Oleh Dr. Hasanuddin Yusuf Adan
MUQADDIMAH
Secara harfiah sedekah sinonim dengan makna; derma, pemberian percuma, keikhlasan memberi dan semacamnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sedekah diartikan: pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya di luar kewajiban zakat (maal dan fithrah). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sedekah itu adalah suatu pemberian (dalam bentuk material, jasa, kebaikan dan kemurahan hati seseorang kepada orang lain) yang ikhlas dan tidak mengharapkan balasan daripada orang yang menerimanya.
Dengan demikian ada sedikit beda antara pengertian shadaqah dengan infaq, kalau shadaqah itu lebih cenderung sifatnya kepada nuansa ibadah dalam pengertian yang luas. Sementara infaq itu sendiri lebih mengarah kepada sifatnya ibadah konsumtif, yaitu mengeluarkan dan membelanjakan harta untuk donasi yang berkaitan dengan berbagai jenis material seperti infaq uang, infak air, infak nasi, infaq kuwe muwe dan sejenisnya. Walaubagaimanapun hakikat makna keduanya lumayan sulit untuk dipisahkan karena keduanya bernilai pengeluaran harta dari satu pihak kepihak lain secara percuma, ikhlas dan tulus.
Dalam perjalanan hidup ummat manusia khususnya ummat Islam yang memahami hakikat dan makna shadaqah dan infaq tersebut selalu dijadikannya sebagai modal kemajuan, modal kejayaan dan modal persahabatan yang paling bermakna. Dengan infaq dan shadaqah itulah Islam jaya raya, dengan infaq dan shadaqah pula ukhuwwah semakin bermakna, dan dengan infaq dan shadaqah itu jualah kekuatan perjuangan Islam semakin tangguh, berhasil dan dapat melestarikan diynullah tersebut sampai keakhir zaman dunia.
KEWAJIBAN
Terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan ummat Islam wabil khusus orang-orang beriman untuk bersedekah dan menginfakkan hartanya di jalan Allah. Perintah Allah itu dalam qaidah ushul fiqh menunjukkan kepada wajib (kullu amrin yadullu ‘alal wujub) setiap perintah Allah itu menunjukkan kepada wajib. Demikian juga sebaliknya setiap larangan Allah itu menunjukkan kepada haram (kullu nahyin yadullu ‘alat tahrim) seperti larangan Allah dalam Al-Qur’an; wa la taqrabuz zina (jangan dekat kepada zina), itu bermakna dekat dengan zina apalagi kalau berbuat zina menjadi haram dan dosa besar hukumnya.
Sadaqah itu dapat diartikan kedalam dua makna kewajiban; kewajiban muthlaq berkenaan dengan shadaqah zakat (maal dan fithrah) firman Allah SWT: Ambillah shadaqah (bermakna zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo`alah kepada mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (At-Tawbah: 103). Shadaqah yang tertera dalam ayat tersebut khusus untuk zakat yang menjadi satu kewajiban bagi setiap muslim.
Sementara kewajiban temporer terkait dengan situasi dan kondisi yang membahayakan Islam kalau tidak ada pihak yang bershadaqah seperti; ada masjid yang sudah bocor atau sudah rendah lantainya sehingga kalau hujan turun tergenang air sehingga ummat Islam tidak dapat melaksanakan shalat jum’at di dalamnya. Dalam kondisi seperti itu shadaqah hamba Allah yang sebelumnya bersifat sunat menjadi wajib karena untuk menjalankan satu kewajiban khusus seperti itu harus ada fasilitas khusus pula, manakala fasilitas khusus tersebut sudah wujud dan memadai maka fungsi shadaqah yang dasarnya sunat tadi kembali beralih dari wajib kesunat hukumnya.
Sementara shadaqah dalam artian sunat juga dapat dibelah dua; sunat dalam pengertian biasa dan sunat muakkad yang mendekati wajib. Sunat biasa semisal seseorang yang masuk masjid lalu memasukkan shadaqah kedalam celeng yang ada di dalamnya, orang-orang yang memberikan shadaqah kepada para penuntut ilmu tanpa mengetahui kondisi keuangan si penuntut tersebut dan semacamnya. Sementara yang bersifat muakkad seperti orang bershadaqah terhadap masjid yang tidak tertampung jama’ahnya pada hari jum’at karena masjidnya kecil sehingga muslimin terpaksa shalat di pekarangan dan halaman masjid tersebut. Ini bermakna kalau masjid tidak diperluas ibadah shalat Jum’atnya masih dapat dilaksanakan tetapi kurang selesa.
Untuk kepentingan itulah kalau kita membaca beberapa ayat Al-Qur’an dapat dipahami betapa esensilnya nilai shadaqah itu dalam kehidupan seseorang muslim, sebagaimana firman Allah berikut: Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (Q.S.Al-Baqarah: 254). Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S.Al-Baqarah: 195).
Ayat pertama itu mendeskripsikan kita bahwa shadaqah itu ada masanya untuk ditunaikan dan nanti akan ada masanya pula untuk tidak bermanfa’at lagi harta itu untuk dishadaqahkan, pada waktu itu pula tidak ada lagi jual beli, persaudaraan dan syafa’at yang selama ini dirasakan seseorang muslim. Sementara dalam ayat kedua mendeskripsikan kita bahwa shadaqah itu dapat menyelamatkan diri dari kebinasaan ketika Allah menganjurkan kita untuk berbelanja di jalan Allah untuk menghindari terjerumus kedalam kebinasaan. Dengan langkah demikian seseorang itu telah melakukan kebaikan dan Allah menyukai amalan kebaikan tersebut dengan bershadaqah.
Karena itulah bershadaqah dalam bentuk, keadaan dan zaman bagaimanapun juga merupakan salah satu amalan sangat amat penting, muslihat, mendesak, terhormat dan mulya sepanjang zaman dan masa. Ummat Islam harus sering memaknai shadaqah itu sebagai sebuah kewajiban walaupun ianya dalam keadaan normal bersifat sunat. Dengan sikap demikian akan banyak faedan dan manfa’at bagi eksistensi dan keberlangsungan Islam dan muslimin di muka bumi ini. Dengan anggapan itu pula dapat mendorong kita untuk selalu bershadaqah sekecil apapun ia wujudnya, jangan pula ada anggapan orang kaya banyak pahala karena banyak nilai shadaqahnya sementara orang miskin sedikit pahala karena sedikit shadaqahnya. Nabi telah menyatakan kepada para shahabat bahwa nilai shadaqah sedikit bagi orang miskin sebanding dengan nilai banyak shadaqahnya orang kaya, sekali lagi bershadaqahlah sekecil apapun bendanya.
Kita mesti yakin keberhasilan Rasulullah SAW menyebarluaskan Islam keseluruh dunia karena ramainya orang-orang yang bershadaqah seperti Khadijah, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad ibnu Waqi’ dan lainnya. Keberhasilan merampas kedaulatan Republik Indonesia (RI) dari tangan penjajah juga tidak dapat dinafikan peran infaq dan shadaqah dari ummat Islam dalam berbagai bentuk (harta benda, jiwa raga, tenaga, pikiran dan pemikiran) serta shadaqah do’a muslimin yang sangat amat dominan di sana.
Ketika terjadi invasi kedua Belanda terhadap RI di penghujung tahun 1948, bangsa Islam Aceh berduyun-duyun menginfaqkan harta bendanya untuk membeli pesawat terbang, untuk membiayai duta keliling Indonesia H. Agus Salaim, duta RI untuk India L. N. Palar, mendirikan Radio Rimba Raya, mensuplai beras, uang, keurupuk mulieng ke pertempuran Medan Area yang terjadi di Sumatera Timur yang berhadapan antara Muslim Aceh dengan penjajah Belanda. Ternyata infaq dan shadaqah harta benda, jiwa raga, pikiran pemikiran dan sejenisnya telah membawa hasil yang sangat gilang gemiling bagi bangsa Islam yang doyan berinfaq dan bershadaqah. Untuk itulah infaq dan shadaqah itu tidak boleh putus dalam kehidupang ummat Islam di jagad raya ini.
PENGABAIAN DAN PENYESALAN
Sering sekali ummat Islam lupa akan hakikat berinfaq dan bershadaqah ini sehingga mereka cenderung beranggapan dalam kondisi hidup normal seperti hari ini tidak perlu sangat bershadaqah. Karena semuanya hidup dalam keadaan normal dan tidak ada yang perlu dishadaqahkan. Anggapan semacam ini merupakan anggapan yang khilaf, keliru dan salah karena berinfaq dan bershadaqah itu bukan ketika ada orang hampir mati karena sudah sepekan tidak makan, bershadaqah itu bukan pula ketika ada orang yang memintanya tetapi bershadaqah itu sunat dilakukan kapan dan di mana saja dalam kondisi dan situasi bagaimanapun juga. Sementara kalau ada orang mau mati karena tidak makan sepekan maka shadaqah dari orang berpunya itu menjadi wajib hukumnya.
Jangan ada orang yang menyesal ketika dunia ini berakhir yang ia tidak pernah bershadaqah dalam kondisi dunia normal tetapi mau bershadaqah pada hari terakhir tersebut sama sekali tidak bermakna lagi dan tidak diterima lagi oleh Allah sebagaimana bershadaqahnya orang lain pada masa normal seperti sekarang ini. Firman Allah: hari itu tidak lagi bermanfa’at harta benda (yang melimpah ruah) dan anak-anak (yang berpangkat tinggi) kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim (bersih dan suci), (Asy-Syu’arak: 88-89). Di sana ada dua konsekwensi dalam ayat berikutnya: dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa, dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang-orang yang sesat”, (Asy-Syu’arak: 90-91). Dapat dimaknai salah satunya orang bertaqwa adalah orang yang bershadaqah dan orang yang sesat yang dekat dengan neraka adalah salah satunya mereka yang tidak mau bershadaqah.
Pengabaian bershadaqah di hari ini pasti akan menuai penyesalan di hari nanti, kikir dalam kehidupan hari ini tidak akan pernah dapat diganti dengan murah pada hari nanti ketika Allah sudah menutup buku amalan hamba. Berlomba-lomba menumpuk harta hari ini tidak akan mampu menyelamatkan kita dari api neraka di hari nanti manakala mati dan berpisah dengan harta yang tidak pernah bershadaqah dengannya. Mewariskan harta benda kepada anak cucu di dunia ini tanpa bershadaqah tidak akan pernah punya peluang dan kesempatan bagi anak dan cucu kita untuk mampu membela kita di hari nanti. Rasulullah SAW bersabda: apabila mati seseorang manusia (anak Adam) maka putuslah semua perkara dunianya kecuali tiga perkara; pertama adalah shadaqah jariyah, kedua ilmu yang bermanfa’at kepadanya, dan ketiga anak shalih yang senantiasa berdo’a kepadanya. Selain itu tidak akan pernah bersama kita manakala kita sudah tidak lagi hidup di dunia yang fana.
Jangan pula ada di antara kita yang ketika tiba masanya lalu meminta kepada Allah untuk ditangguhkan kematiannya hanya sekedar untuk bershadaqah karena selama hidupnya tidak pernah atau kurang sekali bershadaqah. Itupun menjadi sesuatu yang diibaratkan jauh panggang dari api karena masa sudah berlalu tidak akan mungkin diulangi kembali. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Munafiqun ayat 10 yang artinya: Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bershadaqah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”
Penyesalan demi penyesalan tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan, kewajiban demi kewajiban hanya berfaedah dan bermanfa’at manakala pada waktunya diamalkan, kewajiban demi kewajiban hanya bermakna ketika ia tepat masa dan tepat sasaran dijalankan, permintaan demi permintaan tidak akan pernah bermanfa’at dan berguna ketika nyawa sudah meninggalkan badan. Untuk itulah pelajaran demi pelajaran harus dijadikan peringatan untuk meningkatkan amalan dalam kehidupan sehingga kehidupan yang singkat ini tidak berakhir dengan penyesalan demi penyesalan, tidak berakhir dengan kekecewaan demi kekecewaan, tidak berakhir dengan keterlanjuran demi keterlanjuran, tidak berakhir dengan memiliki peluang menuju jahannam. Na’uzubillah dan Wallahu a’lam…