Para pakar siyasah menyifatkan kampanye demikian sebagai kampanye yang bersifat retorik. Ada beberapa prinsip moral yang ditetapkan syari’ah berkenaan dengan kampanye retorik menurut mereka antara lain:[1]
Pertama, prinsip jujur dan benar dalam berkomunikasi dengan orang banyak, prinsip ini merujuk kepada ketentuan syari’ah yang menganjurkan semua muslim harus berlaku jujur dan benar. Ini berkaitan dengan firman Allah yang artinya: “tidak suatu ucapanpun yang diucapnya, melainkan ada di dekatnya pengawas yang selalu hadir”.(Q.S.Qaf: 18). Rasulullah saw. telah bersabda: “terdapat tiga ciri orang munafik; apabila berkata ia berbohong, apabila berjanji ia memungkiri, dan apabila diberi amanah ia mengkhianati”.[2] “Siapa saja yang mati dalam keadaan berdusta kepada kaumnya maka ia tidak akan dapat mencium bau syurga”.[3]
Dengan demikian prinsip kejujuran menjadi faktor utama dalam setiap kampanye pemilu bagi ummat Islam. Tidak boleh berbohong untuk menarik banyak suara kepada partai kita, tidak boleh mengancam agar semua orang menusuk partai kita, tidak boleh memberi suap agar orang banyak memihak kepada kita, dan tidak boleh menghalalkan cara untuk mendapatkan satu kursi di parlemen sebagaimana yang terjadai pada zaman sebelumnya.
Dalam kampanye setiap peserta harus bisa mendapatkan sesuatu yang baru sebagai ilmu baru dari hasil kampanye tersebut, karena kampanye merupakan satu jenis pendidikan tidak resmi buat masyarakat. Karena itu pula tidaklah seorang juru kampanye memberikan pendidikan yang tidak bermoral kepada peserta kampanye karena itu akan berakibat fatal bagi kehidupan bangsa di masa depan. Ia bukan hanya sekedar bersorak sorai ketika seorang jurkam berkampanye dengan berapi-api, tapi yang lebih penting lagi adalah apa yang disampaikan jurkam tersebut menyentuh kepentingan rakyat atau tidak, sesuai dengan ketentuan Islam atau menyimpang daripadanya.
Kedua, tidak mengotori kehormatan dan kemuliaan pihak lawan. Sabda Rasulullah saw. “Darah, harta benda dan kehormatan setiap orang Islam adalah haram diganggu”.[4] Muhammad Nasir al-Din al-Albani dan Mohammad Hashim Kamali mengupas hadis ini lebih lanjut masing-masing dalam bukunya; Riyadh al-Shalihin dan The Dignity of man The Islamic Perspectives. Merujuk kepada dua poin di atas jelaslah bagi kita bahwa perkara-perkara polemik politik, dakwaan yang tidak berazas dan semua jenis kekerasan dalam kampanye pemilu adalah diharamkan oleh syari’ah. Untuk terlaksananya tata cara kampanye pemilu yang serasi dengan ketentuan syari’ah, maka pihak berkuasa negara mayoritas ummat Islam harus merujuk sepenuhnya kepada ketentuan Islam dalam operasional kampanye pemilu tersebut.
PENGELUARAN DANA
Berkenaan dengan pengeluaran dana untuk kepentingan pemilu, terdapat berbagai pendapat para ulama fiqih yang agak bervariasi. Kebanyakan ulama kecuali ulama Hanbali berpendapat bahwa membelanjakan uang untuk merebut jabatan hakim atau anggota legislative dan eksekutif adalah sah kalau perbelanjaan seumpama itu diperlukan. Namun demikian ulama golongan Maliki mempunyai pendirian yang lebih tegas seperti yang tercatat dalam kutipan ini; “Membelanjakan uang untuk merebut jabatan hakim hanya sah dalam tiga keadaan: pertama; jika perbelanjaan itu perlu, karena jabatan tersebut tidak bisa diperoleh tanpa mengeluarkan uang; kedua; kalau pembelanja mengatakan akan timbul persoalan ummah apabila ia tidak memegang jabatan tersebut; ketiga; jika ia yakin bahwa hak dan tanggung jawab akan hilang kecuali ia menjadi hakim atau penguasa. Pengeluaran uang dilarang untuk tujuan yang lain. Kebenaran penggunaan uang seperti yang tersebut di atas adalah berdasarkan andaian bahwa calon yang bersaing dalam hal itu sudah mempunyai moral atau akhlaq yang mulia serta mementingkan kepentingan atau kemaslahatan ummah”.[5]
Seandainya para calon legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki komitmen Islam yang tinggi dengan akhlaq yang mulya, maka mereka akan meninggalkan budaya suap, budaya tipu dan budaya paksa dalam kampanye tahun 2009 ini. Sebaliknya mereka akan mengeluarkan dana kampanye dari sumber yang dijamin halal atas dasar keperluan kampanye saja seperti untuk biaya transportasi jurkam, untuk pamplet di jalan-jalan dan seumpamanya. Hal ini tentunya jauh dari pembelian suara dari masyarakat rendah SDM dan miskin atau massa mengambang seperti zaman-zaman silam.
ISLAM DAN KAMPANYE
Karena dalam masa kehidupan Rasulullah saw tidak pernah ada Pemilihan Umum (Pemilu) seperti hari ini maka otomatis tidak ada pula kampanye seperti sekarang. Ini bermakna kita tidak ada rujukan langsung tentang kampanye dalam Islam sebagaimana kampanye yang berlangsung hari ini. Namun Islam punya istilah lain untuk mengembangkan Islam dan ummatnya yang disebut dakwah. Antara dakwah dengan kampanye tentunya mempunyai perbedaan yang sangat signifikan, karena istilah dakwah itu konotasi positif dan dekat dengan pahala sementara kampanye bernuansa negative yang cenderung dikonotasikan akrab dengan neraka. Ini lebih disebabkan oleh kecenderungan-kecenderungan jurkam yang suka berbohong dan inkar janji selama ini.
Selain itu Islam juga tidak menggalakkan ummatnya untuk mempromosikan personalitas dirinya agar dipilih oleh rakyat pada jabatan tertentu. Karena cara seumpama itu lebih dekat kepada sikap ambisi pribadi yang mengejar jabatan yang dilarang Islam. Sabda Rasulullah saw: “Jangan sekali-kali kamu meminta untuk menjadi pemimpin, kecuali diberikan dengan cara yang wajar maka terimalah, kalau diberikan dengan cara yang salah maka tolaklah” (Bukhari dan Nasa-i).
Pernah Abu Zar al-Ghifari yang terkenal khusyu’ dan wara’ coba meminta posisi pemimpin pada Rasulullah saw. Karena Rasulullah merasa beliau tidak serasi untuk memperoleh posisi tersebut maka Baginda tidak memberikannya, alasan Beliau tidak mengabulkan permintaan Abu Zar karena beliau meminta jabatan bukan diberikan dengan wajar, dan personalitas beliau menurut Nabi tidak cocok untuk dipromosikan di sana.
Karenanya seseorang yang berkampanye kepada orang banyak serta meminta rakyat untuk memilihnya, itu berarti identik dengan meminta jabatan pada rakyat dengan perasaan ambisi. Berpijak kepada hadis Nabi dan kasus Abu Zar al-Ghifari maka langkah tersebut sudah keluar dari tradisi Nabi, keluar dari tradisi tersebut bermakna keluar dari ketentuan Islam. Namun manakala kita kembali kebelakang mengingat tidak ada peraturan baku tentang kampanye dalam Islam, sementara atribut politik hampir seluruh Negara modern hari ini menggunanakan sistem pemilu untuk menentukan kepemimpinan Negara, maka langkah tersebut masih bisa dievaluasi lebih lanjut.
Artinya para calon barangkali dibolehkan berkampanye asalkan harus menggunakan rambu-rambu agama Islam baik yang berkenaan dengan ‘aqidah, maupun akhlaq. Siapa saja bisa mengemukakan program kerja untuk kemuslihatan rakyat bukan untuk kepentingan pribadi dan keluarga, ketika ia terpilih maka program kerja tersebut harus benar-benar dilaksanakan, kalaupun tidak sanggup atau gagal maka ia harus minta ma’af pada rakyat yang memilihnya. Berpolitik dalam Islam dengan cara yang benar merupakan bahagian dari ‘ibadah sementara berpolitik jahat ala Machiavelli yang menghalalkan segala cara menjadi bahagian dari jinayah atau kriminal. Kalau poin terakhir yang kita lakukan maka tempat akhir nanti adalah neraka.
Untuk itu, berkampanyelah wahai calon-calon anggota DPR, DPRA/DPRK, dan DPD dengan sikap rendah hati, jujur dan ikhlas. Artinya manakala anda terpilih dalam pemilu nanti anggaplah itu sebuah pemberian Allah semata-mata, manakala anda gagal dan tidak terpilih itu berarti sebuah kewajaran yang harus diterima, mungkin anda belum layak menempati posisi tersebut dalam kaca mata bangsa kita. Janganlah mempersoalkan lagi sejumlah uang dan material lainnya yang telah dihabiskan dalam kampanye, apalagi kalau berniat ingin menggantinya dengan cara-cara tidak halal, itu semua merupakan sebuah resiko perjuangan atau resiko seorang ambisius. Untuk itu berpikir lebih matang sebelum harta dan uangnya melayang jauh lebih muslihat daripada menyesal dan menatap masa depan yang suram.
[1] Lihat Dr. Lukman Thaib, Politik Menurut Perspektif Islam, Malaysia: Synergymate Sdn. Bhd., 1998, hal. 135 – 136.
[2] Muhammad Mukhsin Khan, Shahih Bukhari, Madinah: Dar Ahya Us-Sunnah al-Nabawiya, t.t., vol. 1, Kitab Iman, hadis nomor 32, hal 31.
[3] Ahmad bin Yahya al-Baladhuri, Futuh al-Buldan, Beirut: Dar al-Nashr li al-Malayin, 1957, hal., 635.
[4] Muhyi al-Din Al-Nawawi, Riyadh al-Shalihin, edisi kedua, oleh Muhammad Nasir al-Din al-Albani, Beirut: Dar al-Maktab al-Islami, 1404/1984, hadith 1535. Lihat juga Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of man The Islamic Perspectives, Malaysia:Ilmiah Publishers & U.K.: The Islamic Foundation, 1999, hal. 81.
[5] Ibib., hal. 137.