Kondisi ini diperparah oleh pernyataan Gubernur sendiri sebagai representasi 4 juta lebih rakyat Aceh yang dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan persyaratan dalam Rancangan Qanun tersebut. (Serambi 12 Juni 2008). Benar, seperti salah satu alasan Bapak Gubernur, bahwa kemampuan membaca Al-Qur-an bukan indikator seseorang mampu menjalankan syariat Islam. Tapi harus diketahui bahwa membaca al-Qur-an merupakan kewajiban setiap individu muslim (fardhu ‘ain),
karena tidak mungkin melakukan kewajiban lain tanpa kemampuan membaca al-Qur-an, seperti melaksanakan shalat sebagai kewajiban fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Jadi kemampuan membaca al-Qur-an menjadi salah satu prasyarat melakukan kewajiban-kewajiban syari’at Islam lainya bagi setiap muslim. Konon lagi bagi calon anggota legislatif yang merupakan wakil-wakil rakyat Aceh yang menginginkan kembalinya Marwah Bansa Aceh Ban Sigom Donya dengan tegakknya syari’at Islam tegak secara kaffah sebagaimana berlaku pada masa endatu.
Berkaitan dengan alasan yuridis beberapa anggota Fraksi yang tidak setuju dengan sasal 13 dan 36 Rancangan Qanun Parlok, memang sekilas benar adanya. Karena kaedah hukum memang berkata demikian. Akan tetapi, kaeah-kaedah hukum juga mengenal pengecualian-pengecualian. Di mana aturan-aturan yang mengatur sesuatu yang khusus dibolehkan (baca;dimenangkan) untuk menambah sesuatu yang khusus pula apabila tidak diatur dalam aturan yang lebih tinggi. Jadi yang Pasal 13 dan 36 Rancangan Qanun Parlok bukan melawan Undang-Undang Pemilu, hanya menambah sesuata yang khusus yang belum dan atau tidak diatur di sana, dan penambahan-penambahan seperti ini sudah pernah dilakukan (Qanun Pilkadasung) dan tidak mendapat resistensi dari pihak pusat. Karena mereka paham betul bahwa masalah ini merupakan salah satu kekhususan bagi Nanggroe Aceh Darussalam yang juga diakui oleh undang-Undang. Jadi janganlah kita meminta diberlakukan khusus dari provinsi lain hanya dalam hal pembagian fasilitas finansial saja, tapi sesuatu yang jauh bermakna untuk dunia dan akhirat, kebolehan melaksanakan hukum Allah dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk syarat baca Al-Quran bagi caleg dan calon pemimpin publik lainnya, kita abaikan bahkan kita tentang. Sementara kekhawatiran rekan Parlok yang hanya disinyalir oleh Ketua Internal Partai Sira dan Sekjen PRA, tidak dan atau bukan semua pimpinan parlok di Aceh (Serambi Indonesia, Jum’at 13 Juni 2008) bahwa kalau Pasal 13 dan 36 Rancangan Qanun Parlok disahkan maka akan membuat rumit teknis pelaksanaannya, sudah dijawab oleh salah seorang anggota DPRA dengan mengambil pengalaman seleksi mahasiswa IAIN Ar-Raniry yang hanya butuh waktu 2 hari. Sementara keraguan parlok terancam tidak bisa ikut pemilu Tahun 2009, sepertinya pemerintah pusat tidak mau mengambil resiko terlalu berat untuk menggagalkan parlok ikut pemilu Tahun 2009. Karena keterlibatan parlok dalam pemilu 2009 di Aceh adalah konsekwensi dari langgengnya perdamaian di Aceh. Semoga! Banda Aceh, 13 Juni 2008 PW. Dewan Da’wah NAD
Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan
Ketua Umum