Oleh: Afrizal Refo, MA
Dua puluh tahun telah berlalu Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati menandatangani sebuah perjanjian bersejarah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di sebuah ruang bersejarah di Helsinki, Finlandia. Perjanjian itu menutup lembaran kelam konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu orang dan memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Tanggal 15 Agustus 2005 itu bukan sekadar lembaran perjanjian di atas kertas, melainkan ikrar jiwa bahwa peluru akan berhenti berbicara dan suara-suara nurani akan mengambil alih. MoU Helsinki menjadi tanda lahirnya kembali Aceh sebagai tanah yang merindukan pelukan, bukan ledakan tapi tanah rencong yang menebar senyum, bukan luka.
Sebelum hari itu, Aceh adalah hamparan tanah yang kerap basah bukan hanya oleh hujan, tapi juga oleh darah. Pekikan ibu yang kehilangan anaknya, isak anak yang kehilangan ayahnya, dan tatapan kosong mereka yang rumahnya musnah menjadi bagian dari nyanyian kelam masa lalu. Jalan-jalan dipenuhi pos-pos pemeriksaan, hutan-hutan menyimpan dentuman senjata, dan malam tak pernah benar-benar sunyi.
MoU Helsinki memutus rantai itu. Sejak hari itu, dentuman yang terdengar di Tanah Rencong bukan lagi ledakan senjata, melainkan denting cangkul di sawah, suara gelak tawa anak di sekolah, dan lantunan azan yang menggema tanpa rasa takut. Desa-desa yang dulu porak-poranda mulai berbenah, sawah kembali menghijau, pasar kembali ramai, dan wajah-wajah yang dulu tegang kini mulai berani tersenyum pada orang asing.
Kini, dua dekade telah berlalu. Damai masih bersemi di Serambi Mekah meski tak selalu tanpa ujian. Dua puluh tahun ini adalah waktu yang cukup panjang untuk menilai sejauh mana perjanjian itu dihidupi, diimplementasikan, dan diwariskan kepada generasi baru Aceh
Namun, damai bukanlah hadiah yang bisa disimpan begitu saja di lemari sejarah. Damai adalah taman yang harus disiram, dipangkas, dan dijaga dari duri-duri yang siap tumbuh kapan saja. Dua dekade ini mengajarkan bahwa menghentikan perang jauh lebih mudah daripada merawat perdamaian. Senjata bisa dikubur, tapi rasa curiga dan luka batin butuh waktu untuk sembuh.
Di balik pembangunan yang terlihat Aceh masih menyimpan pekerjaan rumah. Dana melimpah dari otonomi khusus belum sepenuhnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan merata. Ada desa yang makmur namun ada pula yang masih bertahan di pinggir kemiskinan. Ada anak muda yang sukses memimpin, namun tak sedikit yang terjebak pengangguran dan kehilangan arah. Korupsi sesekali merusak citra pemimpin seperti noda di kain putih perdamaian yang kita banggakan.
Meski begitu, tak ada yang bisa menyangkal bahwa Aceh hari ini jauh berbeda dari Aceh dua dekade silam. Pemuda-pemuda kini bisa beraktivitas bekerja seperti pergi kesawah atau menuntut imu tanpa takut suara mereka tertelan deru tembakan. Perempuan-perempuan bisa menjahit di teras rumah sambil bercengkerama dengan tetangga tanpa khawatir suara itu menjadi tanda bahaya. Dan para mantan kombatan kini bisa duduk berdampingan dengan mantan lawan politiknya di meja rapat membicarakan masa depan bukan masa lalu.
Dua dekade ini juga memberi pelajaran bahwa perdamaian harus terus dipelajari dan diwariskan. Generasi yang lahir setelah 2005 mungkin hanya mengenal perang dari buku dan cerita. Mereka tak pernah merasakan dinginnya tidur di hutan untuk menghindari baku tembak. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menyembunyikan saudara di kolong rumah. Karena itu, sejarah harus terus diceritakan bukan untuk membuka luka lama tetapi untuk mengajarkan harga mahal dari sebuah damai.
Kini, di Tanah Rencong, kita punya pilihan membiarkan damai ini berjalan di jalannya sendiri, atau merawatnya dengan sepenuh hati. Kita bisa mengisinya dengan pembangunan yang adil dengan pemerintahan yang bersih dengan ekonomi yang menghidupi rakyat dari desa hingga kota. Kita bisa mengajarkan kepada anak-anak bahwa damai bukan sekadar tiadanya perang, tapi hadirnya rasa aman, rasa dihargai, dan kesempatan yang sama untuk semua.
Aceh punya segalanya untuk menjadi contoh bagi dunia berupa alam yang kaya, budaya yang kokoh, dan sejarah yang mengajarkan betapa berharga hidup tanpa perang. Tinggal bagaimana kita, anak-anak yang lahir dari rahim damai ini mampu menjaganya dari tangan-tangan yang mungkin mencoba merenggutnya kembali.
Dua puluh tahun MoU Helsinki adalah pencapaian besar. Tidak banyak wilayah di dunia yang berhasil mempertahankan perdamaian begitu lama setelah konflik bersenjata. Tetapi, seperti taman yang indah, damai memerlukan perawatan terus-menerus. Jika dibiarkan tanpa perhatian, ia bisa dipenuhi gulma yang mengganggu keindahannya.
Dua puluh tahun MoU Helsinki bukanlah akhir dari perjalanan. Ia hanyalah sebuah jeda panjang dari masa lalu yang kelam, sebuah kesempatan untuk menulis bab-bab baru yang lebih indah. Jika dulu kita rela berkorban demi merdeka dari derita perang, maka kini kita harus rela berkorban demi merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.
Tanah Rencong telah mengajarkan pada dunia bahwa peluru bisa diganti dengan kata, bahwa luka bisa disembuhkan dengan pelukan, dan bahwa dendam bisa dikalahkan oleh doa. Mari kita terus menjaga agar pelajaran ini tak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi menjadi napas kehidupan setiap hari. Karena damai yang kita miliki hari ini adalah warisan, dan warisan hanya berarti jika dijaga untuk generasi berikutnya.
Dua dekade MoU Helsinki adalah cermin. Di dalamnya, kita bisa melihat betapa jauh kita telah berjalan, dan betapa panjang jalan yang masih harus ditempuh.
Aceh telah membuktikan bahwa luka masa lalu bisa disembuhkan dengan keberanian untuk berdamai. Tantangan kita kini adalah memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi bukan hanya tanah yang subur dan kaya budaya, tetapi juga negeri yang damai, adil, dan sejahtera. Dua dekade MoU Helsinki adalah pengingat bahwa perdamaian adalah hadiah yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan. Semoga ketika dua dekade berikutnya tiba, kita masih bisa berkata dengan bangga: Damai ini adalah pilihan kita, dan kita menjaganya dengan sepenuh hati.
Penulis : Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa dan Ketua Komunitas Generasi Rabbani Langsa