Oleh: Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed
Jika ada manusia yang berani mengatakan bahwa bencana banjir di Sumatera atau di Aceh adalah bukan karena ulah tangan manusia, berari mereka telah menentang pernyataan Allah swt dalam al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 41. Ini jelas sekali pertentangannya dan mengabaikan eksistensi kalam Allah, mereka ingin cuci tangan terhadap kerusakan yang telah mereka lakukan secara besar-besaran dengan menggunduli hutan untuk tanam kelapa sawit dengan alasan ekonomi dan menggali gunung untuk mencari emas, batubara, nikel dan sebagainya demi investasi dan meningkatkan income perkapita, serta meratakan gunung secara perlahan-lahan hingga akhirnya gunung seperti kepala tanpa rambut. Kalau bukan demi kerakusan dan keuntungan segelintir manusia, bumi ini insya Allah akan tetap aman dan sejahtera bagi para penghuninya. Tragis memang, yang menikmati alam ini hanya segelintir manusia yang berkuasa dan memiliki harta, sedangkan yang menderita jutawan anak bangsa yang tidak berdosa. Inikah yang disebut “Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia?” Makanya pemilik lahan itu harusnya orang daerah karena mereka tahu bahwa yang akan menerima akibat nanti adalah saudara atau keluarganya, keponakannya, mertuanya, bisannnya, menantunya, sepupunya, ibunya bapaknya, gurunya, orang kampungnya sehingga ketika dia hendak berbuat sesuatu dia pasti berpikir akan keselamatran saudara-saudaranya, tetapi kalau pemilik lahan itu orang luar apalagi orang asing, pasti mereka tidak tahu menahu tentang harga diri kemanusiaan dan persaudaraan. Mereka hanya tahu uang dan keuntungan, kemewahan diri, kebahagian keluarga dan kroninya sendiri. Mereka tidak ubahnya seperti penjajah.
Firman Allah yang artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Ar-Rum, ayat 41).
Coba pakek akal sehat dan hati nurani untuk memaknai ayat Allah di atas, kenapa semua kejadian yang mengenaskan baik di daratan ataupun di lautan itu terjadi, apakah itu terjadi dengan sendirinya atau secara alamiah, atau ada yang mengundangnya, atau ada orang yang ditakdirkan Allah untuk merusak bumi ini. Siapa yang bertanggung jawab atas rusaknya bumi, gundulnya gunung-gunung, kering dan dangkalnya sungai-sungai, matinya makhluk yang ada di sungai-sungai, terganggunya habitat makhluk hutan dan satwa liar, salahkan mereka ketika turun ke kawasan penduduk manusia? Salahkah para pengungsi yang tidak punya rumah lagi, tidak punya makanan dan minuman ketika menjarah dan merampok apa yang ada didepan mata mereka? Sedangkan para perusak hutan bersenang-senang di tempat aman dan tidur nyenyak di atas dipan-dipan yang menggairahkan, memakan sesuai kehendaknya, berjalan di atas tol dan highways yang tidak tersentuh lumpur dan debu, mereka bersuka ria dengan kroni, keluarga dan para pengeluar izin menggundul hutan, sementara rakyat jelata hidup penuh penderitaan dan kesengsaraan akibat ulah tangan manusia rakus. Bukankah pernyataan Allah lewat surat Ar-Rum ayat 41 di atas menshahihkan kebejatan manusia tentang perbuatan mereka yang tidak memikirkan keselamatan manusia lainnya, tidak menghiraukan nasib orang lain, dan sama sekali tidak punya belas kasihan seperti yang berlaku di Sumatera dan Aceh akhir bulan November dan awal Desember 2025.
Mari kita memakai otak untuk menghitung berapa nyawa yang sudah hilang gara-gara bala bencana ini, berapa buah rumah yang tidak tahu rimbanya diterjang banjir ini, berapa banyak binatang ternak yang telah punah dan bangkai-bangkainya merajalela di tengah pemukiman penduduk dengan bau yang menyesakkan hidung, berapa banyak bangkai-bangkai manusia berserakan di dalam lumpur dan sungai-sungai yang tidak terkubur, berapa banyak penduduk gunung dan bukit yang punah, berapa kantor pemerintah yang harus dibangun kembali, berapa harta benda yang sudah ranap, dan berapa kenderaan yang harus diperbaiki dari nol, dan berapa ribu anak manusia yang tidak belajar (berhenti) karena situasi dan kondisi ini serta gedung sekolahnya hancur, berapa banyak rumah ibadah yang rusak dan dipenuhi lumpur yang secara akal sehat kalau mau dibersihkan pakek cangkul dan alat-alat lainnya, enam bulanpun belum tentu selesai. Tidakkah kamu memakai otak? Demikian pernyataan Allah sering kita dapatkan dalam al-Qur’an. Seharusnya tidak purlu ditanya siapa manusia, itulah sejatinya seorang manusia kerjanya suka membangkang, suka merusak, suka membantah, keras kepala , egois, dan mau menang sendiri. Sering kita dengar orang-orang yang berkuasa selalu mengatakan, “Negara tidak boleh kalah”, walaupun terhadap rakyat jelata yang tidak punya pembela dan penolong.
Lihat bagaimana tragis dan sengsaranya warga Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireun, akibat dari bencana banjir ini. Rumah mereka ditelan bumi, harta benda mereka ditelan sungai dan lumpur, sanak saudaranya banyak yang hilang ditelan banjir, tempat sekolah anak-anak mereka banyak yang tidak tahu rimbanya, mereka menjerit kelaparan dan kehausan karena terisolir dan terputus hubungan dari berbagai jurusan. Jembatan putus, jalan terbelah dan terputus serta terkubur tanah longsor. Kata Wali Nanggroe helicopter di negeri ini banyak sekali tetapi yang diberikan untuk setiap provinsi yang terkena banjir hanya empat unit, suplai makanan terhenti seperti saudara kita yang tinggal di Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues, mereka memang tidak terkena banjir bandang tetapi imbasnya mereka kehabisan makanan, minuman, minyak, gas dan lain-lain. Ini dikarenakan terputusnya hubungan darat ke daerah mereka karena jembatan menuju ke dataran tinggi semuanya ludes dilahap air bah (banjir). Jika boleh dikatakan, musibah banjir tahun 2025 untuk Aceh melebihi Tsunami tanggal 26 Desember 2004. Karena tsunami hanya terjadi Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Sedangkan musibah banjir kali ini Desember 2025 hampir menyeluruh dirasakan di provinsi Aceh. Namun Tsunami banyak kehilangan nyawa dan harta benda, sedangkan musibah banjir tahun 2025 banyak kehilangan harta benda. Itu saja perbedaannya.
Namun demikian hingga hari ini, Ahad 14 Desember 2025 Pemerintah Republik Indonesia belum menetapkan Bencana Banjir Sumatera sebagai bencana nasional sehingga bantuan asing tidak diizinkan masuk dan tidak berani masuk untuk membantu korban banjir. Memang ini seperti buah simalakama, artinya “kalau dimakan mati ayah, dan kalau tidak dimakan mati mama”. Kita sendiri gak sanggup membantu dan merekonstruksi semula semua kehancuran ini walau dalam masa enam bulan, ada negara luarpun yang hendak membantu, namun ditolak oleh pemerintah kita, harus ada surat izin masuk. Kenapa untuk merambah hutan dan menggali gunung cepat sekali izinnya keluar? Ini artinya kita masih tegak berdiri untuk menolak bantuan asing , tetapi ada resikonya kalau bantuan asing diterima, mereka sambil bawa bantuan menyelidiki kenapa musibah ini terjadi, kalau penyebabnya sudah diketahui, hasilnya akan dipaparkan di event dunia, disitulah wajah Pemerintah Indonesia akan dipermalukan karena membiarkan hutan digundul, bukit diratakan, tambang dibuka seperti orang buka lapak di pasar malam khususnya kepada mereka yang punya kuku (ukee). Ini resiko dan memalukan, makanya walaupun kita miskin tetap menyuarakan kaya di mata dunia walaupun rakyat meronta-ronta, rumah tempat tinggal ranap, makanan senin kamis, air bersih model tadah hujan, transportasi lumpuh, aktivitas lumpuh total, hidup di tempat pengungsian yang sangat tidak layak dari semua unsur, dan begitulah yang penting rakyat yang punya ketauhidan yang tinggi, bersabarlah kepada Yang Maha Kuasa karena Dia-lah Yang Maha Penolong hamba-hambanya yang sabar.
Perlu diketahui akibat banjir itu, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Bireun, Pijay, Tamiang, Langsa, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dll dalam keadaan gelap gulita, krisis Listrik, krisis air mimun, krisis gas dan krisis BBM. Ini diakibatkan aktivitas transportasi lumpuh, lalu rakyat bertanya, kapan kondisi ini berubah setahun kah, sebulan kah, atau …? Sejak tulisan ini ditulis Aceh sudah tiga minggu hidup dalam menderita dari berbagai sektor, nasib baik manusia yang tinggal di Aceh masih dalam tataran sabar dan beriman yang hanya kepada Allah mereka sandarkan diri. Semoga artikel ini bisa menggugah semua orang dan jangan gara-gara musibah ini ada manusia busuk mengambil kesempatan dalam kesempitan, menaikkan harga, menaikkan biaya transortasi, menaikkan biaya penyeberangan, mempersulit izin, dan mengmabil upah seenaknya saja terhadap barang bantuan untuk kemanusiaan, memonopoli pelabuhan dan lapangan terbang untuk meminta ongkos bongkar muat barang. Bukankah pemerintah pusat dan orang-orang dermawan mengirimkan bantuan untuk saudara kita? Kenapa kita tidak punya hati nurani dan kemanusiaan? Ini telah berlaku terhadap penduduk Aceh oleh manusia yang berprangai Belut yang hanya bisa mencari makan di air keruh. Jauhkan sifat busuk ini kalau anda masih ber-KTP Islam.
Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh





























