutupi keperluan hidupnya beserta tanggungannya dan bermuamalah (termasuk di dalamnya musyarakah) merupakan salah satu cara ke arah tersebut. Dengan musyarakah, manusia tidak hanya bisa menghasilkan dan menambah harta kekayaan, tetapi juga menambah berkah pahala  karena hidup dengan cara yang halal dan baik.

Allah SWT berfirman, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Qs. Al-Baqarah (2): (195).

 

Oleh: Nurul Azmi

(Mahasiswi Fakultas Ekonomi & Bisnis Unsyiah jurusan Ekonomi Islam)

 


[i]  Veithzal Rivai. H, Andria Permata Veithzal. 2008. Islamic Financial Management. Jakarta : PT Raja Grafindo, hal. 121.

[ii]  Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 51

[iii] Adiwarman Karim Aswar. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Cetakan Pertama, Jakarta : Gema Insani, hal. 81.

[iv] Syafe’i Rachmat. Fiqih Muamalah. 2001. Bandung : Pustaka Setia, hal. 186.

[v] Ascarya. Opcit, hal. 52.

[vi] Rahman Ghazaly, Abdul, Ghufron Ihsan, Sapiudin Sidiq. 2010. Fiqh Muamalat. Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana, hal. 129-130.

[vii] Baihaqi A. Shamad, 2007. Konsepsi Syirkah dalam Islam Perbandingan Antar Mazhab. Cetakan Pertama. Banda Aceh : Yayasan Pena, hal. 62-63.

[viii] Veithzal rivai. H, Andria Permata veithzal. Opcit, hal. 121.

[ix] Ascarya. Opcit, hal. 50.

[x] Veithzal rivai. H, Andria Permata veithzal. Opcit, hal. 121.

[xi] Ascarya. Opcit, hal. 50.

[xii] Veithzal rivai. H, Andria Permata veithzal. Opcit, hal. 121.

[xiii] Ascarya. Opcit, hal. 50.

[xiv] Veithzal rivai. H, Andria Permata veithzal. Opcit, hal. 121.

[xv] Ascarya. Opcit, hal. 50.

[xvi] Yaya, Rizal, Aji Erlangga Martawireja, Ahim Abdurahim. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemprer. 2014. Cetakan Kedua. Jakarta : Salemba Empat, hal. 135.

[xvii] Syafe’i Rachmat. Opcit, hal. 201.

[xviii] Adiwarman Karim Aswar. Opcit, hal. 73-74.

[xix] Zamir iqbal dan Abbas Mirakhor. 2008. Pengantar Keuangan Islam. Jakarta : Kencana, hal. 85.

[xx] Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Cetakan Pertama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 284-285.

[xxi] Mth, Asmuni. Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam (Study Fiqh Terhadap Produk Perbankan Islam). Journal Of Islamic Law, Al-Mawarid Edisi XI Tahun 2004, hal. 30.

Oleh Suhrawardi K Lubis
Secara tradisional, pemahaman masyarakat apabila disebut wakaf terus tertuju kepada sebidang tanah yang dipergunakan untuk lahan pekuburan, masjid atau madrasah.Belakangan ini, berkembang kembali kajian mengenai wakaf uang. Perkembangan ini didasari antara lain pemikiran tentang pemanfaatan harta wakaf secara produktif.

Kajian wakaf produktif ini telah banyak dilakukan, antara lain oleh Forum Zakat (2006) yang menekankan perlunya wakaf dikembangkan secara produktif. Forum Zakat mendapati umat Islam sekarang ini sedang berada dalam keterpurukan kemiskinan yang akut. Oleh karena itu, wakaf yang ada harus ditujukan kepada upaya yang lebih menghasilkan. Forum Zakat juga menegaskan wakaf produktif ini harus memiliki dua visi yang mesti berjalan seiringan, pertama; visi menghancurkan struktur-struktur sosial yang timpang, dan kedua; menyediakan lahan subur untuk menyejahterakan umat Islam.

Begitu juga temuan Tim Penyusun Buku Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam (2005), tim menekankan pemanfaatan harta wakaf untuk aktivitas ekonomi produktif belum banyak dilakukan. Padahal wakaf memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan umat, terutama sekali dengan konsep wakaf uang. Dapatan kajian di atas hampir sama dengan kajian Mohd Nakhaie (2007) yang berjudul Sistem Wakaf Kontemporari. Nakhaie coba menerangkan tiada halangan syara untuk membangun konsep baru mengenai wakaf. Terutama dalam rangka memudahkan untuk menyusun sistem yang dapat dilaksanakan, agar ibadah wakaf lebih bermakna, dan tujuan wakaf dapat dicapai.

آ Khusus untuk Dewan Da’wah, sebagai sebuah yayasan secara sistim memang tidak banyak persoalan, karena aturan-aturan yang mengatur tentang yayasan sudah jelas. Hanya saja ruang gerak agak terbatas, karena kewenangan penuh ada di Pembina Yayasan, dan sifatnya sentralistik. Persoalan yang agak serius terdapat pada kelembagaan dan individu, dimana secara struktur, kelembagaan Dewan Da’wah Aceh belum terjangkau untuk semua kabupaten/kota di Aceh, apalagi untuk kecamatan. Belum lagi kepengurusan yang sudah ada di 18 kabupaten/kota dari jumah 23 kabupaten tidak semuanya aktif. Pada tataran individu juga ada persoalan, di antaranya kesibukan akibat rangkap jabatan, komitmen, kapasitas dan minat bergabung dengan Dewan Da’wah yang masih menjadi tanda Tanya.

آ Menyadari kondisi seperti di atas, maka diperlukan langkah antisipasi berupa kegiatan penguatan kapasitas di tataran kelembagaan dan individu.

آ

آ TUJUAN

Kegiatan ini bertujuan untuk:

mengoptimalkan kembali operasional organisasi dalam rangka dakwah dan pemberdayaan masyarakat untuk percepatan pelaksanaan syariat Islam آ
tersedianya jaringan struktur kelembagaan yang memadai untuk merumuskan dan menjalankan program-program dakwah dan pemberdayaan masyarakat
tersedianya personil yang tangguh, baik intelektual, komitmen moral, semangat juang dan pengorbanan untuk memajukan dakwah
آ

آ SASARAN KEGIATAN

Kegiatan ini diarahkan pada pemulihan struktur pengurus di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh, baik berupa pemberian mandat, pembentukan/ pelantikanآ آ آ dan pengaktifan pengurus.

آ آ

BENTUK KEGIATAN

Kegiatan ini dikemas dalam dua paket, yakni; pembinaan pengurus di tingkat provinsi melalui kajian rutin setiap sabtu sore serta mekanisme rapat-rapat, baik pengurus harian, bidang dan pleno. Selanjutnya kegiatan juga diarahkan dalam bentuk supervisi melalui turba (turun bawah), dengan mengunjungi pengurus di Kabupaten/kota dan memberikan/menerima masukan, memotivasi dan melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam bentuk kursus singkat tentang manajemen, keorganisasian dan lain-lain sesuai kebutuhan di setiap lokasi.

آ آ

WAKTU DAN TEMPAT

Kegiatan ini berlangsung dari Januari s/d Desember 2010 dan berlokasi di seluruh Aceh dengan durasi,آ mingguan untuk tingkat wilayah dan bulanan untuk kabupaten/kota.

آ آ

SUMBER DANA

Untuk kelancaran kegiatan ini diharapkan sumber dana dari

Pemerintah Aceh
Pengurus Pusat Dewan Da’wah dan pihak ketiga lainnya yang tidak mengikat
آ آ

ANGGARAN YANG DIBUTUHKAN

Biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan ini sebanyak Rp. 54,417,800,- (lima puluh empat juta empat ratus tujuh belas ribu delapan ratus rupiah). Rincian terlampir.

آ

آ PELAKSANA

Kegiatan ini dilaksanakan oleh bidang Penguatan Kelembagaan dan Hubungan Antar Lembaga Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Provinsi Aceh

آ آ

PENUTUP

Semoga rencana kegiatan penguatan kapasitas kelembagaan dapat berjalan lancar, sehingga persoalan dakwah dan keummatan lainnya dapat teratasi sedikit demi sedikit yang nantinya berpunca kepada suksesnya program pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Kepada semua pihak yang membantu program ini kami ucapkan terima kasih, seraya berharap Allah SWT. Meridhai dan memberi ganjaran yang setimpal.

Amien ya mujibassailin.

آ