Afrizal Refo, MA

Oleh : Afrizal Refo, MA

Valentine Day yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari merupakan salah satu momen yang sering digunakan untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya.

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 120).

Islam adalah agama yang lengkap, yang bukan hanya sekedar agama. Lebih dari itu, Islam adalah sistem nilai sekaligus sistem hidup.

Bagi sebagian orang, Islam adalah pembebas, Islam adalah penyelamat. Akan tetapi bagi sebagian orang yang telah aman dan mapan dengan sistem yang telah dianutnya, Islam adalah ancaman. Bukan hal yang luar biasa jika begitu banyak sikap antipati terhadap Islam. Sejak Islam lahir pun sudah begitu. Berbagai cara digunakan untuk menghancurkanya. Melalui cara terang-terangan atau dengan cara diam-diam.

Upaya paling efektif dan tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk menghancurkan Islam salah satunya adalah dengan mengaburkan ajaran Islam.

Samuel Zwemer dalam konferensi al Quds untuk para pastur pada tahun 1935 mengatakan: “Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang Islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian. Akan tetapi menjauhkan mereka dari agamanya (Al-Qur’an dan Sunnah)”.

Salah satu momen yang sering digunakan untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya adalah valentine day.

Di era modern ini banyak hal atau budaya barat yang masuk ke Indonesia. Salah satunya melakukan atau merayakan hari valentine yang sering disebut juga dengan hari kasih sayang.

Banyak pemuda-pemudi sekarang yang merayakan hari valentine, karena mereka tidak mau dikatakan anak kuper. Hari valentine ini biasanya identik dengan pemberian coklat, bunga, atau kado.

Seiring dengan masuknya beragam gaya hidup barat ke dunia Islam, perayaan hari valentine pun ikut mendapatkan sambutan hangat, terutama dari kalangan remaja ABG.

Bertukar bingkisan valentine, semarak warna pink, ucapan rasa kasih sayang, ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasana valentine setiap tahunnya, bahkan di kalangan remaja muslim sekali pun.

Apalagi sekarang adalah bulan dimana mereka merayakan hari tersebut. Mereka merayakan hari valentine dengan memberikan coklat ataupun hal lainnya kepada pasangan atau kekasih mereka Padahal harga untuk membeli kado kado tersebut pun harganya tidak murah. Bahkan mereka membelinya pun masih meminta uang kepada orang tua mereka. Untuk sekedar membelikan kado kepada pasangan mereka di hari valentine.

Merayakan hari valentine memiliki banyak dampak negatif. Dampak nya pun tidak hanya satu tetapi banyak sekali. Dampak yang pertama mengakibatkan hidup boros atau menghambur hamburkan uang. Yang kedua tidak sesuai dengan syariat agama islam. Efek negatif dari valentine lebih banyak terjadi, terutama freesex. Mengkonsumsi narkoba juga merupakan dampak dari merayakan valentine.

Dan bagi teman-teman terutama yang remaja sebaiknya sebelum kita memperingati atau merayakan sebaiknya kita pelajari dulu dan pahami apa yang akan kita lakukan. Jadi jangan asal ikut-ikutan sesuatu yang kita tidak tahu asal-usulnya. Padahal hari perayaan valentine dapat digunakan untuk merusak aqidah orang-orang Muslim agar berbuat maksiat.

Jauhnya umat dengan Islam membuat umat muslim seakan asing dengan agamanya. Hingga rela beraktifitas dengan sesuatu yang tak ada dalam ajaran Islam.

Sekularisme telah membawa kaum muslim tidak paham dengan ajaran agamanya sendiri. Jadilah orang muslim dan orang kafir melakukan hal yang sama, mirisnya umat muslim yang terseret dalam keyakinan umat agama lain.

Sistem sekularisme sukses menjadikan umat muslim tak mengenal islam. Inilah yang menjadi tujuan orang kafir agar Islam terlempar jauh kehidupan umatnya.

Berbagai perayaan digelar dengan sengaja agar umat muslim turut serta didalamnya. Parahnya perayaan tak sekedar perayaan, tapi ada latar belakang terhadap sebuah keyakinan agama tertentu.

Keberadaan negara yang menerapkan sistem buatan manusia telah mencetak kaum muslim yang anti terhadap ajaran agamanya sendiri. Sistem pemisahan kehidupan dari agama telah terbukti tidak bisa menjaga umat. Oleh karena itu keberadaan sistem Islam memanglah sangat dibutuhkan. Hanya sistem islamlah yang akan menjaga akidah umat agar tetap lurus.

Sejarah Valentine Day

Valentine day jatuh pada tanggal 14 Februari. Valentine day seakan-akan menjadi perayaan universal bagi seluruh umat manusia, tidak peduli latar belakang agamnya. Apakah ia beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dll.

Valentine day tak ubahnya hari maksiat sedunia. Kasih sayang yang ditawarkan tak ubahnya seperti racun yang dipolesi dengan manis oleh madu. Membunuh secara perlahan, dan kita terkadang tidak merasakannya.

Patutkah budaya yang sama sekali tidak kita kenal untuk kita ikuti tanpa melihat asal-usul timbulnya budaya tersebut?

Hari Kasih sayang (Valentine’s day) bermula pada tanggal 14 februari 269 M, Santo Valentine seorang pendeta harus menerima hukuman pancung dari penguasa (raja) Claudus II Ghotikus melalui tangan-tangan Algojonya.

Santo Valentine dianggap melanggar ketentuan imperium, yakni ia telah berani menikahkan sepasang remaja yang sedang merasakan kisah-kasih yang menyenangkan secara diam-diam (back street).

Tindakan pendeta Valentine tersebut akhirnya diketahui oleh pihak kerajaan. Padahal sudah ada ketentuan pada masa itu, para remaja yang single dilarang untuk menikah dulu karena mereka dibutuhkan untuk menjadi prajurit yang tangguh. Prajurit yang belum menikah dianggap memiliki prestasi yang baik dimedan pertempuran.

Pada tanggal 14 Februari 296 M, dikota Cisalpine Gaul, tepatnya di jalan Flaminia. Pihak gereja telah menobatkan Santo Valentine sebagai pahlawan yang telah melindungi orang yang saling mencintai. Paus St. Julius I telah membuatkan bangunan kehormatan untuk menghormati Santo Valentine tersebut.
Paus Galesium I adalah pelopor pencetus peringatan hari kasih sayang pertama tahun 496 M

Menyikapi Valentine Day

Sejarah Valentine di atas menjelaskan kepada kita apa dan bagaimana valentine day itu, yang tidak lain bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan kasih sayang.

Lalu kenapa kita masih juga menyambut hari valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat kebiasaan? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya? Bila demikian, sangat disayangkan banyak teman-teman kita -remaja putra-putri muslim – yang terkena penyakit ikut-ikutan mengikuti budaya Barat dan acara ritual agama lain. Padahal Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabnya? (QS. Al-Isra’ [17]: 36).

Sungguh sangat jelas sikap yang harus diambil oleh kaum muslimin, bahwa merayakan valentine berarti meniru budaya kufur kaum lain, padahal kita dilarang untuk mengekor, mengambil cara hidup yg lahir dari akidah selain Islam, seperti valentine day.

Sudah cukup kita hanya mengambil pandangan hidup yang terlahir dari akidah Islam karena sudah jelas bahwa Islam adalah agama yang sempurna sebagaimana diterangkan Allah swt dalam Qur’an surah Al-Maidah ayat 3 :
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu??

Maka apalagi yang kita tunggu selain meninggalkan bentuk acara valentine day itu, marilah serkarang kita mulai meninggalkan sesuatu yang memang wajib diingkari, dan memulai untuk berusaha menerapkan ajaran-ajaran Islam, memilih-milih mana perkara yg tdk bertentangan dengan Islam kita ambil, sementara perkara yg bertentangan dengan Islam kita tolak dan tinggalkan

Ikut valentine day berarti menghancurkan kepribadian dan karakter kita sendiri, kepribadian muslim. Maka dari itu jauhilah kebiasaan yang jahiliyah, yang dapat merusak kepribadian kita, merusak keIslaman kita. Jika generasi muda muslim telah rusak, maka Islam ini akan mudah dihancurkan.

Kita sebagai muslim memiliki karakter dan kepribadian yang khas dan istimewa berdasarkan teladan Rasulullah SAW. Tanggung jawab kita adalah menyerap, mengamalkan dan memeliharanya.

Jadi, mengapa harus mengambil kepribadian orang lain yang belum tentu baik, atau bahkan nyata keburukannya? Jauhilah dan say Good Bye! Wallahu A`lam.

Oleh: Muhammad Syafi’i Saragih, M.A

Ketika anda berada dalam suatu tempat, dimana tidak ada satu orangpun yang anda lihat, tidak juga pepohonan dan hewan, anda sendirian, tak terdengar suara apapun, bahkan hentakan kaki semut juga tidak, anda berada dalam kegelapan, pandangan terbatas karena gelapnya, anda seakan jatuh dari tempat yang sangat tinggi, tak ada ranting, tak ada dahan, tak ada sesuatu untuk pijakan. Sanak saudara, handai taulan, kerabat, orang-orang di sekitar anda, tak satupun yang datang padahal anda sudah menjerit memanggil mereka, siapa lagi yang akan anda panggil?. Kepada siapa lagi anda akan bersandar?.

Atau ketika anda berada dalam kejatuhan yang menyakitkan. Usaha anda bangkrut, anda dipecat dari pekerjaan, istri dan anak-anak meninggalkan anda, rumah disita, semua harta tak tersisa, jangankan untuk membeli sesuatu, untuk mendapatkan sesuap nasi bertahan hidup saja tak mampu lagi, hingga semua orang meninggalkan anda, karena anda tak lagi punya apa-apa. Anda menjadi gelandangan di jalanan, anda hanya bisa makan dari sisa-sisa makan orang yang sudah terbuang, anda hanya bisa tidur di emperan, yang kapanpun anda bisa dibangunkan, anda tak bisa lagi berjalan membusungkan dada karena kesombongan, anda tak bisa lagi menunjuk jari untuk memerintah orang, anda tak bisa lagi berkata-kata dan didegarkan, anda tak bisa lagi apa-apa, karena anda sudah menjadi bukan apa-apa. Kepada siapa anda bergantung? Kepada siapa anda akan meminta? Kepada siapa anda akan memasrahkannya?.

Tidak ada tempat untuk hal itu semua kecuali kepada Allah sang pencipta seluruh jiwa dan raga. Tidak ada tempat meminta dan bergantung kecuali kepada-Nya. Bersandarlah kepada-Nya, sebab Dia sebaik-baik tempat sandaran. Jika anda bersandar pada orang lain, ia akan meninggalkanmu, karena manusia akan binasa. Teman yang anda sandarkan diri kepadanya, juga mencari sandaran lain yang kokoh, ketika anda tidak lagi menjadi tempat sandaran yang kuat, ia akan pergi meninggalkanmu. Ketika anda tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ketika anda tidak bisa diandalkan lagi, anda akan dibuang.

Lihatlah para pemain bola profesional, ya, memang mereka bergelimang harta, mereka selalu dipuja dimana pun mereka berada, kehadirannya selalu dinanti bahkan untuk sebuah tanda tangan dan lambaiannya. Mereka akan dibayar dengan harga yang menjulang tinggi karena kemampuannya, tapi perhatikanlah ketika mereka sudah dianggap tak lagi berdaya, mereka dijual dengan harga yang tak seberapa, mereka akan disingkirkan dari klub dimana mereka berada. Hingga satu masa, dimana mereka benar-banar tidak berharga. Apalah artinya harga di mata manusia dibandingkan harga di mata Sang Pencipta.

Begitulah kehidupan ini, ketika anda dianggap mempunyai harga di mata manusia, anda akan dipelihara, dijaga, dipuja, bahkan dilalaikan dari kehidupan nyata. Sebaliknya, ketika harga itu tidak ada pada diri anda, anda “ada” tapi “tiada”.

Oleh karenanya, bergantunglah hanya kepada-Nya. Karena Dia lah yang menciptakan semua tempat bergantung. Bagaimana anda bergantung pada yang sama dengan anda, karena dia juga diciptakan oleh-Nya, sama seperti anda.

Mulai saat ini, biasakanlah untuk tidak bergantung pada selain Allah Swt. Jangan pernah takut ketika anda dalam keadaan susah, jangan pernah ragu kepada-Nya ketika anda ditinggalkan dan sendirian, jangan pernah menyerah ketika semua orang menjauhkan anda, jangan pernah berpikir mengakhiri hidup karena anda bangkrut, jangan pernah mencari jalan yang sesat ketika anda terpaksa. Jangan pernah terbersit sedikitpun dalam pikiran mencari tempat bergantung dan bersandar kecuali kepada-Nya. Dia selalu ada ketika yang lain entah kemana, Dia selalu di sisimu, bahkan ketika anda lupa pada-Nya.

Artinya: “dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (Q.S. Qaf: 16)

Jangan pernah dengarkan bisikan syetan, kalau dia mengatakan “aku punya segalanya”, karena anda sangat memahami kalau mereka musuh yang nyata. Jangan pula bergantung pada harta, karena ia akan sirna, lagipula harta bisa jadi nestapa dan bencana.

Artinya: “dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S. Al-Anfal: 28)
Berapa banyak keluarga yang terpisah dan bermusuhan hanya karena harta. Merasa karena pembagian tidak merata. Dulunya mesra kini tak tertawa. Hanya karena rakus harta. Rasa yang begitu kuat kepada harta membuat seseorang bergantung kepadanya. Ketika harta itu tidak ada, jiwa menjadi gila.

Tidak ada sedikitpun keuntungan bergantung pada selain-Nya. Dia selalu ada untuk diminta. Segala rasa kecewa, rasa gundah dan gulana hanya akan terobati dengan menghadirkan-Nya dalam jiwa. (mediadakwah)

Penulis adalah Wakil Ketua DDII Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

Oleh Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan

MUQADDIMAH

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (salama). (Al-Furqan [25] ayat 63).

Ummat manusia semuanya pada satu sisi bergelar dengan makhluk Allah sama posisinya dengan makhluk-makhluk Allah lainnya baik dari kalangan hayawan, tumbuh-tumbuhan, maupun kandungan alam lainnya. Pada dataran ini tidak ada perbedaan hakikat antara manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya karena semuanya sama-sama hasil ciptaan Allah. Namun manakala kepada manusia Allah berikan, aqidah, syari’ah dan akhlak, lalu mereka berpegang kuat serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, barulah di sana terjadi perbedaan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya.

Walaubagaimanapun, ketika manusia mengabaikan ketiga unsur tersebut yang membuat mereka hidup dan prilaku kehidupan tidak berbeda dengan hayawan maka di sana pula kedudukan manusia tidak dapat dibedakan dengan hayawan, jin, iblis dan syaitan. Persoalannya adalah manusia itu ril menjadi manusia dalam bentuk fisik berpenampilan beda dengan hayawan karena Allah ciptakan fisik manusia berbeda dengan fisik hayawan dan makhluk lainnya. Di sisi lain manusia diberikan atribut khusus yang tidak diberikan kepada hayawan, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Makanya ketika manusia mengikat diri dan mengaplikasikan ketiga unsur tersebut dalam kehidupannya mereka ril sebagai manusia yang normal.

Manakala manusia menyisihkan dan tidak mengikat diri dengan tiga unsur tersebut maka jadilah mereka sebagai makhluk Allah yang bertubuh manusia dan berperangai non manusia. Pada dataran inilah sering dilabelkan sebahagian manusia sebagai binatang, jin, iblis atau syaitan dikarenakan manusia telah meninggalkan kriteria kemanusiaannya dengan mengambil atribut hayawan sehingga mereka keluar dari label Hamab Allah atawa ‘ibad Ar-Rahman.

MAKNA HAMBA AR-RAHMAN

Al-Qur’an sudah memberikan gambaran watak muslihat yang sopan lagi santun seseorang yang tersebut di sana dengan nama ‘Ibadur-Rahman. Sementara Ar-Rahman sendiri merupakan nama lain kepada Allah SWT.yang terkafer dalam Al-Asma-ul Husna (99 nama indah bagi Allah SWT).dengan demikian dapat diartikan juga bahwa istilah “’ibadur-rahman” bermakna “’abdullah” yang sering disebut Hamba Allah. Bedanya kalau “’ibadurrahman itu dalam bentuk jamak dan ‘Abdullah dalam bentuk mufrad. Kalau mau kita teliti lebih serius dan mendalam pada hakikatnya antara ‘Ibadur-Rahman dengan ‘Abdullah memiliki makna yang serupa Cuma berbeda kateginya saja, yaitu yang satu dalam bentuk singgel dan yang lainnya dalam bentuk plural.

Berasaskan kepada kata asal (‘abdun) yang jamaknya ‘ibad maka dalam beberapa kamus diartikan sebagai hamba, hamba sahaya, tukang emas dan semacamnya. Manakala kata-kata tersebut disandarkan kepada nama Allah menjadi ‘Abdullah yang bermakna hamba Allah, ketika disandarkan kepada kata Ar-Rahim menjadi ‘Abdur-Rahim yang mengandung arti hamba dari yang maha pengasih lagi maha penyayang, ketika disandarkan kepada kata Ar-Razzaq jadilah ia ‘Abdur-Razzaq yang mengandung makna Hamba yang maha Memberi Rizki, demikian juga ketika disematkan kepada kata Ar-Rahman jadilah ia ‘Abdurrahman dalam bentuk mufrad (singgel) dan ‘ibadur-Rahman dalam bentuk jamak (plural), yang artinya Hamba atau Hamba-hamba Ar-Rahman.

Lalu bagaimana posisi kata ‘abdun itu kalau dipasang pada nama-nama selain nama Allah seperti disandarkan kepada nama Ibrahim sehingga menjadi ‘Abdul Ibrahim, disandarkan kepada nama Hasan umpamanya sehingga menjadi ‘abdul hasan, ‘abdul uzza dan semisalnya. Berlandaskan kepada keyakinan tauhid dalam bingkai aqidah Islamiyah bahwa memberikan nama orang yang disandarkan nama abdun kepada selain nama Allah dan Asmaul-Husna sepakat para ulama hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan demikian karena itu menjurus kepada amalan syirik yang dahulukala telah diamalkan oleh orang-orang kafir Makkah seperti nama abdul ‘uzza (hamba berhala) dan sejenisnya. Sebaliknya tidak boleh juga seseorang memberi nama anaknya dengan nama Allah atau nama-nama dalam Al-Asma ul Husna, seperti Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Lathif, Al-Qawi dan seterusnya karena itu nama-nama Allah.

HAKIKAT DAN EKSISTENSI HAMBA AR-RAHMAN

Ketika kita kembali kepada kandungan surah Al-Furqan ayat 63; Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik (salama). Terdapat beberapa poin yang perlu kita catat dalam ayat tersebut, di antaranya adalah: Hamba Ar-Rahman itu adalah orang-orang yang sopan dan rendah hati, orang-orang tersebut ketika dicemooh, dicerca dan dimaki oleh orang lain tidak pernah membalas cacian dan cemoohan tersebut melainkan berucap dengan kata selamat yang mengandung do’a.

Statemen Allah: allazina yamsyuna alal ardhi hauna, yang menyatakan ciri khas Hamba Ar-Rahman diperkuat oleh pernyataan Allah lainnya dalam surah Al-Israk ayat 37 (wa la tamsyi fil ardhi maraha) yang bermakna: janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan angkuh dan sombong, dijelaskan lagi oleh ayat Allah yang lain (An-Nisak [4];36) kenapa hamba Allah tidak boleh sombong dalam kehidupan dunia ini, Allah menyatakan: innallaha la yuhibbu man kana mukhtalam fakhura (Allah benci kepada orang-orang yang bersifat angkuh, arrogan, sobong dan membangga-banggakan diri) karena sifat itu merupakan sifat Allah (Al-Mutakabbir) yang haram dimiliki oleh manusia.

Pengertian hauna di sini diartikan para ulama sebagai lemah lembut, sopan santun, muslihat, tidak sombong, tidak kasar, tidak arrogan dan semisalnya sehingga disematkan kepada prilaku dan kepribadian Rasulullah SAW yang melekat kata hauna pada dirinya. Karenanya Hamba Ar-Rahman itu mestilah berprilaku sebagaimana prilakunya Rasulullah SAW yang penuh kemuslihatan, penuh kesabaran, penuh kebijakan, penuh kesabaran dan penuh keikhlasan. Namun demikian Islam tidak membolehkan juga memperolok-olok semua sifat Rasulullah SAW tersebut dilakoni secara berlebihan oleh seseorang yang sesungguhnya tidak ada sifat-sifat tersebut pada dirinya. Namun ketika dia berjumpa dengan orang-orang tertentu berjalan dengan membungkuk-bungkukkan diri menampakkan sifat hauna pada dirinya, yang semisal ini puran-pura namanya.

Pada zama Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, beliau pernah berjumpa dengan seorang pemuda yang berjalan di hadapannya dengan sengaja membungkuk-bungkukkan diri meniru sifat hauna yang diada-adakan. Lalu Umar bertanya kepadanya: wahai pemuda kenapa kamu berjalan terbungkuk-bungkuk seperti jalannya orang tua bangka. Pemuda itu menjawab: saya meniru sifat hauna wahai amirul mukminin, Umar bertanya lagi: kemarin dulu ada kamu berjalan seperti ini? Dia menjawab: tidak wahai Amirul Mukminin, lalu Umar mengambil cambuk menyebatnya/mencambuknya seraya mengingatkannya jangan buat-buat seperti itu lagi karena itu prihal imitasi yang diada-adakan bukan murni sifat hauna seseorang insan.

Terkait dengan kata qalu salama dalam ayat tersebut, pernah terjadi pada suatu ketika manakala seorang lelaki mencaci maki seorang lelaki lain di hadapan Rasulullah SAW. lalu yang kena caci berucap: ‘alaikassalam (semoga engkau selamat), tatkala itu Rasulullah SAW.bersabda: “ingatlah sesungguhnya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu, setiap kali orang itu mencacimu, malaikat tersebut berkata: “bahkan kamulah yang berhak”, kamulah yang berhak dicaci. Dan apabila kamu katakan kepadanya: ‘alaikassalam, maka malaikat itu berkata, “tidak, dia tidak berhak mendapatkannya, engkaulah yang berhak mendapatkannya”.

Hadis tersebut menjelaskan kita bahwa yang berhak mendapatkan keselamatan adalah orang-orang yang baik hati tidak membalas keburukan orang lain dengan keburukan pula melainkan memberi do’a selamat kepada pencacinya, itulah hakikat makna qalu salama. Menurut Mujahid dalam tafsir Ibnu Katsir: makna qalu salama adalah mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung petunjuk. Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa mereka menjawab dengan kata-kata yang baik. Sementara Al-Hasan Al-Basri berucap maknanya adalah: “salamun alaikum” (semoga kalian mendapatkan keselamatan). Keselamatan yang dmaksudkan dalam kasus ini adalah tertuju kepada tukang caci sebagai do’a daripada orang yang dicacinya. Artinya Allah dan RasulNya menyuruh kita untuk berdo’a keselamatan sesama muslim termasuklah kepada orang-orang yang mencaci maki kita agar dia mendapatkan petunjuk daripada Allah SWT.

Penulis adalah Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry.

diadanna@yahoo.com

Palembang, Khamis;   27  F e b r u a r i  2022   M/ 24 Jumadil Akhir 1443   H

Oleh Dr. Hasanuddin Yusuf Adan

SEBAGAI Kitab Suci bagi ummat Islam dan kalam Allah yang muthlak benar, Al-Qur’an memiliki banyak fungsi yang dinyatakan dan dibenarkan oleh Al-Qur’an itu sendiri. Di antara fungsi-fungsi tersebut adalah:

  1. Al-Qur’an sebagai pembenar kitab-kitab sebelumnya, selaras dengan keterangan beberapa ayat Al-Qur’an yang menerangkan keterangan tersebut, di antaranya: Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa (Al-Baqarah; 41).

Dalam ayat selanjutnya diterangkan: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Qur’an yang diturunkan Allah”, mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?” (Al-Baqarah; 91). Katakanlah: Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah; 97).

Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali Imran: 3). Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (Al-Maidah: 48).

Dan ini (Al Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Qur’an), dan mereka selalu memelihara sembahyangnya. (Al-An’am: 92). Selain itu terdapat juga dalam surah Yunus ayat 37, Fathir ayat 31, Al-Ahqaf ayat 12 dan 30.

  1. Al-Qur’an sebagai furqan, artinya Al-Qur’an menjadi pembeda antara yang baik dengan yang buruk, antara yang benar dengan yang salah, antara haq dengan bathil selaras dengan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
  2. Al-Qur’an sebagai hidayah, selaras dengan surah Al-A’raf: 52: Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur’an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dalam surah Yunus: 57 berbunyi: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al Qur’an) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu”. Yunus: 108). Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Yusuf: 111).

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (An-Nahlu:89). Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (An-Nahlu:102). Thaa Siin (Surat) ini adalah ayat-ayat Al Qur’an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (An-Namlu: 1-2). Dan sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (An-Namlu: 77).

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. (Az-Zumar (39): 23). Ini (Al Qur’an) adalah petunjuk. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Tuhannya bagi mereka azab yaitu siksaan yang sangat pedih. Al Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (Al-Jatsiyah: 11 dan 29).

  1. Al-Qur’an sebagai penerangan, (Al Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Ali Imran (3): 138). Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, (Yasin (36): 69).
  2. Al-Qur’an sebagai pelajaran, (Al Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Ali Imran: 138). Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus (10): 57). Dan sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Haqqah (69): 48). Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah peringatan. (Al-Mudatstsir (74): 54). Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. (Al-Insan (76): 29).
  3. Al-Qur’an sebagai pengingat, Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Al-A”raf (7): 2). Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), (Thaha (20: 2-3). Al Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. (Shad (38): 87). Dan Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat. (Al-Qalam (68): 52). Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (At-Takwir (81): 27). (Al Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. Ibrahim: 52).
  4. Al-Qur’an sebagai rahmat, Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Angkabut (29): 51). Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur’an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-A’raf (7):52). Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Qur’an kepada mereka, mereka berkata: “Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Qur’an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-A’raf (7):203). Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus (10): 57). Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (An-Nahlu (16): 64). (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (An-Nahlu (16): 89). Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Israk (17): 82). Dan sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (An-Namlu (77): 27). Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir. (Al-Qashash (28): 86). Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Al-Ankabut (29): 51). menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (Luqman (31); 3). Al Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (Al-Jatsiyah (45): 20).
  5. Al-Qur’an sebagai bukti berasal dari Allah, Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Qur’an kepada mereka, mereka berkata: “Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Qur’an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-A’raf (7): 203).
  6. Al-Qur’an sebagai obat penyakit jiwa, Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus (10): 57). Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Israk (17): 82). Dan jikalau Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh”. (Fushshilat (41): 44).
  7. Al-Qur’an sebagai hukum/peraturan, Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur’an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah. (Ar-Ra’du (13): 37).
  8. Al-Qur’an sebagai penjelas segala sesuatu, (Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (An-Nahlu (16): 89).

Demikianlah keterangan dan ketentuan Al-Qur’an terhadap eksistensinya sebagai kalam Allah, sebagai wahyu dan firman Allah yang Maha Alim/Mengetahui lagi Maha ‘Arif/Bijaksana. Hanya orang-orang mukmin yang paham hakikat Al-Qur’an sajalah yang paham, tahu, mengerti dan dapat memahaminya dengan sepenuh hati. Semoga menjadi pelajaran dari sumber yang paling pertama, utama dan esensil.

Penulis adalah Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry.

diadanna@yahoo.com

Oleh : Dr. Hasanuddin Yusuf Adan

MUQADDIMAH

Istilah Hamba Allah terdiri dari dua kata; Hamba dan Allah. Hamba menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna; abdi atau budak belian. Secara umum hamba itu bermakna jongos, babu, pembantu dan orang yang tunduk patuh kepada tuan/majikannya. Sedangkan menurut istilah hamba berarti seseorang yang bekerja sepenuhnya dan siap dihatur serta tunduk patuh kepada tuan atau majikannya. Sementara Allah yaitu tuhan ummat manusia yang menciptakan alam dan isi semuanya, yang menghidupkan dan yang mematikan, yang wajib disembah oleh semua makhlukNya.

Dengan demikian apabila dipadukan kedua kata tersebut menjadi; Hamba Allah maka keluarlah pengertian tersendiri yang saling mengikat antara dua kata tersebut dan akan lari jauh maknanya manakala dipisahkan keduanya. Hamba Allah adalah ummat manusia yang menghambakan diri kepada Allah dalam berbagai kesempatan dan kesempitan sehingga tidak ada aktivitas yang dilakukan kalau bukan karena perintah dan ridhaNya, demikian juga tidak ada larangan yang ditinggalkannya melainkan karena dilarang olehNya.

Pure Hamba Allah adalah orang beriman, bertaqwa dan beramal shalih yang selalu melaksanakan perintah Allah sebesar apapun perintah tersebut dan senantiasa meninggalkan larangan Allah sekecil apapun larangan tersebut. Kalau ada manusia yang hanya melaksanakan perintah Allah yang kecil-kecil saja atau yang mudah-mudah saja dan meninggalkan larangan Allah yang besar-besar saja tidak meninggalkan larangan-larangan kecil, maka dia bukan Pure Hamba Allah sebagaimana pengertian Hamba Allah yang sebenarnya.

 

HAMBA ALLAH

Abdullah (‘Abd Allah) merupakan sebutan dalam bahasa Arab, Abid/’abdun (hamba) dari akar kata ‘abada-ya’budu-‘abid, mengandung arti orang yang mengabdi atau orang yang beribadah. Ketika disebuat ‘Abdullah berarti orang yang berbakti atau menghambakan diri kepada Allah dengan tunduk patuh setunduk-tunduknya dan sepatuh-patuhnya hanya kepada Allah. Manakala berhadapan antara perintah Allah seperti shalat dengan perintah manusia seperti bekerja penuh masa tanpa menghiraukan waktu shalat maka seorang Hamba Allah wajib melaksanakan shalat dengan meninggalkan perintah kerja penuh masa.

Manakala berhadapan dengan larangan Allah seperti jangan membunuh nyawa manusia dengan perintah komandan untuk membunuh orang yang dibencinya, maka Hamba Allah wajib menolak dan tidak pernah mau melaksanakan perintah komandan nntuk menghabisi nyawa seorang manusia. Kalau ada manusia yang membunuh manusia lain karena perintah atasan atau karena mendapatkan bayaran padahal Allah melarangnya maka tatkala itu manusia tersebut menjadi hamba atasan bukan lagi Hamba Allah, itu dosa besar hukumnya.

Jadi Hamba Allah yang sesungguhnya sesuai dengan definisi hamba adalah orang-orang beriman (beragama Islam, bertuhan kepada Allah, dan meyakini semua rukun iman) yang setiap sa’at mengabdi, menghambakan diri serta tha’at kepada Allah. Dengan demikian orang-orang kafir yang jelas-jelas tidak bertuhan kepada Allah yang Esa dan menolak beriman kepada rukun iman tidaklah termasuk dalam kategori hamba Allah tetapi mereka menjadi makhluk Allah sederetan dengan makhluk-makhluk lainnya.

Bedanya antara makhluk dengan hamba adalah, makhluk merupakan semua ciptaan Allah dalam alam raya ini mulai dari manusia, hayawan, tumbuh-tumbuhan, iblis, jin, syaithan, malaikat, lat batat kayu batu adalah makhluk. Sedangkan hamba hanya jenis manusia beriman, malaikat, jin yang beriman yang senantiasa menghambakan diri semata-mata kepada Allah. Kenapa manusia non muslim tidak masuk dalam kategori hamba karena mereka tidak mau menghambakan diri kepada Allah dan yang diperintahkan Allah, maka mereka menjadi makhluk biasa saja.

 

HAKIKAT DAN TUGAS HAMBA ALLAH

Sebenarnya kalau kita lebih teliti dengan kandungan-kandungan kitab Allah yang terakhir (Al-Qur’an) maka nampak jelaslah hakikat seorang hamba. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku“. (surah adz-Dzariyat ayat: 56). Allah berikrat tidak menciptakan jin dan manusia kecuali baru Allah ciptakan semata-mata bertugas untuk menghambakan diri kpada Allah bukan kepada atasan, bukan kepada komandan, bukan pula kepada jin, iblis, hantu beulawu dan syaithan.

Orang-orang kafir tidak pernah berikrar sebagaimana ikrarnya orang-orang Islam yang minimal lima kali sehari dalam masa lima kali shalat mengucapkan iqrar: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan“. (surah Al-Fatihah: 5). Ikrar inilah yang menjadi hakikat muslim sebagai Hamba Allah yang dijanjikan syurga di kemudian hari sesuai dengan firmanNya: “…Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar”. (An-Nisak: 13).

Kenapa Hamba Allah itu mendapatkan kemenangan di hari kemudian karena mereka tunduk patuh kepada semua perintah Allah dan meninggalkan semua laranganNya. Allah berfirman dalam surah An-Nisak: 36: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.

Mengikut keterangan ayat tersebut orang yang menyembah Allah, tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, menjalin silaturrahim, menjaga ukhuwwah Islamiyah, tidak sombong dan tidak membangga-banggakan diri, mereka termasuk dalam kategori Hamba Allah. Ketika hakikat Hamba Allah sudah melekat pada diri seseorang lalu mereka menjalankan tugas sebagai hamba Allah dengan sebenar-benarnya maka selaraslah dengan perintah Allah dalam surah Al-Baqarah: 21 yang artinya: “Wahai manusia ! Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu ter­pelihara (bertakwa)” .

Kenapa hamba harus tunduk patuh kepada Allah, karena hamba sangat amat membutuhkan kepada Allah dalam berbagai keperluan hidupnya dan Allah tidak pernah membutuhkan suatu apapun daripada manusia. firmanNya: “Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15). Seorang hamba yang tidak mau menggantungkan diri kepada Allah bermakna tidak memuji Allah, tidak beribadah kepada Allah dan tidak menyembah Allah, kalau demikian yang terjadi maka dia bukanlah Hamba Allah lagi. Boleh jadi pada waktu itu dia sudah menjadi hamba manusia, hamba jin, iblis, syaithan dan sebagainya.

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Al-furqan: 63). Ayat ini menegaskan bahwa yang masuk kedalam kategori Hamba Allah adalah orang-orang yang tidak sombong, yang merendahkan diri, rendah hati, yang apabila dicemo’oh, dihina dan dicaci maki dia membalas dengan perkataan yang baik lagi terpuji. Itulah performance seorang Hamba Allah yang sebenarnya.

Dalam kajian tafsir terkait dengan surah Al-Baqarah ayat 21 dalam tafsir Al-Azhar diterangkan bahwa suruhan menyembah Allah merupakan Tauhid Uluhiyah sebagai perpaduan dan penyatuan pusat menyembah kesatu titik sentral yaitu Allah. Karena Allahlah yang telah menjadikan dan menciptakan kita dan endatu kita dan kita tidak menyekutukanNya dengan yang lain maka ia menunjukkan kepada Tauhid Rububiyah.

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah “Kesempurnaan makhluk (manusia) itu dibuktikan dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah semata”. Penghambaan diri kepada Allah SWT (‘Ubudiyyah) merupakan posisi manusia yang paling tinggi di hadapan Allah SWT. Dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai Hamba Allah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis adalah Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Email : diadanna@yahoo.com

Manusia yang hidup di dunia persis laksana sedang berada pada sebuah halte yang sedang menunggu bus  untuk berangkat. Demikian pula manusia di dunia ini baik lelaki maupun perempuan, anak-anak, pemuda, orang dewasa dan orang tua sekalipun akan berangkat menemui ajalnya.

Ketika ajal tiba, suka atau tidak suka, kematian atau keberangkatan itu pasti terjadi. Namun dalam kehidupan dunia, manusia bisa saja senang ataupun susah, tetapi orang-orang yang memiliki sedikit keimanan dalam dadanya akan berfikir dua tiga kali apakah hidup ini susah atau senang, makanya jika anda hendak hidup tenang atau menghindari kesengsaraan di dunia ini, maka ikutilah  petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Berikut ini kita lihat sabda Rasulullah  SAW yang bermakna adalah:

Artinya: Kalau anda memiliki empat perkara, maka kalian tidak akan mengalami sengsara didunia: pertama, benar dalam perkataan; kedua, menjaga amanah; ketiga, akhlak yang baik; keempat, tidak sarakah dalam makanan. (Dalam Shahih al-Jami; Jilid I Hadist 873).

  1. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Berkatalah yang benar, bertaqarrublah dan terimalah kabar gembira, bahwa sekali-kali amal seseorang tidak  bisa memasukkannya ke sorga.”Mereka bertanya, “Tidak pula engkau ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Tidak pula aku,” kecuali jika Allah melimpahkan dengan rahmat-Nya. (H.R. Bukhari dan Muslim).

  1. Allah berfirman dalam al-Qur’an:

Artinya: Sungguh, Allah menyuruhmu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya,…  (An-Nisa’ : 58. ).  (jika amanah disia-siakan atau atau tidak dilaksanakan secara adil dan benar, maka tunggu azab Allah akan disegerakan).  Karena itu jujurlah anda, benarlah anda dan berterimaksihlah kepada Allah swt., dari segala kealpaan dan kekhilafan serta tidak lagi mengulangi  berbuat kedhaliman.

  1. Allah berfirman dalam al-Qur’an:

اسَدِيۡدً  قَوۡلًا وَلۡيَقُوۡلُوا  للّٰهَ ۖفَلۡيَتَّقُوا

Artinya: …hendaklah mereka bertaqawa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan  tutur kata yang benar. An-Nisa’ : 9    ( Berkata benar adalah symbol keislaman dan ketaqwaan,  hindarilah berbohong, menipu, dan kemunafikan). Munafik adalah  antara perkataan dan  perbuatan sangat jauh celahnya. Ketidak jujuran akan menghantarkan kita ke neraka. Kemudian dalam hadits yang lain  Rasulullah saw bersabda lagi yang artinya adalah:

  1. Rasulullah SAW bersabda:
Baca Juga:  Satu Tahun Sedekah Nasi Jumat

Artinya: Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan orang mukmin pada hari kiamat selain dari akhlak yang baik.  (H. R. Tirmizi,  Ahmad, dan Bukhari). (Makanya siapapun dia, rakyat jelata, ataupun presiden, atau para elit penguasa dan para perampas harta rakyat dan  harta Negara,  para kuli atau buruh kasar, petani dan para ulama berhati-hatilah agar tidak terjerumus ke dalam akhlak mazmumah (tercela) yang merusak tatanan dunia dan hukum Allah.  Kemudian dalam hadis berikut Rasulullah saw bersanba yang artinya:

Artinya: Rasulullah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama imannya? Baginda menjawab, “Orang yang paling baik akhlaknya.”(H.R. Bukhari).

Kemudian Rasulullah ditanya lagi:

Artinya: “Apa itu agama?”Beliau menjawab, “Agama adalah akhlak yang baik.”(H. R. Bukhari)

Kebaikan akhlak adalah cerminan bahwa ia adalah seorang  mukmin sejati dan tidak mudah tergoyahkan dengan uang dan jabatan, ia pun tidak suka menjilat para penguasa akan tetapi ia berkata yang benar itu benar dan yang salah itu salah.   Demikian pula seseorang yang senantiasa berpegang teguh pada ajaran agamanya, setia kepada Islam, tetap istiqamah dengan seluruh ajrannya, maka ia tergolong kepada orang yang berakhlak mulia. Dengan berakhlak mulia-lah kita mendapat keamanan, ketenangan, jaminal Allah di dunia ini hingga ke akhirat kelak.

Selain dari itu dengan memakan makanan yang bergizi, dan tidak berlebihan secara medis-pun ini merupakan salah satu upaya untuk menghindari penyakit. Orang yang sehat adalah orang senang dan bahagia hidup di dunia dapat menikmati kehidupan  denganpenuh nikmat dan terhindar dari segala penyakit yang  akut. Inilah ajaran Islam yang menganjurkan ummatnya untuk  menjaga kesehatan dan tetap segar bugar yang jauh dar bebgai penyakit berbahaya.  Semua ini karena kita makan sedikit dan bergizi serta makanan yang bersumber dari yang halal yang memperolehnya.

Allah berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوٓا

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Kita tidak dilarang makan hingga kenyang tetapi jangan berlebihan sehingga tidak ada tempat untuk air, makanan dan udara di dalamnya.  Kalau mau sehat maka makanlah sedikit tetapi bergizi  dan janganlah rakus dan tamak terhadap makanan.

Kemudian Rasulullah Saw bersabada:

ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه

Artinya: “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihkannya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga lagi untuk bernafas”

Dewasa ini cukup banyak orang meninggal dunia dan kebanyakan mereka divonis menderita penyakit Corona (Covid-19). Lihat bagaimana kematian di Wuhan-China, di India, di Italia dan di Amerika. Mati laksana  ayam di musim penyakit Tha’un secara massal, namun pihak WHO yang bertanggung jawab untuk jual  vaksin dan obat, tidak pernah ada  yang menyelidiki kenapa  mereka banyak mati!  Namun yang paling getol mereka serukan untuk patuhi protocol kesehatan hanya di Negara-negara Islam yang tidak begitu besar dampaknya covid-19 ini.  Misalnya pakek masker, social distancing, vaksin, dan  lock-down, paling ketat  di Negara-negara msulim dan Negara-negara kecil lagi miskin. Piala Euro 2000 gak ada yang patuh untuk pakek masker, gak ada yang patuh untuk menjaga jarak, dan gak ada yang patuh untuk mengikuti prokes.

Baca Juga:  5 Youtuber Indonesia Berpenghasilan Tertinggi pada Juli 2021, Angkanya Fantastis

Tapi lagi-lagi kenapa WHO dan pihak-pihak lain yang merasa berkepentingan dengan menjual vaksin, menjual alat kesehatan, dan menjual obat tidak  diapa-apakan oleh Badan Dunia Kesehatan itu.   Inilah punca kesengsaraan kita di dunia ini karena   dunia ini berat sebelah atau tidak adil dalam menangani kasus Covid ini.

Gara-gara ketidak adilan, ketidak jujuran, dan ketidak istiqamahan para pemegang kuasa, maka rakyat bawahlah yang paling menderita dan sengsara.

Kaum muslimin dan muslimat di manapun anda berada, maka junjung tinggilah  perintah Allah dan   Rasul-Nya,  hindarilah semua larangan Allah dan Rasul-Nya, jagalah makanan haram agar tidak dimasukkan  kedalam perutnya, jauhilah harta haram dan hasil korupsi, hasil dari  penipuan, hasil dari sogok menyogok, hasil dari pemerasan, hindarilah pertumpahan darah (pembunuhan) orang-orang yang tidak bersalah, hindari ketidak adilan di pengadilan dan dalam memutuskan perkara, hindarilah  menganianya manusia, janganlah menipu dan memperolok-olokkan dan mengkriminalisasi ulama, dan janganlah mengadu-domba antara sesama kaum muslimin, sebab apa yang anda lakukan sekarang terhadap orang lain, akan anda rasakan apa yang menimpa orang lain. Ketahuilah bahwa penyakit Covid-19 yang menimpat umat manusia di seluruh dunia dan tidak terkecuali Negara kita, hanya karena menolak perintah Nabi saw.

Rasulullah saw jauh-jauh  hari telah memerintahkan ummatnya untuk  menjauhi tempat yang berwabah dan tidak boleh mendatangi atau berkunjung ke daerah tersebut. Sebaliknya, orang-orang yang berada di tempat yang berwabah, tidak boleh meninggalkan tempatnya menuju daerah lain yang aman dari wabah.

Namun inilah yang tidak berlaku sekarang ini, sehingga yang sering dihinggapi penyakit wabah ini adalah orang-orang yang selalu pulang-pergi ke daerah pandemic, dan juga orang-orang yang pernah  berhubungan bersama orang-orang tersebut. Inilah kesengasaran yang tidak bisa dipungkiri.

Oleh Dr. Muhammad AR. M.Ed

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Aceh

Oleh : Rahmadon Tosari Fauzi, S.Pd.I, M.Ed, Ph.D

Islam saat ini telah dijadikan sasaran terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi oleh  Barat yang penuh kebencian, mereka melihat Islam dan pemeluknya sebagai sebuah kekuatan yang akan bangun dari tidur untuk menghancurkan berhala-berhala jahiliyah modern dan menjunjung kembali panji moralitas dan agama.
Barat mengklaim bahwa Islam adalah agama terorisme dan menyeramkan, bahwa Muslim tidak toleran dalam urusan mereka dengan agama lain, meskipun mereka dan negara-negara yang sepemahaman dengannya belum melihat tindakan terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang beragama Islam dan hal tersebut memang sangat jauh dari nilai dan ketentuan dalam islam, lalu bagaimana caranya sekarang bagi Muslim membuktikan bahwa Islam adalah agama toleransi yang benar?

Allah  SWT  mengutus seorang nabi-Nya, yaitu Muhammad SAW ke Negeri Mekah untuk menyeru orang-orang untuk percaya pada pesan terakhirNya. Dan sebagaimana telah dipertontonkan dalam sejarah bahwa Nabi bersama dengan pengikutnya yang percaya dengannya menjadi sasaran berbagai macam siksaan dan penganiayaan selama bertahun-tahun oleh kaum kafir Qurays saat itu. Islam  menjadi terkepung di terumbu karang   Mekkah sampai Allah  berkehendak bahwa agama ini menjadi Risalah yang murni dan memberi Rahmat bagi seluruh Alam.

Maka saat terjadinya penaklukan pertama oleh kaum Muslim ketika mereka memasuki Mekkah, Nabi SAW berdiri dihadapan orang-orang kafir Quraisy dan para pemimpinnya yang sebelumnya telah melakukan kejahatan dalam bentuk siksaan terhadap Muslim, dan Nabipun mengatakan kepada mereka dengan ucapannya yang penuh toleran, “menurut Anda kira-kira apa yang pantas saya lakukan kepada Anda sekrang?”, mereka menjawab “Engkaulah saudara kami yang Mulia, Engkaulah Anak dari saudara kami yang Mulia” sebagai bentuk kepasrahan mereka terhadap apa keputusan sang Nabi. Lalu Nabi SAW mengatakan “ Pergilah kalian, kalian kami bebaskan”.  Ini adalah bentuk toleransi pertama yang menyentuh telinga para penindas, Doktrin toleransi kemudian memungkinkan pembentukan negara Islam pertama atas dasar toleransi dan amnesti di antara umat Islam sendiri dan di antara Islam dengan yang lainnya.

Ketangkasan Nabi SAW dalam mengkonsolidasikan hubungan antara Muslim dan penduduk kota Yahudi di Madinah, meskipun Nabi mengetahui bahwa bagaimana orang Yahudi yang sebenarnya suka mengingkari perjanjian dan terhadap penipuan yang berulang kali mereka lalukan, Nabi membangun sebuah hubungan dengan mereka atas dasar toleransi. Dia tidak termasuk dari posisi aturan yang diambil ketika orang-orang Yahudi mengkhianati kaum Muslim dan mencoba membunuh Nabi yang mulia.
Pendekatan Islam 
Para kontemplator ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits- hadtis Nabi sangat memahami kebenaran toleransi agama dalam semua manifestasinya, Muslim diperintahkan untuk membangun pendekatan dengan menjalin hubungan baik dengan sesamanya dan dengan orang lain dengan penuh kejujuran dan keadilan. Keberlangsungan hubungan tersebut selalu harus dihormati dan dipelihara dalam berurusan dengan mereka selama perdamaian terjalin dan selama dalam hubungan mereka tidak menunjukkan permusuhan dan kebencian terhadap Muslim.
Sebagaimana keadaan Muslim dalam urusannya dengan sesama Muslim lainnya diperintahkan untuk saling toleransi dalam  jual beli, dan dalam memberi pengampunan dan kemaafan terhadap orang-orang yang menyinggung perasaannya, dan pada pemberian kemaafan terhadap orang telah telah mendhalimnya dan berlaku tidak adil padanya. Begitu juga keadaanya ketika Muslim berhubungan dengan selain mereka. Sesungguhnya telah terdapat model dalam  sejarah Islam melalui berbagai tahapan pembentukan toleransi yang sangat indah, ketika Salahuddin Al-Ayyubi membebaskan Palestina mengedepan toleransi dan pengampunan terhadap Tentara Salib yang telah terkalahkan meskipun sebelumnya ketika mereka memasuki Kota Yerusalem membunuh ribuan Muslim dengan pedang kebencian dan pengkhianatan yang membabibuta. Islam telah mempertontonkan kelakuan yang begitu mulia yang sangat bertolak belakang dengan peradaban Barat dan Non Muslim.                                                          
Pentingnya toleransi 
Islam telah mendesak kita untuk bersabar dan mematuhi pengampunan dan toleransi, kedua hal ini adalah sebagai alasan untuk mendapatkan pahala yang besar, status yang mulia, menjadi kontribusi untuk pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Berikut ini kita  akan menjelaskan secara rinci  tentang pentingnya pengampunan dan toleransi dalam Islam.
Pertama Tentang Profil amnesti dan toleransi itu sendiri,   terdapat banyak  penyalahgunaan hal yang tepat dilakukan oleh manusia, banyaknya bermunculan situasi yang memalukan dan memprihatinkan, serta masalah-masalah yang terjadi antara seseorang dengan orang lain baik itu mungkin antara saudara atau teman atau sebaliknya sehingga ini menjadi pemicu terjadinya pertengkaran antar sesama mereka, dan memungkinkan  pemutusan hubungan dan pemboikotan yang seringkali terjadi, sampai menghasilkan jumlah yang sangat besar yang berefek lebih buruk lagi, karena banyaknya masalah, dan perbedaan dalam kehidupan manusia kehilangan fokus di masa depan, dan meningkatkan kegelisahan, dan emosi, dan ini adalah apa yang mempengaruhi banyak penyakit, dan menyebabkan penghapusan banyak Hubungan baik yang mempertemukannya, di antara individu-individu lain, dan selain itu dapat membuat dia menuai banyak perbuatan buruk , Oleh karena itu pentingnya amnesti dan toleransi. Pengampunan berarti menghilangkan individu tertentu dari pelecehan atau rasa bersalah, dan pengabaian hukuman terhadapnya, toleransi dimaksudkan untuk memungkinkan dan menerima alasan orang lain untuk meminta pengampunan.

Kedua, pentingnya amnesti dan toleransi dalam Islam. Islam mendesak kita untuk menjadikannya sebagai sebuah agama toleransi, yang mengajarkan kasih sayang untuk moralitas, dan menerapkan  nilai-nilai yang baik, termasuk mengedepankan pengampunan dan kemaafan. Banyak ayat-ayat Alquran dan Hadits berbicara tentang pentingnya pengampunan dan toleransi serta kelebihannya. Pentingnya amnesti dan toleransi tersebut dapat dirangkumkan sebagaimana di bawah ini

  • Menyingkirkan permusuhan dan kebencian, dan menanamkan cinta di hati manusia, dan di sini kita mengingat firman Allah SWT dalam AlQuran Al Karim Surat Fushilat ayat 34 : “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
  • Amnesty dan toleransi bertujuan pada perolehan kemajuan dan kebangkitan masyarakat, dan penghapusan sejumlah besar masalah yang timbul antara ummat manusia dan keturunannya, sehingga tentu saja yang paling menonjol dari hasil untuk menyingkirkan masalah adalah keinginan dalam konstruksi dan rekonstruksi.
  • Manusai menjadi orang dengan kepribadian positif yang lebih disibukkan dengan kemajuan di masa depan dan berambisi dengan tujuan-tujuan baik yang dicarinya.
  • Untuk memenangkan pengampunan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT menyampaikan dalam firman yang terdapat pada ayat 22 Quran Surat An-Nur : Artinya : “dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Pada Surat Ali Imran Ayat 133-134 Allah SWT juga menyampaikan  “ Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
  • Mendapatkan kemenangan yang luar biasa di hari kiamat kelak, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf berikut ini:
  • Toleransi dan grasi meningkatkan kemampuan individu untuk mengendalikan dirinya, dan menyingkirkan keinginan untuk membalas dendam serta menjauhkan diri dari permusuhan dan kebencian dan apa saja yang dihasilkan olehnya.  Oleh karena itu bahwa amnesti dan toleransi menunjukkan bukti terbaik terhadap penguatan kepribadian dan bukanlah ia satu kelemahan dan kemunduran sebagaimana dipersepsikan oleh sebagian manusia.
  • Memenangkan rasa cinta dari orang lain dan penghargaan mereka, dan sebagai tambahan, kita menemukan bahwa pengampunan dan toleransi berkontribusi untuk meningkatkan kesempurnaan kebaikan jiwa individu,serta mampu menyingkirkan ide-ide negatif, dan kebiasaan yang tidak diinginkan yang menghalanginya dari mencapai tujuan dasarnya.

Dengan kembali memahami pesan Islam tentang eksistensi toleransi islam yang telah menjadi peradaban semenjak Islam lahir kita mengharapkan Muslim di seluruh jagad raya mampu menegaskan wujud tasamuh tersebut ke seluruh alam sebagai esensi rahmatan lil alamin, sehingga mampu menepis dugaan dan cibiran luar terhadap Islam yang suci.

Penulis : Rahmadon Tosari Fauzi, S.Pd.I, M.Ed, Ph.D, Lulusan Doktoral University of Sennar, Khartoum, Sudan.

Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Aceh
Dosen FTK UIN Ar-Raniry
Dosen FAI USM Banda Aceh

Dari sisi wajah dan wijhah, konsep Islam Nusantara (IN) terindikasi mengandung “min amril-jahiliyah”, yaitu menghidup-hidupkan benih-benih Jahiliyah, sejenis propaganda jahiliyah gaya baru. Benar, (IN) bukan teologi, bukan madzhab bukan aliran, kita sudah tahu dan dengar sejak awal. Tapi dengan mencirikan (IN) secara separoh “damai, santun, toleran, beradab dan berbudaya, dstnya…” sudah cukup jadi bukti tabayyun bahwa teologi (IN) hanya mengambil sisi rahmatan lil-‘alamin Islam secara juz‘i (farsial). Ma’rufatnya diambil, Manhiyat Islam dibuang. Humanistik Islam iya, militanistik Islam jangan. Ini jahiliyah. Sama seperti “islam yes, partai Islam no.”

Apa yang hilang disini? Sisi ‘alamiyyatul Islam dipangkasnya. Amar ma‘ruf diambil nahi munkar dibuang. Nilai-nilai syurga, mau. Nilai-nilai penyelamat dari neraka ditolak. Padahal ayatnya berbunyi “faman zukhziha ‘aninnari wa’udkhilanjannata faqad faz, Ali Imran: 185. “quw anfusakum wa’ahlikum naaraa”, at-Tahrim”, at-tahrim:6.

Mengambil sebagian menolak sebagian, Yahudi punya gaya (al-Baqarah:85). Kita paham, maksudnya mau merangkul kelompok lain dengan tujuan ini-itu. Imam as-Syafii rahimahullah mengatakan “amantu billahi wabima ja’a ‘anillah ‘ala muradillah wa’amantu birasulillah wabima ja’a ‘an Rasulillah ‘ala muradi rasulillah, aku beriman kepada Allah dengan semua yang datang dari Allah berdasarkan apa maunya Allah. Aku juga beriman kepada Rasulullah dengan seluruh apa yang datang dari Rasulullah menurut apa maunya Rasulullah.”

Islam sudah mengubur semua perkara Jahiliyyah. Khutbah Wada‘ Nabi shallallallahu‘alayhi wasallam “ala kullu syai‘in min amril-jahiliyyah tahta qadamiy mawdhu‘, ketahuilah bahwa setiap jenis perkara Jahiliyyah di bawah kakiku, sudah dihapus. (Shahih Muslim, 1218)

Teologi (IN) ingin membangun ta‘asshub sya‘bi, fanatik kebangsaan sekaligus ta‘asshsub unshuri, kefanatikan organisasi dengan mengatakan “NU adalah pihak yang paling bertanggungjawab terhadap keberlangsungan gagasan Islam Nusantara”

(2) Dari aspek institusional, konsepsi bangunan Islam Nusantara (IN) sebenarnya sudah ambruk ketika Syeikhul Azhar Syekh Ahmad Thayyib hafizhahullah dengan telak menjawab “guyonan ringan, mudā’abāt lathīfah” Prof. Said Aqil Siroj (SAS) para Rabu (22/5/2018) di Gedung PBNU. Pertemuan dua institusi besar itu berakhir pada tanggapan distingtif yang menggelikan.

“Seandainya Allah tahu, maka Islam akan IA turunkan di Indonesia, bukan di Arab. Namun Allah Maha Tahu di mana Risalah-Nya harus Ia turunkan. Negeri Arablah yang dipilih-Nya bukan Indonesia “Allāhu a’lamu kayfa yaj’alu risālatahu” (2) iman kalian tidak sempurna sampai kalian mencintai orang Arab ini (Rasulullah saw) melebihi diri, anak dan harta kalian (3) Bukankah pembawa Islam ke Indonesia juga Arab, jika tak ada pedagang Arab yang membawa Islam ke nusantara, kondisi Indonesia nasibnya seperti kawasan lain yang belum mengenal kebenaran.”

Di event bergengsi itu Syeikhul Azhar tidak mengomentari paparan SAS terkait konsep Aswaja NU yang berfikihkan madzhab Syafi’iyah, ber’aqidahkan Asy’ariyah dan Maturidiyah, dan bertasawwufkan Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali.

Mahfumnya: Islam Aswaja dalam pandangan Syeikhul Azhar; aman-aman saja. Giliran Islam Nusantara yang berbasis wathaniyah beliau kuliti sampai soal terganggunya pengeras suara pun Syekh candai sebagai pengaruh efek wathaniyah.

Syeikhul Azhar bertanya, kenapa harus anti ‘Arab?

Menolak ‘Arab, tidak saja menggelikan tapi juga memalukan. Ada narrow-minded di dalamnya: kepicikan, pembodohan dan langkah mundur. Menolak Arab –khususnya Madinaturrasul- bagian dari kemunafikan. Sedang mengambil sebagian dan menolak sebagian adalah tradisi Yahudi-Nashrani “afatu’minuna biba’dil-kitab watakfurun biba’dh”, al-Baqarah: 85. Pembawa Islam ke Indonesia, Pedagang Arab. Walisongo umumnya etnik Arab. Kitab Kuning NU, bahasa Arab. Nama-nama masjid dan pondok, umumnya idiom Arab.

Tahun 1930-an, dalam bukunya “Islam dan Kebangsaan” A. Hassan (1887-1958) meluruskan pemikiran Soekarno dengan kalimat indah; “….Eropa memisahkan negara dari agama, karena agama Kristen tidak punya cara atur agama. Dari zaman Nabi Isa sampai sekarang tidak terdengar ada satu staat menjalankan hukum Kristen, bukan begitu keadaan Islam.”

Ketika Pesantren Persis Bandung berdiri, Presiden Soekarno tulis surat kepada A. Hassan:

“….Alangkah baiknya Tuan punya mubaligh-mubaligh nanti bermutu tinggi, seperti Tuan M Natsir, misalnya! Saya punya keyakinan yang sedalam-dalamnya ialah, bahwa Islam di sini, dan di seluruh dunia masih mempunyai sikap hidup secara kuno saja…..” Endeh, 22 April 1936.

(3) Dari sudut terminologi, istilah (IN) sebenarnya adalah “anak keturunan” aliansi Liberalisme Islam sebelumnya. Yaitu wajah Islam yang berupaya membebaskan kaum muslimin dari induk atau sumber aslinya Qur’an-Sunnah atau dari tempat asal diturunkannya. Tema yang diusung adalah kebebasan dan hak asasi. Tidak mau terikat oleh ikatan manapun, kecuali ikatan yang ia ciptakan sendiri bernama hawanafsu sebagai tuhan baru secara step by step. Tuhan baru itu bisa berwujud HAM, Nasionalisme, UU dengan segala produknya dan atau kepentingan tertentu lainnya.

Jamaah Islam Nusantara (JIN) dengan para Pengusungnya bukannya tidak menyadari bahaya ini. Mereka sudah termakan propaganda palsu, terjebak oleh umpan dan jebakan lawan; meskipun mereka Guru Besar atau sekelas Ulama sekalipun. Pesan Khalifah Umar radhiyallahu’anh: 3 peroboh agama (a) Zullatun ‘Alim, orang alim yang tergelincir (b) Jidalul-munafiq bil-Quran, perdebatan kaum munafik soal al-Quran (c) A‘immatul-Mudhillun, para pemimpin yang menyesatkan. Imam Ibnu Abdil Barr (w.463 H), Jami’u Bayanil-Ilmi wa Fadhlih (Juz 2:223). KSA: Dar Ibnil Jauzi (1994).

Sebut saja misalnya, Pribumisasi Islam Gur Dur (1980-an), Islam Liberal (awal 1990-an), Islam Inklusifnya Alwi Shihab dkk (1997), Islam Warna-warni Komunitas Utan Kayu (1997) yang kemudian menjadi judul buku John L. Esposito terbitan Paramadina.

(4) Dari aspek legal term, boleh disimpulkan, bahwa istilah (IN) adalah produk budaya. Dari sudut kebangsaan, budaya adalah alat paling efektif mempertahankan segala kepentingan atau sebaliknya menggilas Islamic Movement di tanah-air. Apalagi jika budaya tersebut diback-up oleh kekuasaan, maka sempurnalah sandaran agenda (IN). (IN) boleh jadi kendaraan NU melumat gerakan wahabi sekaligus gerakan ekspansi “Nunisasi Nusantara.”

Budaya dan agama adalah dua hal yang berbeda; baik visi maupun misi. Selamanya agama dan budaya tidak bisa disatukan, walaupun digodok bolak-balik. Setinggi-tinggi nilai sebuah budaya adalah humanisme (insaniyah), sedang basis agama adalah ilahiyat. Agama bersendikan wahyu, sedang budaya bersendikan pikiran, akal budi, karsa atau adat-istiadat. Sifat budaya saling meminjam, sementara agama paten punya. Kebudayaan dihasilkan oleh kerja-kerja intelektual sedang agama langsung dari Kitabullah dan Sunnah Rasul.

Maka Sekedar contoh: sholat adalah istilah syariat, sifatnya langitan. Jika ada istilah “sholat nusantara”, maka wajib ditolak, sebab nusantara itu sifatnya: bumian, relatif, bagian dari karsa manusia. Sholat design Allah, nusantara design manusia.

Mengutip para Ahli, syarat utama peristilahatan itu: misi dan gagasannya tidak boleh selisihi syar’iat sebagai basis timbangan ilmu syar‘iyah. Konsekwensinya, semua istilah yang kontra syariat; wajib ditolak, hukumnya tidak sah dan dilarang beredar. Hukum harus ditegakkan, dan negara harus hadir.

(5) Dari sudut idiomatik. Islam sebagai agama dan doktrin sudah final. Islam adalah terminologi syariat, produk langit, sifatnya ilahiyat. Allah sendiri yang menamakannya. Pemilik istilah tentu lebih tahu dari pada pihak lain. Apa itu Islam, sudah Allah jelaskan secara tuntas; syamil kamil wa mutakamil. Tak perlu ada tambahan atau pengurangan, sama seperti ketika Allah menjelaskan diri-Nya dalam surah Qulhuwallahu Ahad. Surah Al-Ikhlas adalah definisi yang paling lengkap terkait konsepsi ketuhanan. Demikian halnya dengan penta’rifan Islam; “waradhītu lakumul islāma diynā” (Qs.5:3). “Innaddīna ‘indallāhil-islām” (Qs.3:19). “Wamanyabtaghi ghayral-islami dīnā” (Qs.3:85). “Huwa sammātukumul muslimīna min qablu wafīhādza” (Qs.22: 78).

Maka ketika Islam disebut, include pulalah di dalamnya sifat dan wataknya yang damai, aman, toleran, santun dan beradab. Sama dengan kaedah asma’ul-husna; ketika nama Allah disebut include-lah di dalamnya: zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya. Sesuatu yang sudah finis, jangan lagi diotak-atik; hilang nanti cantiknya.

Orang yang memahami kamus dan gramatika Arab, tahu soal ini, sehingga tak perlu otak-atik seperti tradisi buruk rahib Yahudi dan pendeta Nashrani. Mereka melakukan ajaran campur aduk bernama talbis dan kitman; yang benar disembunyikan, yang batil ditampakkan (al-Baqarah: 42).

Maka bagaimanapun lihainya designer istilah islam nusantara mendandani, memak-up dan mendempul “tampilan islam nusantara” bahwa (IN) bukan madzhab, bukan aliran teologi dstnya; tapi “Jumhur Ummat” tetap memandang (IN) bukan Islam yang sebenarnya. Karena (IN) memisah dari induknya (Quran-Sunnah) ‘ala wathaniyah dan lebih memilih aturan lokal kewilayahan. (IN) bermufaraqah dari saudara-saudara muslimnya di belahan dunia lain, yang dipandangnya tidak seirama dengan langgam “Islam Nusantara.” (IN) berubah dan merubah wajahnya menjadi Islam Inklusif, Islam kinasih, paling eksta-ordinari dari Islam di belahan bumi lain. (IN) Islam yang aneh, bukan “Islam Aswaja lagi”.

Prof. Said Aqil Siroj menjelaskan “Islam nusantara bukan madzhab, bukan aliran, tapi tipologi, mumayyizat, khasha’is. Islam yang santun, berbudaya, ramah, toleran, berakhlak, dan berperadaban. Inilah Ilam Nusantara”.s

Penjelasan ini hanya memotret tampilan sisi humanitarianisme Islam. Sisi militaristik Islam tidak dijelaskannya. Penjelasan ini menjadi tidak sepasang, tidak seimbang dan tidak adil, mestinya dua-duanya harus disebut; sisi ma’rufat dan munkaratnya harus bunyi. Karena tempat kembali itu ada dua; sorga dan neraka. Ada al-hasanat tentu ada as-sayyi’at.

(6) Istilah (IN) cacat kriterium. Ahli-ahli bahasa mengatakan, istilah itu sifatnya harus ittifaq; disepakati oleh ahli dibidangnya, serta tsabit (konsensus) di kalangan ahli ilmu. Istilah (IN), syubhat dari sudut logika sandar-menyandarkan atau sifat-mensifatkan. Istilah ini tidak saja mengemaskulasi ‘alamiyatul Islam, tapi juga telah mengebiri misi kaffatan linnas dinul Islam itu sendiri. Jamaah (JIN) rasanya mau menyendiri (mufaraqah). Karena Islam non-nusantara dipandangnya tidak pas dengan nusantara. Islam non-nusantara tidak cocok dengan alam budaya Indonesia.

Kyai-Kyai Nadhiyin berseloroh “jika ada Islam Nusantara berarti ada Islam non-Nusantara. Ada Islam Indonesia, Islam Amerika, Islam Pribumi, Islam non-Pribumi dan seterusnya”.

Sebagai perbandingan, Allah Jalla Jalaluh tidak pernah memberi nama pada pohon yang Nabi Adam ‘alayhissalam dan isterinya dilarang mendekat. Dengan mengangkat namanya sebagai penasehat dan pembawa misi keabadian, Iblis menamakan pohon itu dengan”syajaratul-khuldi”, sebagaimana dalam surah Thaha: 120, dan Nabi Adam pun tergelincir. Kita doakan semoga arah peristilahatan (IN) tidak mengarah pada jurus “dajjajilah” ini.

(7) Istilah (IN) istilah yang masih gharib dan majhul. Dalam sejarah Indonesia merdeka, baru Panitia Muktamar (NU ke-33) yang memakai istilah ini. Sebelumnya, tak pernah terdengar di tanah-air maupun di belahan dunia lain yang menyebut Islam Maroko, Islam Madagaskar, Islam Melayu, dll. Prof Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddiqiy (1904-1975) memang pernah menggagas Fikih Keindonesiaan sejak tahun 1359/1940. Namun bagaimana rupa Fikih Indonesia itu menurut Nourouzzaman Shiddiqi (1997) dalam bukunya “Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya”, belum tampak wujudnya sampai hari ini.

  1. Ali Yafie (lahir: 1924, 93th) dan K.H. Sahal Mahfudz (1937-2014) keduanya adalah Penggagas Fikih Sosial Keindonesiaan. Gagasan KH. Ali Yafie ditulis oleh Jamal D. Rahman (1997) dalam buku Wacana Baru Fikih Sosial: biografi 70 tahun KH. Ali Yafie. Dr. Jamal Ma’mur Asmani, MA, juga menulis buku “Menggagas Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh. Jakarta: (2015), terbitan EMK. Dari sudut lain, Zaini Rahman menulis buku “Fikih Nusantara dan Sistem Hukum Nasional Perspektif Kemaslahatan Kebangsaan”.

Istilah “Fikih Keindonesiaan” ini dapat dipahami secara sadar oleh masyarakat umum, berbeda jauh dengan arah dan gagasan Islam Nusantara. “Islam Nusantara Majhul, Ghayru Ma’ruf”, seloroh seorang Kyai. Para penggagasnya memang sudah menjelaskan konsepsi Islam Nusantara, tapi khalayak umum tetap mempersepsikan “ada agenda tersembunyi yang dibalut dengan dana-dana siluman” di balik agenda yang humanis ini. Sebuah sumber berseloroh “Islam Nusantara manis diteori tapi sepah pada penerapannya.”

Beberapa buku yang mengurai (IN) antara lain:

  • Islam Nusantara (kumpulan tulisan, 18 penulis) diterbitkan oleh Mizan Bandung (2015) disunting: Akhmad Sahal dan Munawir Aziz. Buku ini beredar di acara Muktamar NU ke-33.
  • Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M oleh Ayang Utriza Yakin, DEA, Ph.D. Terbitan: Kencana Rawamangun (2016),
  • Juga kumpulan tulisan dari 6 artikel bertajuk Sejarah Islam Nusantara oleh Michael Laffan, terjemahan dari The Making of Indonesian Islam, Yogyakarta: (2011), Bentang Pustaka.
  • Membumikan Islam Nusantara (313 hal.), Dr. Ali Masykur Musa. Jakarta: (2014), Serambi Ilmu Semesta.

Buku-buku ini masih dalam tahap gagasan dan ide-ide mentah, setinggi-tingginya adalah respons sosial berbentuk kumpulan tulisan. Ditingkat konsepsi “Wajah dan Wijhah Islam Nusantara” belum ada yang menyusunnya. Gagasan Fikih Keindonesiaan saja yang digagas sejak tahun 1940-an sampai sekarang belum terwujud. Mari kita tunggu. Pepatah Melayu bilang “kalau gajah hendak dipandang gadingnya, kalau harimau hendak dipandang belangnya.”

(8) Istilah (IN), terminoligi yang dipaksakan; conpulsion term. Istilah punya kaedahnya tersendiri apalagi istilah syar’iyah yang punya dimensi pahala dan dosa sekurang-kurangnya berdimensi al-hasanat was-sayyi’ah. Karena dalam istilah ada muatan ma’na, pengertian, konsep, simpulan, maksud, keyakinan, bahkan teologi. (Ahmad Mohammad Zayid, Min Qadhaya al-Musthalahat wa Musykilatuha Fi Dhaw’i al-Tsaqafah al-Islamiyah, Mesir: 1432/2011).

Umumnya istilah (musthalahat, ta’rifat) punya induk; ada biang dan turunannya, ada ushul dan furu’nya, ada umum dan khususnya, ada muthlaq dan muqayyadnya, ada asybah dan nazha’irnya. Ringkasnya punya gardu dengan cabang-cabangnya. Berdasarkan kaedah ini, induk Islam Nusantara itu siapa, kapan dan dimana. Kiblat nusantara itu siapa. Nabi bersabda “kullukum min Adam wa Adam min Thurab”. Nenek moyang orang nusantara sebagai kiblat percontohan Islam Nusantara itu siapa? Sanad manaqib-nya itu siapa, Musyabbah bih-nya siapa?

Ini berarti gagasan Islam Nusantara itu aneh dan tidak jelas; tidak bersanad karena memutus mata rantai sejarah dengan para pendahulunya, khususnya sanad perpindahan dari Pusatnya di tanah Hijaz sampai ke bumi Nusantara. Dari walisongo ke wali-wali sebelumnya.

Sekedar contoh, Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya “kitabul manaqib” melalui sanadnya dari (1) Qutaibah bin Said (2) Ismail bin Ja’far (3) Abdullah bin Dinar (4) Abu Shalih (5) Abu Hurairah (ra) meriwayatkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ، إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ : هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ ؟ “. قَالَ : ” فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ”

Bersabda Rasulullah (saw): “permisalanku dengan Nabi-Nabi sebelumku tak ubahnya seperti seseorang yang membangun suatu bangunan. Bangunan itu sungguh sempurna dan begitu bagus. Cuma ada satu batu bata yang belum terpasang. Orang banyak memasuki bangunan itu, mereka ta’jub semua. Mereka berkomentar “andaikan satu bata itu dipasang”. Nabi (saw) bersabda: “aku adalah satu bata itu, dan aku adalah penutup para Nabi”. HR Bukhari (3535)

صحيح البخاري | كِتَابُ الْمَنَاقِبِ. | بَابُ خَاتِمِ النَّبِيِّينَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Ada 3 (tiga) khazanah Islam yang tidak dimiliki agama lain (1) sanad (2) nasab (3) i’rab. Dari ketiganya; apakah Islam Nusantara memilikinya. Jawabannya, jelas tidak punya, sebagian boleh jadi iya.

Karena itu, sebagian Kyai NU menolak istilah ini. “(IN) pendurhakaan terhadap ajaran Aswaja dan menyimpan agenda terselubung, kata KH. Misbahussalam (PCNU Jombang). “Islam rahmatan lil’alamin belum selesai sudah ditimpa lagi dengan agenda Islam Nusantara”, papar KH. Mursyiddin Abdusshomad (PCNU Jember).

Islam rahmatan Lil’alamin ada dasarnya dalam Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sementara Islam Nusantara tak punya landasan dalil sama sekali, kecuali dalih yang diada-adakan, lanjut Mursyiddin. KH. Muhith Muzadi (w. 2015: Malang), “jika ada istilah Islam Nusantara berarti kebalikannya ada istilah Islam non-Nusantara. Dan ini menyalahi teologi NU.”

Jadi (IN) adalah gagasan syubhat. Syubhat: teritorial, sektoral, pengkotak-kotakan, rasis, sara dan seterusnya. Istilah ini mencederai ajaran luhur Hadratus Syekh Hasyim Asyari sendiri yang dipegang teguh selama ini oleh Kyai-kyai lurus Nahdhiyin, yaitu Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Sebutan Aswaja di”tong sampahkan”. Ajaran luhur: Imam as-Syafi’i, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, Imam Ghazali, Imam Syadzili, dan imam-imam lain dicampakkannya. Imam-imam besar ini tidak tenang di alam kuburannya dengan kemunculan istilah ini, terlebih lagi Hadhratus Syekh Hasyim Asy’ari sebagai penggagas sanad ajaran Aswaja.

(9) Istilah ini membawa luka baru bagi persatuan ummat Islam di tanah-air. Penggagas istilah ini tidak berpikir efek, apa kata dunia jika istilah ini nanti muncul. Islam milik semua. Bukan cuma milik orang nusantara. Ketika fenomena kasus gambar calon pilkada yang ditempel di sampul al-Quran mengemuka. Dunia Islam bunyi. Berani-beraninya càlon ini menempel foto/gambar/atribut tertentu di mushaf al-Quran. Tak ada yang berani melakukan ini di belahan bumi lain, kecuali ‘orang nusantara’.

Wallahul Musta’an.

Kemayoran Serdang,

Abu Taw Jieh Rabbanie, Peneliti Pusat Kajian Dewan Da’wah.

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Pengurus Dewan Dakwah Aceh
Di antara ajaran Al-Quran dan As-Sunnah adalah perintah mewujudkan dan menjaga ukhuwwah islamiah (persaudaraan Islam) dan larangan melakukan segala perbuatan dan perkataan yang dapat merusak ukhuwwah Islamiah. Maka, umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah wajib menjaga ukhuwwah islamiah dan haram merusak ukhuwwah islamiah.
Ukhuwwah islamiah sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu, ukhuwwah islamiah diperintahkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan ukhuwwah islamiah, maka akan terwujud persatuan umat Islam dan perdamaian dalam negara. Dengan terwujudnya persatuan, maka umat Islam menjadi umat yang kuat dan mulia seperti pada masa Nabi dan para sahabat.
Para sahabat sangat peduli dan komitmen dengan ukhuwwah islamiah. Mereka saling mencintai dan mengasihi. Mereka saling menghormati dan menghargai, meskipun terkadang dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat. Namun hal itu tidak membuat mereka saling benci, apalagi menyesatkan orang lain. Ukhuwwah islamiah inilah yang dibangun dan diajarkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat sehingga umat Islam menjadi kuat dan berjaya saat itu.
Al-Quran dan as-Sunnah memerintahkan umat Islam untuk mewujudkan dan menjaga ukhuwwah islamiah dengan bersatu dalam aqidah Islam yaitu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, saling mencintai, membantu dan mengasihi saudaranya muslim. Sebaliknya, Al-Quran dan As-Sunnah melarang umat Islam merusak ukhuwwah islamiah dengan bercerai berai, berselisih, membuat konflik, membenci, mendengki, menfitnah, dan menyesatkan saudaranya muslim.
Allah Swt menegaskan bahwa umat Islam itu bersaudara dengan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al-Hujurat: 10). Begitu pula Rasul saw telah menegaskan bahwa umat Islam itu bersaudara dengan sabda beliau: “Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim yang lainnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Hafiz al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya “Tafsir al-Quran al-Karim” menjelaskan ayat di atas, “Semua orang beriman itu bersaudara dalam agama”. Hal senada juga dijelaskan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab tafsirnya “Ma’alim At-Tanzil” dan Imam al-Khazin dalam kitab tafsirnya “Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil” bahwa maknanya adalah bersaudara dalam agama dan al-wilayah (perwalian) atau al-walayah (pertolongan). Imam as-Samarqandi dalam tafsirnya “Bahrul ‘Ulum” menjelaskan ayat di atas, “Kaum muslimin seperti saudara dalam kerjasama dan tolong menolong sebab mereka di atas agama yang satu”.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya “Taysir al-Karim ar-Rahman fii Tafsiir Kalaami al-Mannan” menjelaskan ayat di atas, “Inilah ikatan yang Allah ikatkan di antara kaum mukmin bahwa jika ada pada seseorang di manapun, di timur dan barat bumi, serta ada pada dirinya iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan Hari Akhir, maka sesungguhnya ia adalah saudara untuk kaum mukmin. Persaudaraaan ini mewajibkan kaum mukmin mencintai untuk saudaranya apa saja yang mereka untuk diri mereka sendiri dan membenci untuk dia apa saja yang mereka benci untuk diri sendiri.”
Dalam kitab tafsirnya “Adhwaau Al-Bayan”, Syaikh Muhammad al-Amin bin Mukhtar asy-Syinqiti menjelaskan makna persaudaraan dalam ayat diatas adalah ukhuwwah ad-adiin (persaudaraan agama), bukan ukhuwwah an-nasab (persaudaraan hubungan keluarga). Beliau menjelaskan, “Persaudaraan agama lebih agung dan lebih kuat dari persaudaraan hubungan keluarga (nasab) berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah”.
Secara fitrah, tabiat orang yang bersaudara itu saling mencintai dan mengasihi. Orang yang memiliki hubungan persaudaraan itu pasti menyayangi dan mencintai saudaranya. Semua makhluk diberi rahmat oleh Allah Swt untuk mencintai dan mengasihi saudaranya. Coba perhatikan, binatang saling mencintai dan berkasih sayang dengan sesama saudaranya. Begitu pula manusia. Orang-orang kafir saling mencintai sesama saudaranya. Maka sudah sepatutnya kita umat Islam lebih mencintai saudara kita muslim ahlussunnah wal jama’ah melebihi cinta binatang dan orang kafir terhadap saudaranya, karena Al-Quran dan As-Sunnah telah memerintahkan kita. Oleh karena itu, sesama muslim wajib saling mencintai dan mengasihi.
Umat Islam wajib saling mencintai dan mengasihi sesama muslim. Bahkan mencintai dan mengasihi saudaranya muslim merupakan bukti kualitas iman seseorang. Rasul saw bersabda: “Tidak beriman (secara sempurna) salah seorang di antara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Umat Islam wajib berlemah lembut dan berkasih sayang terhadap sesama muslim. Sebaliknya, umat Islam harus kuat, berani dan tegas terhadap orang-orang kafir. Allah Swt berfirman: “Muhammad Itu utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29). Allah Swt berfirman: “…yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir..” (Al-Maidah: 54).
Seorang muslim tidak boleh menyakiti dan menzhalimi saudaranya muslim. Perbuatan ini haram (dosa besar). Allah Swt berfirman: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58). Rasul saw bersabda: “Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim yang lainnya, maka tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membiarkannya teraniaya dan tidak boleh menghinanya” (HR. Muslim).
Seorang muslim tidak boleh mendengki, membenci dan memboikot saudaranya muslim. Perbuatan ini haram (dosa besar). Rasul saw bersabda: “Janganlah kalian saling dengki, jangan saling membenci dan jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (HR. Muslim). Dalam riwayat yang lain: “Janganlah kalian saling memboikot, janganlah saling membelakangi, dan janganlah saling dengki. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
Seorang muslim tidak boleh mencaci dan mengumpat saudaranya muslim. Perbuatan tersebut haram dan dosa besar. Allah Swt berfirman: “Dan janganlah sebahagian kalian mengumpat sebahagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kalian suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik.” (HR. Al-Hujurat: 12). Rasulullah saw bersabda: “Mencaci seorang muslim itu perbuatan kefasikan. Sedangkan membunuhnya perbuatan kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang muslim tidak boleh menyesatkan saudaranya muslim (Ahlussunnah wal Jama’ah) tanpa ada dalil yang shahih dan jelas. Perbuatan tersebut haram dan dosa besar. Rasul saw bersabda: “Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada orang lain dengan tuduhan kefasikan atau kekafiran melainkan tuduhan itu kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian.” (HR. Bukhari). Oleh karena itu, menuduh orang lain sesat tanpa ilmu atau dalil yang shahih dan jelas sama saja menyesatkan diri sendiri.
Umat Islam wajib bersatu dan saling menguatkan. Sebaliknya, umat Islam haram bercerai berai dan berselisih. Allah Swt berfirman: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..” (Ali Imran: 103). Allah Swt juga berfirman: “Dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (Ali ‘Imran: 105). Rasul saw bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, di mana sebahagiannya menguatkan sebahagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim). Allah Swt berfirman: “..Dan janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan kekuatan kalian hilang..” (Al-Anfal: 46)
Umat Islam wajib saling membantu dan mengasihi sesama saudaranya. Allah Swt berfirman: “Dan tolong menolonglah kalian dalam (berbuat) kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam (berbuat) dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Rasulullah saw bersabda: “Allah akan memberikan pertolongan kepada seorang hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasul Saw bersabda: “Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Dan barangsiapa yang melapangkan dari seorang muslim suatu kesulitan maka Allah akan melapangkan darinya suatu kesulitan dari kesulitan-kesuliltan pada hari Kiamat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Umat wajib bersolidaritas terhadap saudaranya menderita. Sikap solidaritas itu dilakukan dengan ikut merasakan penderitaannya dan menolongnya. Rasul saw bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang, kelembutan mereka seperti satu badan. Jika salah satu anggota badan sakit, maka anggota badan lainnya juga ikut merasakan sakit.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasul Saw bersabda:“Sungguh seorang mukmin bagi mukmin yang lain berposisi seperti kepala bagi tubuh. Seorang mukmin akan merasakan sakitnya mukmin yang lain seperti tubuh ikut merasakan sakit yang menimpa kepala”. (HR. Ahmad).
Demikianlah ajaran-ajaran Al-Quran dan As-Sunnah yang memerintahkan (mewajibkan) kita umat Islam untuk mewujudkan ukhuwwah islamiah dengan cara bersatu, saling mencintai, saling mengasihi, bersolidaritas, membantu, membela hak saudaranya dan sebagainya. Sebagaimana Al-Quran dan As-Sunnah melarang (mengharamkan) kita merusak ukhuwwah islamiah dengan bercerai berai, berselisih, menyakiti, menzhalimi, memprovokasi, menfitnah, mendengki, membenci dan menyesatkan sesama muslim Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Oleh karena itu, apapun nama organisasi dan kelompok umat Islam, selama aqidahnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka tidak boleh disesatkan atau dituduh wahabi. Ormas-ormas Islam yang beraqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Muhammadiah, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Dewan Dakwah, MIUMI, Hidayatullah, dan lainnya tidak boleh dituduh wahabi. Begitu pula kelompok Salafi, Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, alumni Timur Tengah, dosen dan alumni IAIN/UIN dan lainnya. Mereka adalah saudara kita muslim Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bukan wahabi seperti yang dituduh dan difitnah oleh kelompok tertentu.
Isu “wahabi” digunakan oleh kelompok tertentu untuk menyesatkan saudaranya sesama muslim Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal, isu wahabi diciptakan oleh Syi’ah, Barat dan Yahudi untuk mengadu domba dan memecah belah umat Islam. Musuh-musuh Islam ini menginginkan umat Islam tidak bersatu sehingga menjadi lemah. Dengan isu wahabi ini, mereka telah berhasil menghancurkan ukhuwwah islamiah dan persatuan umat Islam.
Oleh karena itu, persoalan khilafiah atau persoalan yang hukumnya “sunnat” jangan sampai merusak ukhuwwah islamiah dan menjadi perpecahan umat serta menimbulkan konflik sesama umat Islam dengan memaksakan pendapat tertentu atau menyalahkan pendapat lain. Terlebih lagi jika pendapat itu tidak berdasarkan dalil yang shahih. Kondisi seperti itu justru menguntungkan musuh-musuh Islam yang menginginkan umat Islam saling berselisih dan berpecah belah. Persoalan khilafiah harus disikapi dengan saling menghargai, menghormati, dan toleransi sehingga terwujud ukhuwwah islamiah.
Sikap inilah yang diwajibkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah dengan mewujudkan dan menjaga ukhuwah islamiah serta meninggalkan perbuatan dan ucapan yang bisa merusak ukhuwwah islamiah dan memecah belah persatuan umat Islam. Aamiin.
Sumber : islampos

Mereka diprogramkan menjadi kader yang akan membina daerahnya setelah menyelesaikan pendidikan.

Program ini terlaksana atas kerjasama dengan Yayasan Syeikh Eid Qatar, Pesantren Abu Lam U dan Syeikh Abdullah dari Turki serta sejumlah donatur lainnya. Mengingat kondisi muallaf yang sangat memprihatinkan dalam berbagai sisi kehidupan, maka kami mengajak agar hati kita tersentuh untuk mengambil peran masing-masing dalam  rangka kepedulian bagi mereka. Apa yang bisa dan sudah kita lakukan untuk saudara baru kita?

kepada para dermawan dan Donatur yang berminat membantu dapat menghubungi Sekretariat Dewan Da’wah Aceh di Jalan T. Nyak Arief No. 159 Lamgugob-Jeulingke Banda Aceh… Telp. 0651-7406436 Fax (0651) 7551070 email; ddiinad@yahoo.com atau hubungi langsung wakil Koordinator Pembinaan Anak Muallaf, Ruslan Ismail HP. 081263217216, via Rekening Bank Muamalat Indonesia Cabang Banda Aceh Rekening Nomor: 918.1604699 an: hasanuddin yusuf adan QQ DDII – NAD