Archive for month: Oktober, 2025

Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

Da’wah adalah menyeru manusia untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan dan memiliki nyali untuk menghentikan manusia berbuat kerusakan dan kedurhakaan. Jika kedua hal ini stagnan (terhenti), maka yang terjadi adalah merajalelanya kemungkaran dan kedurjanaan di tengah komunitas. Namun yang kerap kali terjadi dalam komunitas kita adalah disebabkan eksisnya sedikit disparitas (perbedaan) diantara para pegiat da’wah, antara sesama institusi Islam akhirnya da’wah ilallah terhenti atau memilih jalan sendiri-sendiri sehingga mempersempit kebersamaan dan bahkan merusak silaturrahmi yang sentiasa didengung-dengungkan oleh pegiat da’wah itu sendiri. Kalau kita masih menyimpan narsisisme yang begitu mendalam atau egomaniac, maka penyebaran risalah Islam akan stagnan. Dalam hal ini, kita boleh mengikuti pendapat Imam Syafii yang menyarankan kita untuk tidak banyak berdebat agar tidak melahirkan disparitas dan permusuhan. Berbuatlah sesuai kapasitas demi ummat Islam, demi agama Allah, demi risalah Rasulullah saw. Mungkin para pegiat da’wah perlu menghayati tazkiyaun Nafs secara mendalam dan dapat diejawantahkan dalam setiap lini kehidupan khasnya di medan da’wah. Sering kita dengar pendapat orang bijak, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Masalah yang besar harus diperkecil, yang yang kecil perlu dihilangkan. Beginilah diajarkan oleh baginda Nabi saw kepada para sahabatnya dan kepada kaum muslimin dan muslimat semuanya hingga akhir hayat. Hal yang paling utama dipikirkan oleh pegiat da’wah adalah membersihkan hati, menghindari konflik kepentingan, membuang habis sifat dendam yang tersimpan di lubuk hati, lihatlah kebaikan orang bukan kekurangannya, seharusnya kita semua harus muhasabah terhadap sifat kita, syakhsiyyah kita, dan kelebihan dan kekurangan kita.
Kita mempunyai tuhan yang satu yaitu Allah swt; dan kita adalah pengikut setia Nabi Muhammad saw, dan tidak ada disparitas dalam hal ini. Kita mengemban tugas baginda Nabi saw untuk mempromosikan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia di seluruh jagat raya ini jika kita mampu menjangkaunya. Kalau da’wah dapat diekspansi ke seluruh desa terpencil menembusi relung hati manusia yang jauh dari kawasan yang banyak tapak manusia, kenapa dengan sedikit distingsi menjadi penghalang utama dalam penyebaran da’wah Ilallah. Kalau disparitas itu timbul karena masalah persoalan penataan ekonomi, mungkin saja boleh kita faraq, kalau disparitas itu disebabkan oleh persoalan penyimpangan moralitas mungkin dapat dipertimbangkan, tetapi kalau menyangkut hal remeh temeh kata orang Melayu, maka ini perlu ditinjau ulang. Walaupun begitu, setiap orang yang melibatkan diri dalam kancah da’wah, tidak boleh tidak, harus mengikuti jejak Rasulullah. Karena jejak Rasulullah bukan hanya slogan kosong, tetapi pengejawantahan yang sesungguhnya. Tidak ada anak tiri dan anak kandung dalam da’wah, tidak ada dinding penyekat dalam da’wah, dan tidak ada kans untuk berbuat tidak jujur dalam dunia da’wah. Semua langkah-langkahnya, metodenya, strateginya, tehniknya, pendekatannya telah diajarkan oleh baginda Nabi saw dan para sahabatnya. Tegaslah dengan orang kafir, dan lemah-lembutlah serta kasih sayang antara sesama muslim, bukan sebaliknya kita saling gontok-gontokan sesama muslim dan berkasih sayang dengan musuh Allah dan musuh Nabi saw. Umat yang paling banyak perselisihan antar sesama mereka adalah kaum Nasrani dan kaum Yahudi walaupun yang nampak ke permukaan keserasian dan kekompakan. Mereka kompak dan bersatu untuk memporak-porandakan Islam dan ummatnya, untuk mengetahui bagaimana seharusnya mereka (Yahudi dan Nasrani), silakan buka firman Allah dalam Surat Al-Hasyr ayat 14. Permusuhan antara sesama mereka (orang kafir) sangat hebat, dan mereka terpecah belah sesama mereka.
Seharusnya apa yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an tentang sifat orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang munafik, cukup hanya sebagai ibrah kepada kita dalam menjalankan da’wah ilallah dan kembali kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya sehingga dalam waktu tidak terlalu lama baginda Nabi bisa mengislamkan seluruh jazirah Arab. Semua ini berkat ketinggian dan keluhuran akhlaknya, kebijaksanaannya yang tidak terbantahkan, kelemah-lembutannya terhadap manusia, kesederhanaanya dalam segala kehidupannya, kemaafannya terhadap manusia yang pernah bersalah dengannya, dan keadilannya dalam memimpin ummat. Salah seorang sastrawan Inggris, Bernard Shaw pernah mengatakan bahwa, “salah satu sebab Islam cepat sekali berkembang ke seluruh jazirah Arab adalah dikarenakan Akhlak mulia Muhammad.” Ini perlu dicontohkan secara totalitas dan kalau tidak sanggup juga, maka jangan ditinggalkan semuanya. Mungkin tema inilah yang selalu didengungkan oleh setiap da’I atau juru da’wah ketika berpapasan dengan mad’u di tengah komunitas. Namun semua itu akan Allah jelmakan dalam hati kita seandainya kita siap sedia memohon ampun kepada-Nya, memohon petunjuk-Nya, memohon hidayah-Nya, meminta perlindungan-Nya, dan kepada-Nyalah kita berserah diri serta memperhambakan diri.
Perbedaan organisasi, perbedaan institusi, dan home base, perbedaan bangsa, suku dan warna kulit, bukanlah sebagai dasar utama da’wah menjadi stagnan. Kita jauhkan ashabiyah institusi, ashabiyah pendidikan dan professionalime, serta ashabiyah-ashabiyah lainnya yang dapat mengendorkan semangat da’wah ilallah. Secara terus terang, dalam setiap lisan kita dan dalam sanubari kita yang terdalam selalu terjelma bagaimana memperkuat umat dengan keilmuan dan ekonomi, membentengi umat dengan Aqidah yang benar, mencerdaskan umat dengan pengetahuan agar terhindar dari kejahiliyahan, membela umat yang tertindas dan terkebelakang, tetapi dalam tataran praktis apakah kita bersinergi dengan konsep yang sebenarnya atau sebaliknya. Ini perlu dicamkan dan dipertimbangkan secara matang agar upaya-upaya pelemahan dan pengendoran aktivitas da’wah perlu dihentikan. Hindarilah setiap upaya terjadinya stagnisasi da’wah karena ini sama saja seperti memadamkan pelita di tengah kegelapan. Seharusnya riak-riak yang terdapat di medan da’wah dapat menjadi supplemen ketahanan tubuh dan kematangan berpikir dalam rangka melebarkan sayap da’wah ilallah ke seluruh penjuru negeri.
Perkara penting yang perlu dikedepankan dalam rangka pelestarian da’wah adalah bagaimana mempersiapkan kader-kader pengganti di medan da’wah secara berterusan, merekrut sebanyak-banyaknya pegiat da’wah, memperbanyak muhsinin, donator dan para dermawan yang siap sedia membela dan membantu da’wah dalam berbagai aktivitas dan kebutuhan. Metode mengetuk hati orang-orang kaya dan orang-orang berada perlu dipropagandakan dengan memperlihatkan hasil maksimal dan reliable di tengah komunitas binaan. Para donator, muhsinin, dan dermawan sangat cepat tersentuh jika dapat melihat realitas yang sebenarnya hasil kerja da’wah, hasil pembinaan para da’I, dan hasil yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Penting diingat bahwa disparitas yang menganga di tengah komunitas berakibat pada menurunnya kepercayaan umat kepada pegiat da’wah atau juru da’wah. Di sini sesuai dengan pendapat Al-Ghazali kepada setiap guru (juru da’wah), bahwa sebelum mengajarkan akhlak kepada murid, maka ajarkan akhlak itu kepada dirimu sendiri terlebih dahulu. Karena juru da’wah dan guru hampir tidak dapat dipisahkan tugas dan perannya di tengah umat, makanya juru da’wah dan guru umat harus memiliki sifat altruistic yang dapat dijadikan teladan bagi yang melihatnya dan yang mengikutinya.
Musyawarah dan tukar pikiran itu perlu, mendengar pendapat orang yang sesuai dengan dalil atau nash boleh diikuti, maka diharapakan kepada para pegiat da’wah tidak berhenti membaca seerah Nabi, perjuangan sahabat, dan biografi orang-orang sukses dalam memimpin umat. Disana banyak hal yang boleh dipetik dan diteladani khasnya untuk orang-orang yang sering berhadapan dengan grassroot di daerah terpencil dan terisolir. Kalau kita saling menghormati, saling memohon maaf atas kekurangan dan kekhilafan, dan selalu mengedepankan husnuz zhan terhadap sesama muslim konon lagi dengan sesama penyeru kepada kebajikan.

Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Provinsi Aceh

Oleh Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
(Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Mengikuti hadits-hadits Rasulullah SAW terdapat sejumlah arahan terkait dengan akhlak seorang imam dalam memimpin shalat berjama’ah. Arahan-arahan tersebut semestinya diikuti dan diamalkan oleh para imam dalam memimpin shalat jama’ah baik di masjid, di rumah, di kantor dan di mana-mana karena itu semua menjadi bahagian dari kesempurnaan shalat berjama’ah di bawah kepemimpinan seorang imam. Oleh karenanya seorang imam harus memastikan shaf para ma’mum sudah rapat, rapi dan lurus serta tidak ada gangguan apapun selama berlangsungnya shalat berjama’ah termasuk gangguan dari anak-anak sebelum bertakbiratul ihram, demikianlah penjelasan makna hadits: shuuf shufufakum fainna tasfiyatashshufuufi min tamaamis shalaah/min iqaamatish shalaah. Selain menjaga kerapian ma’mum seorang imam juga harus menjaga kerapian diri sendiri seperti fasih dalam bacaan karenan Bahasa Al-Qur’an itu beda huruf beda makna, beda panjang pendek beda makna dan beda barispun beda makna. Maka sang imam jangan membuat para ma’mum tidak khusyu’ shalat karena tidak benar bacaannya. Di antara prihal arahan tersebut antarra lain adalah:
1. Imam memanjangkan raka’at pertama berbanding raka’at kedua dalam shalat berjama’ah, selaras dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri yang menceritakan: “iqamah shalat dzuhur sudah dikumandangkan lalu ada seorang yang berangkat ke Baqi’ untuk buang hajad kemudian mendatangi keluarganya dan berwudhuk. Seterusnya ia datang lagi ke masjid sedangkan Rasulullah SAW masih berada pada raka’at pertama karena beliau memanjangkan bacaannya.
Ada dua keadaan yang membuat seorang imam dibolehkan tidak mengikuti hadits ini karena keadaan yang membolehkannya, yaitu; pertama, jika perbedaan bacaan itu sangat tipis seperti membaca surah al-‘Akla pada raka’at pertama dan surah al Ghasyiyah di raka’at kedua dalam shalat Jum’at dan dua hari raya; yang kedua dalam kasus melaksanakan shalat khauf di mana separuh pasukan melaksanakan shalat berjama’ah dua raka’at bersama imam lalu dua raka’at lagi diselesaikan sendiri, sementara imam berada pada posisi duduk tahyat pertama dan kemudian pasukan kedua bergabung untuk berjama’ah dua raka’at juga, manakala imam memberi salam jama’ah terus menyelesaikan shalatnya dua raka’at lagi.
2. Meringankan shalat dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak terlalu Panjang selaras dengan hadits muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah r.a.; “Jika salah seorang di antara kamu mengimami orang-orang shalat berjama’ah hendaklah ianya memperingankan bacaan karena dalam jama’ah terdapat anak kecil, orang yang sudah tua, orang lemah, orang sakit, (dan orang yang mempunyai keperluan). Tetapi jika ia shalat sendirian bolehlah ia mengerjakannya semaunya. Dalam hadits dari Jabir bin Abdullah: Mu’az bin Jabal pernah shalat isya bersama Nabi SAW kemuadian ia kembali dan mengimami kaumnya. Dalam melaksanakan shalat isya bersama kaumnya Mu’az membaca surah al-Baqarah. Berita tersebut sampailah kepada Nabi SAW, lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’az apakah kamu ini tukang fitnah atau pemicu fitnah? Sebanyak tiga kali. Seandainya kamu shalat membaca: sabbihismarabbikal ‘akla…, wasy syamsi wa dhuhaha dan wal Laili iza yaghsya sesungguhnya di antara orang-orang yang shalat di belakangmu itu terdapat orang tua, orang lemah dan orang yang mempunyai keperluan”.
Bacaan ringan yang dituntun dalam mengimami shalat terbagi dua; pertama, tidak memanjangkan bacaan ayat Al-Qur’an apabila merasakan ada jama’ah yang lemah, sakit, tua atau para pedagang yang memerlukan waktu untuk berdagang, berdasarkan hadits: iza amma ahadukumun nas fal yukhaffif (jika mengimami shalat maka ringankanlah dalam bacaan); kedua, meringankan bacaan karena ada alasan mendesak seperti imam mendengar ada anak bayi menangis, hal ini sesuai dengan hadits dari Abu Qatadah: “Sesungguhnya aku akan berdiri dan memanjangkan bacaan dalam shalat karena mendengar seorang bayi menangis maka Aku meringankan bacaan shalatku karena tidak mau menyusahkan ibu bayi tersebut”.
3. Memanjangkan dua raka’at pertama dengan memendekkan dua raka’at terakhhir. Selaras dengan hadits dari Jabir bin Samurah r.a yang di dalamnya disebutkan bahwa Sa’ad r.a pernah berucap kepada Umar bin Khaththab: sesungguhnya aku akan shalat Bersama mereka seperti shalat Rasulullah SAW, yakni dengan memanjangkan dua raka’at pertama dan memendekkan dua raka’at terakhir. Aku tidak pernah memendekkan shalat karena aku mengikuti shalat Rasulullah SAW.
4. Setelah memberi salam imam menghadap wajahnya kehadapan ma’mum. Hal ini sesuai dengan hadits dari Samurah bin Jundab r.a yang mengatakan: Nabi SAW setelah selesai shalat lalu menghadapkan wajahnya kepada kami. Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul bari menjelaskan bahwa membelakangi ma’mum adalah hak imam ketika sedang mengimami shalat, maka untuk menghilangkan kesombongan selepas shalat imam harus menghadap kepada ma’mum.
5. Imam tidak boleh mengimami suatu kaum kecuali atas izin kaum tersebut dan tidak dibolehkan berdo’a untuk diri sendiri yang diamini ma’mum, selaras dengan hadits dari Abu Hurairah: tidak dibolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari aakhir untuk mengimami suatu kaum kecuali dengan seizin mereka. Tidak pula mengkhususkan do’a hanya untuk diri sendiri tanpa mempedulikan mereka. Jika dia melakukan hal tersebut berarti dia telah mengkhianati mereka.
6. Imam tetap tinggal sebentar di tempatnya setelah mengucapkan salam. Berdasarkan dari hadits Ummu Salamah: “Jika Rasulullah SAW sudah mengucapkan salam, kaum wanitapun berdiri, sementara beliau diam sejenak sebelum berdiri. Dalam lafaz lain: Beliau mengucapkan salam lalu kaum wanita berbalik dan masuk kerumah mereka masing-masing sebelum Rasulullah SAW berbalik. Ibnu Syihab berkata: Aku melihat, wallahu ‘aklam, menetapnya beliau di tempat shalatnya dimaksudkan agar kaum wanita sudah beranjak pergi sebelum mereka dilihat oleh orang-orang ketika mereka berbalik. Ibnu Hajar menafsirkan hadits tersebut untuk menjaga iman seseorang dan menjaga tidak terjadi ikhtilath dalam perjalanan pulang dari masjid antara lelaki dengan Perempuan.
7. Imam berdiri duluan untuk meninggalkan arena shalat baru disusul oleh ma’mum. Berdasarkan hadits Nasa-i: kaum wanita segera bangun dan pergi setelah Rasulullah SAW selesai salam dalam shalat, kemudian Nabi bangkit baru disusuli oleh jama’ah lelaki.
8. Tidak mengerjakan shalat sunnat di tempat yang digunakan shalat wajib. Ini sesuai dengan yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah: seorang imam tidak boleh mengerjakan shalat sunnat di tempat ia mengerjakan shalat wajib hingga dia berpindah.
9. Imam dianjurkan membuat sutrah di depannya sebagai pembatas dengan pihak lain yang berlalu di sana, sutrah tersebut menjadi pembatas baginya dan makmum di belakangnya. Hal ini selaras dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudri: “Jika seseorang kamu mengerjakan shalat, hendaklah ia menghadap kepada sutrah dan mendekat kepadanya.
10. Posisi seorang imam tidak berada pada tempat yang terlalu tinggi dari posisi makmum. Hal ini diterangkan dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/48) dan dalam Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu Utsaimin (IV/423-426).
11. Seorang imam juga tidak dibolehkan shalat di tempat yang tertutup untuk makmum, hal ini diterangkan dalam kitab Al-Mushannaf karya Ibnu Abu Syaibah (II/59-60) dan juga dalam Asy-Syarhul Mumti’ (IV/427-428).
12. Imam tidak terlalu lama duduk menghadap qiblat setelah mengucapkan salam. Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah yang menyatakan: setelah salam Nabi tidak duduk lama kecuali seukuran selesai mengucapkan do”: Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya zal jalali wal ikram.
13. Untuk memelihara kemuslihatan makmum dengan cara tidak boleh bertentangan dengan sunnah. Sebagaimana keterangan hadis dari Jabir; Nabi senantiasa memelihara kemuslihatan jama’ah dengan mengakirkan shalat ‘isya jika para shahabatnya belum berkumpul untuk shalat berjama’ah. Kata Jabir: shalat ’isya itu tidak selalu dikerjakan pada awal waktu, jika Nabi melihat para shahabat sudah berkumpul baru Beliau melaksanakan shalat jika para shahabat belum berkumpul Nabi mentakkhirkan shalat.
14. Setelah mengucapkan salam, imam hendaklah menghadap jama’ah baik berpaling kearah sebelah kanan maupun kekiri. Keterangannya Nabi pernah menghadap ke arah jama’ah setelah salam dengan memalingkan kearah kanan dan juga kearah kiri, artinya kedua-duanya boleh dilakukan karena Nabi pernah melakukan demikian. Keterangan tersebut didasarkan kepada hadis dari Abdullah ibnu Mas’ud, Imam Muslim menyebutkan bahwa Nabi lebih banyak berpaling kearah kanan berbanding kearah kiri dan banyak keterangan hadis yang sering Nabi berpaling kearah kana menghadap makmum.


Shahih Muslim, kitab Ash-Shalah bab al-Qira ah fidz Dzuhri wal ‘ashar no. 454.
Imam Bukhari, Kitab Ash-Shalah hadits no. 703, Imam Muslim, Kitab Ash-Shalah hadits no. 467.
Imam Bukhari, Kitab al-Azan hadits no. 703. Imam Muslim, kitab ash-Shalah, hadits no. 465.
Muttafaqun ‘alaih, Bukhari no. 703 dan Muslim no. 467.
Bukhari, kitab al-Azan, hadis no. 770 dan Muslim dalam kitab ash-Shalah, hadits no. 453.
Bukhari, kitab al-Azan, hadits no. 845.
Hadits Abu Dawud no. 91, Tirmizi no. 357.
Bukhari, kitab al-Azan, hadits no. 837, 849, 850.
An-Nasa-I, kitab as-Sahwi, hadits n0. 1333
Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalah, hadits no. 616, Ibnu Majah dalam kitab Ash-Shalah, hadits no. 1428
Sunan Abu Daud (I/135)
Shahih Muslim, kitab Al-masajid, bab istihbaabuz zikri bakdash shalah wa bayaanu shifatihi, no. 591.
Shahih Bukhari no. 560 dan Shahiih Muslim no. 646.

Prof. Syabuddin Gade

Oleh: Al-Faqir Syabuddin Gade

I. Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia, cinta adalah kekuatan yang mampu menggerakkan jiwa, membentuk tindakan, dan menetapkan arah hidup. Namun, Islam tidak membiarkan cinta menjadi liar tanpa kendali. Allah menempatkan cinta sejati hanya kepada-Nya dan menjadikan cinta kepada selain-Nya tunduk pada cinta kepada-Nya. Dua ayat dalam Al-Qur’an yaitu Surah Al-Baqarah ayat 165 dan Surah Ali Imran ayat 31 mengungkapkan pentingnya memurnikan cinta kepada Allah dan membuktikan cinta tersebut dengan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ.

II. Teks dan Terjemahan Ayat

1. Surah Al-Baqarah: 165

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًۭا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّۭا لِّلَّهِ ۗ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)

2. Surah Ali Imran: 31

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

III. Sebab Nuzul

1. Surah Al-Baqarah: 165

Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, ayat ini turun berkaitan dengan kaum musyrikin yang menyembah berhala dan mencintai sesembahan mereka seperti mencintai Allah. Mereka memberi nama kepada berhala mereka dengan nama-nama Allah dan merasa bahwa berhala itu dapat memberi syafaat atau manfaat, sebagaimana Allah.

2. Surah Ali Imran: 31

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa ayat ini turun ketika sekelompok orang Arab mengaku mencintai Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai ujian kejujuran cinta mereka, yaitu dengan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ sebagai satu-satunya bukti nyata cinta kepada Allah.

IV. Munasabah (Keterkaitan) Antara Keduanya

Kedua ayat ini membahas tentang cinta kepada Allah, namun dari dua sudut pandang:

QS. Al-Baqarah: 165 menggambarkan kesalahan manusia dalam menempatkan cinta—mereka menyamakan cinta kepada selain Allah dengan cinta kepada Allah.

QS. Ali Imran: 31 memberikan solusi dan panduan praktis: jika benar mencintai Allah, maka ikutilah Rasul-Nya.

Jadi, Al-Baqarah 165 adalah peringatan, sedangkan Ali Imran 31 adalah bukti dan syarat cinta yang benar. Munasabah ini menunjukkan bahwa iman sejati tidak hanya menghindari kesyirikan dalam cinta, tapi juga membuktikannya dengan ketaatan total kepada Rasulullah ﷺ.

V. Isi Kandungan Ayat

1. QS. Al-Baqarah: 165

Larangan menyekutukan Allah dalam cinta dan penghambaan.

Cinta sejati hanya milik Allah dan tidak boleh disejajarkan dengan cinta kepada makhluk.

Orang-orang beriman mencintai Allah lebih dalam dibandingkan kaum musyrikin mencintai berhala mereka.

Iman memperkuat cinta kepada Allah, sedangkan syirik melemahkannya dan menyimpangkannya.

2. QS. Ali Imran: 31

Cinta kepada Allah harus dibuktikan dengan mengikuti Rasulullah.

Ketaatan kepada Nabi ﷺ adalah bukti konkret cinta, bukan sekadar pengakuan lisan.

Jika mengikuti Rasulullah, maka Allah akan mencintai kita (balasan cinta dari Allah) dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita. Hal ini menunjukkan bahwa jalan menuju cinta dan ampunan Allah adalah dengan mengikuti dan mentaati Sunnah Rasulullah SAW.

VI. Tafsir dan Pandangan Ulama

1. Tafsir Ibnu Katsir

Tentang Al-Baqarah 165, Ibnu Katsir mengatakan bahwa “tandingan” yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dicintai dan ditaati sebagaimana Allah, seperti berhala, tokoh, bahkan hawa nafsu.

Tentang Ali Imran 31, ia menegaskan bahwa ayat ini adalah ujian bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah: jika benar, maka buktikan dengan ittiba’ kepada Rasulullah ﷺ.

2. Tafsir Al-Qurthubi

Beliau menafsirkan bahwa cinta yang dimaksud adalah cinta pengagungan, bukan sekadar afeksi. Maka menyamakan cinta makhluk dengan cinta kepada Allah adalah bentuk kesyirikan.

Dalam Ali Imran 31, Al-Qurthubi menegaskan bahwa tanpa ittiba’ kepada Nabi, cinta kepada Allah adalah kosong dan palsu.

3. Imam Hasan Al-Bashri

Beliau berkata:
“Ada sekelompok kaum yang mengaku mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini (Ali Imran: 31).”
Dengan kata lain, mengikuti Nabi adalah syarat cinta yang sah.

VII. Hadis Pendukung

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah salah seorang dari kalian beriman hingga aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memperkuat ayat Ali Imran: 31, bahwa mengikuti Rasulullah lahir dari cinta yang mendalam dan menjadi syarat kesempurnaan iman.

VIII. Penutup

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa cinta kepada Allah bukan hanya soal perasaan, tetapi harus dibuktikan melalui penghambaan yang benar dan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ. Menyamakan cinta kepada selain Allah dengan cinta kepada-Nya adalah bentuk kesyirikan yang merusak iman. Sedangkan cinta sejati kepada Allah akan menuntun seseorang pada jalan Rasulullah, yang berujung pada cinta dan ampunan dari Allah. Wa Allahu A’lam.