Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
WARIA adalah akronim dari “wanita-pria”, sinonim dengan wadam alias “wanita-adam”, kunsa, banci, bencong, dan gay. Semua itu masuk dalam kumpulan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) yang tidak sesuai dengan pergaulan dan kehidupan islami. Manusia dan kelompok waria cenderung berprilaku aneh karena mereka terkadang berjenis kelamin lelaki, tetapi berpenampilan wanita. Ada pula yang sebaliknya, berkelamin wanita tetapi berpenampilan lelaki. Yang lebih menghebohkan lagi, mereka cenderung berperilaku dan menganut paham seks bebas (free sex).
Kaum waria biasanya suka berebut langganan di malam hari dengan berpose di pinggir jalan menunggu langganan, terkadang kalau nafsunya terganggu mereka bertindak kasar sampai kepada pembunuhan. Di mana-mana kota besar mereka berusaha untuk membentuk wadah atau organisasi waria sebagai badan hukum agar bisa legal eksis dalam masyarakat.
Di Banda Aceh sebelum tsunami kita kenal ada waria di tempat-tempat tertentu, namun tidak wujud pertumbuhan mereka karena kontrol sosial masyarakat masih tinggi. Tetapi pascatsunami 2004, mereka sudah berani menampakkan identitasnya sebagai satu komunitas tertentu yang farak dari lelaki dan wanita. Suatu masa dahulu mereka juga pernah buat kontes di aula RRI Banda Aceh dengan menyalahgunakan izin penggunaan tempat, katanya mereka mengumpulkan dana untuk fakir miskin dan anak yatim tetapi yang dilakukan adalah pemilihhan ratu waria.
Prihal serupa terulang kembali pada Sabtu, 16 Desember 2017, di satu hotel berbintang di Banda Aceh. Dalam kesempatan ini mereka lagi-lagi berdalih memperingati ulang tahun, tetapi ada agenda tersembunyi untuk memilih “ratu waria” mewakili Aceh untuk dikirim ke ibu kota negara. Demikianlah cara mereka mengelabui pihak berkuasa negara dan masyarakat untuk mewujudkan tujuan mereka, yang bukan saja tidak sesuai dengan syariat Islam, tapi juga sangat bertentangan dengan budaya masyarakat Aceh.
Tidak menentu
Waria murupakan jenis manusia yang mengarahkan hidupnya tidak menentu karena mereka tidak mau memperjelaskan status gendernya ke arah lelaki atau wanita, mereka berada di tengah-tengah antara keduanya. Sikap semacam itulah yang membuat mereka hidup tidak menentu, karena kehidupan gender yang tidak menentu, maka aktivitas mereka pun jadi tidak menentu juga karena dipengaruhi oleh pola pikir yang tidak menentu tadi.
Selain itu, semakin banyak waria di sesuatu tempat semakin tidak menentu pula pola hidup masyarakat di tempat tersebut, karena mereka cenderung untuk berbuat di luar kelaziman hidup sperti homoseksual (liwath), dan lesbian. Karena amalan-amalan semacam itu bertentangan dengan kelaziman kehidupan manusia normal, maka otomatis ia berlawanan dengan ketentuan hukum Islam yang mengedepankan keobjektivan hidup umat manusia.
Keanehan hidup yang wujud pada kaum waria tersebut dapat berefek jauh dan fatal dalam kehidupan berakhlak umat manusia, keadaan semacam itu dpat berbahaya bagi kehidupan umat Islam yang anti ketidakmenentuan seperti tidak menentu jenis kelamin antara pria dan wanita. Kita khawatir kalau keanehan kaum waria itu mendominasi wilayah Aceh akan berakibat fatal bukan kepada implementasi syariat Islam saja melainkan menjadi malapetaka dan aib besar kepada anak bangsa ketika ia menjurus kepada praktik amalan kaum Nabi Luth as (liwath, lesbian), dan seumpamanya.
Kita sudah melihat, bagaimana kehidupan kaum tersebut di dunia barat yang awalnya hanya menuntut HAM bagi waria. Tetapi efek dari pemberian keabsahan wadah waria kemudian mereka menuntut kawin sejenis, sehingga konstitusi negara harus diubah untuk memenuhi keinginan mereka seperti yang sudah terjadi di Amerika Serikat, Belanda, Norwegia, dan lainnya. Kalau sampai begitu yang terjadi bermakna masyarakat di sana hanya tinggal menunggu kapan Allah Swt hancurkan mereka sebagaimana beliau menghancurkan kaum nabi Luth dahulu kala.
Kalau sempat Aceh tembus kontes waria sekali saja, maka sudah terbuka peluang bagi mereka untuk melakukan kali kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya yang berefek kepada model kehidupan kaum Nabi Luth as. Karenanya, mengapa Aceh harus tegas melarang aktivitas kaum Nabi Luth tersebut berlaku di sini, karena untuk menghindari berlakunya bala dahsyat sebagaimana yang berlaku terhadap kaum Nabi Luth as, yang hancur dimakan bumi siddim dan diserbu hujan batu.
Prilaku waria yang tergambarkan tadi menjadi momok paling “berbisa” terhadap implementasi syariat Islam di Aceh, karena amalan mereka bukan sekadar tidak relevan dengan syariah melainkan bertentangan dan dilarang sangat dalam syariat Islam. Ada prediksi kita bahwa maraknya kaum waria di kota Banda Aceh yang datang dari berbagai daerah itu, seperti ada “komando” dengan target untuk melemahkan dan mencemarkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kalau analisa ini benar, berarti itu merupakan gerakan terstruktur, bersahaja, dan berencana yang dapat mengancam kehidupan bersyariah umat Islam di Aceh, baik dalam rentang waktu singkat maupun jangka panjang.
Mencari celah
Oleh karenanya, muslimin Aceh harus berhati-hati dengan gerakan waria di Aceh, sekarang mereka sedang mencari celah untuk mendapatkan keabsahan dan legalitas. Kalau yang dicari itu sudah didapati suatu masa nanti, maka peluang dan kesempatan mereka menantang syariah dengan dalih HAM, demokrasi dan gender sudah terbuka lebar.
Sekarang mereka mencari jalan masuk, ketika yang dicari itu didapat, maka mereka akan masuk terus dan tidak mau keluar lagi dari sistem hukum negara yang mengakui keabsahan mereka. Ibarat perangai Yahudi di Palestina, awalnya mereka izin tinggal saja di Palestina, kemudian satu demi satu keluarga Yahudi dihantar ke sana. Lalu, mereka membangun perkampungan, terus perkotaan, dan mengumumkan negaranya sampai hari ini ingin menguasai penuh wilayah tanah tumpah darah muslimin Palestina.
Itu merupakan strategi Yahudi, ingin menguasai dunia yang dijadikan sasaran utama adalah umat Islam dan negara-negara mayoritas muslim. Aktivitas waria tersebut sinkron dengan program dan strategi kaum yahudi menguasai dunia, karena itu umat Islam Aceh harus waspada dengan gerakan waria. Jangan pernah mengakui komunitas mereka sebagai lembaga resmi dalam negara, karena kalau itu yang terjadi mereka akan melangkan kepada tuntutan hak karena mereka sudah legal terdaftar di Kesbangpol Linmas sebagai institusi sah menurut UU negara. Ketika sudah sampai ke titik tersebut, maka Islam dan muslim tidak berdaya untuk mengatasinya karena di belakang mereka akan berdiri negara kuasa besar dunia untuk melegalkan kehendak mereka dalam masa panjang.
Untuk kepentingan masa depan syariah di Aceh, perkumpulan waria sama sekali tidak boleh legal dan tidak boleh diterima karena mereka akan menggiring umat Islam untuk berprilaku upnormal dalam menjalani hidup ini. Kalau prilaku abnormal tersebut marak di negeri syariah ini, maka akhlaqul karimah anak bangsa dan anak cucu kita nanti akan tercemar dan hancur berantakan. Lagi pula aktivitas yang mereka jalani hari-hari sangat jelas bertentangan dengan ketentuan syariat Islam yang sedang berlaku di Aceh hari ini.
Karena alasan-alasan tersebutlah maka kepada pihak berkuasa dan pihak keamanan di Aceh jangan membohongi rakyat terhadap eksistensi wadah kaum waria baik di Aceh secara umum maupun di Banda Aceh secara khusus. Pihak penguasa negara dan pihak keamanan negara harus berbicara jujur kepada rakyat dan jangan ada yang disembunyikan karena rasa tidak enak, atau karena sudah “diracuni dengan uang” atau karena larut dalam kelezatan yang membahayakan bangsa dan Islam.
Penguasa Aceh, penguasa Banda Aceh, dan pihak penegak hukum harus transparan dalam mengungkapkan kasus tersebut, karena itu merupakan api dalam sekam. Ibarat “gunting dalam lipatan”, dan “duri dalam daging” yang dapat menghancurkan Aceh, Islam dan syariat Islam suatu ketika nanti. Antisipasi dini merupakan inisiatif paling arif dilakukan.
Tinggalkan rasa tidak enak demi membela kepentingan agama Allah dan menyelamatkan umat dari bahaya ketidakmenentuan cara hidup mereka. Semua komponen bangsa di Aceh harus melatih hidup jujur dan jauh dari prilaku kaum munafik yang berbicaranya bohong, yang suka memecahkan amanah, dan yang suka ingkar janji. Sifat semacam itulah yang bakal menghancurkan kelestarian kehidupan bangsa. Na’uzubillah.
Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA., Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh.
Sumber : aceh.tribunnews