Oleh Prof. Dr. Muhammad, M. Ed

Kemerdekaan bukanlah untuk memberi amnesti dan pembebasan kepada koruptor dan para pelaku dosa terhadap rakyat dan negara. Konon lagi memberi pengampunan kepada mereka yang telah menipu rakyat banyak, akan tetapi berilah kemerdekaan kepada orang-orang yang ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara oleh lawan-lawan politiknya yang belum tentu bersalah. Karena kebanyakan pengadilan memutuskan perkara sesuai pesanan dan selera para pemegang kendali negara.

Oleh kerana itu hari kemerdekaan Republik Indonesia hari ini seharusnya membebaskan orang-orang yang dipenjara oleh rezim Jokowi bukan karena kesalahannya tetapi karena tidak mau mengikuti telunjuknya, karena tidak sealiran dengannya. Misalnya memerdekakan Setya Novanto atas tuduhan E-KTP dari penjara perlu ditinjau ulang karena ia seharusnya bukan pengampunan yang harus diberikan, akan tetapi dimiskinkan sampai ke titik nadir. Ini pelajaran penting bagi penjarah uang negara dan uang rakyat, “no bargain” terhadap mereka karena mereka tidak punya hati nurani dalam memiskinkan rakyat 230 juta demi memperkaya diri dan kroni-kroninya. Lalu kepada orang semacam ini diberi amnesti dan pemotongan masa tahanan, malah sebelumnya afa yang pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran selama dalam masa penahanan.
Orang
Presiden Prabowo seharusnya harus adil dan bijak dalam memberikan amnesti kepada narapidana, misalnya koruptor, narkoba, pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat-pengkhianat lainnya. Kemerdekaan harus diberikan kepada kaum tertindas, kaum fakir miskin agar mereka terbebas dari belenggu para tiran dan majikan yang biadab, dan bebas dari kelaparan dan kepapaan. Kalau ini bisa dilakukan oleh para pengendali negara, maka inilah kemerdekaan yang hakiki yang perlu dilaksanakan.

Orang sangat merasa risih dan sangat sakit hati kalau yang dibebaskan itu adalah koruptor yang melahap uang negara triliunan dan milyaran, pembunuh yang tidak berperi kemanusiaan, pemerkosa anak-anak dan perempuan, hakim dan jaksa yang menerima uang suap, polisi yang curang, tentara yang tidak setia kepada negara dan taat hukum, akan tetapi terapkan hukum kepada mereka hingga jera yang kuat harus dilemahkan hingga lunglai, yang kaya harus dimiskinkan, yang memperkosa harus dikebiri, dan yang berlaku tidak adil dan suka menerima dan minta suap harus dijadikan mereka menjadi pengemis. Itulah hukum yang sebanding dan inilah yang namanya qishas. Ini baru merdeka dalam pandangan masyarakat kelas bawah.
Kemerdekaan bukan hanya slogan kosong dan lomba panjat pinang, dan serba pertandingan lainnya. Akan tetapi kemerdekaan adalah renungan penuh makna disertai doa kepada para syuhada dan pahlawan. Kemerdekaan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dianugerahkan Allah kepada negara dan bangsa ini. Kita harus merdeka dari kebodohan dan kemiskinan serta informasi yang seluas-luasnya tanpa harus ditutup-tutupi. Ini baru merdeka.
Kita harus diberikan kemerdekaan juga dalam hal memberikan usul dan perbaikan pemerintah, dan jangan dianggap mengkritik pemerintah tetapi memberikan masukan agar kalau ada kekurangan dan ketimpangan cepat ditanggulangi, karena itu para Raja baik diperingkat Kabupaten, kota provinsi hingga pusat tidak alergi dengan kritikan yang datang dari rakyat bawah. Para raja tidak wajib mendengar bisikan bisikan yang berasal dari sekelilingnya saja yang hanya menyajikan berita yang manis sementara berita yang menyakitkan dan penderitaan rakyat banyak disembunyikan.

Marilah kita maknai kemerdekaan ini secara arif dan bernilai agar maksud dan tujuan kemerdekaan tidak salah paham bagi orang- orang yang sedang mengelola negara, adil dan bijaklah dalam berbuat serta berkuasa terhadàp rakyat yang tidak berdosa menjadi korban ketidakadilan kita sebagai pengendali negara. Letakan sesuatu pada tempatnya, jangan selalu melihat ke atas tetapi sesekali lihat ke bawah dan semakin banyak melihat ke bawah semakin baik dan selamat. Pengkhianat tidak perlu dipuji dan disanjung. Yang berhak dipenjara jangan dimerdekakan, dan yang berhak bebas tak perlu dipenjarakan. Inilah makna kemerdekaan dalam perspektif “lay man”.

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR.M.Ed

Bangsa Indonesia hari ini (Ahad tanggal 17 Agustus 2025) telah genap 80 tahun merayakan hari kemerdekaannya. Artinya bangsa ini telah 80 tahun merdeka dari penjajah yang tidak punya peri kemanusiaan dan tidak beradab dari segi nilai kemanusiaan. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang Indonesia mensyukuri nikmat Allah yang sangat besar ini dan tidak lupa mendoakan kepada segenap roh para pahlawan dan syuhada yang telah berjuang mati-matian demi bangsanya. Inilah bangsa yang mempunyai rasa syukur kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa)
dan jasa para pahlawan.

Merah putih merupakan bendera bangsa dan Inilah penyebab para pahlawan dan para syuhada rela nyawa dan hartanya melayang tanpa perlu mendapat pujian dan ganti rugi. Bendera bangsa ini bukan hanya harus dijunjung tinggi oleh TNI-POLRI saja, akan tetapi oleh semua anak bangsa tanpa kecuali bagi yang sudah berbangsa Indonesia, bertanah air Indonesia dan berbahasa Indonesia. Ingatlah jasa dan perjuangan mereka para pendiri bangsa, jangan sampai anda menjadi anti terhadàp sejarah bangsa hingga menghilangkan pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan bangsa. Ini adalah bentuk pengkhianat terhadap bangsa dan juga kepada orang-orang yang mengutamakan bendera-bendera lainnya.

Namun sekarang berlomba-lomba menaikkan bendera sendiri seperti one piece dan bendera-bendera partanya, bendera-bendera organisasinya, dan bendera-bendera lainnya karena mungkin tidak lagi senang dengan bendera bangsanya. Kalau tidak senang kepada pemerintah, bukan benderanya yang diboikot tetapi pemerintahnya yang harus diperbetulkan. Sebab kalau kita yang memerintah nanti sang saka merah putih itu juga yang kita pertahankan. Kalau pemerintah dan aparat negara tidak menjalankan keadilan, khususnya dalam menegakkan hukum secara adil, tidak berkeadilan dalam pengusaan dan distribusi hasil bumi, keadilan ekonomi, sosial, pendidikan dan pekerjaan kepada anak bangsa. Maka sama saja bagi mereka adalah termasuk orang-orang yang tidak tahu berterima kasih.

Orang yang tahu berterimakasih adalah zelalu bertanya “apa yang seharusnya kuberikan kepada negara bukan sebaliknya berapa banyak harta negara yang dikorupsi” . Kalau begini kelakuannya itu adalah pengkhianat negara, jadi gak perlu jauh dan sukar untuk mencari pengkhianat negara. Mereka ada di tengah-tengah kita tinggal mereka ditangkap dan dijebloskan ke Nusakambangan semuanya. Inilah cara yang harus ditempuh oleh Raja yang adil sebagai cara mensyukuri nikmat.

Jadi jangan salah cara menikmati hari kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kemerdekaan. Lihat bagaimana Umar bin Khattab memimpin sehingga orang misikin dan fakir-pun ditemukan karena Dia ketika habis shalat malam, mengunjungi rumah-rumah rakyatnya untuk memastikan apakah mereka makan atau berpuasa berhari-hari. Sehingga harta negara dan baitul maal harus menyantuni mereka semua. Jadi uang negara atau harta negara harus diberikan kepada anak bangsa yang membutuhkannya tidak mengendap dikantong-kantong conglomerat, penguasa dan baital maal. Orang kaya miskin disisi Umar bin Khattab dan orang miskin merasa kaya, orang kuat merasa lemah, dan orang lemah merasa kuat dihadapan mahkamahnya. Ini termasuk menyukuri nikmat dengan menjalankan keadilan yang merata tanpa pandang bulu.

Islam mengajarkan kita berterima kasih melalui ketaatan kepada Allah artinya mengerjakan semua suruhan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, ini sebagai bukti perhambaan kepada Allah dan sekaligus menyukuri nikmat. Kalau ini kita lakukan baik ummat Islam ataupun non muslim maka ini sudah dianggap mensyukuri nikmat.

Oleh: Afrizal Refo, MA

Dua puluh tahun telah berlalu Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati menandatangani sebuah perjanjian bersejarah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di sebuah ruang bersejarah di Helsinki, Finlandia. Perjanjian itu menutup lembaran kelam konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu orang dan memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Tanggal 15 Agustus 2005 itu bukan sekadar lembaran perjanjian di atas kertas, melainkan ikrar jiwa bahwa peluru akan berhenti berbicara dan suara-suara nurani akan mengambil alih. MoU Helsinki menjadi tanda lahirnya kembali Aceh sebagai tanah yang merindukan pelukan, bukan ledakan tapi tanah rencong yang menebar senyum, bukan luka.

Sebelum hari itu, Aceh adalah hamparan tanah yang kerap basah bukan hanya oleh hujan, tapi juga oleh darah. Pekikan ibu yang kehilangan anaknya, isak anak yang kehilangan ayahnya, dan tatapan kosong mereka yang rumahnya musnah menjadi bagian dari nyanyian kelam masa lalu. Jalan-jalan dipenuhi pos-pos pemeriksaan, hutan-hutan menyimpan dentuman senjata, dan malam tak pernah benar-benar sunyi.

MoU Helsinki memutus rantai itu. Sejak hari itu, dentuman yang terdengar di Tanah Rencong bukan lagi ledakan senjata, melainkan denting cangkul di sawah, suara gelak tawa anak di sekolah, dan lantunan azan yang menggema tanpa rasa takut. Desa-desa yang dulu porak-poranda mulai berbenah, sawah kembali menghijau, pasar kembali ramai, dan wajah-wajah yang dulu tegang kini mulai berani tersenyum pada orang asing.

Kini, dua dekade telah berlalu. Damai masih bersemi di Serambi Mekah meski tak selalu tanpa ujian. Dua puluh tahun ini adalah waktu yang cukup panjang untuk menilai sejauh mana perjanjian itu dihidupi, diimplementasikan, dan diwariskan kepada generasi baru Aceh

Namun, damai bukanlah hadiah yang bisa disimpan begitu saja di lemari sejarah. Damai adalah taman yang harus disiram, dipangkas, dan dijaga dari duri-duri yang siap tumbuh kapan saja. Dua dekade ini mengajarkan bahwa menghentikan perang jauh lebih mudah daripada merawat perdamaian. Senjata bisa dikubur, tapi rasa curiga dan luka batin butuh waktu untuk sembuh.

Di balik pembangunan yang terlihat Aceh masih menyimpan pekerjaan rumah. Dana melimpah dari otonomi khusus belum sepenuhnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan merata. Ada desa yang makmur namun ada pula yang masih bertahan di pinggir kemiskinan. Ada anak muda yang sukses memimpin, namun tak sedikit yang terjebak pengangguran dan kehilangan arah. Korupsi sesekali merusak citra pemimpin seperti noda di kain putih perdamaian yang kita banggakan.

Meski begitu, tak ada yang bisa menyangkal bahwa Aceh hari ini jauh berbeda dari Aceh dua dekade silam. Pemuda-pemuda kini bisa beraktivitas bekerja seperti pergi kesawah atau menuntut imu tanpa takut suara mereka tertelan deru tembakan. Perempuan-perempuan bisa menjahit di teras rumah sambil bercengkerama dengan tetangga tanpa khawatir suara itu menjadi tanda bahaya. Dan para mantan kombatan kini bisa duduk berdampingan dengan mantan lawan politiknya di meja rapat membicarakan masa depan bukan masa lalu.

Dua dekade ini juga memberi pelajaran bahwa perdamaian harus terus dipelajari dan diwariskan. Generasi yang lahir setelah 2005 mungkin hanya mengenal perang dari buku dan cerita. Mereka tak pernah merasakan dinginnya tidur di hutan untuk menghindari baku tembak. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menyembunyikan saudara di kolong rumah. Karena itu, sejarah harus terus diceritakan bukan untuk membuka luka lama tetapi untuk mengajarkan harga mahal dari sebuah damai.

Kini, di Tanah Rencong, kita punya pilihan membiarkan damai ini berjalan di jalannya sendiri, atau merawatnya dengan sepenuh hati. Kita bisa mengisinya dengan pembangunan yang adil dengan pemerintahan yang bersih dengan ekonomi yang menghidupi rakyat dari desa hingga kota. Kita bisa mengajarkan kepada anak-anak bahwa damai bukan sekadar tiadanya perang, tapi hadirnya rasa aman, rasa dihargai, dan kesempatan yang sama untuk semua.

Aceh punya segalanya untuk menjadi contoh bagi dunia berupa alam yang kaya, budaya yang kokoh, dan sejarah yang mengajarkan betapa berharga hidup tanpa perang. Tinggal bagaimana kita, anak-anak yang lahir dari rahim damai ini mampu menjaganya dari tangan-tangan yang mungkin mencoba merenggutnya kembali.

Dua puluh tahun MoU Helsinki adalah pencapaian besar. Tidak banyak wilayah di dunia yang berhasil mempertahankan perdamaian begitu lama setelah konflik bersenjata. Tetapi, seperti taman yang indah, damai memerlukan perawatan terus-menerus. Jika dibiarkan tanpa perhatian, ia bisa dipenuhi gulma yang mengganggu keindahannya.

Dua puluh tahun MoU Helsinki bukanlah akhir dari perjalanan. Ia hanyalah sebuah jeda panjang dari masa lalu yang kelam, sebuah kesempatan untuk menulis bab-bab baru yang lebih indah. Jika dulu kita rela berkorban demi merdeka dari derita perang, maka kini kita harus rela berkorban demi merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.

Tanah Rencong telah mengajarkan pada dunia bahwa peluru bisa diganti dengan kata, bahwa luka bisa disembuhkan dengan pelukan, dan bahwa dendam bisa dikalahkan oleh doa. Mari kita terus menjaga agar pelajaran ini tak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi menjadi napas kehidupan setiap hari. Karena damai yang kita miliki hari ini adalah warisan, dan warisan hanya berarti jika dijaga untuk generasi berikutnya.

Dua dekade MoU Helsinki adalah cermin. Di dalamnya, kita bisa melihat betapa jauh kita telah berjalan, dan betapa panjang jalan yang masih harus ditempuh.

Aceh telah membuktikan bahwa luka masa lalu bisa disembuhkan dengan keberanian untuk berdamai. Tantangan kita kini adalah memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi bukan hanya tanah yang subur dan kaya budaya, tetapi juga negeri yang damai, adil, dan sejahtera. Dua dekade MoU Helsinki adalah pengingat bahwa perdamaian adalah hadiah yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan. Semoga ketika dua dekade berikutnya tiba, kita masih bisa berkata dengan bangga: Damai ini adalah pilihan kita, dan kita menjaganya dengan sepenuh hati.

Penulis : Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa dan Ketua Komunitas Generasi Rabbani Langsa

Oleh: Afrizal Refo, MA

Aktivis Pendidikan dan Pemerhati Anak

Setiap Tanggal 23 Juli kembali mengingatkan kita akan pentingnya memuliakan dan melindungi hak-hak anak melalui peringatan Hari Anak Nasional (HAN). Setiap tahun peringatan ini menjadi pengingat bahwa masa depan bangsa terletak pada kualitas anak-anak hari ini. Namun di saat peringatan Hari Anak Nasional kita juga harus berani melihat kenyataan bahwa anak-anak Indonesia termasuk di Aceh menghadapi tantangan besar di era digital yang berkembang sangat cepat.

Anak-anak saat ini tumbuh dalam era di mana teknologi menjadi bagian dari kehidupan sejak usia dini. Mereka belajar, bermain, bahkan bersosialisasi melalui gawai dan internet. Sayangnya, tidak semua anak mendapatkan bimbingan yang cukup dalam mengakses dunia digital yang luas dan tak berbatas itu. Maka dari itu momentum Hari Anak Nasional harus menjadi panggilan bagi semua pihak yaitu orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat untuk bersatu membekali anak-anak agar bijak menggunakan teknologi sejak dini.

Dunia digital bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Ini adalah bagian dari kehidupan modern yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana. Banyak manfaat dari teknologi bagi anak-anak, mulai dari aplikasi belajar interaktif, video edukatif, hingga akses informasi yang luas. Tapi di sisi lain teknologi juga menyimpan risiko besar jika digunakan tanpa pendampingan seperti kecanduan gawai, konten negatif, pergaulan bebas daring, cyberbullying, hingga eksploitasi online.

Kita sebagai orang dewasa khususnya para pendidik dan orang tua tidak bisa hanya menyalahkan anak atau melarang mereka menggunakan teknologi. Tugas kita adalah membimbing, mendampingi, dan mengarahkan agar anak-anak memahami bahwa teknologi adalah alat, bukan pelarian. Teknologi adalah sarana belajar dan berkarya, bukan tempat untuk tersesat.

Sebagai aktivis pendidikan saya sering menyaksikan betapa banyak anak-anak di sekolah dasar hingga menengah yang mengalami penurunan konsentrasi belajar, ketidakmampuan bersosialisasi secara sehat, bahkan gangguan emosi akibat penggunaan gawai yang berlebihan. Banyak dari mereka yang kecanduan game online, terpapar konten dewasa, atau aktif di media sosial tanpa kontrol yang memadai.

Hal ini menandakan bahwa pendidikan karakter berbasis digital sangat mendesak untuk diterapkan. Anak-anak perlu diajarkan bukan hanya cara mengoperasikan teknologi tapi juga bagaimana menggunakan teknologi secara sehat, aman, dan bertanggung jawab.

Sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai akhlak, etika bermedia, dan tanggung jawab digital. Guru tidak hanya dituntut menguasai IT, tetapi juga harus mampu membimbing anak membangun literasi digital yang sehat.

Peran Keluarga, Sekolah, dan Pemerintah

Keluarga adalah benteng utama dalam membentuk karakter dan kebiasaan anak dalam menggunakan teknologi. Orang tua perlu menjadi role model dalam penggunaan gawai. Jangan sampai anak diminta menjauh dari gawai sementara orang tua sendiri terus asyik dengan ponsel di hadapannya.

Lebih dari itu orang tua perlu aktif memberikan edukasi digital, menjelaskan mana konten yang baik dan buruk, serta menetapkan aturan waktu dan batasan penggunaan gawai. Bukan sekadar melarang tetapi mengajak anak berdialog dan memahami dampak dari teknologi dalam kehidupan mereka.

Sekolah juga memegang peranan krusial dalam membekali anak dengan keterampilan literasi digital yang sehat. Tidak cukup hanya mengajarkan penggunaan teknologi sebagai alat bantu belajar, tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab digital.

Program pendidikan karakter harus terintegrasi dengan pembelajaran teknologi. Anak-anak perlu belajar tentang pentingnya jejak digital, privasi online, serta etika berkomunikasi di media sosial. Guru tidak lagi hanya menjadi pengajar, tetapi juga fasilitator dan pembimbing dalam menjelajahi dunia maya dengan aman.

Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kominfo, dan Kemendikbudristek, memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan regulasi dan fasilitas yang melindungi anak-anak di ruang digital. Penguatan regulasi terhadap konten negatif, penyediaan platform edukatif anak, serta kampanye nasional tentang literasi digital harus menjadi agenda prioritas.

Selain itu, komunitas masyarakat, organisasi keagamaan, dan LSM juga bisa berkontribusi dalam mengadvokasi penggunaan teknologi secara sehat. Forum parenting digital, pelatihan guru, hingga kegiatan kampanye sadar gadget di sekolah dan masjid bisa menjadi gerakan sosial yang efektif.

Waspadai Pergaulan Bebas Virtual

Salah satu tantangan yang semakin mengkhawatirkan adalah pergaulan bebas melalui media sosial. Banyak anak-anak yang berkenalan dengan orang asing, bahkan menjalin hubungan asmara virtual yang tak sehat sejak usia dini. Fenomena ini kerap terjadi secara diam-diam karena orang tua dan guru sering tidak menyadarinya.

Di Aceh dengan identitas sebagai provinsi bersyariat ini menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat kita harus peka terhadap fenomena ini bukan hanya dengan melarang dan menghukum tetapi dengan mendidik dan menguatkan akhlak serta spiritualitas anak-anak kita. Inilah inti dari syariat Islam membina, bukan hanya membatasi.

Momentum Hari Anak Nasional 2025 seharusnya menjadi panggilan untuk melahirkan generasi anak Aceh dan Indonesia yang bukan hanya cakap teknologi tetapi juga kuat karakter dan nilai agamanya. Kita ingin anak-anak tidak hanya menjadi konsumen teknologi tetapi juga produsen konten positif, inovator, dan pemimpin masa depan.

Anak yang bijak digital adalah anak yang bisa memilah mana konten bermanfaat dan mana yang berbahaya, mana informasi valid dan mana hoaks, mana pergaulan sehat dan mana yang menjerumuskan. Untuk mencapai itu, kita butuh pendekatan kolaboratif antara pendidikan formal, keluarga, masyarakat, dan negara.

Penutup
Peringatan Hari Anak Nasional bukanlah sekadar perayaan tahunan. Ini adalah alarm bagi semua pihak untuk mengambil bagian dalam perjuangan besar menyelamatkan dan membentuk masa depan anak-anak kita di tengah gempuran era digital. Kita tidak bisa hanya berharap pada sekolah atau pemerintah. Kita semua bertanggung jawab.
Mereka bukan hanya penerus, tapi juga pembaru. Namun mereka tidak bisa berjalan sendiri. Mereka butuh tangan yang membimbing, suara yang menenangkan, dan teladan yang menginspirasi.

Selamat Hari Anak Nasional 2025. Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Anak Cerdas Digital, Aceh Bermartabat.

Penulis adalah Dosen PAI IAIN Langsa dan Sekretaris Umum Dewan Dakwah Kota Langsa.

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed


Laporan SindoNews, Senin 07 Maret 2025 bahwa Tentara Zionis Israel semkain biadab dalam membantai ummat Islam di Gaza. Ketika warga Gaza terbangun pada Senin 7 April Maret 2025 melihat pemboman dan pembantaian dimulai lagi oleh tentara Zionis.

Lebih dari 400 orang yang terdiri dari wanita dan anak-anak syahid, dan dilaporkan bahwa serangan ini mendapat “lampu Hijau” dari Presiden Amerika, Donald Trump. Gencatan senjata tetap gencatan senjata namun dalam masa gencatan senjata 150 ummat Islam gaza sudah dibantai. Makanya yang namanya Yahudi apalagi Zionis, penuh dengan kebohongan dan dusta karena sifat dasar Yahudi adalah suka mendengar berita bohong, suka makan haram, suka berkhianat, suka menipu dan pura-pura.

Sejak perang Palestina Israel 7 Oktober 2023 hingga kini April 2025 sudah 40 ribu umat Islam Gaza telah syahid dan itu belum belum termasuk harta benda, namun yang paling celaka dunia diam walau Benyamin Netanyahu telah disahkan oleh PBB sebagai penjahat peran dan negara Israel sebagai negara tidak sah secara hukum karena mereka adalah perampas tanah hak milik bangsa Palestina dan pembunuh ummat Islam secara biadab.

Ya Allah, hamba ini sangat dhaif, tidak ada senjata, tidak ada kekuasaan, tidak punya harta yang banyak, dan tidak banyak kawan dan rakan yang sefikrah untuk menolong saudara kami seiman di Gaza yang dibantai oleh drakula Zionis Yahudi, karena itu Wahai Zat Yang Maha Kuasa dan Maha Kuat, tolonglah saudara kami di Palestina, berikan rahmat kepada saudara kami sebagaimana telah Engkau berikan kepada para Ashabul Kahfi, berikan kekuatan kepada mereka sebagaimana Engkau berikan kepada Musa a.s. dalam mengalahkan Firaun laknatullah, berikan kekuatan kepada mereka sebagaimana Engkau berikan nabi-Mu Muhammad saw yang dapat mengalahakan Abu Lahab, Abu Jahal dan para pengikutnya, berikan kesabaran kepada mereka agar dapat melawan musuh-Mu — Yahudi Zionis. Ya Allah Zat Yang Maha Mengetahui siapa-siapa yang membantu dan menyokong Zionis, maka hamba memohon kepada-Mu dengan tulus dan penuh harap, hancurkanlah mereka dan hinakanlah mereka di dunia dan akhirat, walaupun mereka para pemimpin di negeri-negeri Islam. Namun jika mereka mau bertaubat, maka terimalah taubat mereka.

Ya Allah Yang Maha Mendengar, hamba ini tidak sanggup pergi ke Gaza untuk membantu saudara kami, tidak punya minyak yang banyak untuk dikirimkan ke Gaza, dan tidak punya senjata yang canggih untuk dikirim ke sana, karena itu ampunilah dosa hamba ini, dan terimalah doa hamba ini untuk saudara kami di Gaza dan di seluruh dunia agar Engkau menolong mereka. Ya Allah hancurkan tentara-tentara yang membantu Yahudi Zionis, Ya Allah hancurkan para pemimpin yang membiarkan umat Islam dibantai, Ya Allah Yang Maha Kuat dan Maha Melihat penderitaan hamba-Mu, ambillah kekuasaan dari para pemimpin yang bersekongkol dengan Yahudi Zoinis, hinakanlah mereka, hancurkan ekonomi mereka, hancurkan tentara-tentara mereka, kirimknalah burung ababil di Gaza untuk menghancurkan tentara-tentara Zionis dan pendukungnya, berilah peringatan kepada mereka akan azab-Mu yang sangat pedih. Ya Rabb Yang Maha Mengetahui, hamba memohon kepada-Mu agar berkenan menghancurkan negara-negara yang membela Yahudi Zionis dan menolong mereka dan cabutlah kekuasaan yang ada pada mereka, dan gantilah orang-orang yang baik untuk memimpin di bumi ini.
Kekejaman Israel terhadap umat Islam Palestina terhenti sebentar di Jalur Gaza ketika kesepakatan genjatan senjata antara Hamas dan Zionis Israel tahap pertama dua bulan lalu. Namun pada tanggal 17 Maret 2025 malam hari para tentara Zionis kembali membombardir penduduk Gaza yang diantaranya anak-anak dan wanita menjadi korban dan hingga Apil 2025 hampir 40 ribu umat Islam Palestina telah syahid semuanya dan dunia hanya pandai berdiam saja termasuk para pemimpin di negeri-negeri Muslim. Ya Allah Yang Memiliki Kekuasaan, ambillah kekuasaan pada orang-orang yang tidak tidak punya kasih sayang kepada hamba-Mu di Gaza dan dimanapun juga. Ada segelintir hamba-Mu yang dhaif wahai Rabb yang punya Kekuasaan Dunia dan Akhirat, memohon dengan ikhlas berilah kekuasaan kepada orang-orang yang pandai bersyukur dan memperhambakan diri kepada-MU, dan cabutlah kekuasaan dari orang-orang yang sombong, pongah, dan ingkar kepada-Mu, walaupun mereka para pemimpin di negeri muslim. Ya Rabb, hancurkan barisan mereka, cerai-beraikan persatuan mereka, porak-prandakan hati dan pemikiran mereka, turunkan azab kepada mereka.
Efek dari senjata umat Islam (doa dan penuh harap) dari hamba-hamba yang dhaif yang bertebaran di seluruh bumi ini dapat dilihat satu demi satu. Dalam bulan pertengahan April 2025 ada seribu (1000) perajurit dan perwira Israel telah menandatangani surat kepada pemerintah Yahudi Zionis untuk memprotes agar diakhirinya perang di Gaza dan utamakan pembebasan sandera. Bahkan akibat dari surat protes tersebut, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, penghisap darah umat Islam, mengeluarkan pernyataan bahwa mereka semua akan dipecat dari dinas militer karena mereka adalah “kelompok extrimis yang mencoba menghancurkan masyarakat Yahudi dari dalam.” Dan demikian juga pernyataan Kepala Staf militer Israel dan Komandan Angkatan Udara, Tomer Bar untuk memecat mereka semuanya jika tidak menarik balik surat itu. Perihal tersebut juga dperkuat oleh pernyataan Panglima Militer Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir untuk memecat semua perwira dan perajurit tersebut yang jelas-jelas menunjukkan pembangkangannya terhadap pemimpin tertinggi yaitu Perdana Menteri Netanyahu. Ini sebuah kemenangan bagi ummat Islam karena doa-doa kita diterima Allah agar mereka saling bertentangan sesama sendiri.

Diantara orang-orang yang menanda tangani petisi itu adalah mantan Kepala Staff, Letnan Jenderal (Purn) Halutz, mantan Panglima Angkatan Udara, Mayor Jenderal (purn) Nimrod Sheffer, dan mantan Kepala Otoritas Penerbangan Sipil, Kolonel (purn) Neri Yarkoni dan perajurit-perajurit lainnya. Mudah-mudahan kekacauan dan saling bertengkar antara sesama mereka Allah lanjutkan atas doa-doa para syuhada di Palestina. Sesungguhnya mesin perang Zionis adalah Benjamin Netanyahu yang mendapat sookongan Amerika, maka kalau kita berdoa untuk kehancuran Yahudi Zionis jangan lupa kehacuran Amerika sekaligus presidenya Donald Trump. Karena sumber penyakit ini berasal dari Amerika, jika Amerika tidak mendukung Israel, mungkin satu hari negara Israel tamat.

Karena itu yang mampu mengalahkan Amerika dan Yahudi Zionis dan semua musuh Allah adalah Allah sendiri lewat cara-Nya dan metode-Nya sendiri. Atau orang-orang mukmin yang Allah berikan kekuatan dan keistiqamahan tentang Islam, merekalah yang mampu membunuh semua Yahudi dan musuh-musuh Allah yang lain walau mereka sedikit jumlahnya. Ini merupakan janji Allah terhadap siapa yang sanggup membunuh Dajjal dan penguasa dhalim di akhir zaman.

Kalau kita orang beriman, tidak perlu heran dan bertanya-tanya, diktator Suharto jatuh di tangan mahasiswa, presiden Marcos di Filipina berakhir tahtanya karena janda Benigno Aquino, Keperkasaan Syah Iran (Muhammaed Reza Pahlevi), karena dihantam oleh orang tua berjenggor—Ayatullah Ruhullah Khomeiny, dan juga para pemimpin lainnya di dunia yang melampaui batas.

Prof. Syabuddin Gade

Oleh Prof. Dr. Syabuddin Gade, M.Ag


Hari Raya sering kali identik dengan kegembiraan dan kemeriahan, terutama dengan tradisi memakai pakaian baru, berkumpul bersama keluarga, serta berbagi kebahagiaan. Namun, jika kita merenung lebih dalam, sebenarnya makna sejati dari perayaan Hari Raya tidak hanya terletak pada aspek fisik seperti pakaian dan kendaraan baru, tetapi lebih kepada aspek spiritual, yaitu peningkatan ketaatan kepada Allah dan pengampunan dosa. Sebagaimana tertulis dalam sebuah ungkapan klasik, “ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعته تزيد” yang berarti, “Hari Raya bukan milik orang yang memakai pakaian baru, tetapi milik orang yang bertambah ketaatannya.” (Hasyiah Bajuri I, hal. 224).
Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa Hari Raya adalah perayaan bagi mereka yang semakin dekat dengan Allah melalui amal ibadah dan ketakwaan. Ketika kita menjalani ibadah puasa dengan penuh kesungguhan, seperti yang tercermin dalam firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 183: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Dengan menjalankan ibadah puasa secara optimal, kita berharap dapat memperoleh keberkahan dan kedekatan dengan Allah, yang menjadi inti dari perayaan Hari Raya.
Lebih lanjut, perayaan Hari Raya bukan hanya milik orang yang tampak luar biasa dengan pakaian baru atau kendaraan mewah, melainkan milik orang yang dosanya terampuni oleh Allah. Dalam ungkapan lain yang tercatat dalam Hasyiah Bajuri, “ليس العيد لمن تجمل باللباس والمركوب إنما العيد لمن غفرت له الذنوب”, yang artinya, “Hari Raya bukan milik orang yang mengandalkan penampilan luar dengan pakaian dan kendaraan baru, tetapi milik orang yang dosanya terampuni.” Hal ini mengingatkan kita bahwa makna sejati dari Hari Raya adalah kesempatan untuk memperoleh pengampunan Allah, sebagaimana diungkapkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, Hari Raya harus dijadikan momen untuk introspeksi diri dan meningkatkan kualitas ibadah. Ini bukan hanya sekadar perayaan duniawi, tetapi juga perayaan spiritual yang menyatukan kita dengan Allah. Dalam konteks ini, kita bisa merayakan Hari Raya dengan penuh rasa syukur, setelah menjalani bulan Ramadhan dengan ikhlas dan mengharapkan pengampunan-Nya.
Sebagai kesimpulan, Hari Raya yang sejati adalah hari yang penuh dengan pengampunan dan ketaatan kepada Allah. Pakaian baru dan kemeriahan di luar hanyalah simbol, sementara esensi yang lebih penting adalah bagaimana kita menyambutnya dengan hati yang bersih dan penuh rasa syukur atas nikmat yang diberikan-Nya. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya amal yang paling mulia adalah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah” (HR. Tirmidzi), Hari Raya harus menjadi momentum untuk memperbaiki diri, bukan hanya dalam aspek duniawi, tetapi yang lebih utama adalah dalam aspek iman, spiritual, amal shalih dan ukhwah Islamiyah sebagai manifestasi insan bertaqwa. Wa Allahu a’lam

Oleh Afrizal Refo, MA

Tepat Pada tanggal 26 Desember 2004 silam, dunia dikejutkan oleh bencana dahsyat yang melanda Aceh yaitu gempa dan tsunami yang menewaskan lebih dari 200.000 orang dan juga banyak korban yang hilang serta menghancurkan hampir seluruh infrastruktur di wilayah tersebut. Gempa berkekuatan 9,1 skala Richter yang memicu gelombang tsunami ini merenggut banyak nyawa dan mengubah wajah Aceh dalam sekejap. Namun, meskipun kehancuran yang begitu besar terjadi, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: masjid-masjid Allah tetap berdiri kokoh, tak terpengaruh oleh gelombang dahsyat yang menerjang.

Peristiwa tersebut mengundang banyak refleksi, terutama bagi kita yang hidup di zaman yang kerap kali lupa akan pentingnya kembali kepada Allah. Tsunami Aceh mengajarkan banyak hal, namun di antara pelajaran-pelajaran tersebut, ada satu pesan yang jelas: betapa pentingnya untuk tidak lalai dalam menjalankan ibadah dan menjaga hubungan kita dengan Allah. Bencana besar seperti ini tidak hanya mengingatkan kita akan keterbatasan manusia, tetapi juga menunjukkan betapa dunia ini hanyalah tempat sementara. Segala sesuatu yang kita miliki yaitu harta, kekuasaan, dan bahkan bangunan megah dapat hilang dalam sekejap mata. Tetapi, hanya hubungan kita dengan Allah yang akan abadi.

Salah satu pemandangan yang paling menggugah dalam tragedi tsunami Aceh adalah bagaimana bangunan-bangunan tinggi yang dibangun dengan kekuatan manusia roboh rata dengan tanah, sementara masjid-masjid Allah tetap berdiri kokoh. Masjid yang seharusnya menjadi tempat ibadah dan pengingat kita kepada Allah, tetap menjadi simbol keteguhan dan kekuatan yang lebih tinggi dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.

Pemandangan ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini pada akhirnya akan runtuh. Rumah, gedung-gedung pencakar langit, mobil-mobil mewah, dan harta benda lainnya, semua itu tidak akan kita bawa mati. Namun, masjid sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah tetap kokoh dan kuat. Ini adalah simbol bahwa yang harus kita jaga dengan sebaik-baiknya adalah hubungan kita dengan Allah, bukan dunia yang fana ini.

Sebagai manusia, kita sering terjebak dalam godaan dunia. Kita berlomba-lomba mengejar kesenangan duniawi, mengejar kekayaan, status sosial, dan kekuasaan. Namun, bencana besar seperti tsunami Aceh mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita anggap kekal di dunia ini bisa hilang dalam sekejap. Hanya ibadah dan ketakwaan kepada Allah yang menjadi sandaran kita yang sesungguhnya.

Salah satu pesan terbesar yang dapat diambil dari peristiwa tsunami Aceh adalah pentingnya menjaga ibadah kita dan tidak lalai dengan dunia. Tsunami tersebut datang begitu tiba-tiba, tanpa ada peringatan sebelumnya. Begitu juga dengan kehidupan kita; ajal dan bencana bisa datang kapan saja tanpa kita duga. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menjaga hubungan kita dengan Allah, menjaga ibadah kita, dan tidak terlena dengan gemerlap dunia yang sementara.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Kamu dilalaikan oleh (perhiasan dunia) sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1-2). Ayat ini mengingatkan kita bahwa kita sering kali terlena dengan kehidupan dunia yang penuh dengan kesenangan semu, sementara kita lupa bahwa kehidupan akhirat yang kekal lebih utama. Tsunami Aceh menjadi pengingat bagi kita bahwa dunia ini tidaklah abadi. Harta yang kita kumpulkan, jabatan yang kita raih, atau rumah megah yang kita bangun, semua itu pada akhirnya akan meninggalkan kita. Yang tinggal hanyalah amal ibadah yang kita lakukan di jalan Allah.

Tsunami Aceh juga mengingatkan kita tentang pentingnya kembali kepada Allah dalam segala keadaan. Ketika bencana datang, banyak orang yang menyadari bahwa kekuatan manusia sangat terbatas. Meskipun sudah berusaha keras untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana, nyatanya tak ada yang bisa menghindari kehendak Allah. Di tengah kehancuran, banyak orang yang berdoa, meminta ampunan, dan berharap agar diberikan keselamatan. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan apapun baik dalam kesenangan maupun kesulitan kita harus senantiasa kembali kepada Allah, mengingat-Nya, dan meminta pertolongan-Nya.

Saat bencana datang, kita semua menjadi sadar akan keterbatasan kita sebagai manusia. Tsunami Aceh tidak hanya menghancurkan fisik, tetapi juga menggugah jiwa dan hati banyak orang untuk kembali kepada Allah. Tidak sedikit yang setelah bencana menjadi lebih rajin beribadah dan lebih dekat dengan Allah, menyadari bahwa dunia ini hanya sementara dan yang kekal hanyalah kehidupan akhirat.

Refleksi untuk Generasi Mendatang

Tsunami Aceh memberikan pelajaran berharga yang harus dipahami oleh generasi mendatang. Ketika kita melihat betapa banyaknya korban yang meninggal dan hilang akibat bencana tersebut, kita harus merenungkan bagaimana kehidupan kita yang sementara ini tidak bisa dijadikan fokus utama. Kita harus terus menjaga ibadah kita, memperbanyak amal saleh, dan menjalin hubungan yang baik dengan Allah.

Generasi mendatang harus diberi pemahaman bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah ujian dari Allah. Kekayaan, jabatan, dan semua kenikmatan yang kita rasakan hari ini bisa saja hilang dengan sekejap mata. Oleh karena itu, jangan sampai kita terperangkap dalam kehidupan dunia yang sementara ini. Fokuskan hati kita kepada Allah, perbaiki niat dan amal kita, dan senantiasa menjaga ibadah sebagai prioritas utama dalam hidup.

Marilah kita mengambil hikmah dari peristiwa tersebut dan kembali kepada Allah dengan sepenuh hati, tidak hanya dalam keadaan susah, tetapi juga dalam keadaan senang. Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih dekat dengan Allah dan tidak terlena dengan kehidupan dunia yang sementara.

Penulis adalah Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa dan Wakil Ketua Parmusi Kota Langsa

Prof. Syabuddin Gade

Oleh Prof. Syabuddin Gade


Basmalah merupakan satu ayat pertama dari al-fatihah, ada juga ulama yang berpendapat bahwa basmalah adalah satu ayat dalam surah an-Namlu. Bagi umat Islam basmalah sudah menjadi bacaan dan amalan keseharian dalam kehidupan mereka. Namun, tidak semua umat Islam memahami bahwa membaca Basmalah mengandung banyak keutamaannya. Karena itu tulisan ringkas ini mencoba mendeskripsikan sejumlah hadis yang menyebutkan keutamaan Basmalah dan penjelasan ringkas.

1. Hadis tentang Keberkahan Memulai dengan Basmalah

Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَبْتَرُ
“Setiap perkara yang penting yang tidak dimulai dengan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ maka ia terputus (dari keberkahan).”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya. Sebagian ulama menilainya hasan dengan penguat.)

2. Hadis tentang Basmalah dalam Makan

Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَقُولَ بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ
“Jika salah seorang dari kalian makan, hendaklah ia mengucapkan ‘Bismillah’. Jika lupa mengucapkannya di awal, hendaklah ia mengucapkan, ‘Bismillahi fii awwalihi wa akhirihi.’”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

3. Hadis tentang Perlindungan dari Setan

Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ
“Jika seseorang masuk ke rumahnya dan menyebut nama Allah ketika masuk dan ketika makan, setan berkata, ‘Tidak ada tempat bermalam dan tidak ada makanan bagi kalian (di sini).’”
(HR. Muslim, no. 2018)

4. Basmalah sebagai Awal Wahyu

Allah SWT menyebutkan Bismillahirrahmanirrahim dalam Al-Qur’an:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Makna: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Fatihah: 1)
Hal ini menunjukkan bahwa Basmala adalah lafaz yang penuh dengan keberkahan, bahkan menjadi bagian dari wahyu pertama dalam Al-Qur’an.

Pentingnya Memahami Hadis

Beberapa hadis di atas, meskipun memiliki beragam derajat keabsahan (shahih, hasan, atau dha’if), menunjukkan perhatian Islam terhadap pentingnya mengucapkan Basmalah dalam berbagai aktivitas.

Hal ini menjadi panduan bagi Muslim untuk selalu menyebut nama Allah sebagai bentuk zikir dan pengingat akan kehadiran-Nya. Wa Allahu a’lam.

Oleh Afrizal Refo, MA


Setiap tanggal 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional, sebuah momen yang memberikan kesempatan kepada kita untuk merenung dan mengapresiasi peran besar guru dalam mencetak generasi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri, guru adalah sosok yang memiliki pengaruh luar biasa dalam kehidupan kita, karena merekalah yang membimbing, mengajar, dan membentuk karakter serta intelektualitas generasi muda. Namun, meskipun pentingnya peran guru sangat besar, seringkali mereka terlupakan dan tidak mendapatkan perhatian yang memadai, baik dari segi kesejahteraan, profesionalisme, maupun penghargaan terhadap tugas mereka. Oleh karena itu, dalam peringatan Hari Guru kali ini, sudah saatnya kita memberikan lebih banyak perhatian kepada mereka, dengan fokus pada penghapusan kriminalisasi terhadap guru, pengurangan beban administrasi, serta peningkatan kesejahteraan dan pendidikan untuk para pendidik.

Peran dan Tanggung Jawab Guru yang Tidak Tergantikan

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang memiliki peran sangat penting dalam membentuk karakter dan masa depan bangsa. Mereka tidak hanya mengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan contoh, menanamkan nilai-nilai moral, dan membimbing murid-muridnya dalam proses tumbuh kembang mereka. Tanpa guru, Indonesia tidak akan memiliki generasi muda yang terdidik dan siap menghadapi tantangan global. Dalam konteks ini, guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing dan pembentuk karakter bangsa.

Namun, dalam perjalanan tugas mulia ini, guru seringkali harus menghadapi berbagai tantangan. Salah satu masalah yang mencuat belakangan ini adalah kriminalisasi terhadap guru. Banyak kasus di mana guru dijadikan korban dari tuduhan yang tidak berdasar, terutama dalam konteks kekerasan fisik atau psikis yang terjadi di lingkungan sekolah. Terkadang, seorang guru yang bertujuan mendisiplinkan siswa malah terjerat hukum hanya karena salah paham atau tuduhan sepihak dari pihak tertentu. Situasi ini tentu sangat tidak adil bagi profesi yang seharusnya dihormati dan dihargai.

Kriminalisasi Guru: Sebuah Tantangan yang Harus Dihentikan

Penting untuk dicatat bahwa guru memiliki tanggung jawab untuk mendidik, membimbing, dan menjaga keharmonisan di sekolah. Namun, seringkali mereka berada dalam posisi yang rentan karena berbagai alasan, salah satunya adalah kurangnya perlindungan hukum yang memadai. Guru seringkali dihadapkan pada situasi yang sulit, di mana tindakan mereka, yang seharusnya bertujuan mendidik, malah disalahartikan dan berakhir pada masalah hukum.

Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kasus-kasus kekerasan fisik yang melibatkan guru. Tentu saja, kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan. Namun, kadang-kadang, tindakan guru yang menganggapnya sebagai bentuk disiplin atau pembinaan bisa salah dimengerti oleh pihak lain. Dalam situasi seperti ini, sangat penting untuk memberi perlindungan hukum kepada guru agar mereka tidak menjadi korban kriminalisasi yang merugikan profesi dan mengganggu proses pendidikan itu sendiri.

Oleh karena itu, pada peringatan Hari Guru ini, kita harus menegaskan bahwa guru harus dilindungi oleh hukum, bukan dihukum karena tugasnya mendidik. Negara harus memastikan bahwa tidak ada lagi kriminalisasi terhadap guru hanya karena perbedaan pemahaman mengenai cara mendidik yang benar. Perlindungan hukum bagi guru adalah langkah yang sangat diperlukan agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan fokus pada tugas utamanya: mendidik generasi bangsa.

Beban Administrasi yang Menambah Tantangan Guru

Selain masalah kriminalisasi, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi guru saat ini adalah beban administrasi yang semakin bertambah. Meskipun administrasi memang penting untuk kelancaran kegiatan di sekolah, namun banyak guru merasa terbebani dengan banyaknya tugas administratif yang harus diselesaikan di luar jam mengajar. Guru yang seharusnya fokus pada kegiatan mengajar, mendampingi siswa, dan melakukan evaluasi pembelajaran, seringkali terpaksa menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan laporan, mengisi data, dan memenuhi berbagai kewajiban administratif yang tidak selalu relevan dengan proses pendidikan.

Hal ini tentu saja sangat mengganggu tugas pokok guru, yaitu mendidik. Beban administratif yang berlebihan membuat guru tidak memiliki waktu dan energi untuk fokus pada pengembangan kemampuan mengajar, berinovasi dalam pembelajaran, serta menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa. Di sisi lain, para siswa pun akan merasa dampaknya, karena pendidikan yang mereka terima tidak optimal.

Maka dari itu, sangat penting untuk segera mengevaluasi dan mengurangi beban administratif yang tidak perlu. Fokuskan perhatian pada kualitas pembelajaran dan biarkan guru memiliki waktu yang cukup untuk mengajar, mendampingi, serta berinteraksi dengan siswa. Administrasi yang tidak perlu harus dipangkas agar guru dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik dan lebih efektif.

Kesejahteraan Guru: Kunci untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan

Selain masalah hukum dan administrasi, kesejahteraan guru juga menjadi faktor penting yang memengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Banyak guru yang masih mengalami kesulitan ekonomi meskipun mereka telah mengabdikan diri bertahun-tahun untuk mendidik anak bangsa. Kesejahteraan yang kurang memadai akan berdampak pada motivasi dan semangat kerja para guru, yang pada gilirannya akan memengaruhi kualitas pembelajaran yang mereka berikan.

Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan kesejahteraan guru dengan memberikan gaji yang layak, tunjangan, serta fasilitas yang memadai. Pemerintah harus memastikan bahwa guru mendapatkan penghargaan yang sebanding dengan pekerjaan mereka yang sangat mulia. Selain itu, kesejahteraan guru juga mencakup peningkatan profesionalisme melalui pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed, guru harus diberikan ilmu dan pelatihan yang memadai agar mereka dapat terus mengembangkan kemampuan diri dan memberikan pendidikan yang terbaik bagi siswa.

Penulis adalah Dosen Pendidikan Agama Islam IAIN Langsa, Praktisi Pendidikan dan Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa.


Oleh Afrizal Refo, MA


Musibah sering kali datang tanpa peringatan. Di Aceh, disaat berlangsungnya PON XXX di Sumut – Aceh, kita beberapa hari ini saja mengalami angin kencang disertai hujan lebat yang mengakibatkan kerusakan gedung-gedung Arena PON, Gedung sekolah rubuh, banjir dan kesedihan di berbagai tempat.

Momen-momen seperti ini mengingatkan kita akan kekuasaan Allah dan pentingnya untuk kembali mendekat kepada-Nya. Mari kita telaah bagaimana musibah ini dapat menjadi pengingat untuk mengingat Allah dan meningkatkan keimanan kita.

Fenomena Alam yang Tidak Terduga

Musibah alam seperti angin kencang dan hujan lebat bisa datang secara tiba-tiba. Di Aceh, yang dikenal dengan keindahan alamnya, perubahan cuaca yang drastis dapat menyebabkan kerugian yang besar. Beberapa daerah mengalami banjir, pohon tumbang, dan kerusakan pada infrastruktur. Ini semua menimbulkan rasa cemas dan ketidakpastian di kalangan masyarakat.

Perubahan cuaca ini seharusnya menyadarkan kita bahwa sebagai manusia, kita tidak dapat mengendalikan alam. Kita hanya bisa berusaha untuk menghadapinya dengan bijak dan bersabar. Dalam situasi seperti ini, kita diingatkan akan kekuasaan Allah yang lebih besar daripada apapun yang kita alami.

Ketika musibah datang, sering kali hati kita bergetar dan pikiran kita berkecamuk. Di sinilah pentingnya mengingat Allah. Dalam kondisi terdesak, banyak dari kita yang berdoa, berharap akan perlindungan dan pertolongan-Nya. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mungkin terlena dalam kesibukan sehari-hari, ketika menghadapi kesulitan, kita kembali kepada-Nya.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan apabila kamu ditimpa musibah, maka ingatlah kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 153). Ayat ini mengajarkan kita bahwa musibah adalah panggilan untuk kita memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Dengan berdoa dan berzikir, kita bisa menemukan ketenangan dalam hati dan kekuatan untuk menghadapi ujian.

Setiap musibah membawa pelajaran berharga. Ketika angin kencang menerpa Aceh, kita bisa belajar tentang pentingnya persiapan dan kewaspadaan. Musibah mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap tanda-tanda alam dan menjaga lingkungan sekitar.

Selain itu, musibah juga mengingatkan kita tentang pentingnya solidaritas. Dalam situasi sulit, kita melihat bagaimana masyarakat Aceh saling membantu. Banyak yang memberikan bantuan kepada korban, baik berupa makanan, pakaian, maupun dukungan moral. Ini menunjukkan bahwa kita harus selalu siap untuk membantu satu sama lain, terutama di saat-saat sulit.

Kesadaran akan Ketidakpastian Hidup

Musibah seperti ini mengingatkan kita bahwa hidup ini penuh ketidakpastian. Meskipun kita merencanakan banyak hal, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika angin kencang datang, semua rencana bisa terganggu. Inilah saatnya bagi kita untuk merenung dan menyadari bahwa Allah lah yang mengatur segalanya.

Penting bagi kita untuk bersyukur atas nikmat yang telah kita terima dan menyadari bahwa setiap saat bisa menjadi ujian. Dalam surah Al-Anfal (8:28), Allah berfirman, “Dan ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu adalah ujian.” Kita harus ingat bahwa semua yang kita miliki adalah titipan Allah yang bisa diambil kapan saja.

Setiap kali musibah datang, ini adalah waktu yang tepat untuk berdoa. Doa bukan hanya sebagai permohonan, tetapi juga sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah. Kita harus berdoa untuk keselamatan, ketabahan, dan pemulihan bagi mereka yang terkena dampak.

Berdoa juga adalah cara kita untuk mengingat kembali semua nikmat yang telah diberikan. Ketika kita mengalami kesulitan, penting untuk tidak melupakan semua hal baik yang ada dalam hidup kita. Dalam keadaan sulit, ingatlah untuk selalu bersyukur.

Musibah adalah ujian yang bisa memperkuat iman kita. Ketika kita menghadapi kesulitan, kita belajar untuk bersabar dan tetap berpegang pada ajaran agama. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk meningkatkan ketahanan diri dan meningkatkan ibadah yang mungkin selama pelaksanaan PON ke XXX di Sumut – Aceh, banyak orang yang melalaikan shalatnya dan musibah yang terjadi saat ini adalah teguran dari Allah SWT.

Dengan menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai agama, kita dapat menemukan ketenangan dan kekuatan untuk menghadapi ujian.Banyak orang yang setelah mengalami musibah, menjadi lebih aktif dalam beribadah dan melakukan amal baik. Ini adalah transformasi positif yang dapat terjadi setelah kita mengalami kesulitan. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, kita akan mendapatkan ketenangan hati dan bimbingan dalam menjalani hidup.

Solidaritas dan Kemanusiaan

Dalam situasi bencana, kita sering melihat solidaritas yang luar biasa di antara masyarakat. Orang-orang bersatu untuk membantu sesama, memberikan dukungan, dan berbagi sumber daya. Ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia memiliki tanggung jawab untuk saling membantu, terutama di saat-saat sulit.

Musibah mengingatkan kita bahwa kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Kita perlu membangun rasa saling peduli dan empati terhadap orang lain. Dengan saling membantu, kita dapat menghadapi setiap ujian dengan lebih baik.

Oleh karena itu musibah angin kencang disertai hujan yang melanda Aceh adalah panggilan untuk kita semua. Ini adalah waktu untuk merenung, kembali kepada Allah, dan memperkuat iman. Setiap ujian yang datang mengajarkan kita tentang ketidakpastian hidup dan pentingnya bersyukur. Mari kita jadikan musibah ini sebagai kesempatan untuk saling membantu, berdoa, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan cara ini, kita dapat menghadapi setiap tantangan dengan penuh harapan dan keyakinan bahwa Allah selalu bersama kita. Musibah adalah bagian dari kehidupan, dan bagaimana kita menyikapinya adalah kunci untuk menemukan kebahagiaan dan ketenangan di hati.

Penulis : Dosen PAI IAIN Langsa , Sekretaris Dewan Dakwah Kota Langsa dan Wakil Ketua PARMUSI Kota Langsa.