Oleh Dr. Hasanuddin Yusuf Adan
KALAM PEMBUKA
Semenjak berlakunya syari’at Islam di Aceh pada tanggal 15 Maret 2002 M (1 Muharram 1423 H) ada saja hambatan dan pelanggaran yang terjadi. Hambatan itu datangnya dari dua sisi (internal dan eksternal), yang internal datang dari ummat Islam sekuler dan liberal yang tidak suka Hukum Islam itu dijalankan di Aceh sedangkan yang eksternal datangnya dari dunia barat termasuklah yang utama dari benua Eropah dan Amerika yang dengan halus menghambat terjadinya implementasi syari’at Islam di Aceh, buktinya ada utusan mereka yang datang bertemu dengan pejabat Aceh meminta jangan disahkan qanun jinayat, ada pula surat yang dikirim mereka kepada pimpinan Aceh meminta menunda pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.
Sementara pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi dari kalangan sendiri muslim Aceh juga semenjak ia berlaku sampai hari ini. Pelanggaran paling baru dan up to date adalah kasus pasangan non mahram yang ditangkap petugas satpol PP/WH di hotel A.Y. Peunayong Banda Aceh Jum’at 20 Agustus 2021 malam Sabtu 21 Agustus 2021. Di sana ditemukan dua pasangan non mahram menginap bersama; mereka adalah A (23) dan W (27) wanita punya suami, mereka merupakan warga kecamatan Delima, Pidie dan ada pasangan A (21) warga kecamatan Mutiara, Pidie dan C (23) warga Blang Pidie, Abdya. (Serambi Indonesia, Sabtu 21 Agustus 2021).
Ada kasus adik (berinisial K 17 tahun) menyetubuhi kakak kandungnya (berinisial NJ 19 tahun) berkali-kali beserta tiga kawannya karena terinspirasi oleh film porno yang selalu dinonton sang adik yang bocor kepermukaan Ahad 29 Agustus 2021 di Kecamatan Peukan Baro, Pidie. K tidak hanya menyetubuhi NJ sendirian melainkan mengajak tiga kawannya yang berasal dari kecamatan yang sama untuk menggagahi kakak kandungnya, mereka adalah; MI (22), F (17), dan Wn (21). (Beritakini.co, 29 Agustus 2021).
Dan kasus pesta miras tujuh wanita muda di café “GK” di kawasan Uleelheue kecamatan Meuraxa, kota Banda Aceh 29 Agustus 2021. Ketujuh wanita muda tersebut berinisial NM (22) warga Panton Labu, HS (19) warga Bireuen, EMD (26) dan CA (22) warga Banda Aceh, FD (26) dan MA (22) warga Aceh Besar dan NA (19) warga Aceh Timur. (reality news, 30 Agustus 2021).
Prihal yang paling menyedihkan adalah dahulu prilaku sumbang semacam itu terjadi di luar Aceh ketika Aceh belum berlaku syari’at Islam, kalaupun terjadi di Aceh dapat dipastikan pelakunya datang dari luar Aceh. Namun hari ini ketika implementasi syari’ah sedang berbunga di Aceh malah bangsa Aceh sendiri yang menggoyang pohon syari’ah agar bunganya berjatuhan dan tidak menjadi buah. Ini merupakan sebuah ironi dan tragedi yang sangat amat cukup paling memalukan, kalau itu terjadi pada zaman tahun 60an maka pelakunya segera lari meninggalkan Aceh atau dalam istilah Aceh yang ma’ruf berkembang adalah “payah lob lam tanoh crah” (pelaku itu saking malunya harus bersembunyi dalam tanah terbelah) sehingga tidak diketahui keberadaannya oleh masyarakat. Namun kejadian hari ini para pelaku dan keluarganya seperti biasa-biasa saja, betul betul malu sudah hilang reusam sudah tidak berguna.
PELANGGARAN YANG MEMALUKAN
Dari zaman dahulu sebelum berlaku syari’at Islam, zina, mabuk-mabukan/khamar dan mencuri/merampok merupakan perbuatan paling ‘aib bagi bangsa Islam di Aceh sehingga pelakunya tidak berani dan sangat malu untuk menetap di kampung lagi. Dalam persepsi bangsa Aceh tiga perbuatan terseut merupakan prilaku syaithan dan perbuatan hayawan yang tidak layak berada pada diri seorang manusia sehingga yang berbuat kegiatan tersebut sering dijuluki dengan sebutan binatang.
Tiga pelanggaran syari’ah terbaru tersebut sudah mencoreng arang di muka gubernur Aceh, wali kota Banda Aceh, bupati Pidie, bupati Abdya dan bupati lainnya secara khusus serta ummat Islam Aceh secara umum. Kenapa tidak, itu semua terjadi pada masa Aceh sedang berlaku qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan qanun Aceh nomor 7 tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat di mana perbuatan zina dan minum khamar dihatur hukuman dan tatacaranya di sana. Dengan kejadian tersebut para pemimpin yang punya rasa malu dan bertanggungjawab terhadap rakyat dan undang-undang yang sedang berlaku semestinya segera bertindak baik untuk mengimplementasikan solusi maupun merobah situasi dan kondisi.
Kalau terus menerus prilaku amoral semacam itu terjadi di Aceh maka ia akan dijadikan tumbal balik oleh mereka yang membenci syari’ah untuk menolak berlakunya syari’at Islam di Aceh dan membatasi untuk berlaku di wilayah selain Aceh. Ini merupakan sebab akibat kenapa di luar Aceh pemerintah Indonesia tidak memberi izin berlaku syari’ah, karena Aceh saja yang terkenal kuat Islam dan berlaku syari’ah tetapi tidak henti-hentinya melanggar syari’ah. Maka untuk apa wilayah lain diberlakukan syari’ah bukankan Aceh itu sebagai miniatur untuk semua wilayah lain di Indonesia berkaitan dengan implementasi syari’ah.
Kalau demikian opini bangsa yang muncul maka pelanggaran syari’at Islam di Aceh kali ini menjadi tumbal paling ‘aib dan memalukan. Malu kita terhadap bangsa lain di luar negeri, malu kita dengan bangsa sendiri di dalam negeri dan yang paling serius dan harus malu adalah sangat amat malu kita kepada Allah Rabbul ‘Izzati. Tiada jalan keluar untuk menutup malu tersebut karena nasi sudah menjadi bubur, sampai kapanpun ia akan tetap menjadi bubur dan tidak akan pernah kembali menjadi nasi. Malunya Aceh kali ini berada di titik nadir yang paling tinggi dan paling memuncak yang tidak berkemampuan bangsa Aceh untuk menutupinya lagi kalau tidak segera bertindak untuk memperbaiki suasana.
HUKUMAN
Tiga pelanggaran syari’at Islam terbaru tersebut telah melanggar qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Pelanggaran tersebut tidak hanya dilakukan oleh para pezina dan peminum khamar melainkan juga berimbas kepada pemilik hotel dan pemilik café. Dengan demikian kedua belah pihak tersebut berhak mendapatkan hukuman sesuai dengan kandungan qanun tersebut. Dalam pasal 33 ayat (1) qanun jinayat disebutkan: Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali. Dalam ayat (3) berbunyi: Setiap Orang dan/atau Badan Usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan.
Dalam pasal 35 disebutkan: Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina dengan orang yang berhubungan Mahram dengannya, selain diancam dengan ‘Uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau “uqubat Ta’zir penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan. Dengan demikian pelaku zina dan penampung atau pemberi fasilitas untuk perbuatan zina dalam hal ini pihak hotel A.Y. sama-sama berhak dihukum sesuai dengan ketentuan qanun. Demikian juga dengan pelaku zina yang berhubungan mahram di Peukan Baro setelah diberi hukuman hudud dapat ditambah dengan hukuman takzir mengingat keduanya sudah baligh dengan bukti hamil dan melahirkan bayi dari kakak perempuannya.
Sedangkan jarimah syurb atau minum khamar yang terjadi di sebuah cafe kawasan Uleelheue Banda Aceh terancam dengan qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 pasal 15 ayat (1) yang berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja minum Khamar diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 40 (empat puluh) kali. Khusus bagi penjual (dalam hal ini pihak café) dapat dikenakan pasal 16 ayat (1) yang berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi, menyimpan/menimbun, menjual, atau memasukkan Khamar, masing-masing diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali atau denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan.
Kedua kasus zina tersebut harus dibuktikan dengan pengakuan pelaku atau kesaksian para saksi, tanpa pengakuan dari pelaku dan kesaksian dari empat orang saksi lelaki atau bukti sah lainnya maka kasus tersebut tidak dapat dibawa keranah hudud. Dalam hal kasus pasangan non mahram kalau benar berita dimedia bahwa lelaki memesan wanita dan tidur serta berzina berdua diakui oleh keduanya maka keduanya dapat dikenakan ketentuan qanun tersebut. Kalau tidak ada bukti walaupun keduanya berdusta sudah berzina tetapi mengaku tidak berzina maka hukuman hudud tidak dapat dikenakan kepada keduanya melainkan beralih kepada hukuman ta’zir karena dianggap khalwat.
Lain halnya dengan kasus perzinaan adik kakak yang sudah terbukti dengan kehamilan dan melahirkan anak, ini bukti alami yang tidak dapat disembunyikan. Maka keatas mereka berdua plus tiga kawannya berhak dikenakan hukuman sebagaimana dihatur dalam qanun tersebut. Demikian juga dengan kasus pesta miras di kawasan Uleelheue, kalau buktinya lengkap dan sah mereka telah mengkonsumsinya maka ketentuan qanun berlaku terhadap mereka dan pihak penjual di café tersebut.
Kita berharap kasus-kasus pelanggaran syari’at Islam di Aceh tidak bakalan terulang lagi, cukuplah yang sudah-sudah dan jangan bertambah yang lain lagi. Untuk itu perlu kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas para pemimpin dan segenap penguasa di Aceh untuk berupaya kearah itu sebagai upaya preventif dan alternatif solusi. Jangan harapkan kepada rakyat untuk mencegahnya semata tetapi mulailah olehmu para pemimpin dan penguasa Aceh yang punya bermacam fasilitas dan kekuasaan. Pahamilah olehmu bahwa kekuasaan itu dapat dan mampu merobah segalanya apabila anda mau, dan sebaliknya kekuasaan itu tidak bernilai apa-apa manakala anda diam terhadap persoalan ummat dan bangsa, tetapi menggunakannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kaum dan golongan.
Penulis adalah Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.