Archive for year: 2025


Seorang pemuda bernama Johan (37 tahun) asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, dengan penuh keyakinan mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi muallaf di masjid dalam Komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Senin (1/9/2025) usai pelaksanaan shalat Maghrib berjamaah.

Prosesi sakral tersebut dipandu langsung oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof. Dr. Muhammad AR, M.Ed yang didampingi Sekretaris Forum Dakwah Perbatasan, Dr Abizal Muhammad Yati, MA. Dengan bimbingan penuh hikmah, Prof Muhammad AR menuntun Johan melafalkan kalimat tauhid yang menjadi pintu gerbang keimanan.

Suasana haru dan khidmat menyelimuti jamaah, yang turut merasakan keagungan nikmat hidayah dari Allah Swt. Turut hadir pula pengurus Dewan Dakwah Aceh, Forum Dakwah Perbatasan, serta mahasiswa Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh yang menjadi saksi langsung peristiwa penuh berkah tersebut.

Prof. Dr. Muhammad AR dalam kesempatan itu menyampaikan rasa syukur dan doa agar saudara Johan senantiasa diberikan keteguhan iman, kemudahan dalam mempelajari Islam serta istiqamah dalam mengamalkan ajaran agama Allah.

“Hidayah adalah karunia terbesar dari Allah. Semoga saudara kita yang baru memeluk Islam ini selalu dikuatkan langkahnya dalam menapaki jalan kebenaran,” ujarnya.

Ia menjelaskan kegiatan tersebut terselenggara berkat sinergi antara Dewan Dakwah Aceh dan Forum Dakwah Perbatasan.

“Kolaborasi ini menjadi bukti nyata semangat dakwah yang terus digelorakan untuk menyentuh hati saudara-saudara kita di berbagai penjuru negeri,” kata Prof Muhammad AR.

Sekretaris Forum Dakwah Perbatasan, Dr Abizal Muhammad Yati, MA menambahkan momentum tersebut juga menjadi pengingat bagi umat Islam bahwa dakwah merupakan amanah bersama. Dengan kerja sama dan kepedulian, pintu-pintu hidayah akan terus terbuka bagi siapa saja yang mencari kebenaran.

“Selanjutnya Johan akan mengikuti bimbingan secara intensif tentang akidah, ibadah, akhlak dan bacaan Al-Quran. Semoga peristiwa ini membawa keberkahan, memperkuat ukhuwah Islamiyah dan menjadi motivasi bagi umat untuk terus berperan aktif dalam menyebarkan risalah Islam dengan penuh kasih sayang dan hikmah,” pungkas Dr Abizal.

teks foto:
Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof. Dr. Muhammad AR, M.Ed yang didampingi Sekretaris Forum Dakwah Perbatasan, Dr Abizal Muhammad Yati, MA memandu prosesi pensyahadatan Johan di masjid dalam Komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, Senin (1/9/2025) usai shalat Maghrib berjamaah.

Oleh Prof. Dr. Muhammad, M. Ed

Kemerdekaan bukanlah untuk memberi amnesti dan pembebasan kepada koruptor dan para pelaku dosa terhadap rakyat dan negara. Konon lagi memberi pengampunan kepada mereka yang telah menipu rakyat banyak, akan tetapi berilah kemerdekaan kepada orang-orang yang ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara oleh lawan-lawan politiknya yang belum tentu bersalah. Karena kebanyakan pengadilan memutuskan perkara sesuai pesanan dan selera para pemegang kendali negara.

Oleh kerana itu hari kemerdekaan Republik Indonesia hari ini seharusnya membebaskan orang-orang yang dipenjara oleh rezim Jokowi bukan karena kesalahannya tetapi karena tidak mau mengikuti telunjuknya, karena tidak sealiran dengannya. Misalnya memerdekakan Setya Novanto atas tuduhan E-KTP dari penjara perlu ditinjau ulang karena ia seharusnya bukan pengampunan yang harus diberikan, akan tetapi dimiskinkan sampai ke titik nadir. Ini pelajaran penting bagi penjarah uang negara dan uang rakyat, “no bargain” terhadap mereka karena mereka tidak punya hati nurani dalam memiskinkan rakyat 230 juta demi memperkaya diri dan kroni-kroninya. Lalu kepada orang semacam ini diberi amnesti dan pemotongan masa tahanan, malah sebelumnya afa yang pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran selama dalam masa penahanan.
Orang
Presiden Prabowo seharusnya harus adil dan bijak dalam memberikan amnesti kepada narapidana, misalnya koruptor, narkoba, pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat-pengkhianat lainnya. Kemerdekaan harus diberikan kepada kaum tertindas, kaum fakir miskin agar mereka terbebas dari belenggu para tiran dan majikan yang biadab, dan bebas dari kelaparan dan kepapaan. Kalau ini bisa dilakukan oleh para pengendali negara, maka inilah kemerdekaan yang hakiki yang perlu dilaksanakan.

Orang sangat merasa risih dan sangat sakit hati kalau yang dibebaskan itu adalah koruptor yang melahap uang negara triliunan dan milyaran, pembunuh yang tidak berperi kemanusiaan, pemerkosa anak-anak dan perempuan, hakim dan jaksa yang menerima uang suap, polisi yang curang, tentara yang tidak setia kepada negara dan taat hukum, akan tetapi terapkan hukum kepada mereka hingga jera yang kuat harus dilemahkan hingga lunglai, yang kaya harus dimiskinkan, yang memperkosa harus dikebiri, dan yang berlaku tidak adil dan suka menerima dan minta suap harus dijadikan mereka menjadi pengemis. Itulah hukum yang sebanding dan inilah yang namanya qishas. Ini baru merdeka dalam pandangan masyarakat kelas bawah.
Kemerdekaan bukan hanya slogan kosong dan lomba panjat pinang, dan serba pertandingan lainnya. Akan tetapi kemerdekaan adalah renungan penuh makna disertai doa kepada para syuhada dan pahlawan. Kemerdekaan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dianugerahkan Allah kepada negara dan bangsa ini. Kita harus merdeka dari kebodohan dan kemiskinan serta informasi yang seluas-luasnya tanpa harus ditutup-tutupi. Ini baru merdeka.
Kita harus diberikan kemerdekaan juga dalam hal memberikan usul dan perbaikan pemerintah, dan jangan dianggap mengkritik pemerintah tetapi memberikan masukan agar kalau ada kekurangan dan ketimpangan cepat ditanggulangi, karena itu para Raja baik diperingkat Kabupaten, kota provinsi hingga pusat tidak alergi dengan kritikan yang datang dari rakyat bawah. Para raja tidak wajib mendengar bisikan bisikan yang berasal dari sekelilingnya saja yang hanya menyajikan berita yang manis sementara berita yang menyakitkan dan penderitaan rakyat banyak disembunyikan.

Marilah kita maknai kemerdekaan ini secara arif dan bernilai agar maksud dan tujuan kemerdekaan tidak salah paham bagi orang- orang yang sedang mengelola negara, adil dan bijaklah dalam berbuat serta berkuasa terhadàp rakyat yang tidak berdosa menjadi korban ketidakadilan kita sebagai pengendali negara. Letakan sesuatu pada tempatnya, jangan selalu melihat ke atas tetapi sesekali lihat ke bawah dan semakin banyak melihat ke bawah semakin baik dan selamat. Pengkhianat tidak perlu dipuji dan disanjung. Yang berhak dipenjara jangan dimerdekakan, dan yang berhak bebas tak perlu dipenjarakan. Inilah makna kemerdekaan dalam perspektif “lay man”.

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR.M.Ed

Bangsa Indonesia hari ini (Ahad tanggal 17 Agustus 2025) telah genap 80 tahun merayakan hari kemerdekaannya. Artinya bangsa ini telah 80 tahun merdeka dari penjajah yang tidak punya peri kemanusiaan dan tidak beradab dari segi nilai kemanusiaan. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang Indonesia mensyukuri nikmat Allah yang sangat besar ini dan tidak lupa mendoakan kepada segenap roh para pahlawan dan syuhada yang telah berjuang mati-matian demi bangsanya. Inilah bangsa yang mempunyai rasa syukur kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa)
dan jasa para pahlawan.

Merah putih merupakan bendera bangsa dan Inilah penyebab para pahlawan dan para syuhada rela nyawa dan hartanya melayang tanpa perlu mendapat pujian dan ganti rugi. Bendera bangsa ini bukan hanya harus dijunjung tinggi oleh TNI-POLRI saja, akan tetapi oleh semua anak bangsa tanpa kecuali bagi yang sudah berbangsa Indonesia, bertanah air Indonesia dan berbahasa Indonesia. Ingatlah jasa dan perjuangan mereka para pendiri bangsa, jangan sampai anda menjadi anti terhadàp sejarah bangsa hingga menghilangkan pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan bangsa. Ini adalah bentuk pengkhianat terhadap bangsa dan juga kepada orang-orang yang mengutamakan bendera-bendera lainnya.

Namun sekarang berlomba-lomba menaikkan bendera sendiri seperti one piece dan bendera-bendera partanya, bendera-bendera organisasinya, dan bendera-bendera lainnya karena mungkin tidak lagi senang dengan bendera bangsanya. Kalau tidak senang kepada pemerintah, bukan benderanya yang diboikot tetapi pemerintahnya yang harus diperbetulkan. Sebab kalau kita yang memerintah nanti sang saka merah putih itu juga yang kita pertahankan. Kalau pemerintah dan aparat negara tidak menjalankan keadilan, khususnya dalam menegakkan hukum secara adil, tidak berkeadilan dalam pengusaan dan distribusi hasil bumi, keadilan ekonomi, sosial, pendidikan dan pekerjaan kepada anak bangsa. Maka sama saja bagi mereka adalah termasuk orang-orang yang tidak tahu berterima kasih.

Orang yang tahu berterimakasih adalah zelalu bertanya “apa yang seharusnya kuberikan kepada negara bukan sebaliknya berapa banyak harta negara yang dikorupsi” . Kalau begini kelakuannya itu adalah pengkhianat negara, jadi gak perlu jauh dan sukar untuk mencari pengkhianat negara. Mereka ada di tengah-tengah kita tinggal mereka ditangkap dan dijebloskan ke Nusakambangan semuanya. Inilah cara yang harus ditempuh oleh Raja yang adil sebagai cara mensyukuri nikmat.

Jadi jangan salah cara menikmati hari kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kemerdekaan. Lihat bagaimana Umar bin Khattab memimpin sehingga orang misikin dan fakir-pun ditemukan karena Dia ketika habis shalat malam, mengunjungi rumah-rumah rakyatnya untuk memastikan apakah mereka makan atau berpuasa berhari-hari. Sehingga harta negara dan baitul maal harus menyantuni mereka semua. Jadi uang negara atau harta negara harus diberikan kepada anak bangsa yang membutuhkannya tidak mengendap dikantong-kantong conglomerat, penguasa dan baital maal. Orang kaya miskin disisi Umar bin Khattab dan orang miskin merasa kaya, orang kuat merasa lemah, dan orang lemah merasa kuat dihadapan mahkamahnya. Ini termasuk menyukuri nikmat dengan menjalankan keadilan yang merata tanpa pandang bulu.

Islam mengajarkan kita berterima kasih melalui ketaatan kepada Allah artinya mengerjakan semua suruhan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, ini sebagai bukti perhambaan kepada Allah dan sekaligus menyukuri nikmat. Kalau ini kita lakukan baik ummat Islam ataupun non muslim maka ini sudah dianggap mensyukuri nikmat.

Oleh: Afrizal Refo, MA

Dua puluh tahun telah berlalu Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati menandatangani sebuah perjanjian bersejarah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di sebuah ruang bersejarah di Helsinki, Finlandia. Perjanjian itu menutup lembaran kelam konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu orang dan memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Tanggal 15 Agustus 2005 itu bukan sekadar lembaran perjanjian di atas kertas, melainkan ikrar jiwa bahwa peluru akan berhenti berbicara dan suara-suara nurani akan mengambil alih. MoU Helsinki menjadi tanda lahirnya kembali Aceh sebagai tanah yang merindukan pelukan, bukan ledakan tapi tanah rencong yang menebar senyum, bukan luka.

Sebelum hari itu, Aceh adalah hamparan tanah yang kerap basah bukan hanya oleh hujan, tapi juga oleh darah. Pekikan ibu yang kehilangan anaknya, isak anak yang kehilangan ayahnya, dan tatapan kosong mereka yang rumahnya musnah menjadi bagian dari nyanyian kelam masa lalu. Jalan-jalan dipenuhi pos-pos pemeriksaan, hutan-hutan menyimpan dentuman senjata, dan malam tak pernah benar-benar sunyi.

MoU Helsinki memutus rantai itu. Sejak hari itu, dentuman yang terdengar di Tanah Rencong bukan lagi ledakan senjata, melainkan denting cangkul di sawah, suara gelak tawa anak di sekolah, dan lantunan azan yang menggema tanpa rasa takut. Desa-desa yang dulu porak-poranda mulai berbenah, sawah kembali menghijau, pasar kembali ramai, dan wajah-wajah yang dulu tegang kini mulai berani tersenyum pada orang asing.

Kini, dua dekade telah berlalu. Damai masih bersemi di Serambi Mekah meski tak selalu tanpa ujian. Dua puluh tahun ini adalah waktu yang cukup panjang untuk menilai sejauh mana perjanjian itu dihidupi, diimplementasikan, dan diwariskan kepada generasi baru Aceh

Namun, damai bukanlah hadiah yang bisa disimpan begitu saja di lemari sejarah. Damai adalah taman yang harus disiram, dipangkas, dan dijaga dari duri-duri yang siap tumbuh kapan saja. Dua dekade ini mengajarkan bahwa menghentikan perang jauh lebih mudah daripada merawat perdamaian. Senjata bisa dikubur, tapi rasa curiga dan luka batin butuh waktu untuk sembuh.

Di balik pembangunan yang terlihat Aceh masih menyimpan pekerjaan rumah. Dana melimpah dari otonomi khusus belum sepenuhnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan merata. Ada desa yang makmur namun ada pula yang masih bertahan di pinggir kemiskinan. Ada anak muda yang sukses memimpin, namun tak sedikit yang terjebak pengangguran dan kehilangan arah. Korupsi sesekali merusak citra pemimpin seperti noda di kain putih perdamaian yang kita banggakan.

Meski begitu, tak ada yang bisa menyangkal bahwa Aceh hari ini jauh berbeda dari Aceh dua dekade silam. Pemuda-pemuda kini bisa beraktivitas bekerja seperti pergi kesawah atau menuntut imu tanpa takut suara mereka tertelan deru tembakan. Perempuan-perempuan bisa menjahit di teras rumah sambil bercengkerama dengan tetangga tanpa khawatir suara itu menjadi tanda bahaya. Dan para mantan kombatan kini bisa duduk berdampingan dengan mantan lawan politiknya di meja rapat membicarakan masa depan bukan masa lalu.

Dua dekade ini juga memberi pelajaran bahwa perdamaian harus terus dipelajari dan diwariskan. Generasi yang lahir setelah 2005 mungkin hanya mengenal perang dari buku dan cerita. Mereka tak pernah merasakan dinginnya tidur di hutan untuk menghindari baku tembak. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menyembunyikan saudara di kolong rumah. Karena itu, sejarah harus terus diceritakan bukan untuk membuka luka lama tetapi untuk mengajarkan harga mahal dari sebuah damai.

Kini, di Tanah Rencong, kita punya pilihan membiarkan damai ini berjalan di jalannya sendiri, atau merawatnya dengan sepenuh hati. Kita bisa mengisinya dengan pembangunan yang adil dengan pemerintahan yang bersih dengan ekonomi yang menghidupi rakyat dari desa hingga kota. Kita bisa mengajarkan kepada anak-anak bahwa damai bukan sekadar tiadanya perang, tapi hadirnya rasa aman, rasa dihargai, dan kesempatan yang sama untuk semua.

Aceh punya segalanya untuk menjadi contoh bagi dunia berupa alam yang kaya, budaya yang kokoh, dan sejarah yang mengajarkan betapa berharga hidup tanpa perang. Tinggal bagaimana kita, anak-anak yang lahir dari rahim damai ini mampu menjaganya dari tangan-tangan yang mungkin mencoba merenggutnya kembali.

Dua puluh tahun MoU Helsinki adalah pencapaian besar. Tidak banyak wilayah di dunia yang berhasil mempertahankan perdamaian begitu lama setelah konflik bersenjata. Tetapi, seperti taman yang indah, damai memerlukan perawatan terus-menerus. Jika dibiarkan tanpa perhatian, ia bisa dipenuhi gulma yang mengganggu keindahannya.

Dua puluh tahun MoU Helsinki bukanlah akhir dari perjalanan. Ia hanyalah sebuah jeda panjang dari masa lalu yang kelam, sebuah kesempatan untuk menulis bab-bab baru yang lebih indah. Jika dulu kita rela berkorban demi merdeka dari derita perang, maka kini kita harus rela berkorban demi merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.

Tanah Rencong telah mengajarkan pada dunia bahwa peluru bisa diganti dengan kata, bahwa luka bisa disembuhkan dengan pelukan, dan bahwa dendam bisa dikalahkan oleh doa. Mari kita terus menjaga agar pelajaran ini tak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi menjadi napas kehidupan setiap hari. Karena damai yang kita miliki hari ini adalah warisan, dan warisan hanya berarti jika dijaga untuk generasi berikutnya.

Dua dekade MoU Helsinki adalah cermin. Di dalamnya, kita bisa melihat betapa jauh kita telah berjalan, dan betapa panjang jalan yang masih harus ditempuh.

Aceh telah membuktikan bahwa luka masa lalu bisa disembuhkan dengan keberanian untuk berdamai. Tantangan kita kini adalah memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi bukan hanya tanah yang subur dan kaya budaya, tetapi juga negeri yang damai, adil, dan sejahtera. Dua dekade MoU Helsinki adalah pengingat bahwa perdamaian adalah hadiah yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan. Semoga ketika dua dekade berikutnya tiba, kita masih bisa berkata dengan bangga: Damai ini adalah pilihan kita, dan kita menjaganya dengan sepenuh hati.

Penulis : Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa dan Ketua Komunitas Generasi Rabbani Langsa

Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh kembali melahirkan kader dakwah unggulan. Sebanyak 12 dai dan daiyah dari angkatan XI tahun akademik 2024/2025 resmi diwisuda dalam acara tasyakuran yang digelar di Kampus ADI Aceh, Komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Sabtu (2/8/2024).

Direktur ADI Aceh, Dr. Abizal Muhammad Yati, Lc, MA, dalam sambutannya menyampaikan ADI Aceh merupakan lembaga pencetak kader dai ilallah yang berada di bawah naungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Kini telah memasuki usia 11 tahun sejak didirikan pada tahun 2014. Dan telah melahirkan ratusan alumni yang saat ini telah bertugas sebagai dai di perbatasan dan pedalaman Aceh.

Ia menjelaskan pendidikan selama di ADI diberikan secara gratis baik tempat tinggal, konsumsi dan juga belajar. Hal ini berkat donatur yang senantiasa memberikan sumbangan rutin dan para dosen yang mengajar tanpa diberikan bayaran.

“Alhamdulillah, tahun ini kita mewisuda 12 kader dakwah—terdiri dari 8 dai dan 4 daiyah. Mayoritas berasal dari kawasan perbatasan Aceh-Sumatera Utara, seperti Sidikalang (2 orang), Aceh Singkil (1 orang), dan Subulussalam (3 orang). Selebihnya dari berbagai kabupaten lainnya di Aceh,” ujar Dr. Abizal.

Ia menambahkan, para wisudawan telah menempuh pendidikan selama satu tahun di ADI Aceh dengan materi pembelajaran meliputi ilmu syariat, tauhid, fiqh, tafsir, hadist dan teori dakwah. Selain itu juga praktikum dakwah lapangan dengan langsung diterjunkan untuk praktek dakwah selama satu bulan penuh pada bulan Ramadan di pedalaman dan perbatasan Aceh.

“Setelah lulus dari ADI, mereka akan melanjutkan studi ke jenjang S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta. Nantinya mereka akan kembali ke daerah asal untuk mengabdi di tengah masyarakat,” tambahnya.

Koodinator kegiatan, Hanisullah, S.Kom.I, M.Pd., menyebutkan rangkaian acara wisuda diisi dengan tausiah parenting oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof. Dr. Muhammad AR, M.Ed., yang menekankan pentingnya peran keluarga dalam mendukung gerakan dakwah.

“Dengan wisuda kali ini, jumlah total alumni ADI Aceh mencapai 133 orang. Mereka terus mengabdi di berbagai daerah, terutama wilayah-wilayah perbatasan dan pedalaman,” jelas Hanisullah.

Ia menegaskan, ADI Aceh semakin menunjukkan komitmennya dalam mencetak kader dakwah yang siap berkontribusi di berbagai medan pengabdian.

“Wisuda ini menjadi bukti nyata bahwa ADI Aceh terus memainkan peran penting dalam menjaga dan mengembangkan syiar Islam di tengah masyarakat,” katanya.

Prof. Muhammad AR M. Ed selaku Ketua Dewan Dakwah Aceh menyampaikan dalam orasinya bahwa perlu ukhuwah yang kokoh untuk dapat mendukung semua program Dewan Dakwah Aceh saat ini termasuk program kaderasi dai melalui ADI.

Program Dewan Dakwah Aceh lainnya seperti Kajian setiap sabtu Subuh ( Sabda), Taman Kanak-Kanak (TK) yang telah berjalan, Kegiatan TPA untuk anak-anak sore hari juga telah berjalan dan kegiatan lainnya.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada para donatur yang telah memberikan sumbangan sehingga terselenggaranya kegiatan di Dewan Dakwah. Kami juga mengajak kaum muslimin khususnya pengurus untuk senantiasa mengambil bagian dalam kegiatan yang dilaksanakan,”pungkas Prof Muhammad.

Oleh: Afrizal Refo, MA

Aktivis Pendidikan dan Pemerhati Anak

Setiap Tanggal 23 Juli kembali mengingatkan kita akan pentingnya memuliakan dan melindungi hak-hak anak melalui peringatan Hari Anak Nasional (HAN). Setiap tahun peringatan ini menjadi pengingat bahwa masa depan bangsa terletak pada kualitas anak-anak hari ini. Namun di saat peringatan Hari Anak Nasional kita juga harus berani melihat kenyataan bahwa anak-anak Indonesia termasuk di Aceh menghadapi tantangan besar di era digital yang berkembang sangat cepat.

Anak-anak saat ini tumbuh dalam era di mana teknologi menjadi bagian dari kehidupan sejak usia dini. Mereka belajar, bermain, bahkan bersosialisasi melalui gawai dan internet. Sayangnya, tidak semua anak mendapatkan bimbingan yang cukup dalam mengakses dunia digital yang luas dan tak berbatas itu. Maka dari itu momentum Hari Anak Nasional harus menjadi panggilan bagi semua pihak yaitu orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat untuk bersatu membekali anak-anak agar bijak menggunakan teknologi sejak dini.

Dunia digital bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Ini adalah bagian dari kehidupan modern yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana. Banyak manfaat dari teknologi bagi anak-anak, mulai dari aplikasi belajar interaktif, video edukatif, hingga akses informasi yang luas. Tapi di sisi lain teknologi juga menyimpan risiko besar jika digunakan tanpa pendampingan seperti kecanduan gawai, konten negatif, pergaulan bebas daring, cyberbullying, hingga eksploitasi online.

Kita sebagai orang dewasa khususnya para pendidik dan orang tua tidak bisa hanya menyalahkan anak atau melarang mereka menggunakan teknologi. Tugas kita adalah membimbing, mendampingi, dan mengarahkan agar anak-anak memahami bahwa teknologi adalah alat, bukan pelarian. Teknologi adalah sarana belajar dan berkarya, bukan tempat untuk tersesat.

Sebagai aktivis pendidikan saya sering menyaksikan betapa banyak anak-anak di sekolah dasar hingga menengah yang mengalami penurunan konsentrasi belajar, ketidakmampuan bersosialisasi secara sehat, bahkan gangguan emosi akibat penggunaan gawai yang berlebihan. Banyak dari mereka yang kecanduan game online, terpapar konten dewasa, atau aktif di media sosial tanpa kontrol yang memadai.

Hal ini menandakan bahwa pendidikan karakter berbasis digital sangat mendesak untuk diterapkan. Anak-anak perlu diajarkan bukan hanya cara mengoperasikan teknologi tapi juga bagaimana menggunakan teknologi secara sehat, aman, dan bertanggung jawab.

Sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai akhlak, etika bermedia, dan tanggung jawab digital. Guru tidak hanya dituntut menguasai IT, tetapi juga harus mampu membimbing anak membangun literasi digital yang sehat.

Peran Keluarga, Sekolah, dan Pemerintah

Keluarga adalah benteng utama dalam membentuk karakter dan kebiasaan anak dalam menggunakan teknologi. Orang tua perlu menjadi role model dalam penggunaan gawai. Jangan sampai anak diminta menjauh dari gawai sementara orang tua sendiri terus asyik dengan ponsel di hadapannya.

Lebih dari itu orang tua perlu aktif memberikan edukasi digital, menjelaskan mana konten yang baik dan buruk, serta menetapkan aturan waktu dan batasan penggunaan gawai. Bukan sekadar melarang tetapi mengajak anak berdialog dan memahami dampak dari teknologi dalam kehidupan mereka.

Sekolah juga memegang peranan krusial dalam membekali anak dengan keterampilan literasi digital yang sehat. Tidak cukup hanya mengajarkan penggunaan teknologi sebagai alat bantu belajar, tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika dan tanggung jawab digital.

Program pendidikan karakter harus terintegrasi dengan pembelajaran teknologi. Anak-anak perlu belajar tentang pentingnya jejak digital, privasi online, serta etika berkomunikasi di media sosial. Guru tidak lagi hanya menjadi pengajar, tetapi juga fasilitator dan pembimbing dalam menjelajahi dunia maya dengan aman.

Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kominfo, dan Kemendikbudristek, memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan regulasi dan fasilitas yang melindungi anak-anak di ruang digital. Penguatan regulasi terhadap konten negatif, penyediaan platform edukatif anak, serta kampanye nasional tentang literasi digital harus menjadi agenda prioritas.

Selain itu, komunitas masyarakat, organisasi keagamaan, dan LSM juga bisa berkontribusi dalam mengadvokasi penggunaan teknologi secara sehat. Forum parenting digital, pelatihan guru, hingga kegiatan kampanye sadar gadget di sekolah dan masjid bisa menjadi gerakan sosial yang efektif.

Waspadai Pergaulan Bebas Virtual

Salah satu tantangan yang semakin mengkhawatirkan adalah pergaulan bebas melalui media sosial. Banyak anak-anak yang berkenalan dengan orang asing, bahkan menjalin hubungan asmara virtual yang tak sehat sejak usia dini. Fenomena ini kerap terjadi secara diam-diam karena orang tua dan guru sering tidak menyadarinya.

Di Aceh dengan identitas sebagai provinsi bersyariat ini menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat kita harus peka terhadap fenomena ini bukan hanya dengan melarang dan menghukum tetapi dengan mendidik dan menguatkan akhlak serta spiritualitas anak-anak kita. Inilah inti dari syariat Islam membina, bukan hanya membatasi.

Momentum Hari Anak Nasional 2025 seharusnya menjadi panggilan untuk melahirkan generasi anak Aceh dan Indonesia yang bukan hanya cakap teknologi tetapi juga kuat karakter dan nilai agamanya. Kita ingin anak-anak tidak hanya menjadi konsumen teknologi tetapi juga produsen konten positif, inovator, dan pemimpin masa depan.

Anak yang bijak digital adalah anak yang bisa memilah mana konten bermanfaat dan mana yang berbahaya, mana informasi valid dan mana hoaks, mana pergaulan sehat dan mana yang menjerumuskan. Untuk mencapai itu, kita butuh pendekatan kolaboratif antara pendidikan formal, keluarga, masyarakat, dan negara.

Penutup
Peringatan Hari Anak Nasional bukanlah sekadar perayaan tahunan. Ini adalah alarm bagi semua pihak untuk mengambil bagian dalam perjuangan besar menyelamatkan dan membentuk masa depan anak-anak kita di tengah gempuran era digital. Kita tidak bisa hanya berharap pada sekolah atau pemerintah. Kita semua bertanggung jawab.
Mereka bukan hanya penerus, tapi juga pembaru. Namun mereka tidak bisa berjalan sendiri. Mereka butuh tangan yang membimbing, suara yang menenangkan, dan teladan yang menginspirasi.

Selamat Hari Anak Nasional 2025. Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Anak Cerdas Digital, Aceh Bermartabat.

Penulis adalah Dosen PAI IAIN Langsa dan Sekretaris Umum Dewan Dakwah Kota Langsa.


Banda Aceh — Dewan Dakwah Islamiah Indonedia (DDII) Kota Banda Aceh menggelar kegiatan Sosialisasi Wakaf Baitul Mal Gampong se-Kota Banda Aceh di Hotel Alhanifi, Banda Aceh, Sabtu, (5/7/2025). Kegiatan ini sebagai upaya meningkatkan pemahaman, literasi, dan penguatan kelembagaan nazir wakaf pada tingkat gampong atau desa.

Kegiatan pertama kali di Aceh ini dimoderatori Ustadz Deni Tegar Anjasmara, menghadirkan tiga pemateri berkompeten yang membahas berbagai aspek wakaf dari sudut pandang strategis, pengelolaan, hingga regulasi kelembagaan.

Pemateri pertama, Ketua Badan Baitul Mal Aceh (BMA), Muhammad Haikal, ST, MIFP, menyampaikan materi dengan topik Strategi Peningkatan Peran Baitul Mal dalam Pengelolaan Wakaf. Dalam paparannya, ia menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga wakaf dalam mengoptimalkan potensi wakaf produktif.

Pemateri kedua, pengamat perkembangan wakaf, Fahmi M Nasir, membahas topik Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Ia menjelaskan, wakaf tidak hanya terbatas pada aset fisik seperti tanah atau bangunan, tetapi juga bisa dikembangkan dalam bentuk wakaf uang, yang memiliki potensi besar jika dikelola secara profesional dan transparan.

Sementara itu, pemateri ketiga, Ketua Badan Baitul Mal Kota (BMK) Banda Aceh, Dr M Yusuf Al Qardhawy, SH, MH, mengulas secara rinci Tugas Pokok dan Fungsi Baitul Mal Gampong. Menyampaikan peran vital Baitul Mal Gampong dalam mendukung program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan wakaf dan zakat yang amanah dan tepat sasaran.

Ketua Panitia, Firdaus Muhammad, ST, mengapresiasi dukungan fasilitasi kegiatan ini oleh BMA dan peserta yang hadir. Ia menegaskan urgensi kegiatan ini dalam memperkuat literasi wakaf di kalangan masyarakat dan nazir wakaf. “Kita berharap kegiatan ini dapat menjadi pijakan awal dalam membangun ekosistem wakaf yang sehat dan produktif di tingkat gampong,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Daerah DDII Kota Banda Aceh, Ambia M. Yusuf, ST, menambahkan, berbagai kegiatan dakwah merupakan bagian dari komitmen DDII dalam mengintensifkan dakwah dan pemberdayaan ekonomi umat. Ia mendorong optimalisasi peran Baitul Mal Gampong sebagai ujung tombak pengelolaan wakaf di tingkat akar rumput.

Acara tersebut dihadiri oleh para pengurus BMG, Badan Kemakmuran Masjid (BKM), nazir wakaf organisasi dan badan hukum se-Kota Banda Aceh. Hadir juga Majelis Syura DDII Kota Banda Aceh, Sayed Muhammad Husen dan T Adriansyah, serta Ketua Pengurus Daerah DDII Nagan Raya Samsul Bahri.


Langsa – Keteladanan, kecerdasan, dan dedikasi adalah tiga kata yang layak disematkan kepada sosok perempuan tangguh asal Trieng Gadeng, Pidie, Aceh ini. Prof. Dr. Nurmawati, M.Pd bukan hanya seorang akademisi berprestasi yang telah meraih gelar guru besar di bidang Evaluasi Pendidikan di IAIN Langsa, tetapi juga tokoh perempuan yang aktif dalam dakwah dan pemberdayaan masyarakat, khususnya kaum ibu, melalui kepemimpinannya sebagai Ketua Muslimat Dewan Dakwah Kota Langsa.

Perjalanan Panjang Penuh Perjuangan

Lahir pada 12 Januari 1981 di sebuah desa kecil yang sarat nilai-nilai keislaman, Trieng Gadeng, Kabupaten Pidie, Nurmawati tumbuh dalam lingkungan yang menanamkan pentingnya ilmu dan akhlak sejak dini. Pendidikan dasarnya ia jalani di kampung halaman, hingga akhirnya menempuh pendidikan di Madrasah Ulumul Qur’an (Muq) Bustanul ‘Ulum, Langsa, lembaga pendidikan Islam ternama yang telah melahirkan banyak kader ulama dan cendekia.

Sejak di bangku pesantren, Nurmawati menunjukkan semangat belajar yang luar biasa. Ia dikenal sebagai santri yang aktif, cerdas, dan tekun. Kedisiplinan dan keuletannya membentuk fondasi intelektual dan spiritual yang kuat, yang kelak menjadi modal utama dalam perjalanan pendidikannya di dunia perguruan tinggi.

Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren, Nurmawati melanjutkan studi S1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, mengambil jurusan Tarbiyah Fisika. Di sanalah ketertarikannya terhadap dunia evaluasi pendidikan mulai tumbuh. Baginya, pendidikan tidak hanya soal mengajar, tetapi juga memastikan bahwa proses dan hasilnya berdampak nyata pada peserta didik.

Tidak berhenti di situ, ia kemudian melanjutkan studi magister di kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jurusan Penelitian dan evaluasi pendidikan, yang memberinya pemahaman lebih luas tentang metodologi pendidikan modern, dan kemudian melanjutkan S3 di kampus Universiti Sains Malaysia jurusan psikometrik dan evaluasi pendidikan, tempat ia mendalami pendekatan evaluasi pendidikan yang terintegrasi dan berbasis riset. Gabungan pengalaman akademik dari dalam dan luar negeri memperkaya perspektifnya sebagai pendidik dan peneliti.

Raih Jabatan Guru Besar di Usia Relatif Muda

Dengan latar belakang akademik yang kuat serta dedikasi tinggi terhadap penelitian dan pengabdian masyarakat, Prof. Dr. Nurmawati berhasil meraih jabatan Guru Besar (Profesor) dalam bidang Evaluasi Pendidikan di IAIN Langsa. Gelar yang diperoleh pada usia relatif muda ini menjadi pencapaian istimewa, tidak hanya bagi dirinya pribadi tetapi juga menjadi kebanggaan bagi institusi dan masyarakat Aceh secara umum.

Karya-karya ilmiahnya banyak membahas tentang pengembangan instrumen evaluasi berbasis karakter, manajemen mutu pendidikan, serta inovasi pembelajaran yang adaptif. Beberapa jurnal nasional dan internasional telah memuat risetnya, yang menjadikannya salah satu akademisi paling produktif di bidangnya. Dan beliau aktif juga sebagai reviewer penelitian dibawah Diktis dari tahun 2018 hingga sekarang.

Kiprah Dakwah: Pimpin Muslimat Dewan Dakwah Kota Langsa

Tak hanya berkutat dalam ruang akademik, Prof. Nurmawati juga aktif dalam organisasi keagamaan. Sejak 2021, ia dipercaya memimpin Muslimat Dewan Dakwah Kota Langsa. Di bawah kepemimpinannya, organisasi ini semakin dinamis dalam melakukan pembinaan terhadap kaum ibu dan remaja putri, terutama dalam penguatan akidah, akhlak, dan peran perempuan dalam dakwah.

Dengan pendekatan yang lembut namun tegas, ia mengajak para muslimat untuk bangkit menjadi agen perubahan dalam keluarga dan masyarakat. Melalui berbagai pelatihan, kajian, hingga program pemberdayaan ekonomi, Muslimat Dewan Dakwah Langsa menjadi wadah strategis dalam membentuk generasi muslimah yang cerdas, berakhlak mulia, dan mandiri.

“Saya meyakini bahwa perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Maka, jika kita ingin membangun generasi yang kuat secara iman dan ilmu, kita harus memperkuat peran ibu sebagai pendidik utama di rumah,” ujar Prof. Nurmawati dalam salah satu kegiatan kajian rutin bulanan Muslimat Dewan Dakwah.

Menginspirasi Generasi Muda

Pencapaian Prof. Nurmawati menjadi inspirasi bagi banyak generasi muda, terutama kaum perempuan. Perjalanan hidupnya menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk meraih prestasi, selama dibarengi niat yang lurus, kerja keras, dan semangat untuk terus belajar.

Ia tidak hanya berhasil dalam karier akademik dan dakwah, tetapi juga dalam perannya sebagai ibu dan istri. Dalam berbagai kesempatan, ia sering menyampaikan pentingnya menjaga keseimbangan antara karier, keluarga, dan pengabdian sosial. Baginya, keberhasilan sejati adalah ketika seseorang mampu membawa manfaat bagi banyak orang, tanpa kehilangan jati diri sebagai hamba Allah dan anggota keluarga.

Mahasiswa-mahasiswinya mengenalnya sebagai dosen yang disiplin namun ramah, ilmiah namun membumi. Ia selalu mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, melakukan penelitian yang solutif, dan tetap menjaga adab dalam proses belajar-mengajar.

Membangun Masa Depan Pendidikan Aceh

Sebagai Guru Besar, Prof. Nurmawati kini terus berkomitmen membangun sistem pendidikan yang lebih baik, khususnya di Aceh. Ia kerap menjadi narasumber dalam berbagai seminar nasional dan internasional, serta menjadi pembimbing tesis dan disertasi di berbagai jenjang.

Dalam visi akademiknya, ia menyuarakan perlunya integrasi antara ilmu pendidikan dan nilai-nilai lokal. Menurutnya, pendidikan di Aceh harus mampu membangun karakter keacehan yang islami, berwawasan global, serta tidak tercerabut dari akar budaya dan kearifan lokal.

“Saya berharap IAIN Langsa dan lembaga pendidikan lainnya di Aceh dapat menjadi pusat keunggulan intelektual yang tetap berpijak pada nilai-nilai Islam dan budaya bangsa. Kita tidak hanya mencetak sarjana, tapi juga mencetak pemimpin masa depan yang jujur, adil, dan berjiwa sosial,” tegasnya.

Penutup

Prof. Dr. Nurmawati, M.Pd adalah contoh nyata dari kekuatan ilmu, iman, dan pengabdian. Sebagai akademisi, ia terus berkarya dan membimbing. Sebagai tokoh dakwah, ia membina dan memotivasi. Sebagai perempuan Aceh, ia menjadi teladan dan inspirasi.

Pencapaiannya menjadi Guru Besar dan Ketua Muslimat Dewan Dakwah Kota Langsa bukan hanya bukti keberhasilannya secara personal, tetapi juga menjadi cermin dari kemajuan perempuan muslim dalam mengisi ruang-ruang strategis pendidikan dan dakwah di Indonesia. Langkahnya mengukir jejak, ilmunya menerangi, dan kiprahnya memberi harapan bagi generasi berikutnya.

Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

Oleh Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
(Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh & Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)


Aceh merupakan satu wilayah yang luasnya 58.377 km2 yang terletak dihujung barat Pulau Sumatera. Suatu masa dahulu di zaman Sultan Iskanda Muda Meukuta Alam ia merupakan satu negara berdaulat yang berhubungan diplomatik langsung dengan Khilafah Utsmaniyah di Turki dan diperhitungkan kekuatan militer dan persenjataannya oleh negara-negara di Eropa.

Kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam (KAD) zaman Iskandar Muda berkisar dalam abat ke-17 sekitaran tahun 1607 – 1636, dalam masa tersebut Iskandar Muda berjaya mengusir penjajah Portugis, berjaya memperluas wilayah sampai ke semenanjung Malaysia dan hampir seluruh Pulau Sumatera, Berjaya menjadikan Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijmak dan Qiyas sebagai sumber hukum negara KAD dan berhasil menjalankan Syari’ah (Hukum Islam) dalam negara sebagai hukum negara.

Wilayah tersebut kemudian diporak-porandakan oleh penjajah Belanda ketika Belanda menjajah Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan wilayah lainnnya yang kini dijadikan Republik Indonesia. Penjajahan tersebut dapat menguasai seluruh wilayah yang diklaim Indonesia hari ini tetapi tidak dengan Aceh, Aceh tidak pernah menyerah kalah terhadap Belanda sehingga ia berdiri tegak yang kemudian menjadi penyelamat Indonesia yang nyawanya sudah di kerongkongan pada bulan Desember 1948.

Sebagai mantan sebuah negara dan insya Allah akan menjadi sebuah negara kembali tentunya banyak jasanya yang diberikan kepada pihak lain, demikian juga banyak jasa pihak lain yang diterimanya. Salah satu pihak yang saling memberi dan menerima jasa Aceh adalah Republik Indonesia yang tiada dasar kenegaraannya, tiada dasar hukum negaranya dan tiada komunitas aslinya serta tiada hukum, adat dan peradabannya. Yang ada adalah milik kerajaan-kerajaan yang pernah wujud di Nusantara seperti Kerajaan Aceh, Kerajaan Deli, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mojopahit, Kerajaan Ngurah Rai, Kerajaan Kutai dan lainnya. Lalu dari mana negara Indonesia itu datang?

Indonesia merupakan sebuah wilayah bekas jajahan Belanda yang dahulu diberi nama Pemerintahan Hindia Belanda dan ketika ia mau merdeka berobah namanya menjadi Indos Nesos, dari Indos Nesos inilah kemudian berubah menjadi Indonesia yang wilayahnya ditetapkan bekas wilayah jajahan Belanda dari Sabang sampai Marouke. Dengan demikian Indonesia ini merupakan sebuah negara peukheb-peukheb (negara adonan) yang tidak memiliki akar tunggal, tidak memiliki pemilik azasi, tidak memiliki regulasi asli melainkan semuanya titipan dan formatan penjajah Belanda yang dikawal, dipelihara dan dijarah oleh kuasa besar dunia sampai hari ini.

Terkait hubungan Aceh dengan Indonesia yang saling memberi dan menukar jasa semenjak Indonesia belum ada sampai Indonesia ada, Indonesia berkuasa, dan wujud dalam peta dunia sangat romantis sekali, sekaligus sangat angker sekali.

Kenapa romantis? Karena keikhlasan Aceh habis-habisan membantu Indonesia, dan kenapa angker? Karena Indonesia habis-habisan mengkhianati, memperkosa, merampas, dan membunuh Aceh tanpa perikemanusiaan dari dahulu samapai sekarang. Untuk konkritnya informasi ini mari kita lihat secara objektif pertukaran jasa antara Aceh dengan Indonesia.

JASA ACEH UNTUK INDONESIA

Dalam rentetan waktu antara jajahan dan kemerdekaan ketika wilayah Hindia Belanda masih dipimpin dan dikuasai oleh penjajah Belanda, Aceh sudah lebih awal menanam jasa untuk wilayah tersebut berbanding dengan wilayah-wilayah lain yang kini sama-sama menjadi bahagian Republik Indonesia.

Jasa-jasa Aceh tersebut betul-betul tidak tertandingi oleh mana-mana wilayah selain Aceh di Indonesia, di antara jasa-jasa Aceh tersebut adalah:

1. Perlawanan Aceh terhadap penjajah Belanda untuk kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Teungku Syhik Muhammad Saman di Tiro, Teuku Umar Djohan Pahlawan, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh;

2. Pemberian uang untuk membeli dua pesawat terbang pertama oleh Aceh kepada Indonesia yang kemudian menghasilkan pesawat terbang bernama; Seulawah I dan Seulawah II. Dua pesawat C-47 Dakota tersebut kemudian diganti nama oleh penguasa Indonesia menjadi Garuda Indonesia Airways.

Kisah heroik ini berawal dari kedatangan Soekarno sebagai presiden Indonesia ke Aceh pada 16 Juni 1948 yang meminta bangsa Aceh membantu membeli pesawat terbang untuk Indonesia. Tak tunggu esok-lusa Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sebagai ulama dan Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo segera mengumumkan niat baik tersebut kepada seluruh bangsa Aceh. Hasilnya, keesokan hari tanggal 17 Juni 1948 bangsa Aceh beramai-ramai mengumpulkan uang, emas, padi, hayawan, tanah dan lainnya yang dikordinir oleh M. Djuned Joesoef sebagai ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA), dan 1 Agustus 1948 ketua GASIDA bersama beberapa orang lainnya berangkat ke Singapura untuk membeli pesawat Dakota;

3. Pewujudan Radio Rimba Raya di Krueng Simpo (hari ini masuk wilayah Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen) oleh Kolonel Husin Yusuf (Putera Kota Juang Bireuen) dalam tahun 1948 yang mulai beroperasi tanggal 20 Desember 1948. Radio inilah yang menjadi penyelamat negara Indonesia yang sudah diklaim Belanda sudah ditaklukkan oleh mereka. Dalam suasana dunia sudah terpengaruh oleh klaim Belanda, tiba-tiba Radio Rimba Raya mengudara dan menginformasikan bahwa bangsa Islam Aceh masih berperang melawan Belanda di Medan Area Sumatera Timur dan menyatakan Indonesia belum jatuh ketangan Belanda. Siaran tersebut diterima oleh radio India di New Delhi dan beberapa stadion luar negeri lainnya termasuk PBB. Inilah dasar hukum yang membuat PBB menolak klaim Belanda dan mengakui IIndonesia masih wujud. Bayangkan tanpa Radio Rimba Raya, tanpa jihat akbar bangsa Islam Aceh di Medan Area dimanakah Indoesia yang sedang merampas empat pulau dlam wilayah Aceh di Aceh SIngkil dalam tahun 2025 ini?;

4. Pertahanan bangsa Islam Aceh dalam perang Medan Area di Sumatera Timur sehingga Belanda gagal menguasai Indonesia. Pada masa ini tiada lagi Indonesia karena presiden dan wakilnya sudah ditangkap, ibukata Jakarta dikuasai Belanda, Ketika ibukaota dipindahkan ke Jogjakarta, Jogjakartapun dikuasai Belanda, yang tingggal dan tidak mampu dikuasai penjajah Belanda adalah Aceh dengan pertahanan perang di Medan Areanya;

5. Bantuan biaya Aceh kepada Dr. Sudarsono sebagai duta besar Indonesia di India, L.N. Palar sebagai duta Besar Indonesia di PBB New York, dan Haji Agussalam sebagai duta keliling Indonesia untuk memperjuangkan Indonesia Merdeka dalam masa agresi Belanda tahun 1947-1948. Semua keperluan mereka baik untuk pribadi maupun untuk keperluan Indonesia secara penuh dibiayai oleh Bangsa Islam Aceh, orang Aceh bilang: sampe luweue cuet ngon bajei salang disedekahkan oleh bangsa Aceh;

6. Aceh menampung Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia/PDRI (Syafruddin Prawiranegara) dan sejumlah pejabat negara lainnya dari kalangan polisi, TNI, kejaksaan, kehakiman dan lainnya Ketika Indonesia sudah dikuasai lagi oleh penjajah Belanda dalam agresi kedua Desember 1948, hanya Aceh yang masih bertahan pada masa tersebut manakala Jakarta jatuh ketangan Belanda. Ketika ibukota negara dipindahkan ke Jokjakarta, Jogjapun diikuasai Belanda seraya presiden dan wakil presiden ditangkap dan ditahan penjajah. Pada masa itulah Muhammad Hatta selaku wakil presiden mengirim kawat telegram kepada Syafruddin Prawiranegara yang sedang menyelamatkan diri di Bukit Tinggi Sumatera Barat untuk bertindak sebagai Presiden PDRI. Ternyata Sumatera Baratpun dijarah Belanda sehingga Syafruddin Prawiranegara berhijrah ke Aceh dan ditampung, serta diberikan segala keperluan bagi mereka oleh bangsa Islam Aceh. Pada waktu itu tiada lagi negara yang diberi nama Indonesia karena ibukotanya sudah diduduki, pemimpinnya sudah ditangkap, wilayahnya sudah dikuasai kecuali wilayah Aceh. Wilayah Aceh inilah yang menjadi pertahanan tangguh, tunggal dan menjadi modal dasar, modal utama dan modal kebangsaan dan keagamaan bagi Indonesia. Rahasia apalagi yang para penguasai mabuk Indonesia mau kalian sembunyikan?;

7. Aceh menolak memisahkan diri dari Indonesia karena sangat sayang kalau pecahnya Indonesia. Dalam masa jabatan Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo 1947-1949 dua surat dalam bungkusan warna kuning dilepaskan oleh pesawat utusan Tengku mansur sebagai gubernur Sumatera Timur dalam bingkai Republik Indonesia Serikat (RIS), yang satu dilepaskan di Banda Aceh dan satu lagi di Takengon. Kedua surat tersebut mengajak Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh menerima tawaran Belanda bergabung dalam negara serikat ciptaan penjajah Belanda. Gubernur militer menolaknya karena sedang berperang dengan penjajaah Belanda tidak mungkin menerima perangkapnya. Belanda berkepentingan dengan RIS agar mudah menghadu domba sesama anak bangsa Indonesia;

8. Obliigasi. Ketika Indonesia bangkrut dalam tahun 1945-1950 tiada sumber keuangan negara yang dapat dihandalkan. Pemerinntah mengajak rakyat Aceh membeli obligasi negara secara beramai-ramai, hanya bangsa Acehlah yang menutupi kemiskinan Indonesia dengan membeli obligasi beramai-ramai termasuk salah seorangnya adalah Nyak Sandang, orang Aceh menjual tanah, menjual lembu-kerbau peliharaannya menjual emas simpanannya untuk menyelamatkan keuangan negara Indonesia, hanya bangsa Aceh yang menyelamatkan kehancuran Indonesia;

9. Aceh secara Ikhlas atau terpaksa telah rela memberikan semua gas alam Aron Lhokseumawe sebagai salah satu produsen LNG terbesar di dunia kepada Indonesia sehingga habis total di tahun 2015. Tiada sepersenpun ditinggalkan untuk Aceh sampai para pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjaya menekan Indonesia sehingga pasca perdamaian tahun 2005 baru Indonrsia membagi hasilnya dengan Aceh yang katanya 70% untuk Aceh dan 30% untuk Indonesia, itupun masih dikelola penuh oleh Indonesia dan orang Aceh tidak tau persis apakah benar diberikan 70% kepada Aceh atau tipu jakarta;

10. Aceh juga tanpa daya Ikhlas atau terpaksa sudah merelakan semua hasil hutannya dikeroyok Indonesia dan dibawa ke Pulau Jawa sehingga Aceh menjadi kurus kering dan rawan panas yang disertai banjir. Maka layaklah kalau salah seorang guru besar Universitas Indonesia asal Aceh zaman Orde Baru (Orba) menyatakan: “Aceh papa dan mundur karena kekayaan alamnya semua diangkut ke Jakarta;

11. Jasa Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang bekerja sama dengan Dai Nippon untuk memerangi dan mengusir penjajah Belanda merupakan ide brillian bangsa Islam di Aceh yang tidak terpikirkan oleh para pemimpin Indonesia lainnya. Dengan Kerjasama tersebut membuat Belanda keluar dari Indonesia dalam sekitaran tahun 1942;

12. Pemberontakan kolaborasi bangsa Islam Aceh terhadap Belanda yang dimotori kaum ulama PUSA, ulama tradisional dan kaum Uleebalang seperti Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh, T. M. Amin, Teungku Abdul Wahab Seulimeum, Teungku Syeikh Abdul Hamid (Ayah Hamid), dan Teungku Namploh serta Teuku Nyak Arief dan Teuku Panglima Polem Muhammad Ali. Persiapan para tokoh dan ulama tersebutlah yang membuat Belanda kucar kacir di Aceh;

13. Penggabungan Tentera Pelajar menjadi Tentera Nasional Indonesia dalam wilayah Sumatera oleh Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo; Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh merupakan sesuatu yang Ajaib karena berkali-kali dilakukan oleh pihak lain tapi tak pernah berhasil;

14. Aceh telah memberikan format Majlis Ulama Indonesia yang berasal dari Aceh, sebelumnya Indonesia tidak ada Lembaga ulama negara resmi seperti MUI;

15. Aceh telah memberi format Badan Perancang Pembangangunan Nasional (BAPPENAS) yang cikal bakalnya berasal dari Aceh Development Board (Badan Pembangunan Aceh) yang kemudian dijadikan Lembaga nasional bernama BAPPENAS dan untuk provinsi diberi nama BAPPEDA (Badan Perancang dan Pembangunan Daerah).

HADIAH INDONESIA UNTUK ACEH

1. Presiden pertama Indonesia Soekarno ingkar janji dengan ulama dan tokoh kharismatik Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh karena tidak mau menjadi syari’at Islam sebagai hukum Indonesia yang pernah ia janjikan ketika meminta bantu Aceh mempertahankan perang Medan Area untuk memelihara kemerdekaan Indonesia tahun 1948;

2. Soekarno tidak memenuhi janjinya dengan Aceh yang dijanjikan untuk menjadikan Aceh sebagai daerah otonomi khusus dan daerah Istimewa yang berlaku syari’at Islam melalui pemimpin Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh sehingga Aceh melawan dan menuntut dengan Gerakan DI/TII Aceh 20 September 1953 dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 4 Desember 1976;

3. Soekarno mengacaukan struktur pemerintahan di Aceh dengan memindahkan Putera-putera Aceh dan digantikan dengan orang-orang dari luar Aceh yang tidak menyatu dengan adat budaya Masyarakat Aceh dalam tahun 1950-1953;

4. Menurunkan pangkat dan jabatan Kolonel Husin Yusuf sebagai putera Aceh yang berhaluan PUSA dari panglima Divisi X menjadi komandan brigade dengan pangkat Letnan Kolonel tahun 1950. Brigade ini kemudian diletakkan di bawah kekuasaan Panglima Bukit Barisan pimpinan Kawilarang, selanjutnya Husin Yusuf diberhentikan dari tugasnya, padahal Husin Yusuf adalah pendiri Radio Rimba Raya yang menjadikan Indonesia merdeka dengan siarannya;

5. Memindahkan ketua polisi Aceh Muhammad Insya dan Komisaris Muda Polisi Yusuf Effendi ke Medan dan diganti dengan orang-orang luar Aceh yang paradoks dengan budaya Aceh;

6. Memindahkan semua batalyon tentera yang dipimpin Putera Aceh keluar Aceh dan digantikan oleh orang luar Aceh yang mayoritasnya non muslim seperti pemindahan Mayor Hasballah Haji ke Tarutung Tapanuli yang digantikan oleh Letnan Kolonel Nazir yang berhaluan Komunis. Batalyon T. Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalyon Alamsyah ke Indnesia Timur, Batalyon Hasan Saleh ke Sulawesi Selatan lalu ke Maluku Selatan dan Batalyon Nyak Adam kamil juga dipindah dari Aceh. Sebagai pengganti didatangkan penggantinya dari Tapanuli seperti Batalyon Manaf Lubis, Batalyon Ulung Sitepu yang berhaluan Komunis dan Batalyon Boyke Nainggolan, yang dari namanya saja mengerikan;

7. Mencabut provinsi Aceh, menjadikan Aceh sebagai daerah Residen sebagai bahagian dari provinsi Sumatera Utara pada 14 Agustus 1950 oleh Kabinet Halim yang berkedudukan di Jogjakarta dengan Perpu nomor 5 tahun 1950 yang ditandatangani oleh pemangku jawatan presiden Indonesia Mr. Assat dan Mendagri Indonesia Mr. Soesanto Tirtoprojo;

8. Indonesia melakukan Rasia Sukiman yang juga disebut Razia Agustus 51 yang menginjak-injak kehormatan para ulama PUSA di Aceh. Awalnya Razia ini diperuntukkan untuk mencari senjata sisa-sisa Komunis tapi di Aceh dibelotkan untuk menangkap para ulama PUSA, tiga rumah Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh diobrak abrik mereka dan sejumlah ulama PUSA ditangkapnya;

9. Menarik mobil dinas yang sedang dipakai oleh gubernur Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh oleh gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim secara kasar menjadi satu penghinaan kasar bagi Aceh dan bangsanya;

10. Menolak terang-terangan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh yang dijanjikan Ketika Indonesia sakarat oleh Soekarno, dalam pidatonya di kampus Universitas Indonesia di Salemba dan di Amuntai Kalimantan Selatan, sebagaimana ditulis Prof. Deliar Noer dalam bukunya; Partai Islam di Pentas nasional dengan bunyinya: “tidak mungkin kita memberlakukan syari’at Islam di belahan bumi Indonesia, bagaimana saudara kita yang hindu di Bali dan bagaimana pula dengan saudara kita yang Kristen di Menado. Padahal mereka hanya 10% ramai-ramai agama waktu itu, sementara muslim 90% di seluruh tanah air;

11. Membantai Masyarakat Pulot, Cot Jeumpa dan Kruengkala di Aceh Besar oleh pasukan TNI tahun 1955 yang menewaskan 99 jiwa termauk anak-anak dan Wanita. Awalnya pasukan TNI mati ditembak pasukan DI/TII lalu mereka membawa pasukan banyak menangkap Masyarakat mengumpulkan di lapangan lalu ditembak secara brutal, mirip sekali dengan kerja Yahudi di Palestina, seperti itulah balasan dan hadiah Indonnesia terhadap Aceh;

12. Menghadu domba antara kaum ulama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dengan kaum ulama tradisional dan kaum Uleebalang dalam tahun 1950-1951 agar Indonesia melihat orang Aceh berkelahi sesama mereka;

13. Menutup perjalanan kereta api di Aceh dalam kurun waktu tujuh puluhan, efek dari itu bangsa Aceh susah mencari rizki, banyak masyarakat Aceh kenak PHK, banyak menghadirkan fakir miskin secara mendadak di Aceh waktu itu;

14. Membubarkan Kodam Iskandar Muda di Aceh yang berlambang gajah putih pada tahun 1985, baru dihidupkan kembali pada 15 Februari 2002 untuk menjinakkan GAM agar mau berdamai. Pembubaran Kodam ini juga sarat dengan nuansa penghapusan peradaban Aceh di mana lambang Gajah Putih itu punya relasi dengan kejayaan Aceh zaman Sultan Iskandar Muda, sementara pembukaan Kodam kembali juga penuh nuansa politis karena GAM sedang bereaksi yang susah dipadamkan Indonesia;

15. Memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh dengan membunuh bangsa Aceh secara brutal dalam tahun 1989-1998. Tercatat dalam Sejarah pelanggaran HAM lebih dari 3000 orang dibunuh, 23 kuburan massal hasil pembunuhan oleh TNI/Polri ditemukan, diperkirakan dari 5000 sampai 39000 orang telah hilang, lebih dari 128 anak dara/gadis dan Perempuan diperkosa dan 597 rumah bangsa Aceh dibakar;

16. Memberlakukan Darurat Militer di Aceh tahun 2002-2003 dengan target melumpuhkan Gerakan Masyarakat sipil dan membiarkan kesewenang-wenangan aparat keamanan bertindak karena dalam darurat militer itu yang berkuasa adalah tentara;

17. Memberlakukan Darurat Sipil di Aceh tahun 2003-2004, darurat sipil ini diberikan hak kepada pemerintah Aceh untuk melawan GAM sebagai upaya menghadu domba orang Aceh dengan orang Aceh agar banyak mati orang Aceh;

18. Membantai muslim Aceh yang tidak bersalah dengan Indonesia (Masyarakat sipil) seperti yang terjadi dalam kasus Arakundoe, kasus Simpang KKA/ Pulo Rungkom yang membunuh 31 masyarakat tidak bersalah dan lebih 100 orang cedera pada 3 Mei 1999, kasus Gedung KNPI Lhokseumawe yang mematikan empat orang dan puluhan lainnya luka-luka, kasus Bantaqiyah di Beutong Ateueh yang menelan korban 71 pada 23 Juli 1999 dan kasus-kasus lain tanpa proses pengadilan;

19. Rencana penempatan 4 batalyon TNI di Aceh dalam tahun 2025 tanpa mendapatkan persetujuan Aceh merupakan hadiah paling bermakna untuk membungkam Aceh. Padahal dalam poin 4.7 dan 4.8. MoU Helsinky ditetapkan: Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. 4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring.

20. Yang paling akhir dan upto date adalah pengalihan empat pulau (Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek/kecil dan Pula Mangkir Gadang (besar) di Aceh Singkil dari wilayah Aceh kedalam wilayah Tapanuli Tengah di Sumatera Utara dengan Kepmendagri 050-145 tahun 2022 dan dikukuhkan lagi dengan Kepmendagri nomor 300.2.2-2138 tahun 2025 tentang pemberian dan pemutakhiran kode serta data wilayah administrasi pemerintahan dan pulau. Dari berbagai data yang sangat sah dan sahih empat pulau tersebut merupakan wilayah Aceh Singkil dalam provinsi Aceh, tapi oleh Menteri dalam negeri Tito Karnavian sengaja menutup mata dengan data-data yang akurat dan menyerahkan empat pulau tersebut kepada Sumatera Utara yang kini dipimpin Bobby Nasutian sebagai menantu Jokowi dan Jokowi sebagai masternya Tito Karnavian. Jadi ada udang di balik batu dalam kasus tersebut.

Alhasil akhirnya dengan pengambil alihan kasusu tersebut oleh presiden Prabowo, Tito dan Bobby tertunduk patuh dan menyerah untuk tidak lagi merampas empat pulau tersebut.

Berdasarkan prilaku Indonesia seperti di atas terhadap Aceh, maka timbullah satu pertanyaan; persoalan apa lagi yang Indonesia tidak mau menipu dan memperolok-olok Aceh? Sebagai orang Aceh kita terus menunggu babak demi babak dan adegan demi adegan yang dirancang dan dicanangkan para sutradara Indonesia untuk Aceh. Kita sangat yakin selagi Indonesia menjadi negara nasional yang dalam praktiknya sekular masih sangat banyak adegan Indonesia yang akan dimainkan di Aceh pada masa mendatang, kecuali bangsa Aceh memilih jalan sendiri.
Perhatikanlah wahai bangsaku mana lebih banyak antara jasa Aceh untuk Indonesia berbanding dengan hadiah Indonesia untuk Aceh. Perhatikan juga yang mana bermanfa’at dan yang mana mudharat antara jasa Aceh untuk Indonesia berbanding dengan hadiah Indonesia untuk Aceh. Lalu buatlah kalkulasi:

MASIH LAYAKKAH ACEH MENJADI BAHAGIAN DARIPADA INDONESIA?

Jawabannya tetap ada pada diri masing-masing kita. Kalau jawabannya MASIH maka bertahan dan nikmatilah pemerkosaan demi pemerkosaan tersebut agar tidak terasa sakit dari kejahatan yang bejat. Sekiranya jawabannya; TIDAK maka bergegaslah untuk mencari jalan keluarnya.

Artikel ini sengaja aku tulis untuk mengingatkan kita akan romantisme hidup bersama Indonesia yang mayoritas bangsa Islam Aceh tidak mengetahuinya. Untuk itulah mohon artikel ini dibagikan kepada seluruh anak bangsa Islam Aceh untuk dua kegunaan: pertama agar para pembaca dapat mengoreksi kesilapan dan kesalahan yang ada di dalamnya, dan kedua agar anak bangsa Islam Aceh tahu jati diri, punya identitas ke-Aceh-an dan tidak menjadi generasi warong kuupi yang tidak peduli dengan syari’ah agama dan tidak tahu menahu dengan tanoh pusaka dari endatu.
Atas segala kesalahan, kekhilafan, kelemahan dan kekurangan dari paparan ini mohon dibetulkan, karena tujuan penulisan ini semata-mata untuk mengingatkan anak bangsa dari mudah ditipu musuh-musuhnya yang bukan hanya tidak tahu membalas jasa melainkan sangat pandai berkhianat terhadap kita selaras dengan rentetan yang terhuraikan dalam pemaparan di atas tadi. Hanya Allahlah yang menjadi hakim yang Maha ‘Adil, hanya Allahlah yang Maha berkuasa, hanya Allahlah yang maha ‘Arif lagi Bijaksana.

Para penguasa Indonesia dari masa ke masa hanya berupa patung-patung ciptaan Allah yang tidak berdaya di hadapanNya. Hanya orang-orang yang bertaqwalah yang Mulya di hadapan Allah Ta’ala, hanya orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dan Rasulnya sajalah yang bakal mendapatkan syurga, dan sudah pasti hanya orang-orang yang bermakshiyat kepada Allah dan RasulNyalah yang bakal mengisi neraka (Q.An-Nisak;13-14). Untuk itu kepada segenap bangsa Islam di Aceh;

pertahankanlah harta milik sendiri keuneubah endatu sampai nyawa berpisah dengan tubuh badan dan jangan pernah merampas harta orang sebagaimana mereka merampas harta milik kita. Yakinkanlah bahwa Allah akan selalu bersama kita manakala kita selalu tunduk patuh dan ta’at kepada seluruh perintahnya.

Prof. Syabuddin Gade

Oleh: Al-Faqir Syabuddin Gade (Guru Besar UIN ar-Raniry)


Alhamdulillah, pada hari yang mulia ini kita masih diberikan kesempatan hidup oleh Allah. Karena itu, janganlah kita sia-siakan waktu untuk terus berusaha meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Allah. Hanya dengan ketaqwaan terbaik akan meningkatkan kemuliaan kita di sisi Allah dan dengan kemuliaan itu, nikmat dan rahmat Allah akan semakin melimpah ruah atas diri kita baik di dunia maupun di akhirat kelak. Bukankah kita masuk syurga dan berjumpa dengan Allah karena rahmat-Nya?

Dalam rangka meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Allah, marilah kita merenungi kembali ucapan Rasulullah SAW dalam dua hadis berikut:

1. Rasulullah SAW bersaba:
كل بني أدم خطاءون وخير الخطائين التوابون (رواه الترمذي)
Artinya: Setiap bani Adam berbuat salah dan sebaik-baik orang berbuat salah adalah orang-orang bertaubat (H.R. At-Tarmizi)

2. Rasulullah SAW bersabda:
إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء فإن هو نزع واستغفر وتاب صقل قلبه وإن عاد زيد فيها وهو الران الذي ذكر الله؛ كلا بل ران على قلوبهم بما كانوا يكسبون (المطففين؛ ١٤)

Hadis pertama menggambarkan bahwa semua anak cucu Adam bisa saja berbuat kesalahan (berdosa). Hanya para Nabi dan Rasul yang terbebas dari dosa, karena mereja senantiasa dijaga diawasi oleh Allah. Hadis ini juga menjelaskan bahwa sebaik-baik orang berdosa adalah orang-orang bertaubat. Jadi, meskipun bani adam ini tidak luput dari dosa, toh masih bisa menjadi orang baik kalau merka mau bertaubat kepada Allah.

Adapun hadis kedua menggambarkan konsekuensi Bani Adam yang berbuat kesalahan atau dosa, antara lain;

a. Orang berbuat satu kesalah atau dosa akan timbul satu noda hitam dalam hatinya. Kalaulah seseorang setiap hari melakukan satu kesalahan, maka bisa dibayangkan betapa hitamnya hati orang–orang yang bergelimang dosa sepanjang hidupnya.

b. Noda hitam pekat berupa dosa yang menimpa hati seseorang hanya dapat dibersihkan dengan cara; naza’ (ia mencabut diri dari perbuatan dosa), beristighfar (minta ampun pada Allah) dan taba (bertaubat kepada Allah). Nah, kalau ia melakukan tiga hal ini, niscaya hati mereka akan bersih dari noda hitam itu. Maksudnya, Allah akan membersihakan hati mereka dari dosa.

c. Tetapi, kalaulah manusia pendosa itu, kembali lagi berbuat kesalahan, maka mereka akan semakin terjerumus dalam dosa hingga noda hitam itu akan semakin menutupi hati mereka. Kondisi seperti ini persis seperti apa yang digambarkan Allah tentang makna “ar-rana” dalam surah al-Muthaffifin, ayat: 14, yang artinya: “Sekali-kali tidak, bahkan hati mereka tertutup dengan apa yang mereka usahakan”.

ar-rana atau ar-raina dalam ayat di atas diartikan dengan “al-hijaab al-katsiif al-maani’ li al-qalbi ‘an ru’yati al-haqqi wa al-inqiyadu lahu (hijab tebal yang menghalangi hati melihat dan kecendrungan pada kebenaran).

Karena itu, Islam memerintahkan kita untuk segera bertaubat dengan sungguh-sungguh. Tidak membiarkan dosa menumpuk, meskipun itu hanya dosa kecil. Sebab, sekecil apapun dosa kita kalau sudah menumpuk, maka akan membinasakan kita. Rasulullah SAW bersabda:

إياكم ومتحقرات الذنوب فإنهن يجتمعن على الرجل يهلكنه (رواه أحمد).
Hindarilah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa kecil yang bertumpuk pada seseorang akan mencelakakannya (H.R. Ahmad).

Keharusan segera bertaubat dapat dipahami dari firman Allah;
إنما التوبة على الله للذين يعملون السوء بجهالة ويتوبون من قريب وكان الله عزيزا حكيما.
Allah sangat senang pada hamba-Nya yang segera bertaubat atas segala dosa mereka sebagaimana digambarkan hadis berikut:
لله أشد فرحا بتوبة عبده…

Allah sangat gembira dengan hamba-Nya yang bertaubat.

Kegembiraan Allah tentu akan membawa pengampunan dari-Nya terhadap dosa hamba. Bahkan, dalam satu riwayat disebutkan bahwa “Selama seorang hamba berharap ampunan dari Allah, nisacaya Allah akan mengampuni dosa hamba-Nya, Allah tak perduli walau seberapa besar dosa hamba-Nya itu”.

Jadi, intinya kita selaku hamba Allah yang tidak luput dari dosa perlu segera memutuskan hubungan dengan kejahatan atau kesalahan, memohon ampun dari Allah dan bertaubat kepada-Nya sesegera mungkin sebelum ajal tiba.

Betapa tidak, Rasulullah saw saja sebagai insan suci setiap hari 100 kali bertaubat kepada Allah. Hal ini sesuai dengan sabdanya;
ياأيها الناس توبوا إلى الله فإني أتوب في اليوم إليه مائة مرة.
Wahai manusia taubatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya aku setiap hari 100 kali bertaubat kepada Allah.

Nah, kita ini siapa? Rasul bukan, Nabi bukan, sahabat bukan, tabi’in bukan, tabi’ tabi’in bukan dan ulama pun bukan. Kita ini hanya hamba Allah yang dhaif hampir dalam semua sisi. Karenanya, sekali lagi mari kita bertaubat kepada Allah sehingga kualitas ketaqwaan kita pun akan meningkat. Jika kualitas ketaqwaan semakin meningkat maka akan semakin mulialah kita di sisi Allah. Jika kita kita sudah dimuliakan Allah, maka apapun fasilitas kenikmatan duniawi dan ukhrawi pasti akan Allah curahkan kepada kita. Wa Allahu a’lam.

(Intisari Khutbah Jum’at di Mesjid Baitul ‘Alam, Kuta Alam, Banda Aceh, Tgl. 13 Juni 2025)