Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
ISTILAH ku’eh bukanlah suatu perkataan asing buat orang Aceh yang hidup zaman dulu atau yang hidup di kampung-kampung dalam masyarakat Aceh yang masih tulen. Kalau kita mau cocokkan istilah ini dengan istilah bahasa Melayu ia sederetan dengan perkataan dengki, khianat, cemooh, dendam, menggerogoti, dan menghina. Namun semua istilah Melayu tersebut tidaklah singkron seratus persen dengan istilah ku‘eh karena ku‘eh mengandung makna yang amat mendalam terhadap perbuatan seseorang sehingga dapat mengorbankan orang lain serta pelaku ku‘eh sendiri.
Ku‘eh adalah sikap atau perilaku seseorang terhadap orang lain yang dapat menghancurkan atau merugikan orang lain dan juga orang ku‘eh itu sendiri. Jadi setiap adanya perilaku ku‘eh maka di sana juga wujud kehancuran atau kerugian, baik kerugian tersebut menimpa orang yang di-ku‘eh-kan maupun menimpa orang ku‘eh itu sendiri, atau kedua-duanya sekaligus.
Setiap orang ku‘eh biasanya berpenampilan agak aneh karena ia selalu dan setiap waktu memikirkan bagaimana agar orang lain selalu susah. Kalau orang yang di-ku‘eh-kan itu sudah nampak hidup susah, ia sudah senang dalam kehidupannya. Sebaliknya kalau orang yang di-ku‘eh-kan itu terus senang ia pula yang terus menerus hidup susah. Karenanya ku‘eh itu juga dapat dipatrikan kepada singkatan SMS; yaitu: Senang Melihat orang lain Susah dan Susah Melihat orang lain Senang.
Apabila ku‘eh itu melekat pada diri seorang peniaga di sebuah pasar dan ia melihat kedai sebelahnya agak ramai pembeli dibandingkan kedai dia, maka ia akan mencari cara untuk menghambat kedai sebelahnya harus pailit dan tidak ramai yang membeli di sana. Dalam keadaan seperti ini selalunya si ku‘eh memprovokasi, memanggil dukun, membayarnya untuk memanterai atau mengguna-gunai kedai sebelahnya agar tidak maju lagi.
Kalau ku’eh itu hinggap pada seorang kepala kantor, si kepala kantor mulai memilih-milih kasih dalam memimpin kantornya. Kalau ada bawahannya yang tunduk patuh kepadanya (termasuk terhadap perbuatan salah) maka selalu diperhatikan dan dibantunya. Kalau ada bawahannya yang agak kritis dan sering mengingatkan dia agar tidak berlaku curang di kantor disisihkan dan tidak diberikan peluang untuk berkembang. Selalunya ku‘eh pada seorang pimpinan di kantor tidak mau menandatangani keperluan bawahannya berkenaan dengan kemajuan pangkat dan golongan, karena dikhawatirkan kalau bawahannya sudah sama pangkat dengannya, posisi dia akan terancam oleh bawahan tersebut. Padahal dia adalah kepala untuk semua rakyatnya di kantor dan dia wajib mengembangkan karir bawahannya agar kantor tersebut terus maju dan berkembang.
Manakala ku‘eh itu berada pada seorang teungku dalam mengajarkan masyarakat, maka teungku tersebut mewajibkan masyarakat belajar pada dia melulu tidak boleh belajar pada orang lain dengan alasan salah diberi ilmu oleh orang lain, atau orang lain tidak alim, atau orang lain wahabi, atau orang lain salah.
Ketika ku‘eh itu muncul pada diri seorang dosen maka sang dosen memperlambat keperluan seorang mahasiswa. Memerintahkan mahasiswa selalu mencarinya, menyuruh mahasiswa menunggu berjam-jam lamanya sementara dia duduk ngobrol dengan teman lainnya. Ketika membimbing skripsi mahasiswa sang dosen ku‘eh tersebut selalu mencoret tulisan mahasiswa tanpa sebab, tanpa alasan dan tanpa perbaikan dan bimbingan sehingga mahasiswa menjadi bingung dan mumang. Ketika mahasiswa bertanya sesuatu ia marah-marah dan menyuruh tanya kepada orang lain.
Dalam kehidupan berumahtangga ku‘eh juga muncul dari seorang suami terhadap istri atau sebaliknya dari seorang istri terhadap suami. Seorang suami sering menipu istrinya ketika keluar malam umpamanya, ia selalu bilang keluar malam karena ada tugas penting di kantor yang harus diselesaikan malam itu juga. Ternyata ia keluar dari rumah malam itu pergi ke night club (kelab malam) untuk berdansa dengan perempuan jalanan sehingga menjurus kepada perzinaan. Sang istri ketika suaminya pulang pagi hari memapahnya luar biasa karena sayang suaminya terlalu capek dengan tugas kantor semalaman, dia tidak tahu suaminya pergi ke kelab malam.
Demikian juga ku‘eh seorang istri terhadap seorang suami, si istri selalu membantah suaminya manakala suaminya mendidik anak dengan sunnah nabi. Ketika suaminya mendidik anaknya untuk berbaik-baik dengan tetangga sang istri dengan lugas mengatakan; jangan kamu dengar dia, bohong semuanya itu. Ketika suaminya tidak ada di rumah dia menerima lelaki lain masuk rumah suaminya, atau ketika suaminya tidak ada di rumah dia membongkar semua dokumen dan dompet suaminya tanpa izin suaminya. Ketika orang tuanya atau saudaranya datang ke rumah duduk di rumah suaminya ketawa ria cerita ini dan cerita itu, ketika orang tua suaminya atau saudara suaminya datang ke rumahnya tidak dipedulikan dan dibiarkan begitu saja, dan seterusnya.
Ku‘eh-ku‘eh semacam itu biasanya muncul dari diri seseorang manusia yang jahil, manusia yang mi-ung, manusia yang punya kepentingan tertentu pada tempat tertentu pula, manusia yang ria dan manusia yang ketahanan iman dan amalnya lemah. Akibatnya, kehancuran umat dan bangsa bercucuran sepanjang zaman dan masa tanpa henti dalam bentuk yang berlainan dan berbeda-beda. Ketika ku‘eh itu menghinggapi ranah politik maka si pelaku politik mencari celah untuk menghambat kemajuan orang lain dengan mempertahankan kepicikan dirinya sehingga mengorbankan kepentingan rakyatnya yang disebut-sebut sebagai orang yang dibelanya.
Di Aceh, ku‘eh itu sudah mendarah gapah dalam kehidupan masyarakatnya, mulai dari kalangan abra’u, kalangan geuleugong, kalangan apa ta’a, apa kapluk, kalangan meungab sampai kepada kalangan politikus, intelektual, ulama, teungku rakyat jelata, dan para penguasa.
Bagaimana solusi menghilangkan ku‘eh dalam kehidupan orang Aceh? Semua orang Aceh jangan menjadikan jabatan sebagai ajang ku‘eh meu ku‘eh, jangan jadikan pengajian sebagai media meraup rupiah dengan jalan ku‘eh kepada orang lain, jangan jadikan orang lain sebagai lawan dan jangan memposisikan diri sendiri pihak yang paling benar, betul dan pandai dengan menyalahkan pihak lain tanpa dasar. Tetapi berpenampilanlah sesederhana mungkin, carilah rezeki dengan cara yang halal dan jauh dari subhat, riba, dan gharar, posisikan semua muslimin sebagai saudara kita bukan musuh kita dan jadikan mereka sebagai bagian dari kehidupan kita. Biasakan senang terhadap kesenangan saudara kita yang lain dan biasakan pula susah terhadap kesusuahan yang tertimpa terhadap saudara kita yang lain yang seiman dan seagama, sehingga istilah SMS berubah makna menjadi; Senang Melihat orang lain Senang dan Susah Melihat orang lain Susah. Wallahu a’lam.
* Penulis adalah Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh.