Oleh Prof. Dr. Muhammad, M. Ed
Kemerdekaan bukanlah untuk memberi amnesti dan pembebasan kepada koruptor dan para pelaku dosa terhadap rakyat dan negara. Konon lagi memberi pengampunan kepada mereka yang telah menipu rakyat banyak, akan tetapi berilah kemerdekaan kepada orang-orang yang ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara oleh lawan-lawan politiknya yang belum tentu bersalah. Karena kebanyakan pengadilan memutuskan perkara sesuai pesanan dan selera para pemegang kendali negara.
Oleh kerana itu hari kemerdekaan Republik Indonesia hari ini seharusnya membebaskan orang-orang yang dipenjara oleh rezim Jokowi bukan karena kesalahannya tetapi karena tidak mau mengikuti telunjuknya, karena tidak sealiran dengannya. Misalnya memerdekakan Setya Novanto atas tuduhan E-KTP dari penjara perlu ditinjau ulang karena ia seharusnya bukan pengampunan yang harus diberikan, akan tetapi dimiskinkan sampai ke titik nadir. Ini pelajaran penting bagi penjarah uang negara dan uang rakyat, “no bargain” terhadap mereka karena mereka tidak punya hati nurani dalam memiskinkan rakyat 230 juta demi memperkaya diri dan kroni-kroninya. Lalu kepada orang semacam ini diberi amnesti dan pemotongan masa tahanan, malah sebelumnya afa yang pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran selama dalam masa penahanan.
Orang
Presiden Prabowo seharusnya harus adil dan bijak dalam memberikan amnesti kepada narapidana, misalnya koruptor, narkoba, pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat-pengkhianat lainnya. Kemerdekaan harus diberikan kepada kaum tertindas, kaum fakir miskin agar mereka terbebas dari belenggu para tiran dan majikan yang biadab, dan bebas dari kelaparan dan kepapaan. Kalau ini bisa dilakukan oleh para pengendali negara, maka inilah kemerdekaan yang hakiki yang perlu dilaksanakan.
Orang sangat merasa risih dan sangat sakit hati kalau yang dibebaskan itu adalah koruptor yang melahap uang negara triliunan dan milyaran, pembunuh yang tidak berperi kemanusiaan, pemerkosa anak-anak dan perempuan, hakim dan jaksa yang menerima uang suap, polisi yang curang, tentara yang tidak setia kepada negara dan taat hukum, akan tetapi terapkan hukum kepada mereka hingga jera yang kuat harus dilemahkan hingga lunglai, yang kaya harus dimiskinkan, yang memperkosa harus dikebiri, dan yang berlaku tidak adil dan suka menerima dan minta suap harus dijadikan mereka menjadi pengemis. Itulah hukum yang sebanding dan inilah yang namanya qishas. Ini baru merdeka dalam pandangan masyarakat kelas bawah.
Kemerdekaan bukan hanya slogan kosong dan lomba panjat pinang, dan serba pertandingan lainnya. Akan tetapi kemerdekaan adalah renungan penuh makna disertai doa kepada para syuhada dan pahlawan. Kemerdekaan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dianugerahkan Allah kepada negara dan bangsa ini. Kita harus merdeka dari kebodohan dan kemiskinan serta informasi yang seluas-luasnya tanpa harus ditutup-tutupi. Ini baru merdeka.
Kita harus diberikan kemerdekaan juga dalam hal memberikan usul dan perbaikan pemerintah, dan jangan dianggap mengkritik pemerintah tetapi memberikan masukan agar kalau ada kekurangan dan ketimpangan cepat ditanggulangi, karena itu para Raja baik diperingkat Kabupaten, kota provinsi hingga pusat tidak alergi dengan kritikan yang datang dari rakyat bawah. Para raja tidak wajib mendengar bisikan bisikan yang berasal dari sekelilingnya saja yang hanya menyajikan berita yang manis sementara berita yang menyakitkan dan penderitaan rakyat banyak disembunyikan.
Marilah kita maknai kemerdekaan ini secara arif dan bernilai agar maksud dan tujuan kemerdekaan tidak salah paham bagi orang- orang yang sedang mengelola negara, adil dan bijaklah dalam berbuat serta berkuasa terhadàp rakyat yang tidak berdosa menjadi korban ketidakadilan kita sebagai pengendali negara. Letakan sesuatu pada tempatnya, jangan selalu melihat ke atas tetapi sesekali lihat ke bawah dan semakin banyak melihat ke bawah semakin baik dan selamat. Pengkhianat tidak perlu dipuji dan disanjung. Yang berhak dipenjara jangan dimerdekakan, dan yang berhak bebas tak perlu dipenjarakan. Inilah makna kemerdekaan dalam perspektif “lay man”.
Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh