Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
ZINA yang didefinisikan dalam Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat adalah; persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak. Sebagian ulama fiqh mendefinisikan zina lebih mendalam dan konkret dari pada definisi versi Qanun Jinayat ini, yaitu persetubuhan yang memasukkan penis lelaki ke dalam vagina perempuan yang bukan suami isteri atas dasar senang sama senang sampai dengan teguh.
Dengan demikian, siapa saja orangnya dan berapa saja jumlahnya yang bukan suami isteri berhubungan badan dengan ketentuan tersebut dalam definisi di atas merupakan perbuatan zina. Definisi tersebut merupakan makna zina secara mendalam, namun sebagian ulama ada juga yang memilah-milah zina seperti; zina mata, zina hidung, zina tangan, zina mulut dan seumpamanya, sehingga pengertian zina tersebut lebih meluas lagi. Walau bagaimanapun zina yang menjadi pemahaman umum umat Islam adalah seperti yang terdapat dalam definisi di atas.
Zina merupakan satu larangan Allah kepada ummat Islam yang terhitung lumayan banyak dikerjakan umat Islam itu sendiri. Zina marak berlaku karena wilayah atau negara tempat berlaku zina tersebut tidak menerapkan hukum Islam seperti di Aceh dan negara-negara Islam lainnya seperti Saudi Arabia, Republik Islam Gambia, Kerajaan Brunei Darussalam, Republik Islam Mauritania, Republik Islam Iran dan lainnya.
Larangan zina
Allah Swt melarang perbuatan zina tersebut dari akar permasalahannya dengan melarang mendekati zina, bukan melarang berbuat zina, sebagaimana firman-Nya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32). Maknanya larangan zina itu sangat amat ketat kepada umat Islam, sehingga Allah tidak akan berucap, tidak akan mengampuni, tidak akan memperhatikan si pelaku zina seraya memberikan azab yang sangat amat pedih kepadanya di hari akhirat kelak (HR. Muslim).
Selain azab di akhirat kelak, Allah juga telah menetapkan hukuman kepada pelaku zina di dunia ini berupa sebatan (cambuk) dengan jumlah 100 (seratus) kali cambukan kepada pezina ghairu muhsan (pezina yang belum menikah). Allah Swt berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur: 2).
Makna ayat tersebut juga sangat ketat sekali, yaitu setelah Allah memberi hukuman berat kepada pezina di dunia, Allah melarang pelaksana hukum Islam agar tidak memberikan belas kasihan kepada pezina yang dihukum serta pelaksanaannya harus disaksikan oleh sejumlah orang beriman. Kandungan dua ayat Alquran dan satu hadis tersebut memberi pemahaman kepada kita bahwa perbuatan zina sangat dibenci oleh Allah Swt. Di dunia pezina ghairu muhsan mendapatkan 100 (seratus) kali cambuk dan rajam sampai mati bagi pezina muhsan (pezina yang sudah pernah menikah). Oleh karenanya tidaklah layak seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah berbuat zina, karena itu perbuatan keji dan jalan yang amat sangat buruk untuk dilalui.
Dalam Pasal 33 ayat (1) Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat ditetapkan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah zina, diancam dengan ‘uqubat hudud cambuk 100 (seratus) kali”. Qanun tersebut tidak memisahkan antara pezina muhsan dengan ghairu muhsan seperti dalam ketentuan hukum Islam yang memisahkan 100 kali cambuk untuk pezina ghairu muhsan dan rajam sampai mati bagi pezina muhsan. Itu berarti orang yang berzina di Aceh baik yang sudah menikah ataupun belum menikah sama berat hukumannya yakni 100 (seratus) kali cambukan.
Namun demikian Pasal 33 ayat (2) menekankan hukuman ganda kepada setiap orang yang sudah pernah dihukum cambuk 100 (seratus) kali akibat perbuatan zinanya, lalu berzina lagi, maka setelah dicambuk 100 (seratus) kali sebagai hukuman zina maka dapat ditambahkan dengan hukuman ta’zir berupa denda 120 gram emas murni atau dipenjara 12 bulan. ‘Uqubah tersebut sangat selaras dengan dua ayat Alquran dan satu hadis Nabi di atas dalam upaya menghambat ummat Islam berbuat zina. Dan hukuman tersebut juga menjadi satu keseriusan Islam untuk membedakan ummatnya dengan syetan dan hayawan karena perbuatan zina itu adalah identik dengan perbuatan mereka.
Hukuman lebih berat ditetapkan dalam Qanun Jinayat bagi orang atau badan usaha yang dengan sengaja memberikan fasilitas atau mempromosikan jarimah zina, mereka diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan. Setiap orang dewasa yang melakukan zina dengan anak, selain diancam dengan ‘uqubat hudud sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat 1 dapat ditambah dengan hukuman ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan.
Berhati-hatilah Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah zina dengan orang yang berhubungan mahram dengannya, selain diancam dengan ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan ‘uqubat ta’zir denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau ‘uqubat ta’zir penjara paling lama 10 bulan. Dengan demikian, maka berhati-hatilah kaum muslimin wal muslimah di nanggroe Aceh berkenaan dengan persoalan zina, ancaman Allah di dunia sangat berat dan ancaman Allah di akhirat juga sangat lebih berat, ditambah lagi dengan ketentuan Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 yang memberikan alternatif ‘uqubat ganda bagi pelaku berulang kali, penyedia tempat, penampung pezina dan sumpamanya.
Untuk prosedur pelaksanaan Qanun No.6 tersebut dilengkapi oleh Qanun Aceh No.7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayah. Jadi kalau dulu masa berlaku Qanun No.12, 13, dan 14 Tahun 2003 tentang Maisir, Minuman keras, dan Khalwat tidak ada qanun acara, sehingga beberapa orang yang melanggar tiga qanun tersebut sempat lolos dari Aceh dan tidak sempat dicambuk. Maka sejak Qanun Acara Jinayah disahkan pada 13 Desember 2013 dan Qanun Jinayat disahkan pada 23 Oktober 2014, lengkaplah perangkat hukum untuk menindak para pelanggar qanun Aceh masa depan. Pasal 21 Qanun Acara Jinayah menyatakan para pelanggar qanun Aceh dapat ditahan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, penyidangan dan pelaksanaan ‘uqubat. Berkenaan dengan kepentingan penangkapan pelanggar qanun juga diatur dalam Pasal 17, 18, dan 19 Qanun Acara Jinayah.
Untuk menghindari ancaman Allah di dunia dan di akhirat, serta menghindari ancaman qanun Aceh tersebut, maka umat Islam Aceh tidak akan pernah berzina dan tidak akan pernah mengulangi perbuatan zina bagi yang sudah terlanjur melakukannya. Persoalannya adalah ketika penduduk suatu negeri inkar terhadap perintah dan larangan Allah, maka bala Allah sebagai solusi bagi penduduk negeri tersebut (QS. al-A’raf: 96). Karenanyalah umat muslim di Aceh harus menjauhi zina dalam kesempatan bagaimanapun juga.
Umat Islam di Aceh patut bersyukur atas pemberlakuan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah tersebut karena sudah ada jalan yang menyelamatkan kita dari dosa. Kalau ada umat Islam yang membenci qanun tersebut, bermakna mereka membenci Allah karena qanun tersebut terisi penuh dengan hukum Allah. Membenci Allah sama dengan syirik. Karena itu janganlah kita terperosok ke dalam lubang yang sama di tempat yang sama pula. Mudah-mudahan kita selamat dan dijauhkan dari perbuatan zina, dan Aceh menjadi satu-satunya wilayah di dunia yang berlaku hukum Islam penuh.
Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA., Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh