Oleh Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed
Jika saya menjadi Gubernur, siapa tahu dengan izin Allah, maka hal yang pertama saya lakukan adalah memperbaiki kekuranganku, apakah keilmuanku dalam bidang agama, maka setiap pekan saya undang ahl-al zikr (ulama) untuk mengajarkanku tentang ilmu agama. Sehingga selama saya menjadi gubernur, disamping menambah pengalaman dalam memerintah, bertambah pula ilmu tentang baik, buruk, halal dan haram, syubhat dan mubah.
Jika aku memiliki kekurangan dalam hal membaca dan memahami makna al-Qur’an sebagai pedoman hidupku untuk menjalankan syariat di negeri ini, maka para qari akan saya undang ke kediamanku untuk menutupi kekurangku dalam bidang itu. Jika saya mati dalam keadaan sedang belajar al-Qur’an dan ilmu agama, maka Allah pasti memberikan aku porsi kesyahidan karena dalam proses menuntut ilmu. Inilah yang saya harpakan demi mencapai husnul khatimah.
Jika saya menjadi Gubernur, maka wajib memenuhi apa yang telah saya tanda tangani—sebuah formulir yang bermaterai Rp. 10.000.- yang disodorkan oleh KIP Aceh yang intinya membuat pernyataan sanggup menjalankan syariat Islam kalaulah saya terpilih nanti. Ini sekedar menghormati Qanun No. 3 Tahun 2008. Karena kalau saya tidak melaksanakan ini (sumpah atau aqad) yang tertulis ini, maka ditakutkan Allah akan memngirimkan bala atau balasan azab atas pelanggaran sumpah tersebut. Karena saya sangat takut akan azab Allah seperti yang pernah saya lihat terjadinya Gempa dan Tsunami Aceh dua decade yang lalu. Pada saat itu tidak ada makhluk yang dapat menyelamatkan kita dan menolong kita untuk menghindari aghar gempa dan tsunami tidak bakalan terjadi.
Formulir yang kita tanda tangan itu adalah komitmen terhadap Allah untuk mengejawantahkan Syariat Allah baik secara pribadi, keluarga ataupun secara bermasyarakat dan bernegara. Mungkin dengan manusia sesekali bisa saya langar perjanjian, namun saya tidak berani melanggar ketentuan Allah, karena Dia Maha Kuasa, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Perkasa dalam segala hal.
Jika saya menjadi Gubernur, saya akan mengundang seluruh rakyat Indonesia dan warga negara asing untuk berduyun-duyun datang ke Aceh untuk memperlihatkan kepada mereka bahwa di Negeri Sultan Iskandar Muda ini telah saya ejawantahkan syariat Islam secara kaffah.
Syariat Islam yang aman, damai, dan penuh keadilan dan kejujuran para pengak hukumnya, para penguasanya, dan seluruh komponen bangsa yang ada di Ujung Pulau Sumatera ini.
Jika Syariat Islam benar-benar diterapkan secara berkeadilan, semua orang akan datang ke Aceh, mereka datang sebagai investor dengan membawa uang via membeli tiket pesawat, tiket bus, menginap di hotel, naik beca, membeli makan dan minum, membeli souvenir, membeli petroleum, mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan lain sebagainya. Coba hitung berapa uang masuk untuk pemilik pesawat, pekerja di Airport, di Pelabuhan, di Terminal bus, berapa uang masuk kepada pemilik hotel, berapa uang masuk kepada pengemudi Grab, Taxi, becak dan alat transport lainnya. Berapa uang masuk ke warung-warung atau café-café, rumah makan atau restaurant, pemilik kenderaan /mobil/bus sewaan, dan berapa tenaga kerja yang terserap kalau orang datang ke Aceh. Inilah pikiran dari orang yang membidangi pendidikan Islam. Kalau benar alhamdulillah, kalau salah mohon jangan diikuti karena saya hamba yang sangat dhaif.
Jika saya menjadi Gubenrnur, seluruh Aceh saya prioritaskan untuk mengirimkan dua orang hafiz al-Qur’an untuk setiap masjid menjadi imam yang ada di Aceh dan saya berjuang terus untuk memberikan honor dan tempat yang layak bagi imam-imam tersebut. Setiap masjid dan musalla harus ada azan lima kali sehari dan para muazzin semuanya harus mendapat prioritas negara dari segi kehidupannya dan keluarganya, karena kalau para muazzzin tidak hadir ditakutkan nanti azan akan diganti dengan running text. Saya menggunakan alat negara Polisi, TNI, Satpol PP dan WH untuk membackup pelaksanaan syariat Islam di Aceh dengan kaffah. Berikan kepada mereka hak dan kewajiban dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar dan perhatikan kebutuhan mereka dan keluarga mereka agar penuh komitmen menjalankan tugas Allah dan tugas negara. Berikan hak kepada mereka untuk memantau anak-anak yang boles sekolah, memantau café dan warung yang menampung anak-anak pada waktu jam sekolah. Kalau negara kuat dan semua komponen bangsa bersinergi, maka kemakmuran dan kenyamanan serta ketentraman akan kita gapai di Serambi Makkah ini. Mauka kita merasakan bagaimana kemakmuran negeri dan keamanan sebagaimana masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah Bani Umayyah?
Jika saya menjadi Gubernur, saya akan mengangkat para petugas di setiap lembaga pendidikan untuk memantau semua sekolah dan institusi pendidikan baik pendidikan yang sifatnya boarding atau non-boarding untuk mengikis habis bullying, homoseks, lesbian dan sejenisnya serta system sebagaimana yang terjadi di Pesantren Al-Zaytun, Indramayu yang melahirkan orang-orang yang melecehkan agama dan melatih pemberontak untuk melawan pemerintah.
Makanya setiap kurikulum pendidikan perlu dipantau dan dipelajari oleh pihak-pihak yang berkompeten dan berpendidikan yang memadai agar output dari institusi pendidikan tidak melahirkan orang-orang penista agama dan berpemikiran picik serta tidak ada kompromi. Dalam kasus seperti ini pemerintah perlu berpikir extra dan menyediakan tenaga ahli baik psikolog, ahli agama, ahli ilmu masyarakat dan antropologi, serta berpengalaman menjadi pengasuh dan guru sehingga mereka memiliki segudang pengalaman dalam memantau setiap Gerakan anak-anak didik dan pendidik.
Jika saya menjadi Gubernur, maka saya membentuk sebuah tim untuk mendatangi seluruh pelosok Aceh dan melihat siapa-siapa yang masih tinggal di rumah-rumah layak huni, tidak sanggup memenuhi kebutuhan fisik dan jiwanya, anak-anak yang benar-benar tidak mampu ke sekolah baik karena kemiskinannya, kefakirannya, keterisoliran tempatnya, dan jalan yang ditempuh sangat rawan dan berjauhan. Semu aini seharusnya ada dalam otak say ajika menjadi Gubernur demikian juga Bupati dan walikota.
Jika saya menjadi Gubernur, saya memperhatikan nasib anak-anak hasil rudapaksa, bullying, diperkosa, didhalimi, disiksa, dan ditelantarkan dan semua anak ini harus ditangani oleh negara bukan oleh NGO dan Negara luar. Anak Aceh beragama Islam, yang bantu mereka NGO dan Negara Luar, yang siksa adalah kita, yang dhalimi adalah kita, yang menghancurkan kehidupan mereka adalah kita, lalu kemudian yang membela, memelihara, dan mengurus adalah negara luar dan NGO.
Apakah kita masih waras, berapa kasus anak di Aceh? Sangat menyedihkan! Kemudian betapa banyak kasus perempuan hasil perceraian yang tidak mendapat pembelaan negara dan tokoh masyarakat, bagaimana nasib anak-anak mereka setelah perceraian, juga anak-anak gadis yang tengah malam masih meuwet-wet atau meuwoh-woh bak café-café, masihkan kita hati punya nurani?
Kalau beberapa hal ini sudah dapat ditanggulangi, insya Allah semua orang akan mengunjungi Aceh seperti mengunjungi Baitullah, saya kira inilah investrasi yang terbaik, karena itu jangan benci dan menjadi momok kepada Syari’at, bahkan Saudi Arabia mendapat masukan perjam dari hasil orang menjalankan syariat ke sana.
Wallahu ‘alam.
penulis adalah Dosen Pendidikan Islam Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry
muhammad.ar@ar-raniry.ac.id