Archive for year: 2025

Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

Da’wah adalah menyeru manusia untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan dan memiliki nyali untuk menghentikan manusia berbuat kerusakan dan kedurhakaan. Jika kedua hal ini stagnan (terhenti), maka yang terjadi adalah merajalelanya kemungkaran dan kedurjanaan di tengah komunitas. Namun yang kerap kali terjadi dalam komunitas kita adalah disebabkan eksisnya sedikit disparitas (perbedaan) diantara para pegiat da’wah, antara sesama institusi Islam akhirnya da’wah ilallah terhenti atau memilih jalan sendiri-sendiri sehingga mempersempit kebersamaan dan bahkan merusak silaturrahmi yang sentiasa didengung-dengungkan oleh pegiat da’wah itu sendiri. Kalau kita masih menyimpan narsisisme yang begitu mendalam atau egomaniac, maka penyebaran risalah Islam akan stagnan. Dalam hal ini, kita boleh mengikuti pendapat Imam Syafii yang menyarankan kita untuk tidak banyak berdebat agar tidak melahirkan disparitas dan permusuhan. Berbuatlah sesuai kapasitas demi ummat Islam, demi agama Allah, demi risalah Rasulullah saw. Mungkin para pegiat da’wah perlu menghayati tazkiyaun Nafs secara mendalam dan dapat diejawantahkan dalam setiap lini kehidupan khasnya di medan da’wah. Sering kita dengar pendapat orang bijak, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Masalah yang besar harus diperkecil, yang yang kecil perlu dihilangkan. Beginilah diajarkan oleh baginda Nabi saw kepada para sahabatnya dan kepada kaum muslimin dan muslimat semuanya hingga akhir hayat. Hal yang paling utama dipikirkan oleh pegiat da’wah adalah membersihkan hati, menghindari konflik kepentingan, membuang habis sifat dendam yang tersimpan di lubuk hati, lihatlah kebaikan orang bukan kekurangannya, seharusnya kita semua harus muhasabah terhadap sifat kita, syakhsiyyah kita, dan kelebihan dan kekurangan kita.
Kita mempunyai tuhan yang satu yaitu Allah swt; dan kita adalah pengikut setia Nabi Muhammad saw, dan tidak ada disparitas dalam hal ini. Kita mengemban tugas baginda Nabi saw untuk mempromosikan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia di seluruh jagat raya ini jika kita mampu menjangkaunya. Kalau da’wah dapat diekspansi ke seluruh desa terpencil menembusi relung hati manusia yang jauh dari kawasan yang banyak tapak manusia, kenapa dengan sedikit distingsi menjadi penghalang utama dalam penyebaran da’wah Ilallah. Kalau disparitas itu timbul karena masalah persoalan penataan ekonomi, mungkin saja boleh kita faraq, kalau disparitas itu disebabkan oleh persoalan penyimpangan moralitas mungkin dapat dipertimbangkan, tetapi kalau menyangkut hal remeh temeh kata orang Melayu, maka ini perlu ditinjau ulang. Walaupun begitu, setiap orang yang melibatkan diri dalam kancah da’wah, tidak boleh tidak, harus mengikuti jejak Rasulullah. Karena jejak Rasulullah bukan hanya slogan kosong, tetapi pengejawantahan yang sesungguhnya. Tidak ada anak tiri dan anak kandung dalam da’wah, tidak ada dinding penyekat dalam da’wah, dan tidak ada kans untuk berbuat tidak jujur dalam dunia da’wah. Semua langkah-langkahnya, metodenya, strateginya, tehniknya, pendekatannya telah diajarkan oleh baginda Nabi saw dan para sahabatnya. Tegaslah dengan orang kafir, dan lemah-lembutlah serta kasih sayang antara sesama muslim, bukan sebaliknya kita saling gontok-gontokan sesama muslim dan berkasih sayang dengan musuh Allah dan musuh Nabi saw. Umat yang paling banyak perselisihan antar sesama mereka adalah kaum Nasrani dan kaum Yahudi walaupun yang nampak ke permukaan keserasian dan kekompakan. Mereka kompak dan bersatu untuk memporak-porandakan Islam dan ummatnya, untuk mengetahui bagaimana seharusnya mereka (Yahudi dan Nasrani), silakan buka firman Allah dalam Surat Al-Hasyr ayat 14. Permusuhan antara sesama mereka (orang kafir) sangat hebat, dan mereka terpecah belah sesama mereka.
Seharusnya apa yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an tentang sifat orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang munafik, cukup hanya sebagai ibrah kepada kita dalam menjalankan da’wah ilallah dan kembali kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya sehingga dalam waktu tidak terlalu lama baginda Nabi bisa mengislamkan seluruh jazirah Arab. Semua ini berkat ketinggian dan keluhuran akhlaknya, kebijaksanaannya yang tidak terbantahkan, kelemah-lembutannya terhadap manusia, kesederhanaanya dalam segala kehidupannya, kemaafannya terhadap manusia yang pernah bersalah dengannya, dan keadilannya dalam memimpin ummat. Salah seorang sastrawan Inggris, Bernard Shaw pernah mengatakan bahwa, “salah satu sebab Islam cepat sekali berkembang ke seluruh jazirah Arab adalah dikarenakan Akhlak mulia Muhammad.” Ini perlu dicontohkan secara totalitas dan kalau tidak sanggup juga, maka jangan ditinggalkan semuanya. Mungkin tema inilah yang selalu didengungkan oleh setiap da’I atau juru da’wah ketika berpapasan dengan mad’u di tengah komunitas. Namun semua itu akan Allah jelmakan dalam hati kita seandainya kita siap sedia memohon ampun kepada-Nya, memohon petunjuk-Nya, memohon hidayah-Nya, meminta perlindungan-Nya, dan kepada-Nyalah kita berserah diri serta memperhambakan diri.
Perbedaan organisasi, perbedaan institusi, dan home base, perbedaan bangsa, suku dan warna kulit, bukanlah sebagai dasar utama da’wah menjadi stagnan. Kita jauhkan ashabiyah institusi, ashabiyah pendidikan dan professionalime, serta ashabiyah-ashabiyah lainnya yang dapat mengendorkan semangat da’wah ilallah. Secara terus terang, dalam setiap lisan kita dan dalam sanubari kita yang terdalam selalu terjelma bagaimana memperkuat umat dengan keilmuan dan ekonomi, membentengi umat dengan Aqidah yang benar, mencerdaskan umat dengan pengetahuan agar terhindar dari kejahiliyahan, membela umat yang tertindas dan terkebelakang, tetapi dalam tataran praktis apakah kita bersinergi dengan konsep yang sebenarnya atau sebaliknya. Ini perlu dicamkan dan dipertimbangkan secara matang agar upaya-upaya pelemahan dan pengendoran aktivitas da’wah perlu dihentikan. Hindarilah setiap upaya terjadinya stagnisasi da’wah karena ini sama saja seperti memadamkan pelita di tengah kegelapan. Seharusnya riak-riak yang terdapat di medan da’wah dapat menjadi supplemen ketahanan tubuh dan kematangan berpikir dalam rangka melebarkan sayap da’wah ilallah ke seluruh penjuru negeri.
Perkara penting yang perlu dikedepankan dalam rangka pelestarian da’wah adalah bagaimana mempersiapkan kader-kader pengganti di medan da’wah secara berterusan, merekrut sebanyak-banyaknya pegiat da’wah, memperbanyak muhsinin, donator dan para dermawan yang siap sedia membela dan membantu da’wah dalam berbagai aktivitas dan kebutuhan. Metode mengetuk hati orang-orang kaya dan orang-orang berada perlu dipropagandakan dengan memperlihatkan hasil maksimal dan reliable di tengah komunitas binaan. Para donator, muhsinin, dan dermawan sangat cepat tersentuh jika dapat melihat realitas yang sebenarnya hasil kerja da’wah, hasil pembinaan para da’I, dan hasil yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Penting diingat bahwa disparitas yang menganga di tengah komunitas berakibat pada menurunnya kepercayaan umat kepada pegiat da’wah atau juru da’wah. Di sini sesuai dengan pendapat Al-Ghazali kepada setiap guru (juru da’wah), bahwa sebelum mengajarkan akhlak kepada murid, maka ajarkan akhlak itu kepada dirimu sendiri terlebih dahulu. Karena juru da’wah dan guru hampir tidak dapat dipisahkan tugas dan perannya di tengah umat, makanya juru da’wah dan guru umat harus memiliki sifat altruistic yang dapat dijadikan teladan bagi yang melihatnya dan yang mengikutinya.
Musyawarah dan tukar pikiran itu perlu, mendengar pendapat orang yang sesuai dengan dalil atau nash boleh diikuti, maka diharapakan kepada para pegiat da’wah tidak berhenti membaca seerah Nabi, perjuangan sahabat, dan biografi orang-orang sukses dalam memimpin umat. Disana banyak hal yang boleh dipetik dan diteladani khasnya untuk orang-orang yang sering berhadapan dengan grassroot di daerah terpencil dan terisolir. Kalau kita saling menghormati, saling memohon maaf atas kekurangan dan kekhilafan, dan selalu mengedepankan husnuz zhan terhadap sesama muslim konon lagi dengan sesama penyeru kepada kebajikan.

Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Provinsi Aceh

Oleh Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
(Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Mengikuti hadits-hadits Rasulullah SAW terdapat sejumlah arahan terkait dengan akhlak seorang imam dalam memimpin shalat berjama’ah. Arahan-arahan tersebut semestinya diikuti dan diamalkan oleh para imam dalam memimpin shalat jama’ah baik di masjid, di rumah, di kantor dan di mana-mana karena itu semua menjadi bahagian dari kesempurnaan shalat berjama’ah di bawah kepemimpinan seorang imam. Oleh karenanya seorang imam harus memastikan shaf para ma’mum sudah rapat, rapi dan lurus serta tidak ada gangguan apapun selama berlangsungnya shalat berjama’ah termasuk gangguan dari anak-anak sebelum bertakbiratul ihram, demikianlah penjelasan makna hadits: shuuf shufufakum fainna tasfiyatashshufuufi min tamaamis shalaah/min iqaamatish shalaah. Selain menjaga kerapian ma’mum seorang imam juga harus menjaga kerapian diri sendiri seperti fasih dalam bacaan karenan Bahasa Al-Qur’an itu beda huruf beda makna, beda panjang pendek beda makna dan beda barispun beda makna. Maka sang imam jangan membuat para ma’mum tidak khusyu’ shalat karena tidak benar bacaannya. Di antara prihal arahan tersebut antarra lain adalah:
1. Imam memanjangkan raka’at pertama berbanding raka’at kedua dalam shalat berjama’ah, selaras dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri yang menceritakan: “iqamah shalat dzuhur sudah dikumandangkan lalu ada seorang yang berangkat ke Baqi’ untuk buang hajad kemudian mendatangi keluarganya dan berwudhuk. Seterusnya ia datang lagi ke masjid sedangkan Rasulullah SAW masih berada pada raka’at pertama karena beliau memanjangkan bacaannya.
Ada dua keadaan yang membuat seorang imam dibolehkan tidak mengikuti hadits ini karena keadaan yang membolehkannya, yaitu; pertama, jika perbedaan bacaan itu sangat tipis seperti membaca surah al-‘Akla pada raka’at pertama dan surah al Ghasyiyah di raka’at kedua dalam shalat Jum’at dan dua hari raya; yang kedua dalam kasus melaksanakan shalat khauf di mana separuh pasukan melaksanakan shalat berjama’ah dua raka’at bersama imam lalu dua raka’at lagi diselesaikan sendiri, sementara imam berada pada posisi duduk tahyat pertama dan kemudian pasukan kedua bergabung untuk berjama’ah dua raka’at juga, manakala imam memberi salam jama’ah terus menyelesaikan shalatnya dua raka’at lagi.
2. Meringankan shalat dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak terlalu Panjang selaras dengan hadits muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah r.a.; “Jika salah seorang di antara kamu mengimami orang-orang shalat berjama’ah hendaklah ianya memperingankan bacaan karena dalam jama’ah terdapat anak kecil, orang yang sudah tua, orang lemah, orang sakit, (dan orang yang mempunyai keperluan). Tetapi jika ia shalat sendirian bolehlah ia mengerjakannya semaunya. Dalam hadits dari Jabir bin Abdullah: Mu’az bin Jabal pernah shalat isya bersama Nabi SAW kemuadian ia kembali dan mengimami kaumnya. Dalam melaksanakan shalat isya bersama kaumnya Mu’az membaca surah al-Baqarah. Berita tersebut sampailah kepada Nabi SAW, lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’az apakah kamu ini tukang fitnah atau pemicu fitnah? Sebanyak tiga kali. Seandainya kamu shalat membaca: sabbihismarabbikal ‘akla…, wasy syamsi wa dhuhaha dan wal Laili iza yaghsya sesungguhnya di antara orang-orang yang shalat di belakangmu itu terdapat orang tua, orang lemah dan orang yang mempunyai keperluan”.
Bacaan ringan yang dituntun dalam mengimami shalat terbagi dua; pertama, tidak memanjangkan bacaan ayat Al-Qur’an apabila merasakan ada jama’ah yang lemah, sakit, tua atau para pedagang yang memerlukan waktu untuk berdagang, berdasarkan hadits: iza amma ahadukumun nas fal yukhaffif (jika mengimami shalat maka ringankanlah dalam bacaan); kedua, meringankan bacaan karena ada alasan mendesak seperti imam mendengar ada anak bayi menangis, hal ini sesuai dengan hadits dari Abu Qatadah: “Sesungguhnya aku akan berdiri dan memanjangkan bacaan dalam shalat karena mendengar seorang bayi menangis maka Aku meringankan bacaan shalatku karena tidak mau menyusahkan ibu bayi tersebut”.
3. Memanjangkan dua raka’at pertama dengan memendekkan dua raka’at terakhhir. Selaras dengan hadits dari Jabir bin Samurah r.a yang di dalamnya disebutkan bahwa Sa’ad r.a pernah berucap kepada Umar bin Khaththab: sesungguhnya aku akan shalat Bersama mereka seperti shalat Rasulullah SAW, yakni dengan memanjangkan dua raka’at pertama dan memendekkan dua raka’at terakhir. Aku tidak pernah memendekkan shalat karena aku mengikuti shalat Rasulullah SAW.
4. Setelah memberi salam imam menghadap wajahnya kehadapan ma’mum. Hal ini sesuai dengan hadits dari Samurah bin Jundab r.a yang mengatakan: Nabi SAW setelah selesai shalat lalu menghadapkan wajahnya kepada kami. Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul bari menjelaskan bahwa membelakangi ma’mum adalah hak imam ketika sedang mengimami shalat, maka untuk menghilangkan kesombongan selepas shalat imam harus menghadap kepada ma’mum.
5. Imam tidak boleh mengimami suatu kaum kecuali atas izin kaum tersebut dan tidak dibolehkan berdo’a untuk diri sendiri yang diamini ma’mum, selaras dengan hadits dari Abu Hurairah: tidak dibolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari aakhir untuk mengimami suatu kaum kecuali dengan seizin mereka. Tidak pula mengkhususkan do’a hanya untuk diri sendiri tanpa mempedulikan mereka. Jika dia melakukan hal tersebut berarti dia telah mengkhianati mereka.
6. Imam tetap tinggal sebentar di tempatnya setelah mengucapkan salam. Berdasarkan dari hadits Ummu Salamah: “Jika Rasulullah SAW sudah mengucapkan salam, kaum wanitapun berdiri, sementara beliau diam sejenak sebelum berdiri. Dalam lafaz lain: Beliau mengucapkan salam lalu kaum wanita berbalik dan masuk kerumah mereka masing-masing sebelum Rasulullah SAW berbalik. Ibnu Syihab berkata: Aku melihat, wallahu ‘aklam, menetapnya beliau di tempat shalatnya dimaksudkan agar kaum wanita sudah beranjak pergi sebelum mereka dilihat oleh orang-orang ketika mereka berbalik. Ibnu Hajar menafsirkan hadits tersebut untuk menjaga iman seseorang dan menjaga tidak terjadi ikhtilath dalam perjalanan pulang dari masjid antara lelaki dengan Perempuan.
7. Imam berdiri duluan untuk meninggalkan arena shalat baru disusul oleh ma’mum. Berdasarkan hadits Nasa-i: kaum wanita segera bangun dan pergi setelah Rasulullah SAW selesai salam dalam shalat, kemudian Nabi bangkit baru disusuli oleh jama’ah lelaki.
8. Tidak mengerjakan shalat sunnat di tempat yang digunakan shalat wajib. Ini sesuai dengan yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah: seorang imam tidak boleh mengerjakan shalat sunnat di tempat ia mengerjakan shalat wajib hingga dia berpindah.
9. Imam dianjurkan membuat sutrah di depannya sebagai pembatas dengan pihak lain yang berlalu di sana, sutrah tersebut menjadi pembatas baginya dan makmum di belakangnya. Hal ini selaras dengan hadis Abu Sa’id Al-Khudri: “Jika seseorang kamu mengerjakan shalat, hendaklah ia menghadap kepada sutrah dan mendekat kepadanya.
10. Posisi seorang imam tidak berada pada tempat yang terlalu tinggi dari posisi makmum. Hal ini diterangkan dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/48) dan dalam Asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu Utsaimin (IV/423-426).
11. Seorang imam juga tidak dibolehkan shalat di tempat yang tertutup untuk makmum, hal ini diterangkan dalam kitab Al-Mushannaf karya Ibnu Abu Syaibah (II/59-60) dan juga dalam Asy-Syarhul Mumti’ (IV/427-428).
12. Imam tidak terlalu lama duduk menghadap qiblat setelah mengucapkan salam. Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah yang menyatakan: setelah salam Nabi tidak duduk lama kecuali seukuran selesai mengucapkan do”: Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya zal jalali wal ikram.
13. Untuk memelihara kemuslihatan makmum dengan cara tidak boleh bertentangan dengan sunnah. Sebagaimana keterangan hadis dari Jabir; Nabi senantiasa memelihara kemuslihatan jama’ah dengan mengakirkan shalat ‘isya jika para shahabatnya belum berkumpul untuk shalat berjama’ah. Kata Jabir: shalat ’isya itu tidak selalu dikerjakan pada awal waktu, jika Nabi melihat para shahabat sudah berkumpul baru Beliau melaksanakan shalat jika para shahabat belum berkumpul Nabi mentakkhirkan shalat.
14. Setelah mengucapkan salam, imam hendaklah menghadap jama’ah baik berpaling kearah sebelah kanan maupun kekiri. Keterangannya Nabi pernah menghadap ke arah jama’ah setelah salam dengan memalingkan kearah kanan dan juga kearah kiri, artinya kedua-duanya boleh dilakukan karena Nabi pernah melakukan demikian. Keterangan tersebut didasarkan kepada hadis dari Abdullah ibnu Mas’ud, Imam Muslim menyebutkan bahwa Nabi lebih banyak berpaling kearah kanan berbanding kearah kiri dan banyak keterangan hadis yang sering Nabi berpaling kearah kana menghadap makmum.


Shahih Muslim, kitab Ash-Shalah bab al-Qira ah fidz Dzuhri wal ‘ashar no. 454.
Imam Bukhari, Kitab Ash-Shalah hadits no. 703, Imam Muslim, Kitab Ash-Shalah hadits no. 467.
Imam Bukhari, Kitab al-Azan hadits no. 703. Imam Muslim, kitab ash-Shalah, hadits no. 465.
Muttafaqun ‘alaih, Bukhari no. 703 dan Muslim no. 467.
Bukhari, kitab al-Azan, hadis no. 770 dan Muslim dalam kitab ash-Shalah, hadits no. 453.
Bukhari, kitab al-Azan, hadits no. 845.
Hadits Abu Dawud no. 91, Tirmizi no. 357.
Bukhari, kitab al-Azan, hadits no. 837, 849, 850.
An-Nasa-I, kitab as-Sahwi, hadits n0. 1333
Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalah, hadits no. 616, Ibnu Majah dalam kitab Ash-Shalah, hadits no. 1428
Sunan Abu Daud (I/135)
Shahih Muslim, kitab Al-masajid, bab istihbaabuz zikri bakdash shalah wa bayaanu shifatihi, no. 591.
Shahih Bukhari no. 560 dan Shahiih Muslim no. 646.

Prof. Syabuddin Gade

Oleh: Al-Faqir Syabuddin Gade

I. Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia, cinta adalah kekuatan yang mampu menggerakkan jiwa, membentuk tindakan, dan menetapkan arah hidup. Namun, Islam tidak membiarkan cinta menjadi liar tanpa kendali. Allah menempatkan cinta sejati hanya kepada-Nya dan menjadikan cinta kepada selain-Nya tunduk pada cinta kepada-Nya. Dua ayat dalam Al-Qur’an yaitu Surah Al-Baqarah ayat 165 dan Surah Ali Imran ayat 31 mengungkapkan pentingnya memurnikan cinta kepada Allah dan membuktikan cinta tersebut dengan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ.

II. Teks dan Terjemahan Ayat

1. Surah Al-Baqarah: 165

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًۭا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّۭا لِّلَّهِ ۗ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)

2. Surah Ali Imran: 31

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

III. Sebab Nuzul

1. Surah Al-Baqarah: 165

Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, ayat ini turun berkaitan dengan kaum musyrikin yang menyembah berhala dan mencintai sesembahan mereka seperti mencintai Allah. Mereka memberi nama kepada berhala mereka dengan nama-nama Allah dan merasa bahwa berhala itu dapat memberi syafaat atau manfaat, sebagaimana Allah.

2. Surah Ali Imran: 31

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa ayat ini turun ketika sekelompok orang Arab mengaku mencintai Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai ujian kejujuran cinta mereka, yaitu dengan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ sebagai satu-satunya bukti nyata cinta kepada Allah.

IV. Munasabah (Keterkaitan) Antara Keduanya

Kedua ayat ini membahas tentang cinta kepada Allah, namun dari dua sudut pandang:

QS. Al-Baqarah: 165 menggambarkan kesalahan manusia dalam menempatkan cinta—mereka menyamakan cinta kepada selain Allah dengan cinta kepada Allah.

QS. Ali Imran: 31 memberikan solusi dan panduan praktis: jika benar mencintai Allah, maka ikutilah Rasul-Nya.

Jadi, Al-Baqarah 165 adalah peringatan, sedangkan Ali Imran 31 adalah bukti dan syarat cinta yang benar. Munasabah ini menunjukkan bahwa iman sejati tidak hanya menghindari kesyirikan dalam cinta, tapi juga membuktikannya dengan ketaatan total kepada Rasulullah ﷺ.

V. Isi Kandungan Ayat

1. QS. Al-Baqarah: 165

Larangan menyekutukan Allah dalam cinta dan penghambaan.

Cinta sejati hanya milik Allah dan tidak boleh disejajarkan dengan cinta kepada makhluk.

Orang-orang beriman mencintai Allah lebih dalam dibandingkan kaum musyrikin mencintai berhala mereka.

Iman memperkuat cinta kepada Allah, sedangkan syirik melemahkannya dan menyimpangkannya.

2. QS. Ali Imran: 31

Cinta kepada Allah harus dibuktikan dengan mengikuti Rasulullah.

Ketaatan kepada Nabi ﷺ adalah bukti konkret cinta, bukan sekadar pengakuan lisan.

Jika mengikuti Rasulullah, maka Allah akan mencintai kita (balasan cinta dari Allah) dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita. Hal ini menunjukkan bahwa jalan menuju cinta dan ampunan Allah adalah dengan mengikuti dan mentaati Sunnah Rasulullah SAW.

VI. Tafsir dan Pandangan Ulama

1. Tafsir Ibnu Katsir

Tentang Al-Baqarah 165, Ibnu Katsir mengatakan bahwa “tandingan” yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dicintai dan ditaati sebagaimana Allah, seperti berhala, tokoh, bahkan hawa nafsu.

Tentang Ali Imran 31, ia menegaskan bahwa ayat ini adalah ujian bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah: jika benar, maka buktikan dengan ittiba’ kepada Rasulullah ﷺ.

2. Tafsir Al-Qurthubi

Beliau menafsirkan bahwa cinta yang dimaksud adalah cinta pengagungan, bukan sekadar afeksi. Maka menyamakan cinta makhluk dengan cinta kepada Allah adalah bentuk kesyirikan.

Dalam Ali Imran 31, Al-Qurthubi menegaskan bahwa tanpa ittiba’ kepada Nabi, cinta kepada Allah adalah kosong dan palsu.

3. Imam Hasan Al-Bashri

Beliau berkata:
“Ada sekelompok kaum yang mengaku mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini (Ali Imran: 31).”
Dengan kata lain, mengikuti Nabi adalah syarat cinta yang sah.

VII. Hadis Pendukung

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah salah seorang dari kalian beriman hingga aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memperkuat ayat Ali Imran: 31, bahwa mengikuti Rasulullah lahir dari cinta yang mendalam dan menjadi syarat kesempurnaan iman.

VIII. Penutup

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa cinta kepada Allah bukan hanya soal perasaan, tetapi harus dibuktikan melalui penghambaan yang benar dan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ. Menyamakan cinta kepada selain Allah dengan cinta kepada-Nya adalah bentuk kesyirikan yang merusak iman. Sedangkan cinta sejati kepada Allah akan menuntun seseorang pada jalan Rasulullah, yang berujung pada cinta dan ampunan dari Allah. Wa Allahu A’lam.


Seorang pemuda bernama Johan (37 tahun) asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, dengan penuh keyakinan mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi muallaf di masjid dalam Komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Senin (1/9/2025) usai pelaksanaan shalat Maghrib berjamaah.

Prosesi sakral tersebut dipandu langsung oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof. Dr. Muhammad AR, M.Ed yang didampingi Sekretaris Forum Dakwah Perbatasan, Dr Abizal Muhammad Yati, MA. Dengan bimbingan penuh hikmah, Prof Muhammad AR menuntun Johan melafalkan kalimat tauhid yang menjadi pintu gerbang keimanan.

Suasana haru dan khidmat menyelimuti jamaah, yang turut merasakan keagungan nikmat hidayah dari Allah Swt. Turut hadir pula pengurus Dewan Dakwah Aceh, Forum Dakwah Perbatasan, serta mahasiswa Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh yang menjadi saksi langsung peristiwa penuh berkah tersebut.

Prof. Dr. Muhammad AR dalam kesempatan itu menyampaikan rasa syukur dan doa agar saudara Johan senantiasa diberikan keteguhan iman, kemudahan dalam mempelajari Islam serta istiqamah dalam mengamalkan ajaran agama Allah.

“Hidayah adalah karunia terbesar dari Allah. Semoga saudara kita yang baru memeluk Islam ini selalu dikuatkan langkahnya dalam menapaki jalan kebenaran,” ujarnya.

Ia menjelaskan kegiatan tersebut terselenggara berkat sinergi antara Dewan Dakwah Aceh dan Forum Dakwah Perbatasan.

“Kolaborasi ini menjadi bukti nyata semangat dakwah yang terus digelorakan untuk menyentuh hati saudara-saudara kita di berbagai penjuru negeri,” kata Prof Muhammad AR.

Sekretaris Forum Dakwah Perbatasan, Dr Abizal Muhammad Yati, MA menambahkan momentum tersebut juga menjadi pengingat bagi umat Islam bahwa dakwah merupakan amanah bersama. Dengan kerja sama dan kepedulian, pintu-pintu hidayah akan terus terbuka bagi siapa saja yang mencari kebenaran.

“Selanjutnya Johan akan mengikuti bimbingan secara intensif tentang akidah, ibadah, akhlak dan bacaan Al-Quran. Semoga peristiwa ini membawa keberkahan, memperkuat ukhuwah Islamiyah dan menjadi motivasi bagi umat untuk terus berperan aktif dalam menyebarkan risalah Islam dengan penuh kasih sayang dan hikmah,” pungkas Dr Abizal.

teks foto:
Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof. Dr. Muhammad AR, M.Ed yang didampingi Sekretaris Forum Dakwah Perbatasan, Dr Abizal Muhammad Yati, MA memandu prosesi pensyahadatan Johan di masjid dalam Komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Senin (1/9/2025) usai shalat Maghrib berjamaah.

Oleh Prof. Dr. Muhammad, M. Ed

Kemerdekaan bukanlah untuk memberi amnesti dan pembebasan kepada koruptor dan para pelaku dosa terhadap rakyat dan negara. Konon lagi memberi pengampunan kepada mereka yang telah menipu rakyat banyak, akan tetapi berilah kemerdekaan kepada orang-orang yang ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara oleh lawan-lawan politiknya yang belum tentu bersalah. Karena kebanyakan pengadilan memutuskan perkara sesuai pesanan dan selera para pemegang kendali negara.

Oleh kerana itu hari kemerdekaan Republik Indonesia hari ini seharusnya membebaskan orang-orang yang dipenjara oleh rezim Jokowi bukan karena kesalahannya tetapi karena tidak mau mengikuti telunjuknya, karena tidak sealiran dengannya. Misalnya memerdekakan Setya Novanto atas tuduhan E-KTP dari penjara perlu ditinjau ulang karena ia seharusnya bukan pengampunan yang harus diberikan, akan tetapi dimiskinkan sampai ke titik nadir. Ini pelajaran penting bagi penjarah uang negara dan uang rakyat, “no bargain” terhadap mereka karena mereka tidak punya hati nurani dalam memiskinkan rakyat 230 juta demi memperkaya diri dan kroni-kroninya. Lalu kepada orang semacam ini diberi amnesti dan pemotongan masa tahanan, malah sebelumnya afa yang pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran selama dalam masa penahanan.
Orang
Presiden Prabowo seharusnya harus adil dan bijak dalam memberikan amnesti kepada narapidana, misalnya koruptor, narkoba, pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat-pengkhianat lainnya. Kemerdekaan harus diberikan kepada kaum tertindas, kaum fakir miskin agar mereka terbebas dari belenggu para tiran dan majikan yang biadab, dan bebas dari kelaparan dan kepapaan. Kalau ini bisa dilakukan oleh para pengendali negara, maka inilah kemerdekaan yang hakiki yang perlu dilaksanakan.

Orang sangat merasa risih dan sangat sakit hati kalau yang dibebaskan itu adalah koruptor yang melahap uang negara triliunan dan milyaran, pembunuh yang tidak berperi kemanusiaan, pemerkosa anak-anak dan perempuan, hakim dan jaksa yang menerima uang suap, polisi yang curang, tentara yang tidak setia kepada negara dan taat hukum, akan tetapi terapkan hukum kepada mereka hingga jera yang kuat harus dilemahkan hingga lunglai, yang kaya harus dimiskinkan, yang memperkosa harus dikebiri, dan yang berlaku tidak adil dan suka menerima dan minta suap harus dijadikan mereka menjadi pengemis. Itulah hukum yang sebanding dan inilah yang namanya qishas. Ini baru merdeka dalam pandangan masyarakat kelas bawah.
Kemerdekaan bukan hanya slogan kosong dan lomba panjat pinang, dan serba pertandingan lainnya. Akan tetapi kemerdekaan adalah renungan penuh makna disertai doa kepada para syuhada dan pahlawan. Kemerdekaan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dianugerahkan Allah kepada negara dan bangsa ini. Kita harus merdeka dari kebodohan dan kemiskinan serta informasi yang seluas-luasnya tanpa harus ditutup-tutupi. Ini baru merdeka.
Kita harus diberikan kemerdekaan juga dalam hal memberikan usul dan perbaikan pemerintah, dan jangan dianggap mengkritik pemerintah tetapi memberikan masukan agar kalau ada kekurangan dan ketimpangan cepat ditanggulangi, karena itu para Raja baik diperingkat Kabupaten, kota provinsi hingga pusat tidak alergi dengan kritikan yang datang dari rakyat bawah. Para raja tidak wajib mendengar bisikan bisikan yang berasal dari sekelilingnya saja yang hanya menyajikan berita yang manis sementara berita yang menyakitkan dan penderitaan rakyat banyak disembunyikan.

Marilah kita maknai kemerdekaan ini secara arif dan bernilai agar maksud dan tujuan kemerdekaan tidak salah paham bagi orang- orang yang sedang mengelola negara, adil dan bijaklah dalam berbuat serta berkuasa terhadàp rakyat yang tidak berdosa menjadi korban ketidakadilan kita sebagai pengendali negara. Letakan sesuatu pada tempatnya, jangan selalu melihat ke atas tetapi sesekali lihat ke bawah dan semakin banyak melihat ke bawah semakin baik dan selamat. Pengkhianat tidak perlu dipuji dan disanjung. Yang berhak dipenjara jangan dimerdekakan, dan yang berhak bebas tak perlu dipenjarakan. Inilah makna kemerdekaan dalam perspektif “lay man”.

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR.M.Ed

Bangsa Indonesia hari ini (Ahad tanggal 17 Agustus 2025) telah genap 80 tahun merayakan hari kemerdekaannya. Artinya bangsa ini telah 80 tahun merdeka dari penjajah yang tidak punya peri kemanusiaan dan tidak beradab dari segi nilai kemanusiaan. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang Indonesia mensyukuri nikmat Allah yang sangat besar ini dan tidak lupa mendoakan kepada segenap roh para pahlawan dan syuhada yang telah berjuang mati-matian demi bangsanya. Inilah bangsa yang mempunyai rasa syukur kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa)
dan jasa para pahlawan.

Merah putih merupakan bendera bangsa dan Inilah penyebab para pahlawan dan para syuhada rela nyawa dan hartanya melayang tanpa perlu mendapat pujian dan ganti rugi. Bendera bangsa ini bukan hanya harus dijunjung tinggi oleh TNI-POLRI saja, akan tetapi oleh semua anak bangsa tanpa kecuali bagi yang sudah berbangsa Indonesia, bertanah air Indonesia dan berbahasa Indonesia. Ingatlah jasa dan perjuangan mereka para pendiri bangsa, jangan sampai anda menjadi anti terhadàp sejarah bangsa hingga menghilangkan pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan bangsa. Ini adalah bentuk pengkhianat terhadap bangsa dan juga kepada orang-orang yang mengutamakan bendera-bendera lainnya.

Namun sekarang berlomba-lomba menaikkan bendera sendiri seperti one piece dan bendera-bendera partanya, bendera-bendera organisasinya, dan bendera-bendera lainnya karena mungkin tidak lagi senang dengan bendera bangsanya. Kalau tidak senang kepada pemerintah, bukan benderanya yang diboikot tetapi pemerintahnya yang harus diperbetulkan. Sebab kalau kita yang memerintah nanti sang saka merah putih itu juga yang kita pertahankan. Kalau pemerintah dan aparat negara tidak menjalankan keadilan, khususnya dalam menegakkan hukum secara adil, tidak berkeadilan dalam pengusaan dan distribusi hasil bumi, keadilan ekonomi, sosial, pendidikan dan pekerjaan kepada anak bangsa. Maka sama saja bagi mereka adalah termasuk orang-orang yang tidak tahu berterima kasih.

Orang yang tahu berterimakasih adalah zelalu bertanya “apa yang seharusnya kuberikan kepada negara bukan sebaliknya berapa banyak harta negara yang dikorupsi” . Kalau begini kelakuannya itu adalah pengkhianat negara, jadi gak perlu jauh dan sukar untuk mencari pengkhianat negara. Mereka ada di tengah-tengah kita tinggal mereka ditangkap dan dijebloskan ke Nusakambangan semuanya. Inilah cara yang harus ditempuh oleh Raja yang adil sebagai cara mensyukuri nikmat.

Jadi jangan salah cara menikmati hari kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kemerdekaan. Lihat bagaimana Umar bin Khattab memimpin sehingga orang misikin dan fakir-pun ditemukan karena Dia ketika habis shalat malam, mengunjungi rumah-rumah rakyatnya untuk memastikan apakah mereka makan atau berpuasa berhari-hari. Sehingga harta negara dan baitul maal harus menyantuni mereka semua. Jadi uang negara atau harta negara harus diberikan kepada anak bangsa yang membutuhkannya tidak mengendap dikantong-kantong conglomerat, penguasa dan baital maal. Orang kaya miskin disisi Umar bin Khattab dan orang miskin merasa kaya, orang kuat merasa lemah, dan orang lemah merasa kuat dihadapan mahkamahnya. Ini termasuk menyukuri nikmat dengan menjalankan keadilan yang merata tanpa pandang bulu.

Islam mengajarkan kita berterima kasih melalui ketaatan kepada Allah artinya mengerjakan semua suruhan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, ini sebagai bukti perhambaan kepada Allah dan sekaligus menyukuri nikmat. Kalau ini kita lakukan baik ummat Islam ataupun non muslim maka ini sudah dianggap mensyukuri nikmat.

Oleh: Afrizal Refo, MA

Dua puluh tahun telah berlalu Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati menandatangani sebuah perjanjian bersejarah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di sebuah ruang bersejarah di Helsinki, Finlandia. Perjanjian itu menutup lembaran kelam konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu orang dan memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Tanggal 15 Agustus 2005 itu bukan sekadar lembaran perjanjian di atas kertas, melainkan ikrar jiwa bahwa peluru akan berhenti berbicara dan suara-suara nurani akan mengambil alih. MoU Helsinki menjadi tanda lahirnya kembali Aceh sebagai tanah yang merindukan pelukan, bukan ledakan tapi tanah rencong yang menebar senyum, bukan luka.

Sebelum hari itu, Aceh adalah hamparan tanah yang kerap basah bukan hanya oleh hujan, tapi juga oleh darah. Pekikan ibu yang kehilangan anaknya, isak anak yang kehilangan ayahnya, dan tatapan kosong mereka yang rumahnya musnah menjadi bagian dari nyanyian kelam masa lalu. Jalan-jalan dipenuhi pos-pos pemeriksaan, hutan-hutan menyimpan dentuman senjata, dan malam tak pernah benar-benar sunyi.

MoU Helsinki memutus rantai itu. Sejak hari itu, dentuman yang terdengar di Tanah Rencong bukan lagi ledakan senjata, melainkan denting cangkul di sawah, suara gelak tawa anak di sekolah, dan lantunan azan yang menggema tanpa rasa takut. Desa-desa yang dulu porak-poranda mulai berbenah, sawah kembali menghijau, pasar kembali ramai, dan wajah-wajah yang dulu tegang kini mulai berani tersenyum pada orang asing.

Kini, dua dekade telah berlalu. Damai masih bersemi di Serambi Mekah meski tak selalu tanpa ujian. Dua puluh tahun ini adalah waktu yang cukup panjang untuk menilai sejauh mana perjanjian itu dihidupi, diimplementasikan, dan diwariskan kepada generasi baru Aceh

Namun, damai bukanlah hadiah yang bisa disimpan begitu saja di lemari sejarah. Damai adalah taman yang harus disiram, dipangkas, dan dijaga dari duri-duri yang siap tumbuh kapan saja. Dua dekade ini mengajarkan bahwa menghentikan perang jauh lebih mudah daripada merawat perdamaian. Senjata bisa dikubur, tapi rasa curiga dan luka batin butuh waktu untuk sembuh.

Di balik pembangunan yang terlihat Aceh masih menyimpan pekerjaan rumah. Dana melimpah dari otonomi khusus belum sepenuhnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan merata. Ada desa yang makmur namun ada pula yang masih bertahan di pinggir kemiskinan. Ada anak muda yang sukses memimpin, namun tak sedikit yang terjebak pengangguran dan kehilangan arah. Korupsi sesekali merusak citra pemimpin seperti noda di kain putih perdamaian yang kita banggakan.

Meski begitu, tak ada yang bisa menyangkal bahwa Aceh hari ini jauh berbeda dari Aceh dua dekade silam. Pemuda-pemuda kini bisa beraktivitas bekerja seperti pergi kesawah atau menuntut imu tanpa takut suara mereka tertelan deru tembakan. Perempuan-perempuan bisa menjahit di teras rumah sambil bercengkerama dengan tetangga tanpa khawatir suara itu menjadi tanda bahaya. Dan para mantan kombatan kini bisa duduk berdampingan dengan mantan lawan politiknya di meja rapat membicarakan masa depan bukan masa lalu.

Dua dekade ini juga memberi pelajaran bahwa perdamaian harus terus dipelajari dan diwariskan. Generasi yang lahir setelah 2005 mungkin hanya mengenal perang dari buku dan cerita. Mereka tak pernah merasakan dinginnya tidur di hutan untuk menghindari baku tembak. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menyembunyikan saudara di kolong rumah. Karena itu, sejarah harus terus diceritakan bukan untuk membuka luka lama tetapi untuk mengajarkan harga mahal dari sebuah damai.

Kini, di Tanah Rencong, kita punya pilihan membiarkan damai ini berjalan di jalannya sendiri, atau merawatnya dengan sepenuh hati. Kita bisa mengisinya dengan pembangunan yang adil dengan pemerintahan yang bersih dengan ekonomi yang menghidupi rakyat dari desa hingga kota. Kita bisa mengajarkan kepada anak-anak bahwa damai bukan sekadar tiadanya perang, tapi hadirnya rasa aman, rasa dihargai, dan kesempatan yang sama untuk semua.

Aceh punya segalanya untuk menjadi contoh bagi dunia berupa alam yang kaya, budaya yang kokoh, dan sejarah yang mengajarkan betapa berharga hidup tanpa perang. Tinggal bagaimana kita, anak-anak yang lahir dari rahim damai ini mampu menjaganya dari tangan-tangan yang mungkin mencoba merenggutnya kembali.

Dua puluh tahun MoU Helsinki adalah pencapaian besar. Tidak banyak wilayah di dunia yang berhasil mempertahankan perdamaian begitu lama setelah konflik bersenjata. Tetapi, seperti taman yang indah, damai memerlukan perawatan terus-menerus. Jika dibiarkan tanpa perhatian, ia bisa dipenuhi gulma yang mengganggu keindahannya.

Dua puluh tahun MoU Helsinki bukanlah akhir dari perjalanan. Ia hanyalah sebuah jeda panjang dari masa lalu yang kelam, sebuah kesempatan untuk menulis bab-bab baru yang lebih indah. Jika dulu kita rela berkorban demi merdeka dari derita perang, maka kini kita harus rela berkorban demi merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.

Tanah Rencong telah mengajarkan pada dunia bahwa peluru bisa diganti dengan kata, bahwa luka bisa disembuhkan dengan pelukan, dan bahwa dendam bisa dikalahkan oleh doa. Mari kita terus menjaga agar pelajaran ini tak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi menjadi napas kehidupan setiap hari. Karena damai yang kita miliki hari ini adalah warisan, dan warisan hanya berarti jika dijaga untuk generasi berikutnya.

Dua dekade MoU Helsinki adalah cermin. Di dalamnya, kita bisa melihat betapa jauh kita telah berjalan, dan betapa panjang jalan yang masih harus ditempuh.

Aceh telah membuktikan bahwa luka masa lalu bisa disembuhkan dengan keberanian untuk berdamai. Tantangan kita kini adalah memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi bukan hanya tanah yang subur dan kaya budaya, tetapi juga negeri yang damai, adil, dan sejahtera. Dua dekade MoU Helsinki adalah pengingat bahwa perdamaian adalah hadiah yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan. Semoga ketika dua dekade berikutnya tiba, kita masih bisa berkata dengan bangga: Damai ini adalah pilihan kita, dan kita menjaganya dengan sepenuh hati.

Penulis : Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa dan Ketua Komunitas Generasi Rabbani Langsa

Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh kembali melahirkan kader dakwah unggulan. Sebanyak 12 dai dan daiyah dari angkatan XI tahun akademik 2024/2025 resmi diwisuda dalam acara tasyakuran yang digelar di Kampus ADI Aceh, Komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Sabtu (2/8/2024).

Direktur ADI Aceh, Dr. Abizal Muhammad Yati, Lc, MA, dalam sambutannya menyampaikan ADI Aceh merupakan lembaga pencetak kader dai ilallah yang berada di bawah naungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Kini telah memasuki usia 11 tahun sejak didirikan pada tahun 2014. Dan telah melahirkan ratusan alumni yang saat ini telah bertugas sebagai dai di perbatasan dan pedalaman Aceh.

Ia menjelaskan pendidikan selama di ADI diberikan secara gratis baik tempat tinggal, konsumsi dan juga belajar. Hal ini berkat donatur yang senantiasa memberikan sumbangan rutin dan para dosen yang mengajar tanpa diberikan bayaran.

“Alhamdulillah, tahun ini kita mewisuda 12 kader dakwah—terdiri dari 8 dai dan 4 daiyah. Mayoritas berasal dari kawasan perbatasan Aceh-Sumatera Utara, seperti Sidikalang (2 orang), Aceh Singkil (1 orang), dan Subulussalam (3 orang). Selebihnya dari berbagai kabupaten lainnya di Aceh,” ujar Dr. Abizal.

Ia menambahkan, para wisudawan telah menempuh pendidikan selama satu tahun di ADI Aceh dengan materi pembelajaran meliputi ilmu syariat, tauhid, fiqh, tafsir, hadist dan teori dakwah. Selain itu juga praktikum dakwah lapangan dengan langsung diterjunkan untuk praktek dakwah selama satu bulan penuh pada bulan Ramadan di pedalaman dan perbatasan Aceh.

“Setelah lulus dari ADI, mereka akan melanjutkan studi ke jenjang S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta. Nantinya mereka akan kembali ke daerah asal untuk mengabdi di tengah masyarakat,” tambahnya.

Koodinator kegiatan, Hanisullah, S.Kom.I, M.Pd., menyebutkan rangkaian acara wisuda diisi dengan tausiah parenting oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof. Dr. Muhammad AR, M.Ed., yang menekankan pentingnya peran keluarga dalam mendukung gerakan dakwah.

“Dengan wisuda kali ini, jumlah total alumni ADI Aceh mencapai 133 orang. Mereka terus mengabdi di berbagai daerah, terutama wilayah-wilayah perbatasan dan pedalaman,” jelas Hanisullah.

Ia menegaskan, ADI Aceh semakin menunjukkan komitmennya dalam mencetak kader dakwah yang siap berkontribusi di berbagai medan pengabdian.

“Wisuda ini menjadi bukti nyata bahwa ADI Aceh terus memainkan peran penting dalam menjaga dan mengembangkan syiar Islam di tengah masyarakat,” katanya.

Prof. Muhammad AR M. Ed selaku Ketua Dewan Dakwah Aceh menyampaikan dalam orasinya bahwa perlu ukhuwah yang kokoh untuk dapat mendukung semua program Dewan Dakwah Aceh saat ini termasuk program kaderasi dai melalui ADI.

Program Dewan Dakwah Aceh lainnya seperti Kajian setiap sabtu Subuh ( Sabda), Taman Kanak-Kanak (TK) yang telah berjalan, Kegiatan TPA untuk anak-anak sore hari juga telah berjalan dan kegiatan lainnya.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada para donatur yang telah memberikan sumbangan sehingga terselenggaranya kegiatan di Dewan Dakwah. Kami juga mengajak kaum muslimin khususnya pengurus untuk senantiasa mengambil bagian dalam kegiatan yang dilaksanakan,”pungkas Prof Muhammad.

Oleh: Afrizal Refo, MA

Aktivis Pendidikan dan Pemerhati Anak

Setiap Tanggal 23 Juli kembali mengingatkan kita akan pentingnya memuliakan dan melindungi hak-hak anak melalui peringatan Hari Anak Nasional (HAN). Setiap tahun peringatan ini menjadi pengingat bahwa masa depan bangsa terletak pada kualitas anak-anak hari ini. Namun di saat peringatan Hari Anak Nasional kita juga harus berani melihat kenyataan bahwa anak-anak Indonesia termasuk di Aceh menghadapi tantangan besar di era digital yang berkembang sangat cepat.

Anak-anak saat ini tumbuh dalam era di mana teknologi menjadi bagian dari kehidupan sejak usia dini. Mereka belajar, bermain, bahkan bersosialisasi melalui gawai dan internet. Sayangnya, tidak semua anak mendapatkan bimbingan yang cukup dalam mengakses dunia digital yang luas dan tak berbatas itu. Maka dari itu momentum Hari Anak Nasional harus menjadi panggilan bagi semua pihak yaitu orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat untuk bersatu membekali anak-anak agar bijak menggunakan teknologi sejak dini.

Dunia digital bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Ini adalah bagian dari kehidupan modern yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana. Banyak manfaat dari teknologi bagi anak-anak, mulai dari aplikasi belajar interaktif, video edukatif, hingga akses informasi yang luas. Tapi di sisi lain teknologi juga menyimpan risiko besar jika digunakan tanpa pendampingan seperti kecanduan gawai, konten negatif, pergaulan bebas daring, cyberbullying, hingga eksploitasi online.

Kita sebagai orang dewasa khususnya para pendidik dan orang tua tidak bisa hanya menyalahkan anak atau melarang mereka menggunakan teknologi. Tugas kita adalah membimbing, mendampingi, dan mengarahkan agar anak-anak memahami bahwa teknologi adalah alat, bukan pelarian. Teknologi adalah sarana belajar dan berkarya, bukan tempat untuk tersesat.

Sebagai aktivis pendidikan saya sering menyaksikan betapa banyak anak-anak di sekolah dasar hingga menengah yang mengalami penurunan konsentrasi belajar, ketidakmampuan bersosialisasi secara sehat, bahkan gangguan emosi akibat penggunaan gawai yang berlebihan. Banyak dari mereka yang kecanduan game online, terpapar konten dewasa, atau aktif di media sosial tanpa kontrol yang memadai.

Hal ini menandakan bahwa pendidikan karakter berbasis digital sangat mendesak untuk diterapkan. Anak-anak perlu diajarkan bukan hanya cara mengoperasikan teknologi tapi juga bagaimana menggunakan teknologi secara sehat, aman, dan bertanggung jawab.

Sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai akhlak, etika bermedia, dan tanggung jawab digital. Guru tidak hanya dituntut menguasai IT, tetapi juga harus mampu membimbing anak membangun literasi digital yang sehat.

Peran Keluarga, Sekolah, dan Pemerintah

Keluarga adalah benteng utama dalam membentuk karakter dan kebiasaan anak dalam menggunakan teknologi. Orang tua perlu menjadi role model dalam penggunaan gawai. Jangan sampai anak diminta menjauh dari gawai sementara orang tua sendiri terus asyik dengan ponsel di hadapannya.

Lebih dari itu orang tua perlu aktif memberikan edukasi digital, menjelaskan mana konten yang baik dan buruk, serta menetapkan aturan waktu dan batasan penggunaan gawai. Bukan sekadar melarang tetapi mengajak anak berdialog dan memahami dampak dari teknologi dalam kehidupan mereka.

Sekolah juga memegang peranan krusial dalam membekali anak dengan keterampilan literasi digital yang sehat. Tidak cukup hanya mengajarkan penggunaan teknologi sebagai alat bantu belajar, tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab digital.

Program pendidikan karakter harus terintegrasi dengan pembelajaran teknologi. Anak-anak perlu belajar tentang pentingnya jejak digital, privasi online, serta etika berkomunikasi di media sosial. Guru tidak lagi hanya menjadi pengajar, tetapi juga fasilitator dan pembimbing dalam menjelajahi dunia maya dengan aman.

Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kominfo, dan Kemendikbudristek, memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan regulasi dan fasilitas yang melindungi anak-anak di ruang digital. Penguatan regulasi terhadap konten negatif, penyediaan platform edukatif anak, serta kampanye nasional tentang literasi digital harus menjadi agenda prioritas.

Selain itu, komunitas masyarakat, organisasi keagamaan, dan LSM juga bisa berkontribusi dalam mengadvokasi penggunaan teknologi secara sehat. Forum parenting digital, pelatihan guru, hingga kegiatan kampanye sadar gadget di sekolah dan masjid bisa menjadi gerakan sosial yang efektif.

Waspadai Pergaulan Bebas Virtual

Salah satu tantangan yang semakin mengkhawatirkan adalah pergaulan bebas melalui media sosial. Banyak anak-anak yang berkenalan dengan orang asing, bahkan menjalin hubungan asmara virtual yang tak sehat sejak usia dini. Fenomena ini kerap terjadi secara diam-diam karena orang tua dan guru sering tidak menyadarinya.

Di Aceh dengan identitas sebagai provinsi bersyariat ini menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat kita harus peka terhadap fenomena ini bukan hanya dengan melarang dan menghukum tetapi dengan mendidik dan menguatkan akhlak serta spiritualitas anak-anak kita. Inilah inti dari syariat Islam membina, bukan hanya membatasi.

Momentum Hari Anak Nasional 2025 seharusnya menjadi panggilan untuk melahirkan generasi anak Aceh dan Indonesia yang bukan hanya cakap teknologi tetapi juga kuat karakter dan nilai agamanya. Kita ingin anak-anak tidak hanya menjadi konsumen teknologi tetapi juga produsen konten positif, inovator, dan pemimpin masa depan.

Anak yang bijak digital adalah anak yang bisa memilah mana konten bermanfaat dan mana yang berbahaya, mana informasi valid dan mana hoaks, mana pergaulan sehat dan mana yang menjerumuskan. Untuk mencapai itu, kita butuh pendekatan kolaboratif antara pendidikan formal, keluarga, masyarakat, dan negara.

Penutup
Peringatan Hari Anak Nasional bukanlah sekadar perayaan tahunan. Ini adalah alarm bagi semua pihak untuk mengambil bagian dalam perjuangan besar menyelamatkan dan membentuk masa depan anak-anak kita di tengah gempuran era digital. Kita tidak bisa hanya berharap pada sekolah atau pemerintah. Kita semua bertanggung jawab.
Mereka bukan hanya penerus, tapi juga pembaru. Namun mereka tidak bisa berjalan sendiri. Mereka butuh tangan yang membimbing, suara yang menenangkan, dan teladan yang menginspirasi.

Selamat Hari Anak Nasional 2025. Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Anak Cerdas Digital, Aceh Bermartabat.

Penulis adalah Dosen PAI IAIN Langsa dan Sekretaris Umum Dewan Dakwah Kota Langsa.


Banda Aceh — Dewan Dakwah Islamiah Indonedia (DDII) Kota Banda Aceh menggelar kegiatan Sosialisasi Wakaf Baitul Mal Gampong se-Kota Banda Aceh di Hotel Alhanifi, Banda Aceh, Sabtu, (5/7/2025). Kegiatan ini sebagai upaya meningkatkan pemahaman, literasi, dan penguatan kelembagaan nazir wakaf pada tingkat gampong atau desa.

Kegiatan pertama kali di Aceh ini dimoderatori Ustadz Deni Tegar Anjasmara, menghadirkan tiga pemateri berkompeten yang membahas berbagai aspek wakaf dari sudut pandang strategis, pengelolaan, hingga regulasi kelembagaan.

Pemateri pertama, Ketua Badan Baitul Mal Aceh (BMA), Muhammad Haikal, ST, MIFP, menyampaikan materi dengan topik Strategi Peningkatan Peran Baitul Mal dalam Pengelolaan Wakaf. Dalam paparannya, ia menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga wakaf dalam mengoptimalkan potensi wakaf produktif.

Pemateri kedua, pengamat perkembangan wakaf, Fahmi M Nasir, membahas topik Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Ia menjelaskan, wakaf tidak hanya terbatas pada aset fisik seperti tanah atau bangunan, tetapi juga bisa dikembangkan dalam bentuk wakaf uang, yang memiliki potensi besar jika dikelola secara profesional dan transparan.

Sementara itu, pemateri ketiga, Ketua Badan Baitul Mal Kota (BMK) Banda Aceh, Dr M Yusuf Al Qardhawy, SH, MH, mengulas secara rinci Tugas Pokok dan Fungsi Baitul Mal Gampong. Menyampaikan peran vital Baitul Mal Gampong dalam mendukung program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan wakaf dan zakat yang amanah dan tepat sasaran.

Ketua Panitia, Firdaus Muhammad, ST, mengapresiasi dukungan fasilitasi kegiatan ini oleh BMA dan peserta yang hadir. Ia menegaskan urgensi kegiatan ini dalam memperkuat literasi wakaf di kalangan masyarakat dan nazir wakaf. “Kita berharap kegiatan ini dapat menjadi pijakan awal dalam membangun ekosistem wakaf yang sehat dan produktif di tingkat gampong,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Daerah DDII Kota Banda Aceh, Ambia M. Yusuf, ST, menambahkan, berbagai kegiatan dakwah merupakan bagian dari komitmen DDII dalam mengintensifkan dakwah dan pemberdayaan ekonomi umat. Ia mendorong optimalisasi peran Baitul Mal Gampong sebagai ujung tombak pengelolaan wakaf di tingkat akar rumput.

Acara tersebut dihadiri oleh para pengurus BMG, Badan Kemakmuran Masjid (BKM), nazir wakaf organisasi dan badan hukum se-Kota Banda Aceh. Hadir juga Majelis Syura DDII Kota Banda Aceh, Sayed Muhammad Husen dan T Adriansyah, serta Ketua Pengurus Daerah DDII Nagan Raya Samsul Bahri.