Pergumulan Syari’at Islam dengan politik di Aceh semenjak Aceh menjadi bahagian dari Indonesia selalu merugikan Aceh dan Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kebrutalan dan sekulerisasi para pemimpin Indonesia terutama sekali dalam dua periode, Orde Lama (Orla) dan Orde baru (Orba). Akibatnya gerakan memajukan Syari’at Islam di Aceh terkendala sampai hari ini. Karena kader-kader Orla dan Orba tersebut sudah sangat mengakar dalam kehidupan ke-Aceh-an. Walaupun mereka orang Aceh yang terkenal cucu pahlawan dan menyatu dengan Syari’at Islam, tapi karena sudah lebih setengah abad dikelabui oleh para penguasa Indonesia maka sulit bagi mereka untuk kembali ke fitrah semula. Itu problem besar yang harus diselaraskan kembali dengan nilai dan doktrin ke-Aceh-an.
KATA KUNCI: Aceh, Syari’at Islam, Politik
PENDAHULUAN
Implementasi Syari’at Islam di Aceh semenjak zaman awal ketika Aceh menjadi sebuah kerajaan berdaulat dahulukala selalu menjadi bahan aktual untuk diperbincangkan. Pasalnya adalah; muslim dan muslimah yang menghuni wilayah Aceh sa’at ini masih komit dengan hukum dan ketentuan Islam yang bergelar Syari’ah atau Syari’at Islam.
Awalnya Islam masuk ke nusantara melalui Aceh, baik menempuh jalur Kerajaan Peureulak maupun jalur Samudera Pasèi. Mengikut tahun yang ada terbukti Islam lebih awal bertapak di Peureulak kemudian berkembang sampai ke Pasèi. Walaupun sebahagian para pakar sejarah ada yang menyimpulkan bahwa Islam awalnya bertapak di Pasèi. Beberapa seminar yang diadakan baik di Aceh sendiri maupun di luar Aceh juga menyimpulkan awalnya Islam bertapak di kawasan Peureulak.[1]
Dari sinilah Maulana Sultan Abdul Azizsyah sejak hari Selasa 1 Muharram 225 H/840 M telah meresmikan Islam menjadi agama kerajaan di negeri Peureulak yang diisytiharkan langsung oleh Sayyid Maulana Abdul Aziz yang kemudiannya beliau dinobatkan menjadi raja Islam pertama di Peureulak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azizsyah (225-249 H/840-864 H)[2]. Semenjak itu pula Islam resmi dijadikan sebagai agama negara atau agama kerajaan Peureulak, dan disitu pulalah letaknya keterkaitan antara agama dengan negara yang paling awal dalam sejarah pergumulan Islam dengan politik di Aceh. Kebetulan saja pada waktu itu keterpaduan antara Islam dengan politik sangat menyatu sehingga negara dan politik itu dijadikan sebagai instrumen daripada agama.
Ketika Sultan Malik Al-Saleh mendirikan kerajaan Islam Pasèi di Samudera (dekat kota Lhokseumawe sekarang) tahun 1260 M, Islam semakin berkembang dan Syari’at Islampun semakin marak dan maju sehingga antara Syari’at Islam dengan politik kenegaraan terlihat sangat harmonis serta dapat diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[3]
Ketika Aceh menjadi sebuah kerajaan dengan gelar Kerajaan Aceh Darussalam yang diazaskan oleh Sultan Ali Mughayyatsyah, maka Syari’at Islam terus berkembang dan pada zaman Sultan Iskandar Muda dijadikan sebagai agama resmi kerajaan. Pada zaman ini pulalah Aceh menjadi salah satu negara super power dunia dalam peringkat lima besar negara kuasa besar dunia Islam, yaitu: Konstantinopel, Marocco, Isfahan, Agra dan Kerajaan Aceh Darussalam.[4] Dalam versi lain lima besar kuasa dunia Islam masa itu adalah:
1. Kerajaan Islam Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul Asia Minor.
2. Kerajaan Islam Morokko di Afrika Utara.
3. Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.
4. Kerajaan Islam Akra di anak benua India.
5. Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.[5]
Semenjak itu pula pengaruh Islam dan Syari’at Islam dalam pemerintahan di Aceh menjadi bahagian yang tidak dapat dipisahkan. Ia menyatu amat mendalam sehingga muncul pepatah Aceh; Adat Bak Poteu Meureuhôm, Hukôm Bak Syiah Kuala, Kanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana/Béntara, Hukôm deungön Adat Lageei Zat deungön Sifeuet.
Adat Bak Poteu Meureuhom berarti panutan undang-undang/peraturan menurut Poteu (Sultan) Iskandar Muda almarhum. Hukôm Bak Syiah Kuala bermakna ketetapan Hukum Islam ada di tangan ulama besar Syeikh Abdul Rauf Syiah Kuala. Kanun Bak Putroe Phang berarti tertib majelis (lebih khusus berkenaan dengan perkara kewanitaan) diatur oleh Puteri Pahang yang bernama Kamaliah. Reusam bak Béntara bermaksud segala perkara ketentaraan diatur oleh panglima tentara atau laksamana atau bentara.[6] Adat ngön Hukôm lagei zat ngön sifeuet bermakna; antara adat Aceh dengan Hukum Islam seperti zat dengan sifat yang amat sulit dipisahkan keduanya.
Dengan demikian jelaslah bahwa Syari’at Islam dari awal lagi sudah menyatu dengan kerajaan atau pemerintahan di Aceh sehingga ia menjadi bahagian yang tidak dapat dipisahkan sama sekali. Kondisi semisal ini terus berlanjut sehingga kerajaan Aceh berhadapan dengan penjajah Belanda dan Jepang. Ketika Aceh menjadi bahagian daripada negara Indonesia kesan inipun tidak kurang kentalnya sehingga Aceh selalu mendapatkan keistimewaan dari Indonesia seperti gelar Daerah Istimewa Aceh dan keistimewaan memiliki Undang-undang Pemerintahan Aceh yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Dengan keistimewaan tersebut Aceh memiliki keistimewaan Islam, keistimewaan Pendidikan, keistimewaan Adat istiadat dan keistimewaan Peran Ulama dalam pemerintahan.
Walaubagaimanapun, keistimewaan itu tidak dapat dijalankan semudah membalik telapak tangan. Pasalnya sangat banyak masalah yang harus dilalui sehingga keistimewaan dalam bidang agama Islam itu dapat diwujudkan di Aceh. Pergumulan antara Syari’at Islam dengan sistem politik Indonesia terutama sekali dalam era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) terlihat sangat genting di Aceh. Di zaman Soekarno Syari’at Islam dipangkas di Aceh sehingga memunculkan gerakan anti Indonesia dan anti Soekarno dari Aceh yang dimotori ulama dan pemimpin kharismatik; Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sejak 21 September tahun 1953 sampai tahun 1961.[7]
Di zaman Soeharto semua pegawai negeri dipaksa tunduk patuh kepada Golkar dan menjajah partai Islam, Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Islam sebagai azas partai dan azas semua organisasi dipaksa ganti dengan azas tunggal Pancasila. Pada zaman tersebut Syari’at Islam sama sekali tidak dapat disebut-sebut di Aceh apalagi untuk diaplikasikan sepenuhnya. Wilayah Aceh betul-betul menjadi wilayah Islam yang didiami oleh penghuni anti Islam waktu itu. Yang menjadi aneh dan lucu adalah tidak ada seorang Acehpun yang berani membetulkan suasana tersebut sehingga Hukum Allah (Syari’at Islam) bisa berjalan di Aceh. Baru pada 4 Desember tahun 1976 Tengku Hasan Tiro mengisytiharkan perlawanan besar terhadap kedhaliman Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang dideklarasikan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie.[8]
Pergumulan Syari’at Islam dengan sistem dan model politik Indonesia berjalan berat sebelah dan sama sekali tidak seimbang dalam periode itu. Prihal yang sama tidak hanya terjadi di Aceh saja tetapi juga berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Bedanya, Aceh kemudian melawan dan berontak tetapi tidak ada satu wilayah lainpun di seluruh Indonesia yang berani melawan rezin Seoharto bersama Orde Barunya yang syirik, sesat dan menyesatkan dalam kacamata Islam.
Hanya Acehlah satu-satunya yang berani bertindak untuk melawan kedhaliman Indonesia baik di zaman Orde Lama maupun Orde Baru yang sama-sama mengancam Syari’at Islam di wilayah yang hampir seratus persen berpenduduk muslim ini. Tantangan demi tantangan telah berlalu untuk Syari’at Islam di Aceh, terutama yang datangnya dari Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Kini kita sedang berhadapan dengan tantangan lain baik yang datang dari luar maupun dari Aceh sendiri yang belum terang nampak dipandang mata. Tantangan tersebut amat berpotensi untuk mengganjal berlakunya Syari’at Islam secara kaffah (sempurna) di bumi peninggalan Ali Mughayyatsyah, Iskandar Muda, Teungku Syhik di Tiro dan Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh ini. Kalau tantangan ini menjadi kenyataan, siapa yang bakal berani menantang?
TINJAUAN PUSTAKA
Selama penulis melakukan kajian tentang implementasi Syari’at Islam di Aceh khususnya dalam beberapa tahun terkhir, belum banyak penulisan yang berkenaan dengan relasi Syari’at Islam dengan pergulatan politik di Aceh. Yang kita dapati di pasar dan kedai-kedai buku antaranya buku yang bertajuk; memahami Syari’at Islam yang ditulis oleh Prof. Muslim Ibrahim. Buku ini lebih mengarah kepada konsep perundang-undangan dalam Islam dan tidak banyak hal yang berkaitan dengan pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh. Buku ini mengupas asas-asas Syariat Islam seumpama konsep ibadah dan konsep mu’amalah dengan penjelasan-penjelasannya.
Buku Syari’at di wilayah Syari’at yang ditulis oleh beberapa orang pakar di Aceh terbitan Dinas Syariat Islam NAD. Disember 2002 menguraikan sepintas tentang Pendidikan Islam, Perekonomian Islam Pemberdayaan Hukum dan persoalan Dimensi Keulamaan dan persoalan minoriti. Ia tidak spesifik terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain itu penulis juga sudah ikut memperkaya khazanah perpustakaan Nanggroe dengan menulis tiga buku berkaitan dengan implementasi Syari’at Islam di Aceh. Yang pertama berjudul; ‘Aqidah modal utama Implementasi Syari’ah, kedua; Syari’at Islam di Aceh antara implementasi dan diskriminasi, dan yang ketiga Refleksi implementasi Syari’at Islam di Aceh. Ketiga buku ini memberikan nuansa politik dalam menjayakan pelaksanaan Hukum Allah di bumi Aceh.
Sebuah Qanun zaman silam sekitar masa Kerajaan Aceh Darussalam dengan tajuk Qanun Al-Asyi Meukuta Alam yang ditulis oleh Teungku di Meulék. Disebut-sebut sebagai sebuah pegangan kerajaan masa itu dalam menjalankan Hukum Islam dan hukum negara. Namun demikian kita sulit mendapatkan naskah asli qanun tersebut hari ini, apakah betul-betul ada atau hanya bersifat mitos saja.
PEMBAHASAN
Dari topik asal yang disiapkan panitia penulisan buku ini dengan judul: Relasi Syari’at Islam dengan pergulatan Politik di Aceh penulis modifikasi menjadi Pergumulan Syari’at Islam dengan Politik Di Aceh. Modifikasi ini sengaja dilakukan untuk menghindari paradoksi judul dengan penulis lain yang juga disuguhkan topik yang serupa. Dan itu tidak akan mengurangi nilai dan bobot penulisan artikel ini sama sekali, malah lebih memperindah topik dan mempertajam kandungan yang berkaitan dengan sasaran yang hendak dicapai dari tujuan awal kehadiran buku ini.
Untuk pembahasan lebi lanjut berkaitan dengan judul artikel ini penulis mencoba membagikan judul tersebut menjadi tiga bahagian yang saling berkaitan dan tidak boleh dipisahkan. Ketiganya adalah sebagai berkut:
Munculnya syari’ah di aceh
Syari’at Islam di Aceh sudah wujud semenjak Islam pertama bertapak di nusantara ini yang oleh pakar sejarah menyimpulkan bahwa Islam masuk pertama adalah di kawasan Peureulak kabupaten Aceh Timur. Semenjak itu penduduk wilayah tersebut gencar mengembangkan Syari’at Islam sehingga meluas ke Samudera Pasèi dan seterusnya menjelajahi Pulau jawa, Kalimantan, Semenanjung Malaysia dan sampai ke Pattani Thailand Selatan dan Moro (Filipina Selatan).
Inilah pangkal awal Syari’at Islam di Aceh sehingga bertahan sampai hari ini dengan posisi maju-mundur dan naik-turun serta pasang-surut seperti gelombang riak di lautan. Namun demikian yang sangat perlu kita catat di sini adalah Syari’at Islam di Aceh punya akar, punya batang, punya daun dan punya ranting sehingga tidak mudah dimatikan orang. Dan yang labih penting lagi Syari’at Islam di Aceh mempunyai bibit unggul yang siap tumbuh ketika ditanam dan cepat membesar ketika disiram. Modal ini perlu dipahami oleh semua orang Aceh dan juga non Aceh. Dengan demikian ketika Aceh hendak menjalankan Syari’at Islam tidak akan ada komplain dari pihak-pihak lain baik ianya dari unsur Aceh ataupun non Aceh karena sudah memahami latar belakangnya. Kalaupun ada berarti yang mengkomplain itu buta sejarah atau buta perasaan yang amat sulit disembuhkan.
Kemunculan Syari’at Islam di Aceh tidak pernah padam dari masa ke masa, mulai dari kerajaan Peureulak mencuat ke Samudera Pasèi, terus diayomi Ali Mughayyatsyah ketika berjaya mewujudkan Kerajaan Aceh Darussalam dan diteruskan oleh Iskandar Muda sehingga menjadi kawasan cemerlang Islam di Asia Tenggara. Selepas itu para penerus mereka terus menyambung tali estafet tersebut sehingga turun temurun sampai zaman ini.
Untuk menguji ketangguhan iman dan keseriusan pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh adalah apa yang terjadi pada masa Sultan Alaiddin Riayat Syah II Al-Qahhar yang telah melakukan hukum bunuh (qishash) terhadap puteranya sendiri Abangta yang ditangkap karena zalim, membunuh orang lain dan melawan hukun serta adat yang berlaku dalam kerajaan.[9] Contoh konkrit lainnya adalah; ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa dan menjadi raja Aceh, sang raja menjatuhkan hukuman terhadap rakyatnya yang terbukti bersalah walaupun terkena anggota keluarganya. Hukuman rajam terhadap Meurah Pupok sebagai putra mahkota dan anak kandung Iskandar Muda menjadi bukti dalam sejarah betapa adilnya raja-raja Aceh zaman dahulu.[10]
Semua itu dilakukan berkaitan dengan kekuasaan dan dalam konteks kerajaan secara resmi bukan di luar sistem kerajaan. Maknanya antara Syari’at Islam dengan politik kerajaan amat menyatu dan sulit dipisahkan pada waktu itu. Itulah wajah implementasi Syari’at Islam yang orisinil di Aceh tempo dulu yang mesti dilanjutkan pada hari ini.
Bukti konkrit selanjutnya tentang keyakinan bangsa Aceh mengamalkan Syari’at Islam adalah; ketika Teungku Syhik di Tiro Muhammad Saman disurati dan diminta turun gunung untuk tidak berperang lagi oleh penjajah Belanda, tahun 1885 beliau membalas surat dengan perkiraan bunyinya: kalau hari ini tuan-tuan penjajah Belanda masuk Islam maka hari ini pula saya dan pengikut saya akan turun dari gunung dan menghentikan perang suci di jalan Allah, kita akan hidup berdampingan serta menikmati kekayaan alam Aceh bersama-sama.[11] Jawaban tersebut dapat membingungkan penjajah Belanda dan menjadi bukti bagaimana tingginya komitmen Islam bagi Bangsa Aceh.
Dalam versi lain menerangkan bahwa Teungku Syhik di Tiro Muhammad Saman yang melancarkan perang melawan penjajah Belanda pernah mengirim surat kepada ratu Belanda dalam upaya menghindari peperangan. Surat tersebut merupakan balasan surat Belanda yang meminta beliau menghentikan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam surat tersebut Teungku Syhik di Tiro mengajukan tiga usulan; pertama mengajak ratu Belanda memeluk agama Islam dan memerintah secara Islam. Kedua, agar ratu Belanda mengizinkan Bangsa Aceh menjalankan Syari’at Islam dan bangsa Aceh akan mengakui perlindung ratu Belanda. Ketiga, Ratu Belanda menyuruh tentaranya keluar dari Aceh dan Aceh akan hidup sebagai negara berdaulat. Kalau semua usul ini tidak dapat diterima, maka tidak ada jalan lain bagi dirinya dan bangsa Aceh selain berperang melawan Belanda agar mereka dapat hidup di bawah naungan Syari’ah yang suci.[12]
Ulama dan pemimpin kharismatik Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh bersedia menerima ajakan Soekarno memerangi Belanda bersama Bangsa Aceh dalam agresi kedua tahun 1948 yang sudah menguasai seluruh Indonesia kecuali Aceh karena presiden pertama RI tersebut berjanji dengan sumpahnya; wallah, ballah, tallah ingin mewujudkan Syari’at Islam di Indonesia ketika merdeka nanti, khususnya Syari’at Islam untuk Aceh. Namun ketika janji tersebut diingkari, ulama beken tersebut kembali berjihad menghancurkan rezim Soekarno lewat Gerakan DI/TII yang disifatkannya sebagai rezim Republik Indonesia Komunis (RIK). Semua itu dilakukan demi tegaknya Syari’at Islam di Aceh yang penghuninya memang komit terhadap Islam.
Syari’at Islam di Aceh berjalan dalam rentang waktu lumayan lama dan dengan kepemimpinan lumayan banyak. Mulai dari pengisytiharan Kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Ali Mughayyatsyah, kepemimpinan Sultan Al-Qahhar, Sultan Iskandar Muda, Perjuangan Teungku Syhik Ditiro Muhammad Saman, Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh sampai kepada perlawanan terhadap penjajah Jepang oleh Teungku Abdul Jalil di Bayu. Perjuangan demi perjuangan yang mereka lakukan semuanya tertumpu ke satu arah untuk mensyari’at Islamkan Aceh dan meng-Acehkan Syari’at Islam.
Rasanya memadai sudah kisah-kisah untuk mengedepankan bahwa Aceh adalah identik dengan Islam dan Islam tidak dapat dipisahkan dengan Aceh. Bagi mereka yang memerlukan alasan kenapa Aceh harus diberlakukan Syari’ah, maka ini merupakan salah satu dari sejumlah alasan-alasan lainnya. Bangsa Aceh murni pada zaman dahulu mau hidup mati dengan Islam, namun bangsa Aceh kombinasi hari ini banyak yang tidak lagi menyatu dengan Syari’at Islam. Semua itu disebabkan oleh proses perjalanan sejarah dan pertukaran generasi yang disertai oleh pergeseran penguasaan wilayah oleh satu ke kaum lainnya.
Walaupun dalam salat lima waktu sehari semalam ummat Islam Aceh senantiasa berikrar kepada Allah:
. . . “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An’am; 162).
Tetapi dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak dari mereka yang menyisihkan Islam dalam kehidupannya. Ada di antara mereka yang berani mengatakan; tidak perlu disebut-sebut Islam dalam perjuangan karena kita sudah Islam dari endatu. Dan sangat banyak dari mereka yang enggan membubuhi Islam sebagai azas organisasi yang mereka dirikan termasuk Partai Politik Lokal. Ini merupakan fenomena baru bagi generasi baru Aceh yang sudah terpengaruhi oleh sistem pendidikan dan hukum peninggalan penjajah Belanda di Indonesia. Selebihnya besar juga pengaruh barat yang mereka menggantungkan diri dalam perjuangannya. Bagi mereka bantuan barat yang kafir lebih diutamakan ketimbang bantuan Allah yang berkekalan dan abadi selamanya.
Sebahagian mereka berani mengatakan bahwa orang Aceh tidak pernah meminta berlakunya Syari’at Islam di Aceh. Mereka menantang ulama-ulama Aceh yang tengah berupaya Syari’at Islam dapat berjalan lancar di sini. Mereka juga mengatakan bahwa yang tengah berlaku di Aceh hari ini adalah Arabisasi dan bukan Islamisasi.[13] Mereka itu terdiri dari kader-kader didikan barat yang pergi dari Aceh kosong dengan ‘Aqidah Islamiyah, kosong dengan Syari’ah dan kosong dengan Akhlaq. Tetapi mereka memiliki semangat ingin maju, semangat berjuang yang tinggi untuk kemajuan Aceh di luar nuansa Islam. Karena terus mendapat bantuan luar yang memadai, maka mereka dapat berkiprah terus untuk mengembangkan ideologi anti Islam dan Syari’at Islam di Aceh.[14]
Pengaruh syari’ah dalam pemerintahan
Semenjak periode awal lagi Syari’at Islam sudah menyatu dengan pemerintahan di Aceh, baik pada masa Kerajaan Aceh Darussalam maupun sebelumnya ketika masih merupakan kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Peureulak, Samudera Pasei, Beunua, Lingge, Pedir, Kerajaan Daya dan sebagainya. Pada masa itu penguasa kerajaan memerangi penjajah Portugis karena didominasi oleh keyakinan Islam yang Hukum Islam itu dipraktikkan dalam kerajaannya.
Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam sebagaimana yang telah kita singgung di atas tadi bahwa kerajaan menetapkan sumber hukumnya adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah keliru kalau Sultan Al-Qahhar mengqishash puteranya yang suka membunuh dan Iskandar Muda merajam puteranya karena terlanjur berzina. Selain menjalankan Hukum Islam keduanya juga sangat komit dengan adat istiadat Aceh yang sudah menyatu dengan Hukum Islam. Ketika para pembesar negeri melantunkan aksi protes terhadap eksekusi Meurah Pupôk, beliau berucap: Maté aneuk meupat jeurat, gadoih adat pat tajak mita (mati anak ada kuburannya, hilang hukum adat kemana hendak dicari).
Ketika Aceh dipimpin oleh para ulama dari kalangan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), nuansa Syari’at Islam bergema di seluruh pelosok tanah Aceh. Gerakan dakwah yang dimotori kaum ulama pembaharu tersebut menembusi sampai ke pelosok-pelosok gampông dan kuta. Suasana meriah nampak di masjid-masjid, meunasah-meunasah, dan tempat-tempat pengajian di rumah-rumah teungku dan masyarakat. Suasana semacam itu tidak bertahan lama karena mendapatkan tantangan dari pihak Indonesia yang tidak senang Aceh berjalan Syari’at Islam. Sehingga para penguasa di Jakarkta menyusun strategi untuk menhancurkan kepemimpinan para ulama PUSA.
Dalam rentang waktu yang lumayan panjang akhirnya Jakarta berhasil menumbangkan rezim Islam berbasis PUSA di Aceh dan digantikannya dengan rezim sekuler yang sesuai dengan selera mereka. Wal hasil, para tokoh PUSA kemudian bergabung dengan Gerakan DI/TII selama lebih sembilan tahun menetap di gunung. [15] Ketika terjadi perdamaian Aceh kembali dikuasai oleh rezim sekuler dari Jakarta. Dengan demikian Syari’at Islampun kembali ngaur dan tidak menentu selama berpuluh-puluh tahun lamanya sampai kepada pemberian UU No. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dalam bidang Agama Islam, bidang Adat Istiadat, bidang Pendidikan dan bidang Peran ulama dalam pemerintahan Aceh.
Ketika Aceh menjadi bahagian daripada Republik Indonesia, Syari’at Islam hanya pernah jaya dalam waktu singkat di Aceh pada zaman pemerintahan ulama PUSA. Setelah itu Aceh terus menerus mendapatkan diskriminasi Syari’ah dari satu ke lain rezim yang berkuasa di Jakarta. Padahal hampir semua pecandu sejarah tahu bahwa mereka dapat duduk di kursi empuk di jakarta karena hasil perjuangan dan jihad fi sabilillah bangsa Aceh memerangi Belanda yang sudah menguasai kembali wilayah Indonesia kecuali Aceh. Hampir semua mereka sudah lupa atau tidak pernah mau membaca sejarah yang sebenarnya. Maka akibatnya mereka benci kepada Aceh kalau menjalankan Syari’at Islam.
Pasca priode PUSA Syari’at Islam di Aceh hanya dijadikan lip stip saja untuk meninabobokan bangsa Aceh agar terlena dengan ayunan yang mengasyikkan. Kondisi seumpama itu berlanjut sehingga tahun 1999 ketika disahkan UU. No. 44 tahun 1999 sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas tadi.
Pergumulan dan Tantangan
Pergumulan Syari’at Islam dengan politik di Aceh terjadi dengan serius dalam periode Aceh menjadi wilayah Republik Indonesia. Ketika Aceh mandiri sebagai sebuah negara, Syari’at Islam berjalan dengan lancar dan menjadi agama sah negara seperti pada zaman Iskandar Muda. Ketika Aceh dianeksasi oleh pihak-pihak tertentu dan menjadi bahagian terkecil dari Republik Indonesia maka implementasi Syari’at Islam di Aceh terus saja terkendala.
Pada masa awal kemerdekaan umpamanya ketika Aceh dikuasai oleh kaum ulama dari kalangan PUSA, Jakarta mendiskriminasi Aceh habis-habisan sehingga Syari’at Islampun tidak boleh dijalankan sebagaimana mestinya di Aceh. Keberadaan orang-orang PUSA terus dicurigai dan dihadu dengan kaum ulama tradisional yang berbeda pandangan tatacara beribadah antara mereka. Dalam hal pemerintahan orang-orang PUSA dihadu dengan kaum Ulèèbalang sehingga pihak ulama PUSA harus menghadapi dua lawan di Aceh dan satu lawan besar di Jakarta.[16]
Pergumulan Syari’at Islam dengan politik seperti ini terus berlangsung dalam tempo yang tidak terbatas sehingga para ulama PUSA benar-benar kehilangan jejak dan identitasnya. Mereka juga kehilangan lembaga pendidikan sebagai media pencetak kader muslim yang handal karena sudah dialihkan menjadi milik Indonesia. Semua aset PUSA yang berbentuk gedung sekolah, perkantoran dan lainnya tidak tersisa lagi hari ini. Kondisi semacam ini sangat menyulitkan pihak PUSA untuk bangkit kembali, apalagi seluruh tokoh PUSA sudah tiada. Yang tersisa hari ini adalah anak-anak dan cucu-cucu PUSA yang tidak punya kapasitas untuk menghidupkan kembali gerakan PUSA.
Pergumulan Syari’at Islam dengan kekuasaan politik juga terjadi di Aceh pada masa rezim Orde Lama pimpinan Soekarno. Pada waktu itu Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh masih menjabat Ketua PUSA dan pihak Jakarta sudah serius mempermainkan beliau dengan berbagai cara sehingga Soekarno dengan gamblang menolak berlakunya Syari’at Islam di Indonesia khususnya di Aceh. Ia berpidato di Amuntai Kalimantan dan di kampus Universitas Indonesia Salemba dengan ucapan: “Kita tidak akan memberlakukan Syari’at Islam di Indonesia karena memikirkan bagaimana saudara kita orang Kristen di Menado, dan orang Hindu di Bali”. Ungkapan tersebut sangat tersinggung Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh yang dahulu Soekarno pernah menangis terisak-isak di hadapannya seraya bersumpah akan menjalankan Syari’at Islam di Indonesia khususnya di Aceh ketika Indonesia merdeka.
Menanggapi suasana semacam itu, Tanggal 25-29 April 1953 Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh memimpin Kongres PUSA di Langsa Aceh Timur. Kongres tersebut digelar selain untuk mengevaluasi aktivitas PUSA sebagai kegiatan rutin, ia juga terkesan sebagai wahana penghimpunan kekuatan serta unjuk rasa PUSA terhadap pemerintah Indonesia yang sudah sangat diskriminatif terhadap Aceh waktu itu. Indonesia berupaya agar peran para ulama PUSA dengan nuansa Syari’at Islamnya berakhir di Aceh, dan Aceh akan disamakan kedudukannya dengan wilayah lain sebagai bahagian dari pada Indonesia yang nasionalis. Padahal pada masa perjuangan melawan Belanda lewat lidah Soekarno sebagai Presiden RI sudah diucapkan sumpah di depan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh bahwa Indonesia akan dijadikan negara yang berdasarkan Islam dan Aceh sepenuhnya diberlakukan Syari’at Islam.[17] Pasca kongres PUSA di Langsa beliau berdakwah seluruh Aceh bersama para ulama PUSA untuk mematangkan suasana menuju pemberontakan Islam. Itulah salah satu hasil implisit Kongres Langsa.
Alasan-alasan berikut ini dijadikan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sebagai penyebab beliau melawan rezim Soekarno yang disebutnya sebagai rezim RIK (Republik Idonesia Komunis):
(1). Soekarno mengingkari janji dengannya untuk menjalankan hukum Islam di negara yang ketika itu penduduknya 99 % Muslim.
(2). Soekarno tidak menepati janjinya dengan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah daerah otonomi yang memberlakukan hukum Islam secara penuh di dalamnya.
(3). Dengan terang-terangan Soekarno mendukung, membantu dan berpihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) serta menghina Islam.
(4). Mengenyampingkan syari’at Islam dengan menjalankan sistem pemerintahan sekuler yang sangat dibenci Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh khususnya di Aceh.
(5). Mengacau balaukan struktur pemerintahan di Aceh dengan memindahkan putra-putra terbaik Aceh keluar Aceh dan menggantikannya dengan orang-orang dari daerah lain yang sebahagian mereka non muslim.
(6). Menurunkan pangkat dan jabatan Kolonel Husin Yusuf sebagai orang PUSA dari jabatannya sebagai panglima Divisi X menjadi Komandan Brigade dengan pangkat Letnan Kolonel pada pertengahan tahun 1950. Brigade ini kemudian diletakkan dibawah kekuasaan Panglima Bukit Barisan pimpinan Kawilarang.[18] Seterusnya Husin Yusuf diberhentikan dari tugasnya.
(7). Pemindahan Ketua Polisi Aceh Muhammad Insya, dan Komisaris Muda Polisi, Yusuf Effendi ke Medan merupakan suatu tamparan hebat bagi Aceh.[19]
(8). Pemindahan semua batalyon tentera yang dipimpin putra Aceh keluar Aceh dan digantikannya oleh orang luar yang kebanyakannya bukan muslim,[20] seperti pemindahan Mayor Hasballah Haji ke Tarutung, Tapanuli yang diganti oleh Leftenan Kolonel Nazir (Komunis). Batalyon T. Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalyon Alamsyah ke Indonesia Timur, Batalyon Hasan Saleh ke Sulawesi Selatan kemudian ke Maluku Selatan, dan Batalyon Nyak Adam Kamil pun segera dihijrahkan dari bumi Aceh. Sebagai penggantinya didatangkan sejumlah Batalyon dari Tapanuli seperti Batalyon Manaf Lubis, Batalyon Ulung Sitepu (Komunis), dan Batalyon Boyke Nainggolan.
Orang-orang Tapanuli ini bukan hanya beda agama dengan orang Aceh, akan tetapi cara kerja mereka pun sangat jauh daripada kebiasaan dan akhlak orang Aceh. Mereka memasuki Masjid dengan sepatu berlumpur, menampakkan kemaluan kepada orang perempuan, meminum arak di khalayak ramai. Kerja-kerja seperti ini bukanlah kesilapan sesetengah tentara, akan tetapi nampaknya seperti telah diprogramkan lebih awal oleh Komandan Brigade Letnan Kolonel Nazir yang sangat benci wujudnya pemerintahan PUSA (Ulama) di Aceh. Dan usaha ini pula disengaja untuk memancing kemarahan bangsa Aceh, dengan demikian sudah ada alasan bagi Jakarta untuk menghancurkan Aceh dari sebuah propinsi yang Islami dan menjadikannya sebuah propinsi sekuler sebagaimana halnya dengan propinsi-propinsi lain.[21]
(9). Pembubaran Propinsi Aceh oleh Perdana Menteri Muhammad Nasir dari MASYUMI yang dibaca dan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Kutaraja pada tanggal 23 Januari 1951, menjadi sebab utama meletusnya peristiwa berdarah di Aceh.[22] Dalam versi Ibrahimy, Propinsi Aceh dibubarkan pada 14 Agustus 1950 oleh Kabinet Halim yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Peperpu No 5 tahun 1950 yang ditandatangani oleh pemangku jawatan Presiden RI Mr. Assat dan Mendagri RI Mr. Soesanto Tirtoprojo.[23] Di antara sekian penyebab meletusnya pemberontakan di Aceh, persoalan pembubaran Propinsi ini menjadi penyebab utama dalam pandangan masyarakat kita.
Pembubaran propinsi ini lebih didominasi oleh kepentingan politik MASYUMI, dengan perkiraan kalau Aceh tetap menjadi satu propinsi maka partai Islam ini akan menang mutlak di Aceh dan kalah total di Sumatera Utara yang banyak orang Kristen. Untuk mempertahankan kemenangannya di Sumatera maka pimpinan-pimpinan partai tersebut berusaha keras menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara dengan menghilangkan status propinsi Aceh.[24] Untuk mengelak jangan cemar reputasi (nama baiknya), mereka beralasan bahwa ketentuan Konferensi Meja Bundar di Denhaag menetapkan Indonesia menjadi sepuluh propinsi saja, sebenarnya itu bukan suatu ketentuan mutlak. Kalaupun harus mengikuti ketentuan tersebut maka kenaa harus Aceh yang dikorbankan, kan banyak provinsi lain yang lebih layak dilikuidasi? Sesungguhnya sasaran dan target Teungku Beureu-éh dari pemberontakan tersebut adalah terwujudnya Daulah Islamiyyah di bumi Aceh setelah melihat tidak mungkin untuk seluruh Indonesia.
(10). Suatu peristiwa yang sangat pahit dan pedih bagi bangsa Aceh di bawah pimpinan kaum ulama adalah, Razia Agustus 51 atau Razia Sukiman yang menginjak-injak kehormatan kaum ulama sekaligus bangsa Aceh yang dahulu pernah menjadi pionir (pelopor) kemerdekaan Republik Indonesia. Razia ini diperintahkan Perdana Menteri Dr. Sukiman di seluruh negara untuk mencari sisa-sisa senjata simpanan anggota Komunis.
Di wilayah lain, perintah itu dilaksanakan dengan baik dan tepat yaitu, tentera-tentera Nasional menyita sejumlah senjata yang disembunyikan bekas orang Komunis. Sebaliknya, di Aceh orang-orang Komunis sendiri yang mencari-cari kesalahan dan menangkap para ulama PUSA serta menggeledah dan memeriksa rumah-rumah penduduk dengan alasan mencari senjata simpanan.
Strategi yang diterapkan untuk dapat menangkap mereka, tentera-tentera Republik lebih dahulu menaburkan sejumlah peluru ke dalam kandang ayam, kambing, lembu atau kerbau orang yang mau ditangkap di malam hari. Dengan demikian menjadi alasan yang cukup kuat untuk menangkap pemilik rumah yang mereka rencanakan karena terdapat sejumlah peluru di rumah mereka. Hal ini dilakukan karena tidak ada jalan lain untuk menangkap mereka yang tidak bersalah, sebab semua senjata yang dimiliki bekas pejuang kemerdekaan di Aceh telah dikumpulkan oleh Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh ke dalam wadah TNI ketika beliau menjadi Gubernur Militer. Cara-cara jahat seperti itu sampai hari ini masih tersisa dan dipraktikkan Jakarta terhadap Aceh terutama sekali dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka ketika Jakarta memberlakukan Daerah Operasi Militer tahun 1989-1998 dan Darurat Militer serta Darurat Sipil tahun 2003-2005.
Banyak bekas-bekas pejuang kemerdekaan dan kaum ulama yang jelas tidak bersalah telah dipenjara di beberapa tempat, rumah-rumah mereka diperiksa secara kejam dan biadap. Bahkan ketiga rumah Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh pun di obrak abrik (diperiksa) dengan cara yang sangat kasar. Semua ini dilakukan oleh TNI atas perintah Nazir yang berusaha membalas dendam atas tahanan rumah yang dahulu dijatuhkan Gubernur Militer terhadapnya karena selalu melanggar perintah Komandan Divisi. Kerja-kerja tersebut semakin berani dilakukan karena mendapat bantuan dan support yang sangat kuat dari pihak sisa-sisa feodal (Ulèèbalang) di Aceh.[25]
Peristiwa terakhir ini telah menyempurnakan kemarahan orang Aceh yang telah mengorbankan jiwa raga, harta dan nyawa untuk mewujudkan sebuah republik yang ketika itu hampir mustahil terwujud tanpa adanya kerja keras daripada cucu-cucu Sultan Iskandar Muda di ujung barat pulau Sumatera.
(11).Penarikann mobil dinas yang sedang dipakai Gubernur Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh secara kasar oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim merupakan satu pukulan berat bagi Aceh dan masyarakatnya.
Menurut versi M. Jasin (mantan Panglima Iskandar Muda) sesuai dengan cerita Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh kepadanya, ada enam sebab Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh berontak, yaitu:
Pertama: Sejak zaman dulu sampai Indonesia merdeka, Belanda tidak pernah menguasai Aceh. Juga pada masa Clash I dan Clash II, Aceh tetap tak terjamah oleh pasukan Belanda.
Kedua: Aceh selalu memberi sumbangan dan bantuan kepada pemerintah pusat, berupa pembiayaan kepada Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia dan India.
Ketiga: Aceh menyumbangkan dua buah pesawat Dakota dengan nama Seulawah I dan Seulawah II kepada pemerintah pusat.
Keempat: Janji janji pemerintah pusat setelah kemerdekaan tahun 1950, yakni janji akan memperbaiki masjid kebanggaan rakyat Aceh, masjid Raya Baiturrahman tetap janji dan tak pernah ditepati.
Kelima: Beliau sangat sakit hati setelah tahun 1950 status Aceh diubah dari sebuah provinsi menjadi sebuah keresidenan, dari Kodam menjadi Korem.
Keenam: Beliau ditarik dari daerah ke pemerintah pusat dengan tidak diberi jabatan apapun.[26]
Semua itu melambangkan pergumulan Syari’at Islam dengan poitik di Aceh dari periode ke periode, dari masa ke masa dan dari zaman ke zaman. Demikian pula pada zaman Orde Baru pimpinan Soeharto yang menjadikan Syari’at Islam di Aceh sebagai konsumsi politiknya untuk memudahkan ia berkuasa terhadap Aceh. Pada masa itu ummat Islam di Aceh dipaksa tunduk patuh kepada arahan jakarta yang membencikan Syari’at Islam sehingga peraturan membaca Qur’an untuk anak SD saja di Aceh diprotes oleh Jakarta lewat mesin politiknya Golkar.[27]
Pergumulan antara Syari’at Islam dengan politik di Aceh yang amat seru terjadi pada zaman Orde Baru sekitar tahun 1970 an. Pada masa itu cengkraman militer terhadap perpolitikan di Aceh yang dimulai sejak zaman Orde Lama tahun 1960 sudah membuahkan hasilnya yang ditandai oleh diwakilinya unsur militer dalam DPRDGR I dan DPRDGR II serta dipilihnya Letkol A.M. Namploh sebagai Wakil Gubernur. Pada zaman Orde Baru ditetapkan panglima Kodam Iskandar Muda sebagai Ketua Laksusda (Pelaksana operasi khusus Daerah) Aceh dan pemberian jatah 20 % kursi DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II kepada Fraksi ABRI. Dengan posisi demikian ABRI mendominasi perpolitikan Aceh sebagaimana terlihat pada personil gubernur, Bupati, Ketua DPRD tingkat I dan tingkat II yang diduduki ABRI.[28] Dan itulah masa tantangan berat terhadap kelajuan dan kemandirian Syari’at Islam di Aceh yang amat menonjol dan kritis.
Pegawai negeri sipil (PNS) yang sebelumnya bebas memilih partai apa saja pada masa pemilu dipaksa harus memilih Golongan Karya (Golkar) dalam tahun 1970 an. Kepres no. 82 tahun 1970 tentang Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di mana seluruh PNS bergabung dalam wadah ini digunakan Soeharto untuk memenangkan Golkar dan menyisihkan partai Islam yaitu PPP di Aceh secara paksa. Gubernur A. Muzakkir Walad tanggal 1 Juni 1971 mengeluarkan instruksi kepada Keuchik, Imum Mukim untuk menyatakan monoloyalitas kepada Kokarmendagri (Korp kekaryaan Kementerian Dalam Negeri) secara tertulis dan menyatakan keluar dari parpol sebelumnya, kalau tidak demikian, Bupati/Walikota segera menggantikannya dengan pejabat baru.[29]
Selain itu Laksusda Aceh melakukan penahanan terhadap aktivis partai-partai Islam seperti PSII, Parmusi, PI.Perti dan NU yang dianggap vokal terhadap pemerintah selama berlangsungnya kampanye pemilu. Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sebagai tokoh kharismatik Aceh yang pro Parmusi dibawa keliling dunia khususnya ke Timur Tengah menjelang musim pemilu agar tidak berpengaruh terhadap partai Islam.[30] Dengan demikian para pelaku dan aktivis partai politik Islam tidak ada tempat mengadu dan berkonsultasi selama itu.
Demikianlah perlakuan rezim Orde Baru terhadap Islam dan ummatnya dalam upaya menghambat maraknya praktik Syari’at Islam di Aceh. Semenjak waktu itu Syari’at Islam sama sekali tidak dapat dipromosikan di Aceh karena dianggap ektrim kanan yang membahayakan kekuasaan Soeharto. Pergumulan Syari’at Islam dengan politik kotor Soeharto itu akhirnya mematikan benih-benih Syari’at Islam yang masih tersisa dari semangat perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang di zaman koloniual dahulu. Dan kondisi itu diganti dengan penghayatan dan pengamalan terhadap Pancasila yang tidak mengandung makna apa-apa di dalamnya. Namun ummat Islam Aceh terpaksa melaksanakannya karena tidak berani melawan kedhaliman Soeharto.
Pada masa itu menjadi puncak kritis eksistensi Syari’at Islam di Aceh karena hampir semua bangsa Aceh terdiam sejuta kata dan sama sekali tidak wujud sosok yang berani menentangnya. Efek daripada itu, untuk mengembalikan praktik Syari’at Islam di Aceh hari ini mengalami kendala kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang bernuansa dan komit dengan Syari’at Islam. Pengaruhnya adalah sudah lebih tujuh tahun Hukum Allah itu diberlakukan di Aceh namun sehingga hari ini belum berkesan sama sekali dari segi amalan kaffahnya.
PENUTUP
Pergumulan dan pergulatan Syari’at Islam dengan politik di Aceh terjadi dalam rentang waktu yang amat panjang. Ia dimulai semenjak Aceh menjadi bahagian daripada Indonesia yang selalu ditipu dan dirugikan oleh penguasa Indonesia di jakarta. Untuk melumpangkan kekuasaannya, mereka rela mendiskreditkan Syari’at Islam yang dari dulu sudah menyatu dengan Bangsa Aceh. Akibatnya, Aceh hanya bergelar Serambi Makkah tetapi kenyataannya tidak selaras dengan gelar dan nama.
Selama rezim Orde Lama dan Orde baru berkuasa semenjak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai tahun 1965 untuk Orla dan semenjak tahun 1965 sampai 1998 untuk rezim Orba, Syari’at Islam di Aceh menjadi runyam. Karena selalu dipakai menjadi alat dan kepentingan penguasa untuk memenangkan dan mempertahankan kekuasaannya. Ketika mereka memerlukan Ummat Islam untuk kepentingan politiknya maka Islam di bawa-bawa bersama mereka, tetapi ketika tujuannya sudah tercapai maka Islam dan Syari’atnya dicampakkan begitu saja. Paling tidak demikianlah gambaran kasar yang dapat penulis paparkan di sini.
Walaubagaimanapun, sejarah dunia selalu berputar dan silih berganti kekuasaan antara yang haq dengan yang batil. Karena itu apa yang telah terjadi dan dilakukan para penguasa Indonesia terhadap Aceh bukanlah prihal yang harus dibiarkan begitu saja. Akan tetapi muslim Aceh harus berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk mengembalikan marwah ke-Aceh-an yang identik dengan Islam sebagaimana pernah wujud pada masa Iskandar Muda dan masa periode PUSA. Tanpa usaha keras kita tidak akan berjaya dan selalu menjadi mangsa bagi jakarta. Hanya dengan kerja keras dan kekompakan yang menyeluruhlah Bangsa Aceh ini akan maju jaya dan tertebus segala ketinggala masa sebelumnya. Insya Allah.
BIODATA PENULIS:
Hasanuddin Yusuf Adan lahir di Meunasah Jumfhoh, Kemukiman Adan, Kecamatan Mutiara (sekarang Kecamatan Mutiara Timur), Kabupaten Pidie, Aceh 19 Juli 1962. Semasa kecil beliau mendapat pendidikan agama dari orang tua dan guru-guru pengajian di kampungnya, kemudian beranjak ke pendidikan formal mulai dari MIN, MTsAIN, PGAN 4Thn, MAN, PPDK. Unsyiah dan Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, jurusan Perdata dan Pidana Islam.
Sementara pendidikan peringkat Master, beliau memperoleh dua gelar dalam dua bidang studi, Master of Comparative Laws (MCL), Kulliyyah of Laws, International Islamic University Malaysia (IIUM), 1998 bidang Hukum Pidana Islam dan Master of Art (MA) Syari’ah Faculty, University of Malaya, Kuala Lumpur, 2000 dalam bidang Politik Islam. Untuk pendidikan non formal beliau juga pernah belajar di Dayah Po Teumeureuhôm Pu-uek Kecamatan Kembang Tanjung Kabupaten Pidie selama lima tahun.
Selain itu juga terlibat dalam beberapa seminar dan konferensi baik dalam maupun luar negeri, di antaranya adalah: Training Kepemimpinan IAIN se Sumatera di Medan 1985, Seminar Sejarah Negeri Pahang, 16-19 April 1992 di Kuantan, Malaysia, International Conference on Islamic Dakwah in Southeast Asia: Cultural and Human Dimensions, February 15-17, 1993 di Kuala Lumpur, Malaysia, International Conference on Comprehensive Development of Muslim Countries from an Islamic Perspective, 1-3 Agustus 1994 di Subang Jaya, Malaysia, International Symposium of Dinamika Mahasiswa Islam ASEAN, 5-7 Agustus 1994 di ITM, Shah Alam Malaysia, UN/National Workshop, Post Tsunami Waste Management, Banda Aceh, 29-30 June 2005. (Organized by: UNDP, UNEP, Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam and Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia), Sphere standard training Held by Oxfam International in Banda Aceh 2005, guided by Mark Prapossa, Accountability Training Held by Oxfam International, Banda Aceh 2005, guided by Soek Phoek, dan International Conference on Islamic Shari’ah and the Challenge of the Global world, a quest for an actual and dynamic form of Islamic Law implementation in Nanggroe Aceh Darussalam. Hermes Palace Hotel, Banda Aceh July 19 – 21, 2007. Penulis juga sudah pernah melawat keluar negeri dalam kepentingan dakwah dan comparative study; di antaranya: Malaysia, Singapore, Thailand, Australia dan Brunei Darussalam .
. Karir organisasi yang pernah digelimutinya adalah: Ketua Umum Senat Mahasiswa Program Pendidikan Diploma Kependidikan (PPDK) Unsyiah 1982 – 1985. Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh 1985 – 1986. Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Daerah Istimewa Aceh 1986 – 1988. Presiden Tanoh Rincong Students Association (TARSA) Malaysia, 1992-1995. President of Human Rights Forum for Achehnese Students and Society/Forum Mahasiswa dan Masyarakat Aceh untuk Hak Azasi Manusia (FORMAHAM) Malaysia, 1998 – 2000. Sekretaris Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Aceh, 2000 – 2002, Ketua Umum ‘Adnin Foundation Aceh 2001-2009 dan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tahun 2008-2012, dan sekarang beliau juga menduduki posisi Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry.
Sebagai salah seorang dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry penulis telah berhasil menerbitkan beberapa buku dengan judul: Tamaddun dan Sejarah; Etnografi Kekerasan di Aceh yang diterbitkan Prismasophie Jogjakarta 2003, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh, Ulama, Pemimpin dan Tokoh Pembaharuan yang diterbitkan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) 2005, Sejarah Aceh Dan Tsunami, Jogjakarta: Arruz Media, 2005, Elemen-elemen Politik Islam, Jogjakarta: AK. Group & Ar-Raniry Press, 2006, Politik dan Tamaddun Aceh, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2006, ‘Aqidah Modal Utama Implementasi Syari’ah, Jogjakarta: AK. Group & Ar-Raniry Press, 2006, UUPA Dan Kemungkinan Perubahan Pemerintahan Serta Sistem Politik Aceh, Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher, Ar-Raniry Press, & AK. Groub, 2007, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh dan Perjuangan Pemberontakan di Aceh, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2007, Syari’at Islam Di Aceh antara Implementasi dan Diskriminasi, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2008, Refleksi Implementasi Syari’at Islam di Aceh, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2009, khuthbah Jum’at dan dua Hari Raya, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2009. Selain itu juga banyak menulis di beberapa Jurnal, Majalah, Tabloid dan surat kabar dalam dan luar negeri.
Sebagai seorang aktivis, dengan izin Allah SWT penulis sudah banyak melaksanakan pengabdian masyarakat dalam berbagai bentuk dan jenis kegiatan baik di dalam maupun di luar negeri, seperti berceramah, khuthbah jum’at, khuthbah dua hari raya, mengisi pengajian, mengisi seminar, workshop dan lokakarya, menyalurkan bantuan kepada orang-orang terkena musibah dan bencana alam, melatih pemuda dan masyarakat tentang pemberdayaan dan kemandirian hidup, dan lain sebagainya.
Sa’at ini penulis tinggal bersama keluarga (seorang isteri & lima orang putera-puteri) di Jln. Al-Jannah, Jurông ‘Adnin, No. 4 Kompleks Lembah Hijau, Cot Masjid Kecamatan Lueng Bata Banda Aceh. Phone: 0651+28484, Hp: 081534044283. e-mail: diadanna@yahoo.com
[1] Untuk informasi lebih lengkap silahkan baca: Ali Akbar, Peranan Kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai Pusat Pengembangan Islam di Nusantara, Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Utara, 1990, hal.1.
[2] Syahbuddin Razi, Dayah Cot Kala, Kertas kerja Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 25-30 September, 1980, hal. 5-6.
[4] Lihat Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History, First Printing, Princeton University Press, 1959, hal., 45.
[5] Tgk. A.K.Jakobi, Aceh dalam perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan 1945-1949 dan peranan Teuku Hamid Azwar sebagai pejuang, Jakarrta, Gramedia Pustaka Utama & Seulawah RI-001, 1998, hal. 17. Lihat juga Majalah Media Dakwah, April 1997, hal 41.
[6] Tuanku Abdul Jalil, Adat Meukuta Alam, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1991, hal., 39.
[7] Untuk kelengkapan kisah ini silahkan baca M. Jasin, Saya tidak pernah minta ampun kepada Soeharto, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, hal., 26-40.
[8] Lihat Dr. M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka, Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000, hal., 26.
[9] Untuk kesempurnaan kisah tersebut silakan baca A.Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, 1975, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 100-101.
[11] Untuk rujukan konkrit silakan baca; H.C. Zentgraaff, Aceh, Jakarta: Beuna, 1983, hal. 29-30. lihat juga Ibrahim Alfian, Perang di jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 158.
[12] Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma, kebijakan dan kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2006, hal., 123.
[13] Ungkapan-ungkapan seperti itu sering diucapkan generasi muda Aceh pasca tsunami dalam kesempatan diskusi program partai politik lokal di beberapa tempat seperti di D’Rodya Café di Beurawe, di Gedung Dayan Dawood Darussalam, dan ditempat-tempat lain. Mereka membantah kalau Aceh sedang berlaku Syari’at Islam dengan Undang-undang No. 44 tahun 1999 yang diperkuat oleh Undang-undang no. 18 tahun 2001 serta Undang-undang no. 11 tahun 2006 sa’at ini, menurut mereka yang sedang terjadi di Aceh sa’at ini adalah praktek kehidupan orang-orang Arab yang bukan praktel Islam.
[14] Untuk menjadi bahan bandingan lihat juga Hasanuddin Yusuf Adan, Syari’at Islam di Aceh antara Implementasi dan Diskriminasi, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2008, hal., 1 – 6.
[15] Untuk kesempurnaan informasi tentang konflik PUSA dengan Jakarta silahkan baca Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan kaum Republik, Kasus Darul Islam Aceh, Jakarta: Grafiti, 1990, hal., 34 – 67.
[17] Wawancara dengan Ustaz M. Nur El Ibrahimy, Mantan Direktur Institut Normal Islam Bireuen, Jakarta: 15 Juni 1997.
[18] Hasan Saleh, Op Cit, hal. 125-126. M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh, Jakarta: Gunung Agung, 1986, hal. 24.
[22] Hasan Saleh, Op Cit, hal. 134. M. Nur El Ibrahimy, Op Cit, hal. 53-54. Nazaruddin Syamsuddin, The Republican Revolt, 1985, hal. 193.
[23] M. Nur El Ibrahimy, “Catatan tentang Pemberontakan Kaum Republik”, Serambi Indonesia, Sabtu 13 Agustus 1994. hal, 4. Informasi lebih lanjut tentang perkara ini silakan baca A. Hasymy, “Dari Khazanah Masa Lalu: Lahir dan Leburnya Propinsi Aceh I”, Waspada, Kamis 15 Desember 1983.