Oleh: Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed
Ketika penulis masih kecil senantiasa menyanyi dalam bahasa Aceh yang mengisahkan kepada nasib para hakim di hari kiamat. “Padumna leu hakim-hakim asoe jahim uroe dudoe.” Ketika meja hijau berobah menjadi abu-abu, pada saat itulah semua orang tidak lagi percaya kepada penegak hukum yang duduk di meja hijau karena hukum itu sangat tergantung pada uang yang kita peroleh agar bisa menyogok para pengambil keputusan.
Presiden Prabowo ketika baru-baru dilantik sebagai Presiden RI, pernah mencadangkan untuk menaikkan gaji para hakim 100% karena beliau melihat bahwa gaji hakim sekarang dibawah upah minimum Regional para pekerja. Dan juga menanggapi respon terhadap ribuan hakim yang akan mengikuti aksi cuti bersama se-Indonesia. Ini sebagai bentuk protes menuntut hak para hakim yang sangat minim kesejahteraan mereka selama ini. Ditambah lagi, Prabowo geram dengan keputusan hakim terlalu ringan bagi koruptor triliunan rupiah.
Misalnya keputusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang memvonis Harvey Moeis 6.5 tahun atas tindak pidana korupsi pada penyalahgunaan izin usaha pengelolaan area PT Timah (Persero) Tbk. Malah presiden meminta kepada Kejaksaan Agung untuk naik banding terhadap hukuman 6.5 tahun dan denda 1 milyar, seharusnya 50 tahun harus dihukum kepada pelaku korupsi.
Kalau kita pikir-pikir tidak banyak gaji, apakah kalau gaji banyak seperti gaji dirut pertamina? Apakah mereka tidak lagi melakukan korupsi? Pepatah Aceh ternyata sangat benar “yang meurot adalah lumo tumbon”.
Memang benar yang suka merumput atau makan rumput yang banyak adalah lembu yang gemuk. Sedangkan lembu kurus, jangankan untuk merumput, jalan saja ia tidak sanggup. Apa yang terjadi di Pertamina itu orang miskin atau tidak cukup gaji? Pelajarilah Pendidikan Islam kenapa mereka melakukan ini akan terjawab.
Harkat dan martabat meja hijau sudah mencapai titik nadir derajatnya karena integritas para hakim atau para penjaga garis perbatasan terakhir sudah bobol. Tinggal menunggu air bah secara membabi buta memporak=porandakan seluruh penduduk negeri.
Meja hijau sudah abu-abu karena semuanya bisa dimuluskan kalau mau bebas dari jeratan hukum. Namun coba lihat apakah benar para hakim itu menerima gratifikasi dan sogok karena gaji dan kesejahteraan mereka sangat tidak memadai? Kalau kita tahu hakim itu sedikit gajinya , siapa yang menyuruh kita melamar menjadi hakim? Sama saja kita sering dengar guru atau dosen gajinya sedikit, siapa suruh melamar jadi guru atau dosen? Bukankah kita yang menulis surat atau membuat surat permohonan kepada pemerintah untuk diangkat sebagai PNS dll? Kalau dipikir-pikir kekuarangan gaji, silakan keluar dan cari kerja di tempat lain yang banyak gaji dan menjamin dunia akhirat. Atau cari kerja di luar negeri mungkin akan mencapai hajat yang kita inginkan, itupun kalau kita memiliki skill yang diperlukan.
Rakyat banyak semakin tidak percaya lagi yang namanya pengadilan dan para penegak hukum. Kita mengenang kembali kasus 3 orang hakim di Pengadilan Surabaya yang memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur yang membunuh pacarnya Dini Sera Afrianti 30 tahun pada Oktober 2023. Tiga orang hakim yang menangani kasus ini yaitu Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul terbukti menerima suap dan gratifikasi 1 Milyar rupiah ditambah lagi 308 ribu dolar Singapura (sekitar 3,67 Milyar rupiah).
Kasus ini masih belum hilang dalam benak dan telinga masyarakat , muncul lagi kasus baru di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yaitu empat orang hakim menerima suap 60 milyar rupiah. Mereka adalah Muhammad Arif Nuryanta, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena beliau menerima suap Rp. 60 milyar rupiah untuk mengatur agar tiga korporasi yang terseret perkara korupsi divonis lepas yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Kemudian Djuyamto, sebagai hakim ketua sidang; Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom yang sama-sama menikmati uang haram itu. Ketiga hakim ini diduga menerima suap dari pengacara para terdakwa melalui Muhammad Arif Nuryanta sebesar Rp. 22.5 milyar.
Ini merupakan kasus-kasus yang sudah mencuat karena tidak mungkin lagi diperam, mungkin kasus ini berhadapan dengan kekuasaan. Biasanya kalau kasus-kasus yang terjadi dilakukan oleh lawan-lawan politik atau oposisi pemerintah, maka kasus tersebut cepat sekali diputuskan oleh pengadilan. Mudah-mudahan semua kasus yang sudah dibongkar tidak ada hubungannya dengan seseorang tetapi murni kesalahan atau akumulasi dari kesalahan-kesalahan sebelumnya yang berlipat ganda hingga Yang Maha Kuasa menerima doa-doa hamba-hamba yang dhaif dan terdhalimi, maka kasus demi kasus terbongkar kepermukaan. tetapi semua boleh menganalisis mungkin banyak kasus-kasus yang lain terbungkam atau tidak jadi dipublish ke khalayak ramai.
Sebenarnya ini seperti “Tupai melompat, sesekali jatuh juga”. Kalau kita memiliki kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa, maka tidak heran jika seseorang sudah begitu professional dalam suatu bidang, namun sesekali hilang keprofessionalannya karena lupa kepada Zat Yang Paling Professional—Allah azza wajalla. Kita bisa merenung mengapa musibah terjadi pada diri seseorang? Mengapa Allah mempermalukan seseorang? Mengapa seseorang terbuka aib secara umum? Musibah itu datang sebagai cobaan dan ujian bagi diri seseorang. Kalau bukan karena kedua hal tersebut berarti sebagai hukuman dari Allah atas kesalahan-kesalahan masa lalu yang tidak pernah mau bertobat. Allah mempermalukan kita, mungkin kita pernah mempermalukan orang di masa lalu. Dan kenapa air kita terbuka, mungkin kita telah membuka aib orang di masa lalu.
Camkanlah wahai saudara-saudaraku yang bekerja untuk urusan kaum muslimin dan muslimat. Kalau kamu membuka aib kaum muslimin di dunia, maka Allah akan membukan aibmu di akhirat.
Kalau sudah mencuat begini apa kata orang terhadap system peradilan kita selama ini, apakah semua hakim begitu atau hanya beberapa orang oknum yang nakal, atau apakah semua pengadilan di Republik ini begitu cara mainnya, namun kita setuju bahwa yang namanya manusia itu terbagi dua—-ada yang baik dan ada yang buruk, dan ini dimana-mana ada manusia yang seperti ini. Kenapa ini terjadi, padahal mereka sebagai penegak hukum, teladan di dalam negara, tembok terakhir dalam negara untuk mempertahankan supremasi hukum, bukan orang terakhir yang harus melumpuhkan hukum. Maka kepada saudara-saudara kita yang bertugas sebagai pengadil dimanapun, pengambil kebijakan, penentu keputusan dan penegak hukum serta penjaga garis batas antara halal dan haram, sesekali boleh mengenang kembali lagu Aceh yang di awal tadi tentang para hakim di hari kiamat nanti.
Sebenarnya ini tidak tertuju kepada hakim melulu, tetapi kepada siapapun yang bertugas sebagai pengambil kebijakan seperi orang tua dalam rumah tangga, guru di sekolah, para kepala kantor, komandan tentara, komandan polisi, pimpinan pesantren, pimpinan perusahaan, dan kepala-kepala lain sebagainya harus berlaku adil kepada bawahannya atau anak buahnya konon lagi para pemimpin negara terhadap rakyatnya.
Semoga Allah mengampuni kita semua atas kesalahan yang kita lakukan, dan mengirimkan kepada kita bangsa Indonesia ini para pemimpin yang adil dan jujur dan para penegak hukum yang takut kepada azab Allah.