Oleh Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
(Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Mengikuti hadits-hadits Rasulullah SAW terdapat sejumlah arahan terkait dengan akhlak seorang imam dalam memimpin shalat berjama’ah. Arahan-arahan tersebut semestinya diikuti dan diamalkan oleh para imam dalam memimpin shalat jama’ah baik di masjid, di rumah, di kantor dan di mana-mana karena itu semua menjadi bahagian dari kesempurnaan shalat berjama’ah di bawah kepemimpinan seorang imam. Oleh karenanya seorang imam harus memastikan shaf para ma’mum sudah rapat, rapi dan lurus serta tidak ada gangguan apapun selama berlangsungnya shalat berjama’ah termasuk gangguan dari anak-anak sebelum bertakbiratul ihram, demikianlah penjelasan makna hadits: shuuf shufufakum fainna tasfiyatashshufuufi min tamaamis shalaah/min iqaamatish shalaah. Selain menjaga kerapian ma’mum seorang imam juga harus menjaga kerapian diri sendiri seperti fasih dalam bacaan karenan Bahasa Al-Qur’an itu beda huruf beda makna, beda panjang pendek beda makna dan beda barispun beda makna. Maka sang imam jangan membuat para ma’mum tidak khusyu’ shalat karena tidak benar bacaannya. Di antara prihal arahan tersebut antarra lain adalah:
1. Imam memanjangkan raka’at pertama berbanding raka’at kedua dalam shalat berjama’ah, selaras dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri yang menceritakan: “iqamah shalat dzuhur sudah dikumandangkan lalu ada seorang yang berangkat ke Baqi’ untuk buang hajad kemudian mendatangi keluarganya dan berwudhuk. Seterusnya ia datang lagi ke masjid sedangkan Rasulullah SAW masih berada pada raka’at pertama karena beliau memanjangkan bacaannya.
Ada dua keadaan yang membuat seorang imam dibolehkan tidak mengikuti hadits ini karena keadaan yang membolehkannya, yaitu; pertama, jika perbedaan bacaan itu sangat tipis seperti membaca surah al-‘Akla pada raka’at pertama dan surah al Ghasyiyah di raka’at kedua dalam shalat Jum’at dan dua hari raya; yang kedua dalam kasus melaksanakan shalat khauf di mana separuh pasukan melaksanakan shalat berjama’ah dua raka’at bersama imam lalu dua raka’at lagi diselesaikan sendiri, sementara imam berada pada posisi duduk tahyat pertama dan kemudian pasukan kedua bergabung untuk berjama’ah dua raka’at juga, manakala imam memberi salam jama’ah terus menyelesaikan shalatnya dua raka’at lagi.
2. Meringankan shalat dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak terlalu Panjang selaras dengan hadits muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah r.a.; “Jika salah seorang di antara kamu mengimami orang-orang shalat berjama’ah hendaklah ianya memperingankan bacaan karena dalam jama’ah terdapat anak kecil, orang yang sudah tua, orang lemah, orang sakit, (dan orang yang mempunyai keperluan). Tetapi jika ia shalat sendirian bolehlah ia mengerjakannya semaunya. Dalam hadits dari Jabir bin Abdullah: Mu’az bin Jabal pernah shalat isya bersama Nabi SAW kemuadian ia kembali dan mengimami kaumnya. Dalam melaksanakan shalat isya bersama kaumnya Mu’az membaca surah al-Baqarah. Berita tersebut sampailah kepada Nabi SAW, lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’az apakah kamu ini tukang fitnah atau pemicu fitnah? Sebanyak tiga kali. Seandainya kamu shalat membaca: sabbihismarabbikal ‘akla…, wasy syamsi wa dhuhaha dan wal Laili iza yaghsya sesungguhnya di antara orang-orang yang shalat di belakangmu itu terdapat orang tua, orang lemah dan orang yang mempunyai keperluan”.
Bacaan ringan yang dituntun dalam mengimami shalat terbagi dua; pertama, tidak memanjangkan bacaan ayat Al-Qur’an apabila merasakan ada jama’ah yang lemah, sakit, tua atau para pedagang yang memerlukan waktu untuk berdagang, berdasarkan hadits: iza amma ahadukumun nas fal yukhaffif (jika mengimami shalat maka ringankanlah dalam bacaan); kedua, meringankan bacaan karena ada alasan mendesak seperti imam mendengar ada anak bayi menangis, hal ini sesuai dengan hadits dari Abu Qatadah: “Sesungguhnya aku akan berdiri dan memanjangkan bacaan dalam shalat karena mendengar seorang bayi menangis maka Aku meringankan bacaan shalatku karena tidak mau menyusahkan ibu bayi tersebut”.
3. Memanjangkan dua raka’at pertama dengan memendekkan dua raka’at terakhhir. Selaras dengan hadits dari Jabir bin Samurah r.a yang di dalamnya disebutkan bahwa Sa’ad r.a pernah berucap kepada Umar bin Khaththab: sesungguhnya aku akan shalat Bersama mereka seperti shalat Rasulullah SAW, yakni dengan memanjangkan dua raka’at pertama dan memendekkan dua raka’at terakhir. Aku tidak pernah memendekkan shalat karena aku mengikuti shalat Rasulullah SAW.
4. Setelah memberi salam imam menghadap wajahnya kehadapan ma’mum. Hal ini sesuai dengan hadits dari Samurah bin Jundab r.a yang mengatakan: Nabi SAW setelah selesai shalat lalu menghadapkan wajahnya kepada kami. Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul bari menjelaskan bahwa membelakangi ma’mum adalah hak imam ketika sedang mengimami shalat, maka untuk menghilangkan kesombongan selepas shalat imam harus menghadap kepada ma’mum.
5. Imam tidak boleh mengimami suatu kaum kecuali atas izin kaum tersebut dan tidak dibolehkan berdo’a untuk diri sendiri yang diamini ma’mum, selaras dengan hadits dari Abu Hurairah: tidak dibolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari aakhir untuk mengimami suatu kaum kecuali dengan seizin mereka. Tidak pula mengkhususkan do’a hanya untuk diri sendiri tanpa mempedulikan mereka. Jika dia melakukan hal tersebut berarti dia telah mengkhianati mereka.
6. Imam tetap tinggal sebentar di tempatnya setelah mengucapkan salam. Berdasarkan dari hadits Ummu Salamah: “Jika Rasulullah SAW sudah mengucapkan salam, kaum wanitapun berdiri, sementara beliau diam sejenak sebelum berdiri. Dalam lafaz lain: Beliau mengucapkan salam lalu kaum wanita berbalik dan masuk kerumah mereka masing-masing sebelum Rasulullah SAW berbalik. Ibnu Syihab berkata: Aku melihat, wallahu ‘aklam, menetapnya beliau di tempat shalatnya dimaksudkan agar kaum wanita sudah beranjak pergi sebelum mereka dilihat oleh orang-orang ketika mereka berbalik. Ibnu Hajar menafsirkan hadits tersebut untuk menjaga iman seseorang dan menjaga tidak terjadi ikhtilath dalam perjalanan pulang dari masjid antara lelaki dengan Perempuan.
7. Imam berdiri duluan untuk meninggalkan arena shalat baru disusul oleh ma’mum. Berdasarkan hadits Nasa-i: kaum wanita segera bangun dan pergi setelah Rasulullah SAW selesai salam dalam shalat, kemudian Nabi bangkit baru disusuli oleh jama’ah lelaki.
8. Tidak mengerjakan shalat sunnat di tempat yang digunakan shalat wajib. Ini sesuai dengan yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah: seorang imam tidak boleh mengerjakan shalat sunnat di tempat ia mengerjakan shalat wajib hingga dia berpindah.
9. Imam dianjurkan membuat sutrah di depannya sebagai pembatas dengan pihak lain yang berlalu di sana, sutrah tersebut menjadi pembatas baginya dan makmum di belakangnya. Hal ini selaras dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudri: “Jika seseorang kamu mengerjakan shalat, hendaklah ia menghadap kepada sutrah dan mendekat kepadanya.
10. Posisi seorang imam tidak berada pada tempat yang terlalu tinggi dari posisi makmum. Hal ini diterangkan dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/48) dan dalam Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu Utsaimin (IV/423-426).
11. Seorang imam juga tidak dibolehkan shalat di tempat yang tertutup untuk makmum, hal ini diterangkan dalam kitab Al-Mushannaf karya Ibnu Abu Syaibah (II/59-60) dan juga dalam Asy-Syarhul Mumti’ (IV/427-428).
12. Imam tidak terlalu lama duduk menghadap qiblat setelah mengucapkan salam. Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah yang menyatakan: setelah salam Nabi tidak duduk lama kecuali seukuran selesai mengucapkan do”: Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya zal jalali wal ikram.
13. Untuk memelihara kemuslihatan makmum dengan cara tidak boleh bertentangan dengan sunnah. Sebagaimana keterangan hadis dari Jabir; Nabi senantiasa memelihara kemuslihatan jama’ah dengan mengakirkan shalat ‘isya jika para shahabatnya belum berkumpul untuk shalat berjama’ah. Kata Jabir: shalat ’isya itu tidak selalu dikerjakan pada awal waktu, jika Nabi melihat para shahabat sudah berkumpul baru Beliau melaksanakan shalat jika para shahabat belum berkumpul Nabi mentakkhirkan shalat.
14. Setelah mengucapkan salam, imam hendaklah menghadap jama’ah baik berpaling kearah sebelah kanan maupun kekiri. Keterangannya Nabi pernah menghadap ke arah jama’ah setelah salam dengan memalingkan kearah kanan dan juga kearah kiri, artinya kedua-duanya boleh dilakukan karena Nabi pernah melakukan demikian. Keterangan tersebut didasarkan kepada hadis dari Abdullah ibnu Mas’ud, Imam Muslim menyebutkan bahwa Nabi lebih banyak berpaling kearah kanan berbanding kearah kiri dan banyak keterangan hadis yang sering Nabi berpaling kearah kana menghadap makmum.
Shahih Muslim, kitab Ash-Shalah bab al-Qira ah fidz Dzuhri wal ‘ashar no. 454.
Imam Bukhari, Kitab Ash-Shalah hadits no. 703, Imam Muslim, Kitab Ash-Shalah hadits no. 467.
Imam Bukhari, Kitab al-Azan hadits no. 703. Imam Muslim, kitab ash-Shalah, hadits no. 465.
Muttafaqun ‘alaih, Bukhari no. 703 dan Muslim no. 467.
Bukhari, kitab al-Azan, hadis no. 770 dan Muslim dalam kitab ash-Shalah, hadits no. 453.
Bukhari, kitab al-Azan, hadits no. 845.
Hadits Abu Dawud no. 91, Tirmizi no. 357.
Bukhari, kitab al-Azan, hadits no. 837, 849, 850.
An-Nasa-I, kitab as-Sahwi, hadits n0. 1333
Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalah, hadits no. 616, Ibnu Majah dalam kitab Ash-Shalah, hadits no. 1428
Sunan Abu Daud (I/135)
Shahih Muslim, kitab Al-masajid, bab istihbaabuz zikri bakdash shalah wa bayaanu shifatihi, no. 591.
Shahih Bukhari no. 560 dan Shahiih Muslim no. 646.














































































