Oleh: Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

Jika ada manusia yang berani mengatakan bahwa bencana banjir di Sumatera atau di Aceh adalah bukan karena ulah tangan manusia, berari mereka telah menentang pernyataan Allah swt dalam al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 41. Ini jelas sekali pertentangannya dan mengabaikan eksistensi kalam Allah, mereka ingin cuci tangan terhadap kerusakan yang telah mereka lakukan secara besar-besaran dengan menggunduli hutan untuk tanam kelapa sawit dengan alasan ekonomi dan menggali gunung untuk mencari emas, batubara, nikel dan sebagainya demi investasi dan meningkatkan income perkapita, serta meratakan gunung secara perlahan-lahan hingga akhirnya gunung seperti kepala tanpa rambut. Kalau bukan demi kerakusan dan keuntungan segelintir manusia, bumi ini insya Allah akan tetap aman dan sejahtera bagi para penghuninya. Tragis memang, yang menikmati alam ini hanya segelintir manusia yang berkuasa dan memiliki harta, sedangkan yang menderita jutawan anak bangsa yang tidak berdosa. Inikah yang disebut “Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia?” Makanya pemilik lahan itu harusnya orang daerah karena mereka tahu bahwa yang akan menerima akibat nanti adalah saudara atau keluarganya, keponakannya, mertuanya, bisannnya, menantunya, sepupunya, ibunya bapaknya, gurunya, orang kampungnya sehingga ketika dia hendak berbuat sesuatu dia pasti berpikir akan keselamatran saudara-saudaranya, tetapi kalau pemilik lahan itu orang luar apalagi orang asing, pasti mereka tidak tahu menahu tentang harga diri kemanusiaan dan persaudaraan. Mereka hanya tahu uang dan keuntungan, kemewahan diri, kebahagian keluarga dan kroninya sendiri. Mereka tidak ubahnya seperti penjajah.
Firman Allah yang artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Ar-Rum, ayat 41).
Coba pakek akal sehat dan hati nurani untuk memaknai ayat Allah di atas, kenapa semua kejadian yang mengenaskan baik di daratan ataupun di lautan itu terjadi, apakah itu terjadi dengan sendirinya atau secara alamiah, atau ada yang mengundangnya, atau ada orang yang ditakdirkan Allah untuk merusak bumi ini. Siapa yang bertanggung jawab atas rusaknya bumi, gundulnya gunung-gunung, kering dan dangkalnya sungai-sungai, matinya makhluk yang ada di sungai-sungai, terganggunya habitat makhluk hutan dan satwa liar, salahkan mereka ketika turun ke kawasan penduduk manusia? Salahkah para pengungsi yang tidak punya rumah lagi, tidak punya makanan dan minuman ketika menjarah dan merampok apa yang ada didepan mata mereka? Sedangkan para perusak hutan bersenang-senang di tempat aman dan tidur nyenyak di atas dipan-dipan yang menggairahkan, memakan sesuai kehendaknya, berjalan di atas tol dan highways yang tidak tersentuh lumpur dan debu, mereka bersuka ria dengan kroni, keluarga dan para pengeluar izin menggundul hutan, sementara rakyat jelata hidup penuh penderitaan dan kesengsaraan akibat ulah tangan manusia rakus. Bukankah pernyataan Allah lewat surat Ar-Rum ayat 41 di atas menshahihkan kebejatan manusia tentang perbuatan mereka yang tidak memikirkan keselamatan manusia lainnya, tidak menghiraukan nasib orang lain, dan sama sekali tidak punya belas kasihan seperti yang berlaku di Sumatera dan Aceh akhir bulan November dan awal Desember 2025.
Mari kita memakai otak untuk menghitung berapa nyawa yang sudah hilang gara-gara bala bencana ini, berapa buah rumah yang tidak tahu rimbanya diterjang banjir ini, berapa banyak binatang ternak yang telah punah dan bangkai-bangkainya merajalela di tengah pemukiman penduduk dengan bau yang menyesakkan hidung, berapa banyak bangkai-bangkai manusia berserakan di dalam lumpur dan sungai-sungai yang tidak terkubur, berapa banyak penduduk gunung dan bukit yang punah, berapa kantor pemerintah yang harus dibangun kembali, berapa harta benda yang sudah ranap, dan berapa kenderaan yang harus diperbaiki dari nol, dan berapa ribu anak manusia yang tidak belajar (berhenti) karena situasi dan kondisi ini serta gedung sekolahnya hancur, berapa banyak rumah ibadah yang rusak dan dipenuhi lumpur yang secara akal sehat kalau mau dibersihkan pakek cangkul dan alat-alat lainnya, enam bulanpun belum tentu selesai. Tidakkah kamu memakai otak? Demikian pernyataan Allah sering kita dapatkan dalam al-Qur’an. Seharusnya tidak purlu ditanya siapa manusia, itulah sejatinya seorang manusia kerjanya suka membangkang, suka merusak, suka membantah, keras kepala , egois, dan mau menang sendiri. Sering kita dengar orang-orang yang berkuasa selalu mengatakan, “Negara tidak boleh kalah”, walaupun terhadap rakyat jelata yang tidak punya pembela dan penolong.
Lihat bagaimana tragis dan sengsaranya warga Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireun, akibat dari bencana banjir ini. Rumah mereka ditelan bumi, harta benda mereka ditelan sungai dan lumpur, sanak saudaranya banyak yang hilang ditelan banjir, tempat sekolah anak-anak mereka banyak yang tidak tahu rimbanya, mereka menjerit kelaparan dan kehausan karena terisolir dan terputus hubungan dari berbagai jurusan. Jembatan putus, jalan terbelah dan terputus serta terkubur tanah longsor. Kata Wali Nanggroe helicopter di negeri ini banyak sekali tetapi yang diberikan untuk setiap provinsi yang terkena banjir hanya empat unit, suplai makanan terhenti seperti saudara kita yang tinggal di Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues, mereka memang tidak terkena banjir bandang tetapi imbasnya mereka kehabisan makanan, minuman, minyak, gas dan lain-lain. Ini dikarenakan terputusnya hubungan darat ke daerah mereka karena jembatan menuju ke dataran tinggi semuanya ludes dilahap air bah (banjir). Jika boleh dikatakan, musibah banjir tahun 2025 untuk Aceh melebihi Tsunami tanggal 26 Desember 2004. Karena tsunami hanya terjadi Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Sedangkan musibah banjir kali ini Desember 2025 hampir menyeluruh dirasakan di provinsi Aceh. Namun Tsunami banyak kehilangan nyawa dan harta benda, sedangkan musibah banjir tahun 2025 banyak kehilangan harta benda. Itu saja perbedaannya.
Namun demikian hingga hari ini, Ahad 14 Desember 2025 Pemerintah Republik Indonesia belum menetapkan Bencana Banjir Sumatera sebagai bencana nasional sehingga bantuan asing tidak diizinkan masuk dan tidak berani masuk untuk membantu korban banjir. Memang ini seperti buah simalakama, artinya “kalau dimakan mati ayah, dan kalau tidak dimakan mati mama”. Kita sendiri gak sanggup membantu dan merekonstruksi semula semua kehancuran ini walau dalam masa enam bulan, ada negara luarpun yang hendak membantu, namun ditolak oleh pemerintah kita, harus ada surat izin masuk. Kenapa untuk merambah hutan dan menggali gunung cepat sekali izinnya keluar? Ini artinya kita masih tegak berdiri untuk menolak bantuan asing , tetapi ada resikonya kalau bantuan asing diterima, mereka sambil bawa bantuan menyelidiki kenapa musibah ini terjadi, kalau penyebabnya sudah diketahui, hasilnya akan dipaparkan di event dunia, disitulah wajah Pemerintah Indonesia akan dipermalukan karena membiarkan hutan digundul, bukit diratakan, tambang dibuka seperti orang buka lapak di pasar malam khususnya kepada mereka yang punya kuku (ukee). Ini resiko dan memalukan, makanya walaupun kita miskin tetap menyuarakan kaya di mata dunia walaupun rakyat meronta-ronta, rumah tempat tinggal ranap, makanan senin kamis, air bersih model tadah hujan, transportasi lumpuh, aktivitas lumpuh total, hidup di tempat pengungsian yang sangat tidak layak dari semua unsur, dan begitulah yang penting rakyat yang punya ketauhidan yang tinggi, bersabarlah kepada Yang Maha Kuasa karena Dia-lah Yang Maha Penolong hamba-hambanya yang sabar.
Perlu diketahui akibat banjir itu, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Bireun, Pijay, Tamiang, Langsa, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dll dalam keadaan gelap gulita, krisis Listrik, krisis air mimun, krisis gas dan krisis BBM. Ini diakibatkan aktivitas transportasi lumpuh, lalu rakyat bertanya, kapan kondisi ini berubah setahun kah, sebulan kah, atau …? Sejak tulisan ini ditulis Aceh sudah tiga minggu hidup dalam menderita dari berbagai sektor, nasib baik manusia yang tinggal di Aceh masih dalam tataran sabar dan beriman yang hanya kepada Allah mereka sandarkan diri. Semoga artikel ini bisa menggugah semua orang dan jangan gara-gara musibah ini ada manusia busuk mengambil kesempatan dalam kesempitan, menaikkan harga, menaikkan biaya transortasi, menaikkan biaya penyeberangan, mempersulit izin, dan mengmabil upah seenaknya saja terhadap barang bantuan untuk kemanusiaan, memonopoli pelabuhan dan lapangan terbang untuk meminta ongkos bongkar muat barang. Bukankah pemerintah pusat dan orang-orang dermawan mengirimkan bantuan untuk saudara kita? Kenapa kita tidak punya hati nurani dan kemanusiaan? Ini telah berlaku terhadap penduduk Aceh oleh manusia yang berprangai Belut yang hanya bisa mencari makan di air keruh. Jauhkan sifat busuk ini kalau anda masih ber-KTP Islam.
Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh

Pada Rabu dini hari, 26 November 2025, sekitar pukul 03.00, badai angin menghantam Aceh Tamiang. Akibatnya, terjadi pemadaman listrik sesaat dan beberapa pohon tumbang di sejumlah lokasi, termasuk di Tualang Cut, jalan lintas Sumatra. Badai ini kemudian disusul hujan yang sangat deras, yang telah mengguyur sejak Selasa dan berlanjut hingga siang hari Rabu. Kondisi ini menyebabkan beberapa kawasan seperti Seruway, Sekerak, dan Bukit Rata mulai terendam, memaksa warganya mengungsi ke rumah-rumah kerabat.

Menjelang malam, setelah Isya, sekitar pukul 21.00, air mulai memasuki Kampung Dalam, daerah tempat tinggal kami. Padahal, menurut penuturan warga setempat, kampung ini belum pernah terendam air bahkan saat banjir besar sekalipun. Namun, kami menyaksikan sebuah keanehan: meskipun ketinggian air baru sebatas betis orang dewasa, arusnya sangatlah deras, ini menunjukkan air datang dari luapan sungai dari atas gunung bukan tergenang.

Sekitar pukul 21.47, air akhirnya masuk ke dalam rumah kami. Saya dan keluarga paman segera naik ke lantai 2 untuk menyelamatkan diri. Kami tidak sempat membawa banyak barang, seperti makanan, pakaian, dan obat-obatan, karena kami memperkirakan air hanya akan naik setinggi lutut atau sepinggang.

Namun, Allah berkehendak lain. Listrik padam dan ketinggian air terus meningkat drastis, mencapai 1,5 meter pada Kamis, 27 November. Pada pagi hari Kamis itu, melihat kondisi air yang semakin tinggi, kami mencoba turun ke lantai dasar untuk mengambil beberapa makanan yang masih terselamatkan di dapur, serta gas dan kompor agar bisa memasak. Saat itu, sinyal ponsel masih hilang timbul, dan menjelang siang, sinyal hilang total. Air terus naik dengan gelombang yang semakin besar. Di depan rumah, kami juga melihat beberapa narapidana yang dilepas berjalan perlahan melewati genangan air setinggi leher orang dewasa, mencari tempat berlindung. Namun, banyak yang menolak mereka karena statusnya sebagai narapidana, dan beberapa rumah juga sudah sangat sesak di lantai duanya, seperti rumah kami yang berukuran 3×3 meter menampung 7 orang (termasuk 1 balita), dan rumah tetangga kami yang menampung 30 orang. Meskipun demikian, Alhamdulillah, beberapa toko yang memiliki lantai dua bersedia menerima dan menolong mereka.

Sekitar pukul 10.00 pagi, air dan arus terus bergejolak, menabrak beberapa rumah hingga merobohkannya. Salah satu korbannya adalah Alfamart yang berada tepat di depan rumah kami. Dinding belakangnya jebol, menumpahkan seluruh isinya. Semua makanan menyebar dan tersangkut di beberapa rumah, memudahkan orang-orang yang sudah tidak sempat menyelamatkan makanannya untuk memungutnya. Beberapa anak remaja yang berani berenang dan naik di atas atap rumah-rumah warga pun ikut mengambil makanan dan menyalurkannya.

Menjelang Asar, ketinggian air semakin kencang dan mencapai sekitar 3 meter, sehingga tidak ada satu orang pun yang terlihat mencoba berenang atau turun. Semuanya hanya bisa melihat dan menunggu, berharap air segera surut. Di pagi hari, kami sudah mencoba menghubungi tim SAR, namun mereka tidak dapat menolong, hanya menyarankan untuk evakuasi mandiri dan bertahan di lantai 2. Kami juga menghubungi BPBD, tetapi tidak ada jawaban.

Situasi semakin mencekam karena arus dan airnya semakin kuat dan tinggi. Ditambah lagi, ada dua orang (termasuk 1 anak kecil) yang hanyut terbawa arus. Orang-orang hanya bisa berteriak histeris dan menangis, tak mampu berbuat apa-apa, berharap puluhan helikopter TNI dan POLRI datang menyelamatkan kami. Hingga akhirnya malam tiba, situasi pun semakin genting. Hanya tersisa beberapa anak tangga lagi sebelum air mencapai lantai 2. Saat itu, saya langsung mengumandangkan azan dengan suara yang keras, mencoba melawan kerasnya suara arus. Saya berharap suara ini didengar, memberikan harapan dan pesan kepada orang-orang bahwa sebagai seorang muslim yang memiliki tauhid, mereka masih punya penolong. Kami memanjatkan doa kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya, bertobat di detik-detik terakhir, dan menyesali dosa yang telah dilakukan agar saat kami semua hanyut pun, kami mati dalam husnul khatimah dan meninggalkan dunia dengan kepala tegap menghadap Allah.

Setelah Isya, situasi semakin menakutkan karena suara arus yang semakin mendekati lantai 2 terdengar seperti ombak di tengah badai lautan. Kami sudah menyiapkan terpal untuk naik ke atap lantai 2, jika kemungkinan air naik lebih tinggi. Paman dan bibi saya sudah naik, sedangkan kami belum, karena masih ada satu anak tangga lagi sebelum air mencapai lantai 2.

Malam itu adalah malam Jumat, saya teringat bahwa itu adalah hari di mana semua doa diijabah. Saya terus berdoa kepada Allah sepanjang malam tersebut sambil menangis, “Ya Allah, kami semua pendosa, semua membangkang kepada-Mu, namun setidaknya ada orang saleh dan ikhlas beribadah kepada-Mu. Mohon selamatkanlah kami karena mereka. Ya Allah, di antara kami ada anak kecil, balita, bayi di atas loteng rumah orang, mereka belum berbuat dosa sama sekali kepada-Mu, selamatkanlah kami karena mereka, Ya Allah. Ya Allah, saya masih punya anak umur 1 bulan,istri orang tua, dan 4 adik, berikanlah saya kesempatan lagi untuk berbuat baik kepada mereka semua, Ya Allah.” Sayapun salat 2 rakaat sebagai persembahan ibadah terakhir saya sebelum air menghanyutkan kami semua. Pada malam itu, semua orang yang ada di atap berteriak “Tolong… tolong…”, berharap ada tim penyelamat yang datang karena mendengar suara ini. Tidak ada satu pun yang tidur karena situasi sudah seperti ini.

Hingga akhirnya saya merasa Allah mengijabah doa kami, karena dari semalam sampai subuh, airnya terus bertahan tidak naik lagi, sehingga membuat hati saya agak semakin lega. Namun, tantangan baru kembali datang. Air masih setinggi sekitar 5 meter, dan arusnya tidak ada yang sanggup menerjang. Makanan dan air minum sudah menipis, beberapa bayi pun sudah kelaparan. Sehingga, ada beberapa rumah yang langsung menimba air banjir yang lewat dan memasaknya untuk diminum. Adapun kami memasak air hujan yang sudah tertampung di terpal yang sudah kami bentangkan semalam, sehingga bisa bertahan satu hari lagi.

Orang-orang yang berada di lantai 2 dan di atas rooftop juga mencoba melempar makanan dan tali ke rumah kami untuk kami lemparkan lagi ke rumah dan atap orang lain. Yang sangat mengejutkan saya adalah, yang mengumpulkan dan melempar makanan serta minuman ke rumah kami tersebut adalah para narapidana yang sebelumnya diizinkan masuk dan menginap bersama penjaga ruko. Para narapidana yang sebelumnya diusir dan ditolak hampir oleh seluruh rumah warga, pada hari itu justru lebih layak diberikan bintang penghargaan pahlawan daripada pejabat-pejabat hari ini. Mereka lebih manusiawi, lebih simpati, dan lebih bisa diandalkan daripada tim SAR, aparat, dan pejabat negeri ini.

Singkat cerita, air perlahan surut mulai Jumat hingga Ahad pagi, 30 November 2025. Saat air surut, semua orang langsung turun untuk mencari makanan dan minuman di puing-puing reruntuhan rumah. Kami saling bertemu, menanyakan nasib dan keadaan sesama, saling menangis haru karena Allah masih memberikan kami kesempatan untuk melihat matahari dan beribadah kepada-Nya.

Dari Ahad sampai Rabu (30 November – 3 Desember), orang-orang mencari makanan, gas, mencuci sisa pakaian yang sudah berlumuran lumpur untuk digunakan lagi, serta membersihkan rumah dari lumpur yang sudah setinggi lutut. Kami mendengar kabar dari pejalan kaki dari arah Medan ke Banda Aceh dan sebaliknya. Mereka berjalan kaki, berenang di genangan banjir, untuk melanjutkan perjalanan kembali ke kampung dan ke tempat yang aman, serta melihat saudara mereka di Tamiang.

Hingga akhirnya Rabu 3 Desember 2025 saya memutuskan untuk meninggalkan Tamiang, berjalan dan menumpang truk yang lewat, dan tiba di Langsa. Di sana, kami langsung mendapatkan sinyal dan menghubungi keluarga, yang sudah mencari dan menantikan kabar kami di Tamiang.

Allah memberikan cobaan ini untuk kita renungkan bersama, bahwa harta itu jika bukan kita yang meninggalkannya, maka dialah yang akan meninggalkan kita. Orang kaya di Tamiang dengan segala hartanya habis Allah ambil dengan bencana. Maka, jangan terlalu tamak dan serakah, rajinlah bersedekah karena itu semua bukan milik kita.

Saat bencana terjadi, segala harta yang kita miliki sudah tidak bernilai lagi. Kita tidak risau lagi saat melihat mobil, motor, rumah, dan segala isinya hancur dan rusak. Kita malah bersyukur bahwa Allah masih menyisakan kita nyawa. Maka dari itu, janganlah kita jadikan harta sebagai tujuan utama hidup kita di dunia ini.

Saat semua mengharapkan manusia, pemerintah, tim SAR untuk menolong, tidak ada satu pun yang datang kecuali Allah Ta’ala. Mereka tidak mampu dan tidak bisa melakukan apa pun. Maka, jadikanlah Allah sebagai penjaga dan penolongmu, berharaplah kepada-Nya dalam segala hal.

Saya berharap agar bantuan segera datang dan masuk ke Tamiang. Mereka butuh obat, makanan, air bersih, tempat tinggal, pakaian, dan lainnya. Dana sudah digalang, maka saya mohon sekali tidak ada permainan dan orang mengambil untung dari kejadian ini. Saya mohon sekali dengan sangat-sangat agar tidak ada korupsi dari bantuan ini. Jika tidak mau membantu, maka jangan menzalimi. Tolong pemerintah turun tangan dengan cepat. Mereka rakyat kalian. Ke mana kalian saat datang mengemis di masa Pilkada kepada mereka, dan saat mereka butuh kalian, kalian tiada. Kalau kalian tidak mampu, maka biarkan orang dan negara lain membantu, jangan dihalangi. Apakah kalian menjadikan angka kematian sebagai syarat penerima bantuan? Umar bin Khattab saja tidak bisa tidur jika ada satu saja rakyatnya kelaparan. Apakah kalian menunggu dan melihat angka survei jumlah korban agar kalian memutuskan membantu mereka yang sudah ditunggu oleh kematian karena lapar, haus, dan kedinginan?

Saya dengan hati yang paling dalam memohon dengan sebesar-besarnya, bantulah mereka, kerahkan semuanya.

Penulis: Sahal Muhammad AR, Penyuluh Agama Islam Aceh Tamiang.

Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

Da’wah adalah menyeru manusia untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan dan memiliki nyali untuk menghentikan manusia berbuat kerusakan dan kedurhakaan. Jika kedua hal ini stagnan (terhenti), maka yang terjadi adalah merajalelanya kemungkaran dan kedurjanaan di tengah komunitas. Namun yang kerap kali terjadi dalam komunitas kita adalah disebabkan eksisnya sedikit disparitas (perbedaan) diantara para pegiat da’wah, antara sesama institusi Islam akhirnya da’wah ilallah terhenti atau memilih jalan sendiri-sendiri sehingga mempersempit kebersamaan dan bahkan merusak silaturrahmi yang sentiasa didengung-dengungkan oleh pegiat da’wah itu sendiri. Kalau kita masih menyimpan narsisisme yang begitu mendalam atau egomaniac, maka penyebaran risalah Islam akan stagnan. Dalam hal ini, kita boleh mengikuti pendapat Imam Syafii yang menyarankan kita untuk tidak banyak berdebat agar tidak melahirkan disparitas dan permusuhan. Berbuatlah sesuai kapasitas demi ummat Islam, demi agama Allah, demi risalah Rasulullah saw. Mungkin para pegiat da’wah perlu menghayati tazkiyaun Nafs secara mendalam dan dapat diejawantahkan dalam setiap lini kehidupan khasnya di medan da’wah. Sering kita dengar pendapat orang bijak, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Masalah yang besar harus diperkecil, yang yang kecil perlu dihilangkan. Beginilah diajarkan oleh baginda Nabi saw kepada para sahabatnya dan kepada kaum muslimin dan muslimat semuanya hingga akhir hayat. Hal yang paling utama dipikirkan oleh pegiat da’wah adalah membersihkan hati, menghindari konflik kepentingan, membuang habis sifat dendam yang tersimpan di lubuk hati, lihatlah kebaikan orang bukan kekurangannya, seharusnya kita semua harus muhasabah terhadap sifat kita, syakhsiyyah kita, dan kelebihan dan kekurangan kita.
Kita mempunyai tuhan yang satu yaitu Allah swt; dan kita adalah pengikut setia Nabi Muhammad saw, dan tidak ada disparitas dalam hal ini. Kita mengemban tugas baginda Nabi saw untuk mempromosikan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia di seluruh jagat raya ini jika kita mampu menjangkaunya. Kalau da’wah dapat diekspansi ke seluruh desa terpencil menembusi relung hati manusia yang jauh dari kawasan yang banyak tapak manusia, kenapa dengan sedikit distingsi menjadi penghalang utama dalam penyebaran da’wah Ilallah. Kalau disparitas itu timbul karena masalah persoalan penataan ekonomi, mungkin saja boleh kita faraq, kalau disparitas itu disebabkan oleh persoalan penyimpangan moralitas mungkin dapat dipertimbangkan, tetapi kalau menyangkut hal remeh temeh kata orang Melayu, maka ini perlu ditinjau ulang. Walaupun begitu, setiap orang yang melibatkan diri dalam kancah da’wah, tidak boleh tidak, harus mengikuti jejak Rasulullah. Karena jejak Rasulullah bukan hanya slogan kosong, tetapi pengejawantahan yang sesungguhnya. Tidak ada anak tiri dan anak kandung dalam da’wah, tidak ada dinding penyekat dalam da’wah, dan tidak ada kans untuk berbuat tidak jujur dalam dunia da’wah. Semua langkah-langkahnya, metodenya, strateginya, tehniknya, pendekatannya telah diajarkan oleh baginda Nabi saw dan para sahabatnya. Tegaslah dengan orang kafir, dan lemah-lembutlah serta kasih sayang antara sesama muslim, bukan sebaliknya kita saling gontok-gontokan sesama muslim dan berkasih sayang dengan musuh Allah dan musuh Nabi saw. Umat yang paling banyak perselisihan antar sesama mereka adalah kaum Nasrani dan kaum Yahudi walaupun yang nampak ke permukaan keserasian dan kekompakan. Mereka kompak dan bersatu untuk memporak-porandakan Islam dan ummatnya, untuk mengetahui bagaimana seharusnya mereka (Yahudi dan Nasrani), silakan buka firman Allah dalam Surat Al-Hasyr ayat 14. Permusuhan antara sesama mereka (orang kafir) sangat hebat, dan mereka terpecah belah sesama mereka.
Seharusnya apa yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an tentang sifat orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang munafik, cukup hanya sebagai ibrah kepada kita dalam menjalankan da’wah ilallah dan kembali kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya sehingga dalam waktu tidak terlalu lama baginda Nabi bisa mengislamkan seluruh jazirah Arab. Semua ini berkat ketinggian dan keluhuran akhlaknya, kebijaksanaannya yang tidak terbantahkan, kelemah-lembutannya terhadap manusia, kesederhanaanya dalam segala kehidupannya, kemaafannya terhadap manusia yang pernah bersalah dengannya, dan keadilannya dalam memimpin ummat. Salah seorang sastrawan Inggris, Bernard Shaw pernah mengatakan bahwa, “salah satu sebab Islam cepat sekali berkembang ke seluruh jazirah Arab adalah dikarenakan Akhlak mulia Muhammad.” Ini perlu dicontohkan secara totalitas dan kalau tidak sanggup juga, maka jangan ditinggalkan semuanya. Mungkin tema inilah yang selalu didengungkan oleh setiap da’I atau juru da’wah ketika berpapasan dengan mad’u di tengah komunitas. Namun semua itu akan Allah jelmakan dalam hati kita seandainya kita siap sedia memohon ampun kepada-Nya, memohon petunjuk-Nya, memohon hidayah-Nya, meminta perlindungan-Nya, dan kepada-Nyalah kita berserah diri serta memperhambakan diri.
Perbedaan organisasi, perbedaan institusi, dan home base, perbedaan bangsa, suku dan warna kulit, bukanlah sebagai dasar utama da’wah menjadi stagnan. Kita jauhkan ashabiyah institusi, ashabiyah pendidikan dan professionalime, serta ashabiyah-ashabiyah lainnya yang dapat mengendorkan semangat da’wah ilallah. Secara terus terang, dalam setiap lisan kita dan dalam sanubari kita yang terdalam selalu terjelma bagaimana memperkuat umat dengan keilmuan dan ekonomi, membentengi umat dengan Aqidah yang benar, mencerdaskan umat dengan pengetahuan agar terhindar dari kejahiliyahan, membela umat yang tertindas dan terkebelakang, tetapi dalam tataran praktis apakah kita bersinergi dengan konsep yang sebenarnya atau sebaliknya. Ini perlu dicamkan dan dipertimbangkan secara matang agar upaya-upaya pelemahan dan pengendoran aktivitas da’wah perlu dihentikan. Hindarilah setiap upaya terjadinya stagnisasi da’wah karena ini sama saja seperti memadamkan pelita di tengah kegelapan. Seharusnya riak-riak yang terdapat di medan da’wah dapat menjadi supplemen ketahanan tubuh dan kematangan berpikir dalam rangka melebarkan sayap da’wah ilallah ke seluruh penjuru negeri.
Perkara penting yang perlu dikedepankan dalam rangka pelestarian da’wah adalah bagaimana mempersiapkan kader-kader pengganti di medan da’wah secara berterusan, merekrut sebanyak-banyaknya pegiat da’wah, memperbanyak muhsinin, donator dan para dermawan yang siap sedia membela dan membantu da’wah dalam berbagai aktivitas dan kebutuhan. Metode mengetuk hati orang-orang kaya dan orang-orang berada perlu dipropagandakan dengan memperlihatkan hasil maksimal dan reliable di tengah komunitas binaan. Para donator, muhsinin, dan dermawan sangat cepat tersentuh jika dapat melihat realitas yang sebenarnya hasil kerja da’wah, hasil pembinaan para da’I, dan hasil yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Penting diingat bahwa disparitas yang menganga di tengah komunitas berakibat pada menurunnya kepercayaan umat kepada pegiat da’wah atau juru da’wah. Di sini sesuai dengan pendapat Al-Ghazali kepada setiap guru (juru da’wah), bahwa sebelum mengajarkan akhlak kepada murid, maka ajarkan akhlak itu kepada dirimu sendiri terlebih dahulu. Karena juru da’wah dan guru hampir tidak dapat dipisahkan tugas dan perannya di tengah umat, makanya juru da’wah dan guru umat harus memiliki sifat altruistic yang dapat dijadikan teladan bagi yang melihatnya dan yang mengikutinya.
Musyawarah dan tukar pikiran itu perlu, mendengar pendapat orang yang sesuai dengan dalil atau nash boleh diikuti, maka diharapakan kepada para pegiat da’wah tidak berhenti membaca seerah Nabi, perjuangan sahabat, dan biografi orang-orang sukses dalam memimpin umat. Disana banyak hal yang boleh dipetik dan diteladani khasnya untuk orang-orang yang sering berhadapan dengan grassroot di daerah terpencil dan terisolir. Kalau kita saling menghormati, saling memohon maaf atas kekurangan dan kekhilafan, dan selalu mengedepankan husnuz zhan terhadap sesama muslim konon lagi dengan sesama penyeru kepada kebajikan.

Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Provinsi Aceh

Oleh Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
(Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Mengikuti hadits-hadits Rasulullah SAW terdapat sejumlah arahan terkait dengan akhlak seorang imam dalam memimpin shalat berjama’ah. Arahan-arahan tersebut semestinya diikuti dan diamalkan oleh para imam dalam memimpin shalat jama’ah baik di masjid, di rumah, di kantor dan di mana-mana karena itu semua menjadi bahagian dari kesempurnaan shalat berjama’ah di bawah kepemimpinan seorang imam. Oleh karenanya seorang imam harus memastikan shaf para ma’mum sudah rapat, rapi dan lurus serta tidak ada gangguan apapun selama berlangsungnya shalat berjama’ah termasuk gangguan dari anak-anak sebelum bertakbiratul ihram, demikianlah penjelasan makna hadits: shuuf shufufakum fainna tasfiyatashshufuufi min tamaamis shalaah/min iqaamatish shalaah. Selain menjaga kerapian ma’mum seorang imam juga harus menjaga kerapian diri sendiri seperti fasih dalam bacaan karenan Bahasa Al-Qur’an itu beda huruf beda makna, beda panjang pendek beda makna dan beda barispun beda makna. Maka sang imam jangan membuat para ma’mum tidak khusyu’ shalat karena tidak benar bacaannya. Di antara prihal arahan tersebut antarra lain adalah:
1. Imam memanjangkan raka’at pertama berbanding raka’at kedua dalam shalat berjama’ah, selaras dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri yang menceritakan: “iqamah shalat dzuhur sudah dikumandangkan lalu ada seorang yang berangkat ke Baqi’ untuk buang hajad kemudian mendatangi keluarganya dan berwudhuk. Seterusnya ia datang lagi ke masjid sedangkan Rasulullah SAW masih berada pada raka’at pertama karena beliau memanjangkan bacaannya.
Ada dua keadaan yang membuat seorang imam dibolehkan tidak mengikuti hadits ini karena keadaan yang membolehkannya, yaitu; pertama, jika perbedaan bacaan itu sangat tipis seperti membaca surah al-‘Akla pada raka’at pertama dan surah al Ghasyiyah di raka’at kedua dalam shalat Jum’at dan dua hari raya; yang kedua dalam kasus melaksanakan shalat khauf di mana separuh pasukan melaksanakan shalat berjama’ah dua raka’at bersama imam lalu dua raka’at lagi diselesaikan sendiri, sementara imam berada pada posisi duduk tahyat pertama dan kemudian pasukan kedua bergabung untuk berjama’ah dua raka’at juga, manakala imam memberi salam jama’ah terus menyelesaikan shalatnya dua raka’at lagi.
2. Meringankan shalat dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak terlalu Panjang selaras dengan hadits muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah r.a.; “Jika salah seorang di antara kamu mengimami orang-orang shalat berjama’ah hendaklah ianya memperingankan bacaan karena dalam jama’ah terdapat anak kecil, orang yang sudah tua, orang lemah, orang sakit, (dan orang yang mempunyai keperluan). Tetapi jika ia shalat sendirian bolehlah ia mengerjakannya semaunya. Dalam hadits dari Jabir bin Abdullah: Mu’az bin Jabal pernah shalat isya bersama Nabi SAW kemuadian ia kembali dan mengimami kaumnya. Dalam melaksanakan shalat isya bersama kaumnya Mu’az membaca surah al-Baqarah. Berita tersebut sampailah kepada Nabi SAW, lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’az apakah kamu ini tukang fitnah atau pemicu fitnah? Sebanyak tiga kali. Seandainya kamu shalat membaca: sabbihismarabbikal ‘akla…, wasy syamsi wa dhuhaha dan wal Laili iza yaghsya sesungguhnya di antara orang-orang yang shalat di belakangmu itu terdapat orang tua, orang lemah dan orang yang mempunyai keperluan”.
Bacaan ringan yang dituntun dalam mengimami shalat terbagi dua; pertama, tidak memanjangkan bacaan ayat Al-Qur’an apabila merasakan ada jama’ah yang lemah, sakit, tua atau para pedagang yang memerlukan waktu untuk berdagang, berdasarkan hadits: iza amma ahadukumun nas fal yukhaffif (jika mengimami shalat maka ringankanlah dalam bacaan); kedua, meringankan bacaan karena ada alasan mendesak seperti imam mendengar ada anak bayi menangis, hal ini sesuai dengan hadits dari Abu Qatadah: “Sesungguhnya aku akan berdiri dan memanjangkan bacaan dalam shalat karena mendengar seorang bayi menangis maka Aku meringankan bacaan shalatku karena tidak mau menyusahkan ibu bayi tersebut”.
3. Memanjangkan dua raka’at pertama dengan memendekkan dua raka’at terakhhir. Selaras dengan hadits dari Jabir bin Samurah r.a yang di dalamnya disebutkan bahwa Sa’ad r.a pernah berucap kepada Umar bin Khaththab: sesungguhnya aku akan shalat Bersama mereka seperti shalat Rasulullah SAW, yakni dengan memanjangkan dua raka’at pertama dan memendekkan dua raka’at terakhir. Aku tidak pernah memendekkan shalat karena aku mengikuti shalat Rasulullah SAW.
4. Setelah memberi salam imam menghadap wajahnya kehadapan ma’mum. Hal ini sesuai dengan hadits dari Samurah bin Jundab r.a yang mengatakan: Nabi SAW setelah selesai shalat lalu menghadapkan wajahnya kepada kami. Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul bari menjelaskan bahwa membelakangi ma’mum adalah hak imam ketika sedang mengimami shalat, maka untuk menghilangkan kesombongan selepas shalat imam harus menghadap kepada ma’mum.
5. Imam tidak boleh mengimami suatu kaum kecuali atas izin kaum tersebut dan tidak dibolehkan berdo’a untuk diri sendiri yang diamini ma’mum, selaras dengan hadits dari Abu Hurairah: tidak dibolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari aakhir untuk mengimami suatu kaum kecuali dengan seizin mereka. Tidak pula mengkhususkan do’a hanya untuk diri sendiri tanpa mempedulikan mereka. Jika dia melakukan hal tersebut berarti dia telah mengkhianati mereka.
6. Imam tetap tinggal sebentar di tempatnya setelah mengucapkan salam. Berdasarkan dari hadits Ummu Salamah: “Jika Rasulullah SAW sudah mengucapkan salam, kaum wanitapun berdiri, sementara beliau diam sejenak sebelum berdiri. Dalam lafaz lain: Beliau mengucapkan salam lalu kaum wanita berbalik dan masuk kerumah mereka masing-masing sebelum Rasulullah SAW berbalik. Ibnu Syihab berkata: Aku melihat, wallahu ‘aklam, menetapnya beliau di tempat shalatnya dimaksudkan agar kaum wanita sudah beranjak pergi sebelum mereka dilihat oleh orang-orang ketika mereka berbalik. Ibnu Hajar menafsirkan hadits tersebut untuk menjaga iman seseorang dan menjaga tidak terjadi ikhtilath dalam perjalanan pulang dari masjid antara lelaki dengan Perempuan.
7. Imam berdiri duluan untuk meninggalkan arena shalat baru disusul oleh ma’mum. Berdasarkan hadits Nasa-i: kaum wanita segera bangun dan pergi setelah Rasulullah SAW selesai salam dalam shalat, kemudian Nabi bangkit baru disusuli oleh jama’ah lelaki.
8. Tidak mengerjakan shalat sunnat di tempat yang digunakan shalat wajib. Ini sesuai dengan yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah: seorang imam tidak boleh mengerjakan shalat sunnat di tempat ia mengerjakan shalat wajib hingga dia berpindah.
9. Imam dianjurkan membuat sutrah di depannya sebagai pembatas dengan pihak lain yang berlalu di sana, sutrah tersebut menjadi pembatas baginya dan makmum di belakangnya. Hal ini selaras dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudri: “Jika seseorang kamu mengerjakan shalat, hendaklah ia menghadap kepada sutrah dan mendekat kepadanya.
10. Posisi seorang imam tidak berada pada tempat yang terlalu tinggi dari posisi makmum. Hal ini diterangkan dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/48) dan dalam Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu Utsaimin (IV/423-426).
11. Seorang imam juga tidak dibolehkan shalat di tempat yang tertutup untuk makmum, hal ini diterangkan dalam kitab Al-Mushannaf karya Ibnu Abu Syaibah (II/59-60) dan juga dalam Asy-Syarhul Mumti’ (IV/427-428).
12. Imam tidak terlalu lama duduk menghadap qiblat setelah mengucapkan salam. Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah yang menyatakan: setelah salam Nabi tidak duduk lama kecuali seukuran selesai mengucapkan do”: Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya zal jalali wal ikram.
13. Untuk memelihara kemuslihatan makmum dengan cara tidak boleh bertentangan dengan sunnah. Sebagaimana keterangan hadis dari Jabir; Nabi senantiasa memelihara kemuslihatan jama’ah dengan mengakirkan shalat ‘isya jika para shahabatnya belum berkumpul untuk shalat berjama’ah. Kata Jabir: shalat ’isya itu tidak selalu dikerjakan pada awal waktu, jika Nabi melihat para shahabat sudah berkumpul baru Beliau melaksanakan shalat jika para shahabat belum berkumpul Nabi mentakkhirkan shalat.
14. Setelah mengucapkan salam, imam hendaklah menghadap jama’ah baik berpaling kearah sebelah kanan maupun kekiri. Keterangannya Nabi pernah menghadap ke arah jama’ah setelah salam dengan memalingkan kearah kanan dan juga kearah kiri, artinya kedua-duanya boleh dilakukan karena Nabi pernah melakukan demikian. Keterangan tersebut didasarkan kepada hadis dari Abdullah ibnu Mas’ud, Imam Muslim menyebutkan bahwa Nabi lebih banyak berpaling kearah kanan berbanding kearah kiri dan banyak keterangan hadis yang sering Nabi berpaling kearah kana menghadap makmum.


Shahih Muslim, kitab Ash-Shalah bab al-Qira ah fidz Dzuhri wal ‘ashar no. 454.
Imam Bukhari, Kitab Ash-Shalah hadits no. 703, Imam Muslim, Kitab Ash-Shalah hadits no. 467.
Imam Bukhari, Kitab al-Azan hadits no. 703. Imam Muslim, kitab ash-Shalah, hadits no. 465.
Muttafaqun ‘alaih, Bukhari no. 703 dan Muslim no. 467.
Bukhari, kitab al-Azan, hadis no. 770 dan Muslim dalam kitab ash-Shalah, hadits no. 453.
Bukhari, kitab al-Azan, hadits no. 845.
Hadits Abu Dawud no. 91, Tirmizi no. 357.
Bukhari, kitab al-Azan, hadits no. 837, 849, 850.
An-Nasa-I, kitab as-Sahwi, hadits n0. 1333
Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalah, hadits no. 616, Ibnu Majah dalam kitab Ash-Shalah, hadits no. 1428
Sunan Abu Daud (I/135)
Shahih Muslim, kitab Al-masajid, bab istihbaabuz zikri bakdash shalah wa bayaanu shifatihi, no. 591.
Shahih Bukhari no. 560 dan Shahiih Muslim no. 646.

Prof. Syabuddin Gade

Oleh: Al-Faqir Syabuddin Gade

I. Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia, cinta adalah kekuatan yang mampu menggerakkan jiwa, membentuk tindakan, dan menetapkan arah hidup. Namun, Islam tidak membiarkan cinta menjadi liar tanpa kendali. Allah menempatkan cinta sejati hanya kepada-Nya dan menjadikan cinta kepada selain-Nya tunduk pada cinta kepada-Nya. Dua ayat dalam Al-Qur’an yaitu Surah Al-Baqarah ayat 165 dan Surah Ali Imran ayat 31 mengungkapkan pentingnya memurnikan cinta kepada Allah dan membuktikan cinta tersebut dengan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ.

II. Teks dan Terjemahan Ayat

1. Surah Al-Baqarah: 165

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًۭا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّۭا لِّلَّهِ ۗ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)

2. Surah Ali Imran: 31

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

III. Sebab Nuzul

1. Surah Al-Baqarah: 165

Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, ayat ini turun berkaitan dengan kaum musyrikin yang menyembah berhala dan mencintai sesembahan mereka seperti mencintai Allah. Mereka memberi nama kepada berhala mereka dengan nama-nama Allah dan merasa bahwa berhala itu dapat memberi syafaat atau manfaat, sebagaimana Allah.

2. Surah Ali Imran: 31

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa ayat ini turun ketika sekelompok orang Arab mengaku mencintai Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai ujian kejujuran cinta mereka, yaitu dengan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ sebagai satu-satunya bukti nyata cinta kepada Allah.

IV. Munasabah (Keterkaitan) Antara Keduanya

Kedua ayat ini membahas tentang cinta kepada Allah, namun dari dua sudut pandang:

QS. Al-Baqarah: 165 menggambarkan kesalahan manusia dalam menempatkan cinta—mereka menyamakan cinta kepada selain Allah dengan cinta kepada Allah.

QS. Ali Imran: 31 memberikan solusi dan panduan praktis: jika benar mencintai Allah, maka ikutilah Rasul-Nya.

Jadi, Al-Baqarah 165 adalah peringatan, sedangkan Ali Imran 31 adalah bukti dan syarat cinta yang benar. Munasabah ini menunjukkan bahwa iman sejati tidak hanya menghindari kesyirikan dalam cinta, tapi juga membuktikannya dengan ketaatan total kepada Rasulullah ﷺ.

V. Isi Kandungan Ayat

1. QS. Al-Baqarah: 165

Larangan menyekutukan Allah dalam cinta dan penghambaan.

Cinta sejati hanya milik Allah dan tidak boleh disejajarkan dengan cinta kepada makhluk.

Orang-orang beriman mencintai Allah lebih dalam dibandingkan kaum musyrikin mencintai berhala mereka.

Iman memperkuat cinta kepada Allah, sedangkan syirik melemahkannya dan menyimpangkannya.

2. QS. Ali Imran: 31

Cinta kepada Allah harus dibuktikan dengan mengikuti Rasulullah.

Ketaatan kepada Nabi ﷺ adalah bukti konkret cinta, bukan sekadar pengakuan lisan.

Jika mengikuti Rasulullah, maka Allah akan mencintai kita (balasan cinta dari Allah) dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita. Hal ini menunjukkan bahwa jalan menuju cinta dan ampunan Allah adalah dengan mengikuti dan mentaati Sunnah Rasulullah SAW.

VI. Tafsir dan Pandangan Ulama

1. Tafsir Ibnu Katsir

Tentang Al-Baqarah 165, Ibnu Katsir mengatakan bahwa “tandingan” yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dicintai dan ditaati sebagaimana Allah, seperti berhala, tokoh, bahkan hawa nafsu.

Tentang Ali Imran 31, ia menegaskan bahwa ayat ini adalah ujian bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah: jika benar, maka buktikan dengan ittiba’ kepada Rasulullah ﷺ.

2. Tafsir Al-Qurthubi

Beliau menafsirkan bahwa cinta yang dimaksud adalah cinta pengagungan, bukan sekadar afeksi. Maka menyamakan cinta makhluk dengan cinta kepada Allah adalah bentuk kesyirikan.

Dalam Ali Imran 31, Al-Qurthubi menegaskan bahwa tanpa ittiba’ kepada Nabi, cinta kepada Allah adalah kosong dan palsu.

3. Imam Hasan Al-Bashri

Beliau berkata:
“Ada sekelompok kaum yang mengaku mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini (Ali Imran: 31).”
Dengan kata lain, mengikuti Nabi adalah syarat cinta yang sah.

VII. Hadis Pendukung

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah salah seorang dari kalian beriman hingga aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memperkuat ayat Ali Imran: 31, bahwa mengikuti Rasulullah lahir dari cinta yang mendalam dan menjadi syarat kesempurnaan iman.

VIII. Penutup

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa cinta kepada Allah bukan hanya soal perasaan, tetapi harus dibuktikan melalui penghambaan yang benar dan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ. Menyamakan cinta kepada selain Allah dengan cinta kepada-Nya adalah bentuk kesyirikan yang merusak iman. Sedangkan cinta sejati kepada Allah akan menuntun seseorang pada jalan Rasulullah, yang berujung pada cinta dan ampunan dari Allah. Wa Allahu A’lam.

Oleh Prof. Dr. Muhammad, M. Ed

Kemerdekaan bukanlah untuk memberi amnesti dan pembebasan kepada koruptor dan para pelaku dosa terhadap rakyat dan negara. Konon lagi memberi pengampunan kepada mereka yang telah menipu rakyat banyak, akan tetapi berilah kemerdekaan kepada orang-orang yang ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara oleh lawan-lawan politiknya yang belum tentu bersalah. Karena kebanyakan pengadilan memutuskan perkara sesuai pesanan dan selera para pemegang kendali negara.

Oleh kerana itu hari kemerdekaan Republik Indonesia hari ini seharusnya membebaskan orang-orang yang dipenjara oleh rezim Jokowi bukan karena kesalahannya tetapi karena tidak mau mengikuti telunjuknya, karena tidak sealiran dengannya. Misalnya memerdekakan Setya Novanto atas tuduhan E-KTP dari penjara perlu ditinjau ulang karena ia seharusnya bukan pengampunan yang harus diberikan, akan tetapi dimiskinkan sampai ke titik nadir. Ini pelajaran penting bagi penjarah uang negara dan uang rakyat, “no bargain” terhadap mereka karena mereka tidak punya hati nurani dalam memiskinkan rakyat 230 juta demi memperkaya diri dan kroni-kroninya. Lalu kepada orang semacam ini diberi amnesti dan pemotongan masa tahanan, malah sebelumnya afa yang pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran selama dalam masa penahanan.
Orang
Presiden Prabowo seharusnya harus adil dan bijak dalam memberikan amnesti kepada narapidana, misalnya koruptor, narkoba, pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat-pengkhianat lainnya. Kemerdekaan harus diberikan kepada kaum tertindas, kaum fakir miskin agar mereka terbebas dari belenggu para tiran dan majikan yang biadab, dan bebas dari kelaparan dan kepapaan. Kalau ini bisa dilakukan oleh para pengendali negara, maka inilah kemerdekaan yang hakiki yang perlu dilaksanakan.

Orang sangat merasa risih dan sangat sakit hati kalau yang dibebaskan itu adalah koruptor yang melahap uang negara triliunan dan milyaran, pembunuh yang tidak berperi kemanusiaan, pemerkosa anak-anak dan perempuan, hakim dan jaksa yang menerima uang suap, polisi yang curang, tentara yang tidak setia kepada negara dan taat hukum, akan tetapi terapkan hukum kepada mereka hingga jera yang kuat harus dilemahkan hingga lunglai, yang kaya harus dimiskinkan, yang memperkosa harus dikebiri, dan yang berlaku tidak adil dan suka menerima dan minta suap harus dijadikan mereka menjadi pengemis. Itulah hukum yang sebanding dan inilah yang namanya qishas. Ini baru merdeka dalam pandangan masyarakat kelas bawah.
Kemerdekaan bukan hanya slogan kosong dan lomba panjat pinang, dan serba pertandingan lainnya. Akan tetapi kemerdekaan adalah renungan penuh makna disertai doa kepada para syuhada dan pahlawan. Kemerdekaan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dianugerahkan Allah kepada negara dan bangsa ini. Kita harus merdeka dari kebodohan dan kemiskinan serta informasi yang seluas-luasnya tanpa harus ditutup-tutupi. Ini baru merdeka.
Kita harus diberikan kemerdekaan juga dalam hal memberikan usul dan perbaikan pemerintah, dan jangan dianggap mengkritik pemerintah tetapi memberikan masukan agar kalau ada kekurangan dan ketimpangan cepat ditanggulangi, karena itu para Raja baik diperingkat Kabupaten, kota provinsi hingga pusat tidak alergi dengan kritikan yang datang dari rakyat bawah. Para raja tidak wajib mendengar bisikan bisikan yang berasal dari sekelilingnya saja yang hanya menyajikan berita yang manis sementara berita yang menyakitkan dan penderitaan rakyat banyak disembunyikan.

Marilah kita maknai kemerdekaan ini secara arif dan bernilai agar maksud dan tujuan kemerdekaan tidak salah paham bagi orang- orang yang sedang mengelola negara, adil dan bijaklah dalam berbuat serta berkuasa terhadàp rakyat yang tidak berdosa menjadi korban ketidakadilan kita sebagai pengendali negara. Letakan sesuatu pada tempatnya, jangan selalu melihat ke atas tetapi sesekali lihat ke bawah dan semakin banyak melihat ke bawah semakin baik dan selamat. Pengkhianat tidak perlu dipuji dan disanjung. Yang berhak dipenjara jangan dimerdekakan, dan yang berhak bebas tak perlu dipenjarakan. Inilah makna kemerdekaan dalam perspektif “lay man”.

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR.M.Ed

Bangsa Indonesia hari ini (Ahad tanggal 17 Agustus 2025) telah genap 80 tahun merayakan hari kemerdekaannya. Artinya bangsa ini telah 80 tahun merdeka dari penjajah yang tidak punya peri kemanusiaan dan tidak beradab dari segi nilai kemanusiaan. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang Indonesia mensyukuri nikmat Allah yang sangat besar ini dan tidak lupa mendoakan kepada segenap roh para pahlawan dan syuhada yang telah berjuang mati-matian demi bangsanya. Inilah bangsa yang mempunyai rasa syukur kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa)
dan jasa para pahlawan.

Merah putih merupakan bendera bangsa dan Inilah penyebab para pahlawan dan para syuhada rela nyawa dan hartanya melayang tanpa perlu mendapat pujian dan ganti rugi. Bendera bangsa ini bukan hanya harus dijunjung tinggi oleh TNI-POLRI saja, akan tetapi oleh semua anak bangsa tanpa kecuali bagi yang sudah berbangsa Indonesia, bertanah air Indonesia dan berbahasa Indonesia. Ingatlah jasa dan perjuangan mereka para pendiri bangsa, jangan sampai anda menjadi anti terhadàp sejarah bangsa hingga menghilangkan pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan bangsa. Ini adalah bentuk pengkhianat terhadap bangsa dan juga kepada orang-orang yang mengutamakan bendera-bendera lainnya.

Namun sekarang berlomba-lomba menaikkan bendera sendiri seperti one piece dan bendera-bendera partanya, bendera-bendera organisasinya, dan bendera-bendera lainnya karena mungkin tidak lagi senang dengan bendera bangsanya. Kalau tidak senang kepada pemerintah, bukan benderanya yang diboikot tetapi pemerintahnya yang harus diperbetulkan. Sebab kalau kita yang memerintah nanti sang saka merah putih itu juga yang kita pertahankan. Kalau pemerintah dan aparat negara tidak menjalankan keadilan, khususnya dalam menegakkan hukum secara adil, tidak berkeadilan dalam pengusaan dan distribusi hasil bumi, keadilan ekonomi, sosial, pendidikan dan pekerjaan kepada anak bangsa. Maka sama saja bagi mereka adalah termasuk orang-orang yang tidak tahu berterima kasih.

Orang yang tahu berterimakasih adalah zelalu bertanya “apa yang seharusnya kuberikan kepada negara bukan sebaliknya berapa banyak harta negara yang dikorupsi” . Kalau begini kelakuannya itu adalah pengkhianat negara, jadi gak perlu jauh dan sukar untuk mencari pengkhianat negara. Mereka ada di tengah-tengah kita tinggal mereka ditangkap dan dijebloskan ke Nusakambangan semuanya. Inilah cara yang harus ditempuh oleh Raja yang adil sebagai cara mensyukuri nikmat.

Jadi jangan salah cara menikmati hari kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kemerdekaan. Lihat bagaimana Umar bin Khattab memimpin sehingga orang misikin dan fakir-pun ditemukan karena Dia ketika habis shalat malam, mengunjungi rumah-rumah rakyatnya untuk memastikan apakah mereka makan atau berpuasa berhari-hari. Sehingga harta negara dan baitul maal harus menyantuni mereka semua. Jadi uang negara atau harta negara harus diberikan kepada anak bangsa yang membutuhkannya tidak mengendap dikantong-kantong conglomerat, penguasa dan baital maal. Orang kaya miskin disisi Umar bin Khattab dan orang miskin merasa kaya, orang kuat merasa lemah, dan orang lemah merasa kuat dihadapan mahkamahnya. Ini termasuk menyukuri nikmat dengan menjalankan keadilan yang merata tanpa pandang bulu.

Islam mengajarkan kita berterima kasih melalui ketaatan kepada Allah artinya mengerjakan semua suruhan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, ini sebagai bukti perhambaan kepada Allah dan sekaligus menyukuri nikmat. Kalau ini kita lakukan baik ummat Islam ataupun non muslim maka ini sudah dianggap mensyukuri nikmat.

Oleh: Afrizal Refo, MA

Dua puluh tahun telah berlalu Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati menandatangani sebuah perjanjian bersejarah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di sebuah ruang bersejarah di Helsinki, Finlandia. Perjanjian itu menutup lembaran kelam konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu orang dan memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Tanggal 15 Agustus 2005 itu bukan sekadar lembaran perjanjian di atas kertas, melainkan ikrar jiwa bahwa peluru akan berhenti berbicara dan suara-suara nurani akan mengambil alih. MoU Helsinki menjadi tanda lahirnya kembali Aceh sebagai tanah yang merindukan pelukan, bukan ledakan tapi tanah rencong yang menebar senyum, bukan luka.

Sebelum hari itu, Aceh adalah hamparan tanah yang kerap basah bukan hanya oleh hujan, tapi juga oleh darah. Pekikan ibu yang kehilangan anaknya, isak anak yang kehilangan ayahnya, dan tatapan kosong mereka yang rumahnya musnah menjadi bagian dari nyanyian kelam masa lalu. Jalan-jalan dipenuhi pos-pos pemeriksaan, hutan-hutan menyimpan dentuman senjata, dan malam tak pernah benar-benar sunyi.

MoU Helsinki memutus rantai itu. Sejak hari itu, dentuman yang terdengar di Tanah Rencong bukan lagi ledakan senjata, melainkan denting cangkul di sawah, suara gelak tawa anak di sekolah, dan lantunan azan yang menggema tanpa rasa takut. Desa-desa yang dulu porak-poranda mulai berbenah, sawah kembali menghijau, pasar kembali ramai, dan wajah-wajah yang dulu tegang kini mulai berani tersenyum pada orang asing.

Kini, dua dekade telah berlalu. Damai masih bersemi di Serambi Mekah meski tak selalu tanpa ujian. Dua puluh tahun ini adalah waktu yang cukup panjang untuk menilai sejauh mana perjanjian itu dihidupi, diimplementasikan, dan diwariskan kepada generasi baru Aceh

Namun, damai bukanlah hadiah yang bisa disimpan begitu saja di lemari sejarah. Damai adalah taman yang harus disiram, dipangkas, dan dijaga dari duri-duri yang siap tumbuh kapan saja. Dua dekade ini mengajarkan bahwa menghentikan perang jauh lebih mudah daripada merawat perdamaian. Senjata bisa dikubur, tapi rasa curiga dan luka batin butuh waktu untuk sembuh.

Di balik pembangunan yang terlihat Aceh masih menyimpan pekerjaan rumah. Dana melimpah dari otonomi khusus belum sepenuhnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan merata. Ada desa yang makmur namun ada pula yang masih bertahan di pinggir kemiskinan. Ada anak muda yang sukses memimpin, namun tak sedikit yang terjebak pengangguran dan kehilangan arah. Korupsi sesekali merusak citra pemimpin seperti noda di kain putih perdamaian yang kita banggakan.

Meski begitu, tak ada yang bisa menyangkal bahwa Aceh hari ini jauh berbeda dari Aceh dua dekade silam. Pemuda-pemuda kini bisa beraktivitas bekerja seperti pergi kesawah atau menuntut imu tanpa takut suara mereka tertelan deru tembakan. Perempuan-perempuan bisa menjahit di teras rumah sambil bercengkerama dengan tetangga tanpa khawatir suara itu menjadi tanda bahaya. Dan para mantan kombatan kini bisa duduk berdampingan dengan mantan lawan politiknya di meja rapat membicarakan masa depan bukan masa lalu.

Dua dekade ini juga memberi pelajaran bahwa perdamaian harus terus dipelajari dan diwariskan. Generasi yang lahir setelah 2005 mungkin hanya mengenal perang dari buku dan cerita. Mereka tak pernah merasakan dinginnya tidur di hutan untuk menghindari baku tembak. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menyembunyikan saudara di kolong rumah. Karena itu, sejarah harus terus diceritakan bukan untuk membuka luka lama tetapi untuk mengajarkan harga mahal dari sebuah damai.

Kini, di Tanah Rencong, kita punya pilihan membiarkan damai ini berjalan di jalannya sendiri, atau merawatnya dengan sepenuh hati. Kita bisa mengisinya dengan pembangunan yang adil dengan pemerintahan yang bersih dengan ekonomi yang menghidupi rakyat dari desa hingga kota. Kita bisa mengajarkan kepada anak-anak bahwa damai bukan sekadar tiadanya perang, tapi hadirnya rasa aman, rasa dihargai, dan kesempatan yang sama untuk semua.

Aceh punya segalanya untuk menjadi contoh bagi dunia berupa alam yang kaya, budaya yang kokoh, dan sejarah yang mengajarkan betapa berharga hidup tanpa perang. Tinggal bagaimana kita, anak-anak yang lahir dari rahim damai ini mampu menjaganya dari tangan-tangan yang mungkin mencoba merenggutnya kembali.

Dua puluh tahun MoU Helsinki adalah pencapaian besar. Tidak banyak wilayah di dunia yang berhasil mempertahankan perdamaian begitu lama setelah konflik bersenjata. Tetapi, seperti taman yang indah, damai memerlukan perawatan terus-menerus. Jika dibiarkan tanpa perhatian, ia bisa dipenuhi gulma yang mengganggu keindahannya.

Dua puluh tahun MoU Helsinki bukanlah akhir dari perjalanan. Ia hanyalah sebuah jeda panjang dari masa lalu yang kelam, sebuah kesempatan untuk menulis bab-bab baru yang lebih indah. Jika dulu kita rela berkorban demi merdeka dari derita perang, maka kini kita harus rela berkorban demi merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.

Tanah Rencong telah mengajarkan pada dunia bahwa peluru bisa diganti dengan kata, bahwa luka bisa disembuhkan dengan pelukan, dan bahwa dendam bisa dikalahkan oleh doa. Mari kita terus menjaga agar pelajaran ini tak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi menjadi napas kehidupan setiap hari. Karena damai yang kita miliki hari ini adalah warisan, dan warisan hanya berarti jika dijaga untuk generasi berikutnya.

Dua dekade MoU Helsinki adalah cermin. Di dalamnya, kita bisa melihat betapa jauh kita telah berjalan, dan betapa panjang jalan yang masih harus ditempuh.

Aceh telah membuktikan bahwa luka masa lalu bisa disembuhkan dengan keberanian untuk berdamai. Tantangan kita kini adalah memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi bukan hanya tanah yang subur dan kaya budaya, tetapi juga negeri yang damai, adil, dan sejahtera. Dua dekade MoU Helsinki adalah pengingat bahwa perdamaian adalah hadiah yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan. Semoga ketika dua dekade berikutnya tiba, kita masih bisa berkata dengan bangga: Damai ini adalah pilihan kita, dan kita menjaganya dengan sepenuh hati.

Penulis : Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa dan Ketua Komunitas Generasi Rabbani Langsa

Oleh: Afrizal Refo, MA

Aktivis Pendidikan dan Pemerhati Anak

Setiap Tanggal 23 Juli kembali mengingatkan kita akan pentingnya memuliakan dan melindungi hak-hak anak melalui peringatan Hari Anak Nasional (HAN). Setiap tahun peringatan ini menjadi pengingat bahwa masa depan bangsa terletak pada kualitas anak-anak hari ini. Namun di saat peringatan Hari Anak Nasional kita juga harus berani melihat kenyataan bahwa anak-anak Indonesia termasuk di Aceh menghadapi tantangan besar di era digital yang berkembang sangat cepat.

Anak-anak saat ini tumbuh dalam era di mana teknologi menjadi bagian dari kehidupan sejak usia dini. Mereka belajar, bermain, bahkan bersosialisasi melalui gawai dan internet. Sayangnya, tidak semua anak mendapatkan bimbingan yang cukup dalam mengakses dunia digital yang luas dan tak berbatas itu. Maka dari itu momentum Hari Anak Nasional harus menjadi panggilan bagi semua pihak yaitu orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat untuk bersatu membekali anak-anak agar bijak menggunakan teknologi sejak dini.

Dunia digital bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Ini adalah bagian dari kehidupan modern yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana. Banyak manfaat dari teknologi bagi anak-anak, mulai dari aplikasi belajar interaktif, video edukatif, hingga akses informasi yang luas. Tapi di sisi lain teknologi juga menyimpan risiko besar jika digunakan tanpa pendampingan seperti kecanduan gawai, konten negatif, pergaulan bebas daring, cyberbullying, hingga eksploitasi online.

Kita sebagai orang dewasa khususnya para pendidik dan orang tua tidak bisa hanya menyalahkan anak atau melarang mereka menggunakan teknologi. Tugas kita adalah membimbing, mendampingi, dan mengarahkan agar anak-anak memahami bahwa teknologi adalah alat, bukan pelarian. Teknologi adalah sarana belajar dan berkarya, bukan tempat untuk tersesat.

Sebagai aktivis pendidikan saya sering menyaksikan betapa banyak anak-anak di sekolah dasar hingga menengah yang mengalami penurunan konsentrasi belajar, ketidakmampuan bersosialisasi secara sehat, bahkan gangguan emosi akibat penggunaan gawai yang berlebihan. Banyak dari mereka yang kecanduan game online, terpapar konten dewasa, atau aktif di media sosial tanpa kontrol yang memadai.

Hal ini menandakan bahwa pendidikan karakter berbasis digital sangat mendesak untuk diterapkan. Anak-anak perlu diajarkan bukan hanya cara mengoperasikan teknologi tapi juga bagaimana menggunakan teknologi secara sehat, aman, dan bertanggung jawab.

Sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai akhlak, etika bermedia, dan tanggung jawab digital. Guru tidak hanya dituntut menguasai IT, tetapi juga harus mampu membimbing anak membangun literasi digital yang sehat.

Peran Keluarga, Sekolah, dan Pemerintah

Keluarga adalah benteng utama dalam membentuk karakter dan kebiasaan anak dalam menggunakan teknologi. Orang tua perlu menjadi role model dalam penggunaan gawai. Jangan sampai anak diminta menjauh dari gawai sementara orang tua sendiri terus asyik dengan ponsel di hadapannya.

Lebih dari itu orang tua perlu aktif memberikan edukasi digital, menjelaskan mana konten yang baik dan buruk, serta menetapkan aturan waktu dan batasan penggunaan gawai. Bukan sekadar melarang tetapi mengajak anak berdialog dan memahami dampak dari teknologi dalam kehidupan mereka.

Sekolah juga memegang peranan krusial dalam membekali anak dengan keterampilan literasi digital yang sehat. Tidak cukup hanya mengajarkan penggunaan teknologi sebagai alat bantu belajar, tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab digital.

Program pendidikan karakter harus terintegrasi dengan pembelajaran teknologi. Anak-anak perlu belajar tentang pentingnya jejak digital, privasi online, serta etika berkomunikasi di media sosial. Guru tidak lagi hanya menjadi pengajar, tetapi juga fasilitator dan pembimbing dalam menjelajahi dunia maya dengan aman.

Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kominfo, dan Kemendikbudristek, memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan regulasi dan fasilitas yang melindungi anak-anak di ruang digital. Penguatan regulasi terhadap konten negatif, penyediaan platform edukatif anak, serta kampanye nasional tentang literasi digital harus menjadi agenda prioritas.

Selain itu, komunitas masyarakat, organisasi keagamaan, dan LSM juga bisa berkontribusi dalam mengadvokasi penggunaan teknologi secara sehat. Forum parenting digital, pelatihan guru, hingga kegiatan kampanye sadar gadget di sekolah dan masjid bisa menjadi gerakan sosial yang efektif.

Waspadai Pergaulan Bebas Virtual

Salah satu tantangan yang semakin mengkhawatirkan adalah pergaulan bebas melalui media sosial. Banyak anak-anak yang berkenalan dengan orang asing, bahkan menjalin hubungan asmara virtual yang tak sehat sejak usia dini. Fenomena ini kerap terjadi secara diam-diam karena orang tua dan guru sering tidak menyadarinya.

Di Aceh dengan identitas sebagai provinsi bersyariat ini menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat kita harus peka terhadap fenomena ini bukan hanya dengan melarang dan menghukum tetapi dengan mendidik dan menguatkan akhlak serta spiritualitas anak-anak kita. Inilah inti dari syariat Islam membina, bukan hanya membatasi.

Momentum Hari Anak Nasional 2025 seharusnya menjadi panggilan untuk melahirkan generasi anak Aceh dan Indonesia yang bukan hanya cakap teknologi tetapi juga kuat karakter dan nilai agamanya. Kita ingin anak-anak tidak hanya menjadi konsumen teknologi tetapi juga produsen konten positif, inovator, dan pemimpin masa depan.

Anak yang bijak digital adalah anak yang bisa memilah mana konten bermanfaat dan mana yang berbahaya, mana informasi valid dan mana hoaks, mana pergaulan sehat dan mana yang menjerumuskan. Untuk mencapai itu, kita butuh pendekatan kolaboratif antara pendidikan formal, keluarga, masyarakat, dan negara.

Penutup
Peringatan Hari Anak Nasional bukanlah sekadar perayaan tahunan. Ini adalah alarm bagi semua pihak untuk mengambil bagian dalam perjuangan besar menyelamatkan dan membentuk masa depan anak-anak kita di tengah gempuran era digital. Kita tidak bisa hanya berharap pada sekolah atau pemerintah. Kita semua bertanggung jawab.
Mereka bukan hanya penerus, tapi juga pembaru. Namun mereka tidak bisa berjalan sendiri. Mereka butuh tangan yang membimbing, suara yang menenangkan, dan teladan yang menginspirasi.

Selamat Hari Anak Nasional 2025. Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Anak Cerdas Digital, Aceh Bermartabat.

Penulis adalah Dosen PAI IAIN Langsa dan Sekretaris Umum Dewan Dakwah Kota Langsa.

Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

Oleh Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
(Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)


Aceh merupakan satu wilayah yang luasnya 58.377 km2 yang terletak dihujung barat Pulau Sumatera. Suatu masa dahulu di zaman Sultan Iskanda Muda Meukuta Alam ia merupakan satu negara berdaulat yang berhubungan diplomatik langsung dengan Khilafah Utsmaniyah di Turki dan diperhitungkan kekuatan militer dan persenjataannya oleh negara-negara di Eropa.

Kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam (KAD) zaman Iskandar Muda berkisar dalam abat ke-17 sekitaran tahun 1607 – 1636, dalam masa tersebut Iskandar Muda berjaya mengusir penjajah Portugis, berjaya memperluas wilayah sampai ke semenanjung Malaysia dan hampir seluruh Pulau Sumatera, Berjaya menjadikan Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijmak dan Qiyas sebagai sumber hukum negara KAD dan berhasil menjalankan Syari’ah (Hukum Islam) dalam negara sebagai hukum negara.

Wilayah tersebut kemudian diporak-porandakan oleh penjajah Belanda ketika Belanda menjajah Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan wilayah lainnnya yang kini dijadikan Republik Indonesia. Penjajahan tersebut dapat menguasai seluruh wilayah yang diklaim Indonesia hari ini tetapi tidak dengan Aceh, Aceh tidak pernah menyerah kalah terhadap Belanda sehingga ia berdiri tegak yang kemudian menjadi penyelamat Indonesia yang nyawanya sudah di kerongkongan pada bulan Desember 1948.

Sebagai mantan sebuah negara dan insya Allah akan menjadi sebuah negara kembali tentunya banyak jasanya yang diberikan kepada pihak lain, demikian juga banyak jasa pihak lain yang diterimanya. Salah satu pihak yang saling memberi dan menerima jasa Aceh adalah Republik Indonesia yang tiada dasar kenegaraannya, tiada dasar hukum negaranya dan tiada komunitas aslinya serta tiada hukum, adat dan peradabannya. Yang ada adalah milik kerajaan-kerajaan yang pernah wujud di Nusantara seperti Kerajaan Aceh, Kerajaan Deli, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mojopahit, Kerajaan Ngurah Rai, Kerajaan Kutai dan lainnya. Lalu dari mana negara Indonesia itu datang?

Indonesia merupakan sebuah wilayah bekas jajahan Belanda yang dahulu diberi nama Pemerintahan Hindia Belanda dan ketika ia mau merdeka berobah namanya menjadi Indos Nesos, dari Indos Nesos inilah kemudian berubah menjadi Indonesia yang wilayahnya ditetapkan bekas wilayah jajahan Belanda dari Sabang sampai Marouke. Dengan demikian Indonesia ini merupakan sebuah negara peukheb-peukheb (negara adonan) yang tidak memiliki akar tunggal, tidak memiliki pemilik azasi, tidak memiliki regulasi asli melainkan semuanya titipan dan formatan penjajah Belanda yang dikawal, dipelihara dan dijarah oleh kuasa besar dunia sampai hari ini.

Terkait hubungan Aceh dengan Indonesia yang saling memberi dan menukar jasa semenjak Indonesia belum ada sampai Indonesia ada, Indonesia berkuasa, dan wujud dalam peta dunia sangat romantis sekali, sekaligus sangat angker sekali.

Kenapa romantis? Karena keikhlasan Aceh habis-habisan membantu Indonesia, dan kenapa angker? Karena Indonesia habis-habisan mengkhianati, memperkosa, merampas, dan membunuh Aceh tanpa perikemanusiaan dari dahulu samapai sekarang. Untuk konkritnya informasi ini mari kita lihat secara objektif pertukaran jasa antara Aceh dengan Indonesia.

JASA ACEH UNTUK INDONESIA

Dalam rentetan waktu antara jajahan dan kemerdekaan ketika wilayah Hindia Belanda masih dipimpin dan dikuasai oleh penjajah Belanda, Aceh sudah lebih awal menanam jasa untuk wilayah tersebut berbanding dengan wilayah-wilayah lain yang kini sama-sama menjadi bahagian Republik Indonesia.

Jasa-jasa Aceh tersebut betul-betul tidak tertandingi oleh mana-mana wilayah selain Aceh di Indonesia, di antara jasa-jasa Aceh tersebut adalah:

1. Perlawanan Aceh terhadap penjajah Belanda untuk kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Teungku Syhik Muhammad Saman di Tiro, Teuku Umar Djohan Pahlawan, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh;

2. Pemberian uang untuk membeli dua pesawat terbang pertama oleh Aceh kepada Indonesia yang kemudian menghasilkan pesawat terbang bernama; Seulawah I dan Seulawah II. Dua pesawat C-47 Dakota tersebut kemudian diganti nama oleh penguasa Indonesia menjadi Garuda Indonesia Airways.

Kisah heroik ini berawal dari kedatangan Soekarno sebagai presiden Indonesia ke Aceh pada 16 Juni 1948 yang meminta bangsa Aceh membantu membeli pesawat terbang untuk Indonesia. Tak tunggu esok-lusa Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sebagai ulama dan Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo segera mengumumkan niat baik tersebut kepada seluruh bangsa Aceh. Hasilnya, keesokan hari tanggal 17 Juni 1948 bangsa Aceh beramai-ramai mengumpulkan uang, emas, padi, hayawan, tanah dan lainnya yang dikordinir oleh M. Djuned Joesoef sebagai ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA), dan 1 Agustus 1948 ketua GASIDA bersama beberapa orang lainnya berangkat ke Singapura untuk membeli pesawat Dakota;

3. Pewujudan Radio Rimba Raya di Krueng Simpo (hari ini masuk wilayah Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen) oleh Kolonel Husin Yusuf (Putera Kota Juang Bireuen) dalam tahun 1948 yang mulai beroperasi tanggal 20 Desember 1948. Radio inilah yang menjadi penyelamat negara Indonesia yang sudah diklaim Belanda sudah ditaklukkan oleh mereka. Dalam suasana dunia sudah terpengaruh oleh klaim Belanda, tiba-tiba Radio Rimba Raya mengudara dan menginformasikan bahwa bangsa Islam Aceh masih berperang melawan Belanda di Medan Area Sumatera Timur dan menyatakan Indonesia belum jatuh ketangan Belanda. Siaran tersebut diterima oleh radio India di New Delhi dan beberapa stadion luar negeri lainnya termasuk PBB. Inilah dasar hukum yang membuat PBB menolak klaim Belanda dan mengakui IIndonesia masih wujud. Bayangkan tanpa Radio Rimba Raya, tanpa jihat akbar bangsa Islam Aceh di Medan Area dimanakah Indoesia yang sedang merampas empat pulau dlam wilayah Aceh di Aceh SIngkil dalam tahun 2025 ini?;

4. Pertahanan bangsa Islam Aceh dalam perang Medan Area di Sumatera Timur sehingga Belanda gagal menguasai Indonesia. Pada masa ini tiada lagi Indonesia karena presiden dan wakilnya sudah ditangkap, ibukata Jakarta dikuasai Belanda, Ketika ibukaota dipindahkan ke Jogjakarta, Jogjakartapun dikuasai Belanda, yang tingggal dan tidak mampu dikuasai penjajah Belanda adalah Aceh dengan pertahanan perang di Medan Areanya;

5. Bantuan biaya Aceh kepada Dr. Sudarsono sebagai duta besar Indonesia di India, L.N. Palar sebagai duta Besar Indonesia di PBB New York, dan Haji Agussalam sebagai duta keliling Indonesia untuk memperjuangkan Indonesia Merdeka dalam masa agresi Belanda tahun 1947-1948. Semua keperluan mereka baik untuk pribadi maupun untuk keperluan Indonesia secara penuh dibiayai oleh Bangsa Islam Aceh, orang Aceh bilang: sampe luweue cuet ngon bajei salang disedekahkan oleh bangsa Aceh;

6. Aceh menampung Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia/PDRI (Syafruddin Prawiranegara) dan sejumlah pejabat negara lainnya dari kalangan polisi, TNI, kejaksaan, kehakiman dan lainnya Ketika Indonesia sudah dikuasai lagi oleh penjajah Belanda dalam agresi kedua Desember 1948, hanya Aceh yang masih bertahan pada masa tersebut manakala Jakarta jatuh ketangan Belanda. Ketika ibukota negara dipindahkan ke Jokjakarta, Jogjapun diikuasai Belanda seraya presiden dan wakil presiden ditangkap dan ditahan penjajah. Pada masa itulah Muhammad Hatta selaku wakil presiden mengirim kawat telegram kepada Syafruddin Prawiranegara yang sedang menyelamatkan diri di Bukit Tinggi Sumatera Barat untuk bertindak sebagai Presiden PDRI. Ternyata Sumatera Baratpun dijarah Belanda sehingga Syafruddin Prawiranegara berhijrah ke Aceh dan ditampung, serta diberikan segala keperluan bagi mereka oleh bangsa Islam Aceh. Pada waktu itu tiada lagi negara yang diberi nama Indonesia karena ibukotanya sudah diduduki, pemimpinnya sudah ditangkap, wilayahnya sudah dikuasai kecuali wilayah Aceh. Wilayah Aceh inilah yang menjadi pertahanan tangguh, tunggal dan menjadi modal dasar, modal utama dan modal kebangsaan dan keagamaan bagi Indonesia. Rahasia apalagi yang para penguasai mabuk Indonesia mau kalian sembunyikan?;

7. Aceh menolak memisahkan diri dari Indonesia karena sangat sayang kalau pecahnya Indonesia. Dalam masa jabatan Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo 1947-1949 dua surat dalam bungkusan warna kuning dilepaskan oleh pesawat utusan Tengku mansur sebagai gubernur Sumatera Timur dalam bingkai Republik Indonesia Serikat (RIS), yang satu dilepaskan di Banda Aceh dan satu lagi di Takengon. Kedua surat tersebut mengajak Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh menerima tawaran Belanda bergabung dalam negara serikat ciptaan penjajah Belanda. Gubernur militer menolaknya karena sedang berperang dengan penjajaah Belanda tidak mungkin menerima perangkapnya. Belanda berkepentingan dengan RIS agar mudah menghadu domba sesama anak bangsa Indonesia;

8. Obliigasi. Ketika Indonesia bangkrut dalam tahun 1945-1950 tiada sumber keuangan negara yang dapat dihandalkan. Pemerinntah mengajak rakyat Aceh membeli obligasi negara secara beramai-ramai, hanya bangsa Acehlah yang menutupi kemiskinan Indonesia dengan membeli obligasi beramai-ramai termasuk salah seorangnya adalah Nyak Sandang, orang Aceh menjual tanah, menjual lembu-kerbau peliharaannya menjual emas simpanannya untuk menyelamatkan keuangan negara Indonesia, hanya bangsa Aceh yang menyelamatkan kehancuran Indonesia;

9. Aceh secara Ikhlas atau terpaksa telah rela memberikan semua gas alam Aron Lhokseumawe sebagai salah satu produsen LNG terbesar di dunia kepada Indonesia sehingga habis total di tahun 2015. Tiada sepersenpun ditinggalkan untuk Aceh sampai para pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjaya menekan Indonesia sehingga pasca perdamaian tahun 2005 baru Indonrsia membagi hasilnya dengan Aceh yang katanya 70% untuk Aceh dan 30% untuk Indonesia, itupun masih dikelola penuh oleh Indonesia dan orang Aceh tidak tau persis apakah benar diberikan 70% kepada Aceh atau tipu jakarta;

10. Aceh juga tanpa daya Ikhlas atau terpaksa sudah merelakan semua hasil hutannya dikeroyok Indonesia dan dibawa ke Pulau Jawa sehingga Aceh menjadi kurus kering dan rawan panas yang disertai banjir. Maka layaklah kalau salah seorang guru besar Universitas Indonesia asal Aceh zaman Orde Baru (Orba) menyatakan: “Aceh papa dan mundur karena kekayaan alamnya semua diangkut ke Jakarta;

11. Jasa Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang bekerja sama dengan Dai Nippon untuk memerangi dan mengusir penjajah Belanda merupakan ide brillian bangsa Islam di Aceh yang tidak terpikirkan oleh para pemimpin Indonesia lainnya. Dengan Kerjasama tersebut membuat Belanda keluar dari Indonesia dalam sekitaran tahun 1942;

12. Pemberontakan kolaborasi bangsa Islam Aceh terhadap Belanda yang dimotori kaum ulama PUSA, ulama tradisional dan kaum Uleebalang seperti Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh, T. M. Amin, Teungku Abdul Wahab Seulimeum, Teungku Syeikh Abdul Hamid (Ayah Hamid), dan Teungku Namploh serta Teuku Nyak Arief dan Teuku Panglima Polem Muhammad Ali. Persiapan para tokoh dan ulama tersebutlah yang membuat Belanda kucar kacir di Aceh;

13. Penggabungan Tentera Pelajar menjadi Tentera Nasional Indonesia dalam wilayah Sumatera oleh Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo; Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh merupakan sesuatu yang Ajaib karena berkali-kali dilakukan oleh pihak lain tapi tak pernah berhasil;

14. Aceh telah memberikan format Majlis Ulama Indonesia yang berasal dari Aceh, sebelumnya Indonesia tidak ada Lembaga ulama negara resmi seperti MUI;

15. Aceh telah memberi format Badan Perancang Pembangangunan Nasional (BAPPENAS) yang cikal bakalnya berasal dari Aceh Development Board (Badan Pembangunan Aceh) yang kemudian dijadikan Lembaga nasional bernama BAPPENAS dan untuk provinsi diberi nama BAPPEDA (Badan Perancang dan Pembangunan Daerah).

HADIAH INDONESIA UNTUK ACEH

1. Presiden pertama Indonesia Soekarno ingkar janji dengan ulama dan tokoh kharismatik Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh karena tidak mau menjadi syari’at Islam sebagai hukum Indonesia yang pernah ia janjikan ketika meminta bantu Aceh mempertahankan perang Medan Area untuk memelihara kemerdekaan Indonesia tahun 1948;

2. Soekarno tidak memenuhi janjinya dengan Aceh yang dijanjikan untuk menjadikan Aceh sebagai daerah otonomi khusus dan daerah Istimewa yang berlaku syari’at Islam melalui pemimpin Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh sehingga Aceh melawan dan menuntut dengan Gerakan DI/TII Aceh 20 September 1953 dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 4 Desember 1976;

3. Soekarno mengacaukan struktur pemerintahan di Aceh dengan memindahkan Putera-putera Aceh dan digantikan dengan orang-orang dari luar Aceh yang tidak menyatu dengan adat budaya Masyarakat Aceh dalam tahun 1950-1953;

4. Menurunkan pangkat dan jabatan Kolonel Husin Yusuf sebagai putera Aceh yang berhaluan PUSA dari panglima Divisi X menjadi komandan brigade dengan pangkat Letnan Kolonel tahun 1950. Brigade ini kemudian diletakkan di bawah kekuasaan Panglima Bukit Barisan pimpinan Kawilarang, selanjutnya Husin Yusuf diberhentikan dari tugasnya, padahal Husin Yusuf adalah pendiri Radio Rimba Raya yang menjadikan Indonesia merdeka dengan siarannya;

5. Memindahkan ketua polisi Aceh Muhammad Insya dan Komisaris Muda Polisi Yusuf Effendi ke Medan dan diganti dengan orang-orang luar Aceh yang paradoks dengan budaya Aceh;

6. Memindahkan semua batalyon tentera yang dipimpin Putera Aceh keluar Aceh dan digantikan oleh orang luar Aceh yang mayoritasnya non muslim seperti pemindahan Mayor Hasballah Haji ke Tarutung Tapanuli yang digantikan oleh Letnan Kolonel Nazir yang berhaluan Komunis. Batalyon T. Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalyon Alamsyah ke Indnesia Timur, Batalyon Hasan Saleh ke Sulawesi Selatan lalu ke Maluku Selatan dan Batalyon Nyak Adam kamil juga dipindah dari Aceh. Sebagai pengganti didatangkan penggantinya dari Tapanuli seperti Batalyon Manaf Lubis, Batalyon Ulung Sitepu yang berhaluan Komunis dan Batalyon Boyke Nainggolan, yang dari namanya saja mengerikan;

7. Mencabut provinsi Aceh, menjadikan Aceh sebagai daerah Residen sebagai bahagian dari provinsi Sumatera Utara pada 14 Agustus 1950 oleh Kabinet Halim yang berkedudukan di Jogjakarta dengan Perpu nomor 5 tahun 1950 yang ditandatangani oleh pemangku jawatan presiden Indonesia Mr. Assat dan Mendagri Indonesia Mr. Soesanto Tirtoprojo;

8. Indonesia melakukan Rasia Sukiman yang juga disebut Razia Agustus 51 yang menginjak-injak kehormatan para ulama PUSA di Aceh. Awalnya Razia ini diperuntukkan untuk mencari senjata sisa-sisa Komunis tapi di Aceh dibelotkan untuk menangkap para ulama PUSA, tiga rumah Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh diobrak abrik mereka dan sejumlah ulama PUSA ditangkapnya;

9. Menarik mobil dinas yang sedang dipakai oleh gubernur Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh oleh gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim secara kasar menjadi satu penghinaan kasar bagi Aceh dan bangsanya;

10. Menolak terang-terangan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh yang dijanjikan Ketika Indonesia sakarat oleh Soekarno, dalam pidatonya di kampus Universitas Indonesia di Salemba dan di Amuntai Kalimantan Selatan, sebagaimana ditulis Prof. Deliar Noer dalam bukunya; Partai Islam di Pentas nasional dengan bunyinya: “tidak mungkin kita memberlakukan syari’at Islam di belahan bumi Indonesia, bagaimana saudara kita yang hindu di Bali dan bagaimana pula dengan saudara kita yang Kristen di Menado. Padahal mereka hanya 10% ramai-ramai agama waktu itu, sementara muslim 90% di seluruh tanah air;

11. Membantai Masyarakat Pulot, Cot Jeumpa dan Kruengkala di Aceh Besar oleh pasukan TNI tahun 1955 yang menewaskan 99 jiwa termauk anak-anak dan Wanita. Awalnya pasukan TNI mati ditembak pasukan DI/TII lalu mereka membawa pasukan banyak menangkap Masyarakat mengumpulkan di lapangan lalu ditembak secara brutal, mirip sekali dengan kerja Yahudi di Palestina, seperti itulah balasan dan hadiah Indonnesia terhadap Aceh;

12. Menghadu domba antara kaum ulama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan kaum ulama tradisional dan kaum Uleebalang dalam tahun 1950-1951 agar Indonesia melihat orang Aceh berkelahi sesama mereka;

13. Menutup perjalanan kereta api di Aceh dalam kurun waktu tujuh puluhan, efek dari itu bangsa Aceh susah mencari rizki, banyak masyarakat Aceh kenak PHK, banyak menghadirkan fakir miskin secara mendadak di Aceh waktu itu;

14. Membubarkan Kodam Iskandar Muda di Aceh yang berlambang gajah putih pada tahun 1985, baru dihidupkan kembali pada 15 Februari 2002 untuk menjinakkan GAM agar mau berdamai. Pembubaran Kodam ini juga sarat dengan nuansa penghapusan peradaban Aceh di mana lambang Gajah Putih itu punya relasi dengan kejayaan Aceh zaman Sultan Iskandar Muda, sementara pembukaan Kodam kembali juga penuh nuansa politis karena GAM sedang bereaksi yang susah dipadamkan Indonesia;

15. Memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh dengan membunuh bangsa Aceh secara brutal dalam tahun 1989-1998. Tercatat dalam Sejarah pelanggaran HAM lebih dari 3000 orang dibunuh, 23 kuburan massal hasil pembunuhan oleh TNI/Polri ditemukan, diperkirakan dari 5000 sampai 39000 orang telah hilang, lebih dari 128 anak dara/gadis dan Perempuan diperkosa dan 597 rumah bangsa Aceh dibakar;

16. Memberlakukan Darurat Militer di Aceh tahun 2002-2003 dengan target melumpuhkan Gerakan Masyarakat sipil dan membiarkan kesewenang-wenangan aparat keamanan bertindak karena dalam darurat militer itu yang berkuasa adalah tentara;

17. Memberlakukan Darurat Sipil di Aceh tahun 2003-2004, darurat sipil ini diberikan hak kepada pemerintah Aceh untuk melawan GAM sebagai upaya menghadu domba orang Aceh dengan orang Aceh agar banyak mati orang Aceh;

18. Membantai muslim Aceh yang tidak bersalah dengan Indonesia (Masyarakat sipil) seperti yang terjadi dalam kasus Arakundoe, kasus Simpang KKA/ Pulo Rungkom yang membunuh 31 masyarakat tidak bersalah dan lebih 100 orang cedera pada 3 Mei 1999, kasus Gedung KNPI Lhokseumawe yang mematikan empat orang dan puluhan lainnya luka-luka, kasus Bantaqiyah di Beutong Ateueh yang menelan korban 71 pada 23 Juli 1999 dan kasus-kasus lain tanpa proses pengadilan;

19. Rencana penempatan 4 batalyon TNI di Aceh dalam tahun 2025 tanpa mendapatkan persetujuan Aceh merupakan hadiah paling bermakna untuk membungkam Aceh. Padahal dalam poin 4.7 dan 4.8. MoU Helsinky ditetapkan: Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. 4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring.

20. Yang paling akhir dan upto date adalah pengalihan empat pulau (Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek/kecil dan Pula Mangkir Gadang (besar) di Aceh Singkil dari wilayah Aceh kedalam wilayah Tapanuli Tengah di Sumatera Utara dengan Kepmendagri 050-145 tahun 2022 dan dikukuhkan lagi dengan Kepmendagri nomor 300.2.2-2138 tahun 2025 tentang pemberian dan pemutakhiran kode serta data wilayah administrasi pemerintahan dan pulau. Dari berbagai data yang sangat sah dan sahih empat pulau tersebut merupakan wilayah Aceh Singkil dalam provinsi Aceh, tapi oleh Menteri dalam negeri Tito Karnavian sengaja menutup mata dengan data-data yang akurat dan menyerahkan empat pulau tersebut kepada Sumatera Utara yang kini dipimpin Bobby Nasutian sebagai menantu Jokowi dan Jokowi sebagai masternya Tito Karnavian. Jadi ada udang di balik batu dalam kasus tersebut.

Alhasil akhirnya dengan pengambil alihan kasusu tersebut oleh presiden Prabowo, Tito dan Bobby tertunduk patuh dan menyerah untuk tidak lagi merampas empat pulau tersebut.

Berdasarkan prilaku Indonesia seperti di atas terhadap Aceh, maka timbullah satu pertanyaan; persoalan apa lagi yang Indonesia tidak mau menipu dan memperolok-olok Aceh? Sebagai orang Aceh kita terus menunggu babak demi babak dan adegan demi adegan yang dirancang dan dicanangkan para sutradara Indonesia untuk Aceh. Kita sangat yakin selagi Indonesia menjadi negara nasional yang dalam praktiknya sekular masih sangat banyak adegan Indonesia yang akan dimainkan di Aceh pada masa mendatang, kecuali bangsa Aceh memilih jalan sendiri.
Perhatikanlah wahai bangsaku mana lebih banyak antara jasa Aceh untuk Indonesia berbanding dengan hadiah Indonesia untuk Aceh. Perhatikan juga yang mana bermanfa’at dan yang mana mudharat antara jasa Aceh untuk Indonesia berbanding dengan hadiah Indonesia untuk Aceh. Lalu buatlah kalkulasi:

MASIH LAYAKKAH ACEH MENJADI BAHAGIAN DARIPADA INDONESIA?

Jawabannya tetap ada pada diri masing-masing kita. Kalau jawabannya MASIH maka bertahan dan nikmatilah pemerkosaan demi pemerkosaan tersebut agar tidak terasa sakit dari kejahatan yang bejat. Sekiranya jawabannya; TIDAK maka bergegaslah untuk mencari jalan keluarnya.

Artikel ini sengaja aku tulis untuk mengingatkan kita akan romantisme hidup bersama Indonesia yang mayoritas bangsa Islam Aceh tidak mengetahuinya. Untuk itulah mohon artikel ini dibagikan kepada seluruh anak bangsa Islam Aceh untuk dua kegunaan: pertama agar para pembaca dapat mengoreksi kesilapan dan kesalahan yang ada di dalamnya, dan kedua agar anak bangsa Islam Aceh tahu jati diri, punya identitas ke-Aceh-an dan tidak menjadi generasi warong kuupi yang tidak peduli dengan syari’ah agama dan tidak tahu menahu dengan tanoh pusaka dari endatu.
Atas segala kesalahan, kekhilafan, kelemahan dan kekurangan dari paparan ini mohon dibetulkan, karena tujuan penulisan ini semata-mata untuk mengingatkan anak bangsa dari mudah ditipu musuh-musuhnya yang bukan hanya tidak tahu membalas jasa melainkan sangat pandai berkhianat terhadap kita selaras dengan rentetan yang terhuraikan dalam pemaparan di atas tadi. Hanya Allahlah yang menjadi hakim yang Maha ‘Adil, hanya Allahlah yang Maha berkuasa, hanya Allahlah yang maha ‘Arif lagi Bijaksana.

Para penguasa Indonesia dari masa ke masa hanya berupa patung-patung ciptaan Allah yang tidak berdaya di hadapanNya. Hanya orang-orang yang bertaqwalah yang Mulya di hadapan Allah Ta’ala, hanya orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dan Rasulnya sajalah yang bakal mendapatkan syurga, dan sudah pasti hanya orang-orang yang bermakshiyat kepada Allah dan RasulNyalah yang bakal mengisi neraka (Q.An-Nisak;13-14). Untuk itu kepada segenap bangsa Islam di Aceh;

pertahankanlah harta milik sendiri keuneubah endatu sampai nyawa berpisah dengan tubuh badan dan jangan pernah merampas harta orang sebagaimana mereka merampas harta milik kita. Yakinkanlah bahwa Allah akan selalu bersama kita manakala kita selalu tunduk patuh dan ta’at kepada seluruh perintahnya.