Archive for year: 2018

Dr. Ahmad Zain An-Najah melihat ada standar ganda dalam menghargai wanita bercadar. Pernyataan ini diutarakan ketika viral di media sosial video seorang wanita bercadar yang memelihara anjing.

“Kenapa muslimah bercadar di kampus harus dimusuhi, kemudian ada yang dibilang teroris. Tapi ketika ada perempuan bercadar yang memelihara anjing disanjung,” ujarnya kepada Kiblat.net, Ahad (01/04/2018).

Ketua Majelis Fatwa dan Pusat Kajian Dewan Dakwah yang juga Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam ini menegaskan penghargaan terhadap cadar seharusnya menyeluruh, semuanya dihargai. Ia lantas menyoroti sikap sebagian masyarakat yang merespon positif wanita bercadar yang memelihara anjing, di sisi lain mendukung larangan cadar di kampus.

“Ini menghormati cadarnya atau anjingnya,” ungkapnya. Zain mengimbau dilakukan penelusuran terkait sosok wanita bercadar yang memelihara anjing, apakah dia muslimah atau non muslimah.

“Seandainya dia non muslimah berarti dia hanya pura-pura menggunakan baju cadar mungkin dengan tujuan untuk memojokkan orang-orang bercadar atau memojokkan Islam,” tuturnya. Lebih jauh, pakar ilmu fiqih ini mengatakan bahwa memelihara anjing dengan dalih kasih sayang tidak dapat dibenarkan. Ia menegaskan, kasih sayang sesama manusia seharusnya dikedepankan.

“Manusia dibunuh, digusur orang-orang dibiarkan miskin, kenapa nggak kita bicara sama manusia, sebelum sama anjing. Dan ini dalil orang Barat ketika mereka dengan anjingnya sangat sayang, tapi di sisi lain dia membunuhi orang-orang Islam di negara lain,” katanya.

“Jadi tidak sepadan lebih sayang sama anjingnya daripada sama orang lain,” sambungnya.

Sumber : kiblat.net

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

Tak terasa kita memasuki bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu agung yaitu bulan Ramadhan. Setelah sekian lama berpisah, kini Ramadhan kembali akan hadir di tengah-tengah kita. Bagi seorang muslim, kedatangan Ramadhan tentu akan disambut dengan rasa gembira dan penuh syukur, karena Ramadhan merupakan bulan maghfirah, rahmat, menuai pahala dan sarana menjadi orang yang muttaqin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan diri untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan, agar Ramadhan kali ini benar-benar memiliki nilai yang tinggi dan dapat mengantarkan kita menjadi orang yang bertaqwa. Namun, bagaimana cara kita menyambut Ramadhan sesuai dengan tuntunan syariat? Apa yang mesti kita persiapkan? Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Menurut penulis, banyak amalan yang perlu dilakukan dalam rangka mempersiapkan diri menyambut  kedatangan bulan Ramadhan, di antaranya yaitu:

Pertama, berdoa kepada Allah, sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafusshalih. Mereka berdoa kepada Allah Swt agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya, dan selama enam bulan berikutnya mereka berdoa agar puasanya diterima Allah Swt. Berjumpa dengan bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah Swt. Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya para salaf berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan berikutnya agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka kerjakan” (Lathaif Al-Ma’aarif: 174)

Kedua, menuntaskan puasa tahun lalu. Sudah seharusnya kita mengqadha puasa sesegera mungkin sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun kalau seseorang mempunyai kesibukan atau halangan tertentu untuk mengqadhanya seperti seorang ibu yang hamil dan yang sibuk menyusui anaknya, maka hendaklah ia menuntaskan hutang puasa tahun lalu pada bulan Sya’ban. Sebagaimana Aisyah r.a  tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. Menunda qadha puasa dengan sengaja tanpa ada uzur syar’i  sampai masuk Ramadhan berikutnya adalah dosa, maka kewajibannya adalah tetap mengqadha, dan ditambah kewajiban membayar fidyah menurut sebagian ulama.

Ketiga, persiapan keilmuan. Menuntut ilmu ibadah hukumnya wajib ’ain. Hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara beribadah dengan benar yaitu sesuai dengan petunjuk Nabi saw sehingga ibadah kita diterima oleh Allah Swt. Mu’adz bin Jabal r.a berkata: ”Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar tersebut dengan berkata: ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.

Oleh karena itu, suatu ibadah tanpa dilandasi ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Ibadah tanpa mengikuti petunjuk Rasulullah saw tidak akan diterima Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang mengada-adakan urusan baru  dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan berasal daripadanya, maka amalannya ditolak” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa yang melakukan suatu amalan  yang bukan berasal dari petunjuk kami, maka amalannya ditolak”. (HR. Muslim)

Ibadah yang dilakukan tanpa petunjuk Rasul saw tidak hanya ditolak, namun juga menuai murka Allah Swt. Rasul saw bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku maka dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaaurrasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnah tersebut, dan gigitlah ia dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian mengada-adakan urusan baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) itu bid’ah, dan semua bid’ah itu kesesatan”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah).

Rasulullah saw juga bersabda: ”Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah (Al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk urusan adalah mengada-adakan urusan baru (dalam agama). Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).

Suatu ibadah akan diterima oleh Allah Saw bila dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Maka, menjelang Ramadhan ini sudah sepatutnya kita untuk mempersiapkan keilmuan kita dengan membaca kitab/buku mengenai Fiqh Puasa dan ibadah yang berkaitan dengan Ramadhan seperti shalat tarawih, tadarus Al-Quran, i’tikaf dan lainnya, agar ibadah kita sesuai Sunnah Nabi saw.

Kempat, persiapan jiwa dan mental. Persiapan ini penting dilakukan, agar jiwa kita siap untuk beribadah dengan full time dan optimal pada bulan Ramadhan. Caranya, dengan memperbanyak puasa sunnat di bulan sebelumnya (minimal di bulan Sya’ban) seperti puasa sunnat Senin dan Kamis, puasa ayyamul bidh (hari ke 13, 14, dan 15 pertengahan bulan hijriah) dan puasa Nabi Daud (sehari berpuasa dan sehari berbuka). Terlebih lagi pada bulan Sya’ban kita sangat dianjurkan memperbanyak puasa sunnat. Aisyah r.a berkata: “Aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa (sunnat) sebanyak yang ia lakukan di bulan Sya’ban. (HR. Muslim).

Adapun pengkhususan ibadah seperti shalat malam dan puasa pada nisfu  sya’ban  (pertengahan Sya’ban) dengan menyangka bahwa ia memiliki keutamaan, maka menurut para ulama perbuatan itu tidak ada satupun dalil shahih yang mensyariatkannya. Puasa nisfu Sya’ban tidak dikerjakan dan tidak pula diperintahkan oleh nabi saw.

Menurut para ulama, hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu sya’ban adalah dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan kebanyakannya maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, para ulama Fiqh tidak menyebutkan dalam kitab-kitab Fiqh mereka bahwa shalat malam nisfu Sya’ban itu sebagai shalat Sunnat dan puasa nisfu Sya’ban itu sebagai puasa sunnat. Bahkan para ulama hadits menjelaskan kepalsuan hadits-hadits tersebut.

Imam Ibnu Al-Jauzi telah mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam berbagai persoalan agama, termasuk mengenai keutamaan nishfu Sya’ban di dalam kitabnya yang beliau beri nama Al-Maudhu’at (hadits-hadits palsu). Beliau memasukkan hadits-hadits palsu mengenai keutamaan nishfu Sya’ban dalam kitab tersebut.

Begitu pula Imam Ibnul Qayyim mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam kitabnya Al-Manar Al-Muniif fii ash-shahih wa adh-dhaif. Beliau mengatakan bahwa hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu Sya’ban itu maudhu’ (palsu).

Syaikh Al-Mubarakfuri berkata: “Saya tidak mendapatkan hadits marfu’ yang shahih tentang puasa pada pertengahan bulan Sya’ban. Adapun hadits keutamaan nisfu Sya’ban yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah hadits yang sangat lemah” (Tuhfah Al-Ahwazii: 3/444).

Dalam kitabnya Al-Fataawaa, Syaikhul Azhar Mahmud Syaltut berkata: “Yang shahih dari Nabi saw dan diriwayatkan dari para shahabat serta diterima oleh para ulama itu hanya keutamaan bulan Sya’ban semuanya. Tidak ada beda antara satu malam dengan malam lainnya. Dianjurkan padanya untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan, khususnya memperbanyak puasa untuk melatih jiwa dalam berpuasa dan untuk persiapan menyambut Ramadhan agar tidak mengejutkan orang-orang dengan perubahan kebiasaan mereka sehingga tidak menyusahkan mereka. Nabi saw pernah ditanya: “Puasa apa yang utama setelah Ramadhan? Beliau menjawab Sya’ban untuk mengagungkan bulan Ramadhan.” Mengangungkan bulan Ramadhan itu dengan cara menyambutnya dengan baik dan merasa nyaman dengan Ramadhan dengan ibadah padanya dan tidak bosan dengannya. Adapun mengkhususkan malam nisfu Sya’ban dan berkumpul untuk menghidupkan malamnya dengan amalan tertentu, shalat dan doa malam nisfu Sya’ban, maka itu semua tidak ada satupun dalil yang shahih dari Nabi Saw dan tidak dilakukan oleh para generasi sahabat.” (Al-Fataawaa: 165-166).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah, beliau berkata: “Mengkhususkan puasa pada hari nisfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersebut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih” (Fiqh As-Sunnah: 1/416).

Dalam kitabnya Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha, Syaikh Hasan Ayyub berkata: “Tidak ada haditS shahih mengenai puasa nisfu Sya’ban. Adapun kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang pada malam nisfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid-masjid dan doa dengan doa’ khusus, semua itu bid’ah yang tidak ada asalnya dalam agama Allah swt.” (Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha: 421).

Begitu pula Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Ash-Shiyam berkata: “Perlu kami ingatkan bahwa yang dilarang dalam puasa yang bid’ah ini (puasa nisfu Sya’ban) yaitu mengkhususkan puasa pada hari itu. Namun jika seseorang berpuasa hari itu dengan puasa sunnat yang biasa dia lakukan seperti Senin dan Kamis, atau puasa pertengahan bulan (hari ke 13, 14 dan 15) setiap bulan hijriah, maka itu tidak dilarang dan tidak ada masalah. (Fiqh Ash-Shiyam: 138)

Syaikh Usamah Abdul Azis berkata: “Menetapkan puasa secara khusus pada nishu Sya’ban tanpa hari-hari lain karena meyakini keutamaan yang tidak dimiliki hari-hari lain adalah perbuatan bid’ah. Ini karena tidak ada dalil yang shahih yang menjelaskannya. Hadits-hadits yang ada dalam masalah ini adalah hadits yang sangat lemah dan bahkan palsu.” (Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah: 68)

Beliau menukilkan perkataan Syaikh Shalih bin Fauzan: “Tidak ada dalil yang shahih dari Nabi saw tentang anjuran shalat pada malam pertengahan bulan Sya’ban secara khusus dan puasa pada siang harinya secara khusus pula. Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits palsu sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan hijriah), maka ia boleh melakukan puasa pada nisfu Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja, tapi hari itu secara kebetulan.” (Kumpulan Puasa Sunnah dan Keutamaannya Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah: 70)

Termasuk persiapan jiwa dan mental yaitu dengan memperbanyak melakukan shalat-shalat sunnat dan membaca Al-Quran pada bulan sya’ban ini, agar kita terbiasa melakukannya sehingga memudahkan kita dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut pada bulan Ramadhan nantinya.

Kelima, persiapan fisik yaitu menjaga kesehatan. Persiapan fisik agar tetap sehat dan kuat di bulan Ramadhan sangat penting. Kesehatan merupakan modal utama dalam beribadah. Bila kita sehat, maka kita dapat melakukan ibadah dengan baik dan optimal. Namun bila kita sakit, maka ibadah kita terganggu. Rasul saw bersabda, “Pergunakanlah kesempatan yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Hakim) Maka, untuk meyambut Ramadhan kita harus menjaga kesehatan dan stamina dengan cara menjaga pola makan yang sehat dan bergizi, dan istirahat cukup.

Keenam, persiapan dana. Pada bulan Ramadhan ini setiap muslim dianjurkan memperbanyak amal shalih seperti infaq, shadaqah dan ifthar (memberi bukaan). Maka, sebaiknya dibuat sebuah agenda maliah (keuangan) yang mengalokasikan dana untuk shadaqah, infaq serta memberi ifhtar selama bulan Ramadhan. Moment Ramadhan merupakan moment yang paling tepat dan utama untuk menyalurkan ibadah maliah kita, karena mengikuti sunnah Rasul saw.  Ibnu Abbas r.a berkata, ”Nabi Saw adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Termasuk dalam persiapan maliah adalah mempersiapkan dana untuk berbuka puasa dan sahur. Begitu pula persiapan dana untuk keluarga selama i’tikaf, agar dapat beri’tikaf dengan baik tanpa memikirkan beban ekonomi untuk keluarga.

Ketujuh, menyelenggarakan tarhib Ramadhan. Di samping persiapan secara individual, kita juga hendaknya melakukan persiapan secara kolektif, di antaranya adalah melakukan tarhib Ramadhan. Tarhib Ramadhan adalah mengumpulkan kaum muslimin di masjid atau di tempat lain untuk diberi pengarahan seputar puasa Ramadhan, adab-adabnya, syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya atau amal ibadah lainnya yang dapat kita lakukan secara maksimal di bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw ketika memasuki bulan Ramadhan, beliau memberikan penjelasan mengenai puasa dan keutamaan Ramadhan kepada para shahabat.

Akhirnya, marilah kita sambut bulan Ramadhan yang sudah di ambang pintu ini dengan gembira dan suka cita. Marilah kita mempersiapkan diri untuk beribadah dengan optimal pada Ramadhan ini. Kita berdoa dan berharap kepada Allah Swt semoga ibadah kita selama ini dan di bulan Ramadhan nanti diterima. Dan semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan kali ini dan dapat meraih berbagai keutamaannya. Amin..!

 

Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Pengurus Dewan Dakwah Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

 

Pernyataan Sukmawati Soekarno Putri baru-baru ini lewat puisinya yang berjudul “Ibu Indonesia” telah menyorot perhatian publik dan menuai kecaman dari banyak pihak. Puisi yang dibacakan pada acara Indonesia Fashion Week (IFW) pada tgl 29 Maret 2018 di Jakarta itu telah menimbulkan kemarahan dan penentangan dari umat Islam seluruh Indonesia sebagaimana diberitakan di berbagai media dan menjadi viral di medsos.

Dalam puisinya itu Sukmawati dengan sadar dan terangan-terangan mengatakan bahwa suara azan tidak semerdu kidung dan cadar tidak secantik konde. Ini jelas penghinaan terhadap agama Islam. Selain telah menghina dan melanggar hukum Islam, Sukmawati juga telah melanggar hukum di Indonesia tentang penodaan agama yaitu Undang-Undang no 1/PNPS/1965 dan pasal 156a dalam KUHP.

Tentu saja pernyataan Sukmawati tersebut menuai reaksi keras dari umat Islam seluruh Indonesia berupa kritikan, kecaman dan penentangan. Bahkan Sukmawati telah dilaporkan kepada kepolisian gara-gara puisinya tersebut yang dianggap menghina Islam dan melukai hati umat Islam. Puisi itu telah menimbulkan keresahan dan kemarahan umat Islam.

 

Menghina Islam

Bagi seorang muslim, Islam itu petunjuk bagi manusia dalam segala aspek kehidupan, baik ibadah, politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Allah Swt berfirman: “Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (An-Nahl: 89). Allah Swt juga berfirman: “Sungguh Al-Quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebaikan, bahwa mereka  akan mendapat pahala yang besar.” (Al-Isra”: 9)

Bagitu pula syariat Islam itu lebih baik dari hukum manusia dan budaya. Allah Swt berfirman: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka cari (kehendaki)? Dan siapakah yang lebih baik hukum(nya) daripada Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Al-Maidah: 50). Inilah aqidah Islam yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Inilah keimanan.

Dalam konteks budaya, kedudukan agama Islam itu lebih tinggi dari budaya. Agama menjadi rujukan dan petunjuk bagi budaya. Budaya yang bertentangan dengan Islam wajib ditinggalkan. Adapun budaya yang sesuai dengan Islam, maka dibolehkan. Inilah aqidah Islam yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Oleh karena itu, mengatakan budaya itu lebih baik atau lebih indah dari agama itu bertentangan dengan aqidah Islam. Bahkan bisa murtad.

Pernyataan Sukmawati bahwa azan tidak semerdu kidung dan cadar tidak secantik konde itu penghinaan Islam. Ini sama saja mengatakan bahwa suara azan itu buruk dan cadar itu jelek. Selain itu, berpotensi menciptakan konflik masyarakat, agama dan bangsa. Sukmawati membandingkan dan membenturkan antara azan dan kidung dan antara cadar dan konde. Ini terkesan mengadu domba dan membenturkan antara Islam dan budaya. Padahal agama dan budaya itu merupakan aset dan khasanah bangsa.

Azan sebagai panggilan untuk shalat tidak boleh dibandingkan dan dibenturkan dengan budaya. Apalagi dikatakan azan tidak semerdu kidung. Seolah-seolah suara azan itu buruk. Ini jelas penghinaan terhadap Islam. Azan merupakan ibadah dan syariat Islam. Merendahkan azan sama saja merendahkan Islam. Bagi seorang muslim suara azan itu sangat indah. Karena azan itu panggilan untuk menghadap Allah Swt. Tentu saja azan itu lebih syahdu dan indah dibandingkan kidung. Bahkan orang non muslimpun mengakuinya.

Begitu pula cadar dan jilbab sebagai pakaian untuk menutup aurat tidak boleh dibandingkan dengan konde yang menampakkan aurat. Pernyataan sukmawati mengatakan konde itu lebih indah dari cadar merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap syariat Islam. Terkesan cadar dan jilbab itu buruk. Tidak hanya itu, penyataannya itu juga terkesan mengajak untuk berbuat maksiat dan melanggar syariat Islam.

Oleh karena itu, pernyataan sukmawati melebihkan budaya dari agama Islam itu maksiat. Kesalahan ini sangat fatal dari segi tauhid dan keimanan. Agama Islam berasal dari Allah Swt Tuhan semesta alam. Sedangkan budaya itu produk manusia. Oleh karena itu, agama Islam itu tidak bisa dikatakan sama dengan budaya. Apalagi melebihkan budaya dari Islam. Siapa yang berkeyakinan atau mengatakan bahwa agama itu dengan budaya atau budaya lebih baik dari agama maka dia telah membatalkan tauhid dan keimanannya.

Bagi seorang muslim, suara azan lebih merdu dari kidung. Dan menutup aurat dengan cadar atau jilbab itu lebih cantik dari konde yang menampakkan aurat. Seorang muslim meyakini bahwa syariat Allah itu lebih baik dan lebih indah dari budaya. Ini aqidah seorang muslim. Oleh karena itu, pernyataan Sukmawati dalam puisinya itu menimbulkan tanda tanya kepada kita, apakah beliau seorang muslimah atau bukan? Karena seorang muslim tidak patut melebihkan budaya dari syariat Islam, apalagi menghina syariat Islam.

Azan dan cadar/jilbab merupakan syariat, pemikiran dan simbol Islam. Dikatakan sebagai syariat Islam, karena azan itu perintah Nabi Saw untuk mengumumkan masuk waktu shalat sebagaimana disebutkan hadits-hadits Nabi saw. Sedangkan cadar/jilbab itu perintah Al-Qur’an (surat An-Nur: 31 dan Al-Ahzab: 59) dan hadits-hadits Nabi Saw untuk menutup aurat. Maka jelaslah bahwa azan dan cadar/jilbab itu syariat dalam Islam.

Allah Swt berfirman: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya)…” (An-Nur: 31). Allah juga swt berfirman: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Al-Ahzab: 59).

Dikatakan sebagai pemikiran Islam, karena para ulama telah berijtihad dalam memahami nash-nash Al-Qur’an dan hadits yang memerintahkan untuk menutup aurat. Mereka telah mengistimbath hukum dari Al-Qur’an dan hadits mengenai perintah menutup aurat dan menjelaskannya dalam kitab-kitab mereka mengenai batasan aurat dan kewajiban menutup aurat tersebut. Mereka juga menjelaskan perintah azan berdasarkan hadits Nabi saw dalam kitab-kitab tersebut. Adapun dikatakan sebagai simbol/syiar Islam, karena azan merupakan pengumuman masuk waktu shalat. Sedangkan cadar/jilbab merupakan simbol atau identitas muslimah sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran (surat Al-Ahzab ayat 59).

Dengan demikian jelaslah bahwa cadar/jilbab itu merupakan syariat Islam, pemikiran ulama Islam dalam berijtihad terhadap nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah, dan syi’ar Islam. Maka sangatlah salah jika ada yang berpendapat bahwa cadar/jilbab itu budaya, bukan syariat Islam. Inilah pendapat orang-orang kafir yang diikuti oleh para pengikut mereka dari kalangan orang-orang Islam liberal.

Termasuk menghina Islam melarang cadar dengan alasan tuduhan radikal dan alasan negatif lainnya yang terkesan mengada-ada dan tidak logis seperti kasus pelarangan cadar di UIN kalijaga dan IAIN Bukittinggi baru-baru ini. Tuduhan radikal dan negatif lainnya terhadap cadar itu sama menghina Islam. Pelarangan cadar/jilbab sama saja menolak syariat Islam. Menghina atau menolak syariat Islam dengan sengaja dan sadar hukumnya murtad.

Selain menghina Islam, perbuatan Sukmawati ini juga terkesan islamophobia dan menolak syariat Islam. Tentu saja sikapnya ini membahayakan aqidahnya sendiri jika dia seorang muslimah. Dalam hukum Islam, seorang muslim yang menghina, membenci dan menolak Islam dihukumi murtad. Karena dia telah melakukan perbuatan yang dapat membatalkan keimanannya setelah keislamannya dengan secara sadar dan sengaja.

Sikap menghina atau menolak simbol dan syariat Islam bertentangan dengan keimanan. Dua sikap ini, dalam diri seseorang, tidak akan bisa bertemu dan bersatu. Oleh karena itu, Allah Swt menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar agama berasal dari keimanan dan ketaqwaan. Allah Swt berfirman: “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32) .

 

Hukuman Bagi Penista Agama

Menghina agama Islam merupakan maksiat. Hukumnya haram (dosa besar). Perbuatan ini dikatagorikan sebagai perbuatan murtad (keluar dari agama Islam). Perbuatan menghina agama juga termasuk ciri orang munafik. Allah Swt berfirman: “Orang-orang munafik itu takut jika diturunkan suatu Surah yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah (kepada mereka), “Teruskanlah berolok-olok (terhadap Allah dan Rasulnya). Sesungguhnya Allah akan mengungkapkan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebahagian dari kamu (karena telah bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.” (At-Taubah: 64-66)

Para ulama sepakat (berijma’) mengatakan bahwa menghina agama Islam bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam (murtad).  Begitu pula jika seorang muslim menganggap bahwa hukum buatan manusia dan budaya itu sama baik dengan syariat, atau lebih baik dari syariat, atau membenci syariat Islam, atau menolak syariat Islam dengan sadar dan sengaja maka dia telah murtad berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ para ulama.

Imam Nawawi berkata: “Murtad adalah memutuskan keislaman dengan niat, perkataan, atau perbuatan, baik perkataannya itu berupa menghina, menolak, atau meyakini. Maka barangsiapa yang menafikan Allah swt, para rasul, mendustakan seorang Rasul, menghalalkan yang apa yang diharamkan dengan ijma’ ulama seperti zina, mengharamkan apa yang dihalalkan dengan ijma’, menafikan kewajiban yang disepakati (ijma’) oleh para ulama, meyakini kewajiban terhadap yang bukan kewajiban, berniat menjadi kafir besok, atau ragu terhadap Islam, maka dia telah kafir. Perbuatan yang menjadikan seseorang kafir adalah perbuatan yang sengaja dilakukan berupa penghinaan yang jelas terhadap agama, pengingkaran terhadap agama seperti melempar mushaf dengan kotoran, atau sujud terhadap patung atau matahari.” (Minhaj ath-Thalibin: 3/198-199)

Adapun hukuman bagi orang murtad adalah dibunuh jika tidak mau bertaubat. Nabi saw bersabda: “Siapa yang menggantikan agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari). Hukuman bagi orang murtad tidak hanya di dunia, namun juga di akhirat nanti. Allah swt berfirman: “Barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217).

Mengenai persoalan murtad dan hukumannya, para ulama telah menjelaskannya dalam kitab-kitab Fiqh dalam topik ar-riddah (perbuatan murtad) atau jarimah ar-riddah (kriminal perbuatan murtad). Silakan rujuk kepada kitab-kitab Fiqh para ulama tersebut.

Penista agama tidak boleh dimaafkan sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 64-66 dan hadits-hadits Nabi saw. Rasulullah saw memaafkan orang yang menghinanya secara pribadi, namun beliau tidak memaafkan orang yang menghina agama Allah Swt. Aisyah ra. berkata: “Demi Allah, tidaklah Rasulullah saw membalas sesuatu yang ditujukan kepada dirinya kecuali ketika kehormatan agama Allah Swt dilanggar maka beliaupun marah semata-mata karena Allah.” (HR. Al-Bukhari).

Nabi Saw tidak memaafkan seseorang menghina aqidah, syariat, dan simbol/syiar Islam, sehingga kebenaran ditegakkan, sebagaimana disebutkan dalam riwayat al-Baihaqi dalam kitab asy-syu’ab dari Hindun ra. ia berkata: “Rasulullah saw tidak pernah marah karena urusan duniawi. Tetapi apabila kebenaran dilampaui batasnya beliau marah hingga tak seorangpun yang mengenal beliau, dan tak seorangpun yang mampu berdiri di hadapannya sehingga beliau dapat membela yang benar, dan beliau tidak pernah marah karena sesuatu yang berkaitan dengan pribadinya, dan tidak pernah membela dirinya.” (HR. Baihaqi)

Ketika raja Kisra Persia menghina agama Allah Swt dengan merobek surat Rasul saw yang mengajaknya untuk masuk Islam, maka Rasul saw mendoakan kehancuran kerajaannya sebagaimana ia telah merobek suratnya dengan doa: “Semoga Allah Swt menghancurkan kerajaannya dengan sehancur-hancurnya”. Beliau memerangi kerajaan Persia, sampai akhirnya kerajaan Persia hancur pada masa khalifah Umar bin Khaththab ra.

Begitu pula peristiwa pelecehkan kehormatan seorang muslimah oleh Yahudi bani Qainuqa’. Jilbab muslimah tersebut dilecehkan sehingga nampak auratnya. Mendengar berita tersebut, Rasulullah saw pun marah dan tidak memaafkan tindakan mereka tersebut. Beliau memberi hukuman kepada orang-orang Yahudi dari bani Qainuqa’ dengan memberikan dua opsi hukuman yaitu mereka diperangi atau keluar dari madinah dalam keadaan terusir dan tidak boleh lagi kembali ke Madinah. Akhirnya mereka memilih opsi diusir dari Madinah.

Rasulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk memaafkan kesalahan orang lain jika berkaitan dengan persoalan pribadi. Sebagaimana beliau juga mengajarkan kepada kita untuk bersikap tegas kepada penista agama. Jika penghinaan ditujukan kepada diri Rasul saw, maka beliau memaafkannya. Namun jika penghinaan terhadap Islam, maka beliau menunjukkan kemarahannya dan beliau tidak memaafkannya. Oleh karena itu, tidak seorangpun berhak memaafkan penista agama, apalagi meminta umat Islam untuk memaafkannya. Karena kesalahan penista agama itu bukan kepada manusia, tapi kesalahannya itu kepada Pemilik agama. Penista agama itu telah menghina agama Allah Swt, maka dia harus meminta ampun dan bertaubat kepada Allah Swt. Maka Allah lah yang berhak memaafkannya atau tidak.

Marah terhadap penista agama merupakan kewajiban dan bukti keimanan. Seorang yang masih memiliki iman pasti marah jika agama Islam dilecehkan dan dihina. Ini pertanda imannya masih sehat atau masih hidup. Jika tidak marah, berarti imannya sudah sakit kritis atau mati sehingga tidak ada respon berupa kecamanan kemarahan terhadap orang yang menghina agama. Imannya sudah mati tapi jasadnya masih hidup. Itulah sebabnya Buya Hamka berkata: “Jika diam ketika agama dihina, maka gantilah bajumu dengan kain kafan.”

Akhirnya, kita meminta kepada Sukmawati untuk bertaubat kepada Allah Swt dengan taubat nasuha. Sukmawati tidak cukup minta maaf  kepada umat Islam.  Kita juga meminta kepada kepolisian untuk mengusut kasus penghinaan Sukmamati terhadap agama Islam sampai tuntas dan memberi hukuman yang berat kepadanya, karena telah melanggar hukum Indonesia mengenai penodaan agama. Meskipun Sukmawati sudah meminta maaf kepada umat Islam, proses hukum harus tetap dijalankan sampai dijatuhkan hukuman yang berat kepadanya untuk memberi efek jera dan pelajaran kepada Sukmawati dan orang lain. Agar kasus seperti ini tidak terulang lagi di Indonesia.

 

Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Pengurus Dewan Dakwah Aceh & Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

 

SUSUNAN PENGURUS WILAYAH ACEH
DEWAN DA’WAH ISLAMIYAH INDONESIA
PERIODE 2016-2020

 

Majelis Syura

Ketua                                : Dr. Ali Amin, SE. Ak, M.Si

Sekretaris                          : Dr. Iskandar Budiman, MCL

Anggota                              :

  1. H. Ali Sabi, SH
  2. Miswar Sulaiman
  3. Prof. Dr. Iskandar Usman, MA
  4. Drs. H. Muhammad Yus
  5. Tgk. Fakhruddin Lahmuddin, S.Ag, M.Pd
  6. Drs. Sofyan Saleh, SH, MH
  7. Drs. H. Ghazali Abbas Adan
  8. Darwis Musa, SH
  9. T. M. Yakub
  10. Ir. Nazir Ahmad, M.Si
  11. Drs. Zulkarnaen Gamal
  12. Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA
  13. Dr. M. Nur Rasyid, SH, MH
  14. Drs. Muslim Yakub, M.Pd
  15. Drs. Fauzi Zainal Abidin Tiro
  16. Prof. Dr. Khairil Daud, M.Sc
  17. Azhar TA
  18. Jemarin, S.Pd.I
  19. Ir. Wardian Yunifarsyah, M.Si
  20. Dr. A. Mufakhir Muhammad, MA
  21. H. Arafar, SE
  22. Hj. Adiwarni
  23. Drs. H. Zulkifli Hasan, MM
  24. Dr. Ajidar Matsyah, Lc, MA
  25. Dr. Sofyan A. Gani MA
  26. Khatib A. Latief, M.LIS
  27. Drs. Samir Abdullah
  28. H. Mahyaruddin Yusuf
  29. Drs. Jamaluddin T. Muku
  30. H. Burhanuddin, SH, MH
  31. Dr. Mukhlis Yunus, MBA

Pengurus Harian

Ketua                                : Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA

Wakil Ketua I                      : Drs. Bismi Syamaun

Wakil Ketua II                    : Dr. Muhammad AR, M.Ed

Wakil Ketua III                   : Tgk. Jamaluddin Thayib, MA

Wakil Ketua IV                   : Enzus Tinianus, SH, MH

 

Sekretaris Umum             : Said Azhar, S.Ag

Wakil sekretaris Umum      : Afrizal Refo, S.Pd.I, MA

Wakil Sekretaris               : Murdani Amiruddin Tijue, S.Pd.I

Bendahara                        : Edi Darman, SE, Ak., M. AK

Wakil Bendahara              : Taufiqurrahman, ST

Wakil Bendahara              : Arnisah Fonna, SH, M.Kn

 

Bidang Bidang

Pendidikan Dan Kaderisasi

Ketua                                  : Dr. Abizal Muhammad Yati, Lc, MA
Anggota                               :
  1. Ir. Rusydi Usman
  2. Drs. M. Nasir Idris
  3. Gamal Akhyar, Lc. MA
  4. Dr. Safrizal Juli, MA
  5. Mursalin Basyah, Lc

Dakwah dan SDM

Ketua                                : Muhammad Muslim, Lc
Anggota                             :
  1. Dr. Saifullah Yunus, Lc, MA
  2. Dr. Mizaj Iskandar, Lc, MA
  3. Nazarullah ZA, S.Ag, M.Pd
  4. Drs. Syukri Syamaun, M.Ag
  5. Muhammad Yunus, MA

Organisasi dan Pemberdayaan Daerah

Ketua                             : Dr. Badrul Munir, MA
Anggota                          :
  1. Dr. Syabuddin Gade, MA
  2. Drs. Mukhlis Hasan
  3. Faisal Putra, SE
  4. Dr. Ismail Rawa, MA
  5. TAF Haikal

Kesektariatan dan Rumah Tangga

Ketua                             : Reza Adlani Razali, S. Sos.I
Anggota                          :
  1. Safrizal M. Nur, ST
  2. Fakhri M. Thalib
  3. Daniel Rinanda
  4. Muhammad, S.Pd
  5. Imam Purwanto

Hubungan Antar Lembaga, Publikasi dan Dokumentasi

Ketua                         : Dr. Syukri M. Yusuf, Lc, MA
Anggota                      :
  1. Saifuddin A. Rasyid, M.LIS
  2. Busyra Salhas
  3. Arief Ramdan
  4. Fairus M. Nur Ibrahim, MA
  5. Dr. M. Faisal, ST, M.Eng

Harakatul Irtidad Walhadhamah, Ghazwul Fikri dan Pembinaan Muallaf

Ketua                          : Ghazali M. Adam, S.Ag, MA
Anggota                       :
  1. Muhammad Wali
  2. Drs. Bukhari Usman
  3. Israr Hirdayadi, Lc. MA
  4. Bustamam Usman, S.HI, MA
  5. Sayed Khuwailid, S.Ag, MA

Sosial dan Kesehatan

Ketua                       : Zulfikar, SE
Anggota                     :
  1. Suwardi, SST
  2. dr. Nurkhalis, SpJP, FIHA
  3. dr. Iskandar, Sp Bs, M.Kes
  4. dr. Hendra Al-Jufri
  5. Mukhlis, ST
  6. Fakhrurrazi

Penelitian dan Penerbitan

Ketua                        : Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA
Anggota                      :
  1. Dr. Husaini Ibrahim, MA
  2. Dr. Bustami Abu Bakar, S.Ag, M.Hum
  3. Fakhrurrazi Yunus, Lc, MA
  4. Dr. Arifin Ahmad, SST, M.Kes
  5. Bukhari Ali, MA

Hubungan Luar Negeri

Ketua                       : Ir. Nazar Idris, MP
Anggota                    :
  1. Sulaiman Hasan, Lc, MA
  2. Khalil Akbar
  3. Dr. Ridwan Nurdin, MA
  4. Dr. Rahmadon Tosari, MA
  5. Dr. Fikri Sulaiman, Lc, MA

Pemberdayaan Ekonomi dan ZIS

Ketua                     : Muhammad Yasir, S.Kom.I., MA
Anggota                  :
  1. Asraf Abdus Syukur, S.Sos.I
  2. Hanisullah, S.Sos.I., MA
  3. Zulfikar Syabudin, SE.,Ak
  4. Dr. Hafas Furqani, M.Ec
  5. Faisal Fauzan, SE., M.Si

Hukum, HAM dan Advokasi

Ketua                    : Dr. Azhari Yahya, SH, MCL, MH
Anggota                 :
  1. Dr. Emka Alidar, M.Hum
  2. Tgk. Safriadi, SH
  3. Husni A. Djalil, MA
  4. Azanul Fajri, S.HI
  5. Dr. Nurkhalis Mukhtar, Lc. MA

Kajian Politik Islam (Siyasah)

Ketua                   : Muhammad Syuib, MA
Anggota                :
  1. Tarmizi Razali, S.Ag
  2. T. Yunirwan, SE
  3. Badri Hasan, MA

Badan Otonom Dewan Dakwah

Pemuda Dewan Dakwah
Ketua                  : Basri Effendi, SH, MH, M.Kn
Wakil Ketua          : M. Sanusi Madli, SP
Sekretaris             : Alimuddin, S.Pd.I
Bendahara             : Taufiqurrahman, ST

Muslimat Dewan Dakwah

Ketua                   : Roslaila Binti Usman Latief, S.Ag
Sekretaris              : Qudwatin Nisak Binti M. Isa, M.Ed
Bendahara             : Nurul Huda Binti Usman, S.Ag

 

Brigade Dewan Dakwah

Ketua                   : Drs. Mukhtarullah Yusuf
Anggota                :
  1. Tgk. Abrar
  2. Eriza Lastra, S.Pd.I
  3. Nukman

 

Mohammad Natsir

Mantan Sekretaris Mohammad Natsir, Lukman Hakiem, menilai sosok Natsir sudah melampaui seorang politisi, melainkan seorang negarawan. Natsir, kata dia, sudah tidak memikirkan kepentingan pribadi lagi. Yang dipikirkannya adalah kepentingan masyarakat dan umat.

Contohnya, tutur Lukman, ketika hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) tidak memasukkan Irian Barat ke wilayah Indonesia, Natsir tidak mau. Dibujuk Soekarno masuk kabinet pun, ia tidak mau. Karena baginya, Irian Barat itu wilyah yang penting.

“Padahal tawarannya jadi menteri loh, tapi Pak Natsir memilih berdiri di luar, membantu dari luar. Jadi bukan kepentingan pribadi,” ujarnya kepada hidayatullah.com usai seminar Mosi Integral Natsir di Aula Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta, Rabu (11/04/2018).

Selain tidak memikirkan kepentingan pribadi, kata Lukman, Natsir adalah seorang yang punya visi jauh ke depan. Itu dibuktikannya dengan merumuskan mosi integral yang bisa diterima semua kalangan.

“Bayangkan seorang Presiden Indonesia Timur sampai mau berhenti untuk bergabung ke RI. Kalau bukan Natsir yang bujuk, belum tentu bisa,” ucapnya. Bacaan Natsir juga luas, kata Lukman. Natsir adalah seorang pembaca dan penulis. Sehingga gagasannya banyak. “Kebanyakan politisi sekarang itu tiba saat tiba akal. Ketika ditanya langsung jawab. Spontan-spontan dan enggak mendalam,” kritik mantan anggota DPR ini.

Kemudian, yang patut dicontoh dari Natsir, kata Lukman adalah sifat kesederhanaannya.

Pernah Lukman melihat Natsir di gedung DDII mengenakan baju koko putih yang ada noda tintanya. “Tapi beliau enggak merasa martabatnya jatuh dan kita enggak kurang hormat,” pungkasnya. Acara yang digelar adalah  untuk mengenang Mosi Integral Natsir yang jatuh pada tanggal 3 April, panitia mengusulkan agara hari tersebut menjadi hari libur nasional.

Sumber : hidcom

Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
BERBICARA politik di Aceh dan bagi orang Aceh bukanlah perihal yang tabu, melainkan menjadi sesuatu yang sudah ma’ruf mulai dari peringkat warung kopi gampong sampai ke warung kopi tingkat tinggi di Banda Aceh. Karena itu, apa saja yang dilakukan seorang gubernur di Aceh cepat sekali diresapi dan ditanggapi oleh berbagai lapisan masyarakat Aceh mulai dari gampong sampai ke kota. Upaya peralihan prosesi cambuk dari depan masjid ke dalam penjara yang ditandai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 Tahun 2018 yang disepakati pada Kamis, 12 April 2018, serta disaksikan Menteri Hukum dan HAM, Yosanna Hamonangan Laoly, secepat kilat mendapat respons dan kritikan dari berbagai kalangan masyarakat Aceh.
Bagi Gubernur Aceh, langkah yang ditempuh untuk mengalihkan prosesi hukuman cambuk dari depan masjid ke penjara dengan Pergub, secara hukum menjadi hak dan wewenangnya. Namun di balik peralihan itu terdapat dua pihak manusia yang menerima kondisi tersebut dengan sikap dan wajah berbeda. Yang satu menerimanya dengan sikap senang hati dan wajah gembira, karena konsep pengacauan implementasi syariah di Aceh sudah mulai jalan. Pihak tersebut adalah mereka yang anti-syariah baik yang berada di Aceh, di Indonesia, atau di belahan dunia Eropa dan Amerika yang tidak pernah senang kepada syari’ah. Sementara pihak lainnya adalah mereka yang dengan terpaksa menerima, karena tidak ada kuasa untuk melawannya. Itulah bangsa Aceh yang cinta syariah dan cinta tanah Aceh yang penuh berkah. Mereka beranggapan bahwa implementasi Qanun No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah dan Qanun No.7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayah di Aceh sudah berjalan dengan aman, tertib, bersahaja, dan tidak ada gangguan apa pun karena tidak ada masalah apa-apa.
Dalam kondisi aman seperti itu, semestinya gubernur tidak membangunkan “harimau tidur” dengan menebang batang kayu yang hendak dijual ke luar negara. Kita khawatir kalau harimau bangun bukannya lari, melainkan memangsa si pembangun dirinya, atau minimal kayu yang ingin dibawa keluar tidak bakalan bisa dibawa, karena harimau jaga tidak pernah pindah bersama kayu yang telah ditebang. Kalau demikian kondisinya, sang gubernur berhadapan dengan rakyat yang memilihnya dan syariat Islam mandek, serta pihak ketiga tepuk tangan dan bersorak ria.
Apalagi gubernur ini sudah pernah menukilkan sejarah bahaya, ketika ia tidak mau menandatangani Qanun Jinayah yang sudah disahkan DPRA pada 2009 dulu, karena ada poin rajam di dalamnya (rajam itu milik Allah dan Rasul-Nya, bukan milik DPRA). Akibatnya lebih lima tahun Qanun Jinayah mandek dan implementasi syariah gagal. Mereka bertepuk tangan dan bersorak-sorai pada waktu itu atas kerugian Aceh dan kerugian umat Islam di Aceh, hanya karena kejahilan seorang gubernur. Kali ini perihal serupa seperti terulang kembali.
Politik jinayah
Setelah pikir-punya pikir, ingat punya ingat, analisa punya analisa ternyata kondisi seperti itu wujud terkait dengan politik jinayah dan balas jasa seorang gubernur terhadap pihak ketiga di luar keacehan. Dalam mengamankan pihak sekuler dan non muslim yang selalu merongrong implementasi syariah di Aceh, gubernur terpaksa harus berdalih dengan dalih yang banyak agar kesan syariah di Aceh perlahan-lahan menjadi pudar. Ketika maju menjadi gubernur banyak pihak yang bersedia membantunya dengan harapan pihak-pihak tersebut punya lahan bermain ketika calon gubernur tersebut menang dan menjadi gubernur nantinya. Di antara pihak tersebut adalah non muslim dan kaum sepilis (sekuler, plural, dan liberal) yang selalu mencari posisi aman dalam setiap pemilu dan pilkada.
Ketika gubernur sudah terpilih dan sah menjadi gubernur, maka ianya harus mengatur dua pihak tersebut dengan mengevaluasi ketetapan hukum yang sudah baku karena tidak disenangi oleh mereka. Begitulah kondisi ril yang sedang terjadi di Aceh terkait dengan Pergub No.5 Tahun 2018 yang tidak semua rakyat Aceh mengetahui dan menginginkannya. Selain menjadi tuntutan “politik jinayah”, situasi semisal itu juga menyatu dengan selera dan hobbinya gubernur yang dari dulu sudah menampakkan keengganannya terhadap pelaksanaan syariat Islam di bumi Aceh.
Selain mengandung “politik jinayah” dalam upaya menjaga supporter, sang gubernur juga harus membalas jasa jabatan kepada pihak-pihak tertentu yang sudah mendukung, membantu dan memenangkannya menjadi gubernur dalam proses pilkada dulu. Dengan demikian, kalau menjelang pilkada dulu sang gubernur bersahaja bertemu orang-orang tertentu dari kalangan tertentu pula di Jakarta, maka hari ini terjawablah, kalau pertemuan tersebut merupakan pertemuan politik yang mengharuskan gubernur terpaksa membalas jasa kepada mereka.
Yakin tidak yakin, campur tangan Jakarta menentukan kemenangan sesuatu pasangan calon gubernur di Aceh tempo dulu. Buktinya bisa lihat ketika sejumlah jenderal purnawirawan menjadi penasihat khusus gubernur hari ini, dan itu mustahil terjadi kalau bukan karena balas jasa politik dan balas jasa jabatan. Sebagian orang menjadi heran; mengapa pasangan calon gubernur yang sudah nyata mendapatkan dukungan sebagian besar masyarakat tidak memperoleh kemenganan dalam pilkada. Sementara yang senyap-senyap dalam bekerja, malah ia yang mendapat kemenangannya. Jawabannya itulah dia kerja para penguasa, para pengusaha, para intelijen yang mengondisikan suasana untuk memenangkan calon yang sudah ada kesepakatan dengannya.
Yang semestinya harus terjadi adalah seorang gubernur bagi rakyat yang berlaku syariat Islam di dalam wilayahnya haruslah menjaga kelestarian syariah itu sendiri berjalan sepanjang masa tanpa alasan yang diada-adakan. Karena rakyat dapat membandingkan dan membedakan dengan gubernur sebelumnya yang sampai habis masa jabatannya, tidak pernah mengeluarkan pergub yang sangat sensitif seperti Pergub No.5 Tahun 2018 tersebut. Mengapa gubernur sebelumnya tidak mengusik proses cambuk yang sudah ditetapkan dalam Qanun Acara Jinayah dan mengapa gubernur sekarang belum sampai setahun menjabat sudah “mencetak gol ke gawang sendiri”?
Jawabannya adalah gubernur sebelumnya tidak bermain politik jinayah dan tidak berjanji dengan orang-orang tertentu ketika maju jadi calon gubernur dulu, sehingga ia harus membayar dan membalas jasa jabatannya. Kondisi semisal itu dimaklumi oleh segenap pencinta politik dan pencinta syariah di Aceh hari ini, karenanya seorang gubernur tidak bakal mampu menyembunyikan semua itu karena informasi berlalu demikian laju lewat berbagai media sosial yang tidak ada seorang pun mampu menghambatnya, kecuali medsos sudah tidak berfungsi lagi.
Jangan usik regulasi
Semestinya yang harus terjadi pada gubernur ini adalah duduk dan pimpin dulu bangsa Islam Aceh dengan penuh keramahan, dan jangan usik regulasi yang sedang berjalan sampai masanya memungkinkan. Tetapi itu tidak terjadi, karena sang gubernur sudah terbukti tidak simpati dengan implementasi syariah, sebagaimana ketika ia menjadi gubernur periode pertama dulu. Semestinya sang gubernur meningkatkan ibadah, wabil khusus ibadah shalat secara berjamaah lima waktu sehari semalam, sebagai upaya mengajak seluruh rakyatnya masuk surga. Ketika yang ini tidak dilakukan dan yang itu justeru dilakukan, itulah namanya “pemain bola yang memasukkan gol ke gawang sendiri”. Ketika itu yang dilakukan, maka bakal datanglah murka hamba dan murka Tuhan yang tidak mampu dipertahankan.
Kalaupun ia mampu bertahan karena ada pangkat dan jabatan serta bisa mengedepankan alat negara sebagai rekan, maka yakinlah murka hamba dan murka Tuhan itu tidak mengenal pangkat, jabatan, alat negara, dan alat kekuasaan. Ketika kita sedang berkuasa sering hal semacam ini terlupakan. Ketika kita menjadi rakyat biasa, maka penyesalan demi penyesalan akan bergantian datang, yang tidak punya kesempatan untuk menebus keterlanjuran tersebut. Semestinya yang harus dilakukan gubernur adalah mencari simpati rakyat, bukan mengedepankan keinginan dan hasrat.
Semestinya yang harus dilakukan gubernur hari ini adalah menyelesaikan undang-undang amanah MoU Helsinki dan amanah UUPA yang belum tuntas sampai hari ini, seperti persoalan KKR, persoalan bendera dan hymne Aceh, persoalan Wali Nanggroe yang belum absah, dan seumpamanya, serta tidak mengganggu kestabilan cambuk yang sudah paten dalam Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah. Kalau tidak demikian, itulah namanya bagi bangsa Aceh; jak bi bu keu ureueng troe dan jak peukawen ureueng inong nyang kana lakoe (memberi nasi kepada orang kenyang dan mengawinkan perempuan yang sudah menjadi isteri orang). Dan itulah namanya; hana buet mita buet, cok peulaken cilet bak pruet, akhe jih mandum meucuet-cuet (tidak ada kerja cari kerja, ambil pelakin gosok di perut, akhirnya semua urusan terbalut-balut). Gubernuuur, gubernur, kenapa selalu menendang bola ke gawang sendiriiiii? Aneh bin ajaib binti membahayakan.
* Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA., Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. E-mail: diadanna@yahoo.com
sumber : http://aceh.tribunnews.com/2018/04/20/politik-jinayah-gubernur-aceh.

Terbongkarnya kasus prostitusi online “jilid 2” di Hotel The Pade, Aceh Besar, masih menyisakan banyak persoalan. Salah satunya terkait hukuman yang pantas diberikan kepada para pelakunya, baik untuk germo, wanita pesanan dan pihak hotel.
Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, MCL MA pun angkat bicara terhadap persoalan tersebut. Menurutnya para pelaku itu harus di hukum dengan hukuman cambuk dengan jumlah cambukan sesuai dengan tingkatannya.
“Saat ini di Aceh sudah berlaku Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Dan kepada pelaku tersebut harus di hukum cambuk sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam Qanun Jinayah itu,” kata Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, Selasa (27/3/2018).
Tgk Hasanuddin menjelaskan dalam pasal 3 ayat 2 Qanun Jinayah tersebut mengandung ancaman hukuman terhadap 10 jarimah (perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam), yaitu; 1. Khamar (minum arak); 2. Maisir (berjudi); 3. Khalwat (berduaan antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram di tempat yang sepi); 4. Ikhtilath (bermesraan laki-perempuan yang bukan mahram di tempat keramaian); 5. Zina; 6. Pelecehan seksual; 7. Pemerkosaan; 8. Qadzaf (menuduh orang berzina tapi tidak menghadirkan empat orang saksi yang melihat kemaluan pezina lelaki keluar-masuk dalam kemaluan pezina perempuan); 9. Liwath (homo sexual); dan 10. Musahaqah (lesbian).
“Dikarenakan dalam kasus prostitusi online ini melibatkan tiga pihak, yaitu germo, wanita pesanan dan pihak hotel, maka ketiganya ini bisa dijerat dengan Qanun Jinayah tersebut,” tegas Tgk Hasanuddin.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN AR-Raniry ini menjelaskan pihak pertama yang terlibat adalah Andre sebagai tukang promosi zina. Sang germo ini terjerat pasal 33 ayat 3 Qanun Jinayat. Pasal tersebut berbunyi “Setiap Orang dan/atau Badan Usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan”.
“Sang germo diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan,” jelas Tgk Hasanuddin.
Pihak kedua adalah perempuan pesanan yang sudah berbuat zina atau tidak sampai berbuat zina tetapi sudah melakukan khalwat. Bagi mereka terancam hukuman dalam jarimah khalwat sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (1) Qanun Jinayat yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan”.
“Akan tetapi jika para lonte ini mengaku telah berzina maka bagi mereka 100 kali cambuk. Hal tersebut juga diatur dalam Qanun Jinayah pasal 33 ayat 1,” terang Tgk Hasanuddin.
Sementara pihak ketiga adalah pemilik hotel yang terjebak dengan penyediaan fasilitas berupa kamar untuk orang-orang berbuat zina/khalwat. Maka terancam dengan pasal 23 ayat (2) Qanun Jinayat yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan”.
“Kalau pihak hotel terbukti menyediakan fasilitas untuk pelaku zina maka ia terjerat dengan pasal 33 ayat (3),” ungkap Tgk Hasanuddin.
Dengan demikian, lanjutnya kepolisian wajib memeriksa kasus tersebut dengan seksama, serius, adil, muslihat, dan berperadaban. Kalau ternyata melanggar Qanun Hukum Jinayat maka polisi harus segera menyeret mereka ke meja hijau mengikut prosedur yang berlaku.
Ia juga berharap Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Besar atas dasar pemimpin ummat harus bertanggung jawab terhadap kasus prostitusi online itu dan bertindak tegas sesuai dengan hukum Islam yang di atur dalam Qanun Jinayah. Selain itu bagi hotel yang terlibat agar dicabut izin operesionalnya.
“Masyarakat Aceh sangat antusias dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, maka penegak dan pelaksana hukum di Aceh juga harus lebih antusias lagi untuk menuntaskan kasus semacam itu,” pungkas Tgk Hasanuddin

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan keputusan radikal Rektor UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta Prof. KH. Yudian Wahyudi, PhD. Sang rektor telah mengeluarkan Keputusan Rektor yang berisi larangan mahasiswi UIN memakai cadar di kampusnya dengan alasan untuk mencegah berkembangnya paham radikal. Persoalan ini menjadi berita hangat di media online dan cetak. Bahkan telah viral dan menjadi pembicaraan hangat di medsos beberapa hari lalu.
Instruksi rektor kepada Direktur Pascasarjana, Dekan fakultas dan Kepala Unit Lembaga, melalui surat tertanggal 20 Februari 2018 tersebut bertujuan untuk mendata dan melakukan pembinaan terhadap mahasiswi bercadar dalam proses perkuliahan dan di lingkungan kampus. Kemudian para mahasiswi tersebut diberikan konseling untuk diarahkan agar tidak lagi menggunakan cadar untuk kepentingan ideologi. Jika nekad tetap memakai cadar dalam batas waktu tertentu setelah konseling, maka mahasiswi tersebut akan dikeluarkan dari kampus.
Tentu saja Keputusan Rektor UIN Suka ini menuai reaksi dan kecaman keras serta penentangan dari umat Islam. Aturan rektor tersebut dianggap telah melukai hati umat Islam dan menimbulkan keresahan dan kegaduhan, bukan saja di internal kampus UIN Suka, namun juga di luar UIN dan telah menasional. Keputusan rektor UIN ini terkesan islamophobia. Maka sebagai seorang muslim, penulis perlu untuk mengkritisi dan “merajam” keputusan radikal rektor dan pemahaman orang-orang liberal lainnya. Agar kasus seperti ini tidak terulang di Indonesia.
“Merajam” Keputusan Radikal Rektor UIN Suka
Kita patut menyayangkan sikap Rektor UIN Suka yang melarang cadar bagi mahasiswi muslimah di kampusnya. Menuding cadar sebagai aksi radikalisme sama saja menghina Islam dan keluarga Nabi. Istri-istri dan anak-anak Nabi saw bercadar. Tindakan sang rektor ini telah melecehkan dan “mengeksekusi” syariat Islam yang suci dan mulia. Sebagai seorang muslim, sepatutnya sang rektor berperilaku islami, mendukung mahasiswi dalam menutup aurat baik dengan cadar maupun jilbab dan takut kepada Allah Swt.
Parahnya, larangan cadar ini terjadi di sebuah institusi pendidikan Islam yang bernama Universitas Islam Negeri (UIN). Nilai-nilai keislaman seharusnya melekat di kampus ini dan diterapkan sesuai dengan nama kampus ini. Tentu saja tindakan sang rektor ini telah mencoreng nama baik UIN Suka. Tindakannya ini bertentangan dengan visi dan misi UIN Suka yang islami seperti yang telah dicetuskan oleh para pendahulu dan pendiri kampus ini yang terdiri para ulama, tokoh Islam dan para cendikiawan muslim. Maka tidak heran jika selama ini ada persepsi negatif dari masyarakat terhadap kampus UIN Suka gara-gara ulah para oknum dosen dan alumninya yang berpikiran nyeleneh dan anti syariat alias liberal. Anehnya, pemahaman liberal yang selama ini berkembang di UIN Suka tidak dilarang. Padahal inilah radikal sesungguhnya.
Alasan pihak rektor UIN Suka mengeluarkan aturan larangan cadar untuk mencegah berkembangnya paham radikal di kampus UIN Suka. Tentu saja alasan ini sangat tidak logis dan terlalu mengada-ada. Ini menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan atau ghuluw. Terkesan sikap rektor ini islamophobia. Orang yang bercadar dituduh radikal. Padahal tidak kaitan sama sekali antara memakai cadar dengan radikalisme. Seandainya terbukti ada mahasiswi bercadar yang radikal, maka sepatutnya oknum mahasiswi itu saja yang dibina atau diberi sanksi. Tidak boleh mengeneralkan tuduhan ini kepada semua mahasiswi yang bercadar sehingga menjadikan alasan untuk melarang cadar. Jika mau jujur, tidak ada muslimah bercadar itu teroris dan radikal. Kalaupun ada, itu provokator. Jutaan muslimah bercadar di Mekkah dan Madinah setiap tahunnya, namun tidak ada aksi terorisme atau radikalisme dilakukan oleh muslimah bercadar.
Tidak hanya itu, keputusan rektor itu telah merusak dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Aturan itu telah menzhalimi hak seorang muslimah dalam mengamalkan agamanya. Tuduhan radikal terhadap muslimah bercadar telah melukai hati umat Islam, khususnya para mahasiswi UIN Suka yang bercadar. Padahal mereka wanita baik yang menjaga auratnya dan taat beragama. Tentu saja ini fitnah. Bercadar itu hak dan pilihan seorang muslimah. Maka tindakan rektor ini menunjukkan intolerasi dan otoriter yang merusak nilai-nilai humanis dan agama. Oleh karena itu, tindakan rektor ini sangat tidak humanis.
Di samping itu, sang rektor telah menciptakan aturan yang bersifat diskriminatif dan ketidakadilan di UIN Suka. Mahasiswi muslimah yang menutup aurat dipermasalahkan dan dianggap radikal. Padahal menutup aurat itu perintah agama. Namun anehnya mahasiswi yang tidak menutup aurat tidak dipermasalahkan dan tidak dianggap radikal. Padahal perbuatan mereka melanggar agama. Mahasiswi yang menutup aurat dengan memakai cadar dilarang dan dipaksa untuk meninggalkan cadarnya. Jika tetap bercadar, maka akan diberi sanksi tegas dengan dikeluarkan dari kampus. Sebaliknya muslimah yang tidak menutup aurat tidak dianggap radikal dan tidak pula dilarang. Tidak ada sanksi apapun bagi mahasiswi yang menampakkan aurat. Padahal mereka ini lebih patut dikatakan radikal, karena menentang hukum Allah Swt.
Keputusan rektor ini juga telah melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan Internasional, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah memberikan jaminan kebebasan bagi setiap orang untuk beragama dan menjalankan agamanya. Pasal 29 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila menjadi dasar hukum bagi setiap orang untuk mengamalkan agamanya, termasuk muslimah bercadar. Di negara-negara lain, bahkan di Eropa sekalipun yang penduduknya minoritas muslim, memakai cadar tidak dilarang. Kebebasan untuk mengamalkan agama dijamin oleh negara-negara itu. Maka sangat aneh, jika menutup aurat dengan cadar yang merupakan ajaran Islam dilarang di UIN Suka di negara Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim. Padahal hukum di Indonesia menjamin kebebasan beragama dan mengamalkan agama.
Bercadar itu hak dan pilihan seseorang yang harus dihargai dan dihormati. Maka tidak boleh dilarang atau sebaliknya dipaksa. Selama tidak menggangu perkuliahan atau tidak memaksa orang lain untuk bercadar tidak ada upaya radikalisasi, maka cadar tidak boleh dilarang. Tindakan rektor tersebut bisa dipidanakan, karena telah melanggar hukum NKRI. Selain itu, rektor telah melecehkan dan mendiskreditkan Islam dengan tuduhan radikal. Menuding radikal terhadap orang yang bercadar sama saja menghina Islam.
Parahnya lagi, aturan rektor itu juga telah menentang perintah Allah Swt untuk menutup aurat. Seorang muslim sepatutnya wajib mentaati hukum Allah Swt dan Rasul-Nya, jika dia benar-benar orang beriman. Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan). Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (An-Nsa’: 59). Allah Swt berfirman: “Hanya ucapan orang-orang yang beriman, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, “Kami mendengar, dan kami taat. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51). Allah Swt berfirman: “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36). Oleh karena itu, yang radikal sebenarnya adalah orang yang melarang dan menghalangi syariat Allah, termasuk melarang cadar, karena menentang aturan Allah Swt.
Hukum Bercadar Menurut Pandangan Para Ulama
Di antara syariat Allah Swt adalah perintah menutup aurat. Allah Swt berfirman: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para nelayan laki-laki (tua) yang tidak punya keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan…” (An-Nur: 31).
Allah Swt juga berfirman: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. “Yang demikian itu agar mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyanyang.” (Al-Ahzab: 59). Begitu pula hadits-hadits Rasul saw memerintahkan untuk menutup aurat. Bahkan istri-istri dan anak-anak Rasul saw bercadar.
Berdasarkan Alqur’an dan Hadits, maka para ulama sepakat (ijma’) bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya. Mereka juga berijma’ bahwa pakaian paling utama dan paling sempurna dalam menutup aurat itu cadar. Ini tidak ada khilafiah di antara para ulama. Sebagaimana merekapun sepakat bahwa bercadar itu merupakan simbol, pemikiran dan ajaran agama.
Namun para ulama berbeda pendapat apakah bercadar itu wajib atau sunnat? Perbedaan pendapat mereka ini disebabkan perbedaan pendapat mereka mengenai batasan aurat sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Alqur’an dan hadits-hadits perintah menutup aurat. Sebahagian ulama berpendapat bahwa aurat wanita itu seluruh tubuhnya. Maka hukum bercadar itu wajib. Ini pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah. Sebahagian ulama lain berpendapat bahwa aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Menurut mereka muka dan telapak tangan itu bukan aurat. Maka bercadar itu hukumnya tidak wajib, namun sunnat atau dianjurkan, karena lebih utama dan sempurna dalam menutup aurat. Ini pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah.
Kesimpulannya, perintah menutup aurat dengan cadar maupun jilbab memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Al-Quran, as-Sunnah dan ijma’. Melarang cadar berarti menentang Al-Quran, hadits dan ijma’ para ulama. Terlepas dari khilafiah para ulama mengenai hukum cadar wajib atau tidak, namun para ulama sepakat bahwa bercadar itu paling utama dan sempurna dalam menutup aurat. Merekapun sepakat bahwa cadar itu ajaran Islam dan tidak boleh dilarang.
Jadi, jelaslah bahwa cadar merupakan simbol, pemikiran dan ajaran Islam, bukan budaya Arab seperti yang dituduh oleh orang-orang kafir orientalis dan pengikut mereka dari orang-orang Islam Liberal yang anti terhadap syariat Islam. Oleh karena itu, bercadar tidak boleh dilarang. Apapun alasannya, pelarangan cadar tidak bisa diterima secara agama, logika, HAM dan hukum. Kasus seperti ini tidak boleh terulang lagi di Indonesia.
Meskipun secara pribadi penulis memilih pendapat ulama yang mengatakan bahwa muka dan kedua telapak tangan bukan aurat, namun penulis tetap objektif dan proporsional dalam memandang persoalan cadar dengan menghargai pendapat ulama yang mewajibkan cadar dan tidak menafikan cadar dan jilbab itu sebagai simbol, pemikiran dan ajaran Islam.
Akhirnya, mari kita bersikap objektif dan proporsional dalam menilai persoalan cadar. Meskipun persoalan cadar itu persoalan khilafiah, namun kita wajib menghargai pendapat ulama yang mewajibkannya. Kita harus jujur dan akui bahwa cadar dan jilbab merupakan identititas muslimah, pemahaman para ulama dan ajaran Islam. Melarang cadar sama saja menafikan simbol, pemikiran dan ajaran Islam. Selain itu, sama saja telah menentang, melecehkan dan “mengeksekusi” ajaran Islam. Perbuatan ini maksiat. Inilah paham radikal sesungguhnya. Semoga kita selalu diberi petunjuk dari Allah Swt dan dijaga dari kesesatan. Amin!
Penulis adalah Ketua MIUMI Aceh, Pengurus Dewan Dakwah Aceh & anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

“Muslimat harus mengambil perannya dalam kebangkitan ekonomi Islam”, demikian pesan Ir. Muhammad Iqbal mewakili Pengurus Dewan Da’wah Pusat membuka Pelatihan Home Industri dan Motivasi bagi ibu-ibu muslimah di Aula Masjid Al-Furqan, Jakarta (Kamis, 15/3).
Melihat pertumbuhan ekonomi saat ini yang ternyata didominasi oleh para konglomerat non-muslim, muslimat harus bisa mengambil peran membangkitkan ekonomi umat walaupun hanya dengan keripik singkong. Hal ini, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw yang berhasil membangun ekonomi Islam dengan menguasai pasar-pasar saat berada di Madinah.
Pelatihan yang bertajuk “Berani Gagal, Berani Sukses” ini mendatangkan pemateri Ibu Muslimah, seorang pengusaha keripik singkong yang cukup sukses meraup omset ratusan juta rupiah setiap bulannya.
Motivator yang dahulunya seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia ini membeberkan rahasia kesuksesannya berbisnis kripik singkong berlabel “Cantir”. Ia memulai usahanya hanya bermodalkan Rp50 ribu. Inspirasinya datang lantaran ia merasa orang kampung, yang juga terbiasa dengan cita rasa jajanan kampung berupa olahan singkong. Usahanya bermula dengan berjualan di kereta commuter linenya yang tadinya masih diperbolehkan, lalu dititipkan di warung-warung tradisional.
“Untuk mengembangkan usaha, akhirnya saya beranikan meminjam modal dari KUR, waktu itu dapat Rp5 juta,” katanya sambil menambahkan, selain keripik Cantir, wanita ini juga membuat jenis jajanan lainnya berbahan dasar singkong.
Di tangannya yang terampil, sisa-sisa potongan singkong tak bernilai diolah menjadi cemilan nikmat dan gurih. Wanita berkerudung ini mampu merubah jajanan ‘kampung’ menjadi cemilan trendi di Jakarta. “Saya beri nama Cantir untuk melestarikan budaya aslinya, juga agar nama yang tadinya terlalu kampungan jadi terkenal,” ujar Ibu Muslimah.
Turut hadir dalam pelatihan yang berlangsung satu hari ini, Ustadzah Andi Nuruljannah, Lc selaku Ketua Muslimat Dewan Da’wah Pusat. Dalam sambutannya, ia menjelaskan bahwa pelatihan ini merupakan salah satu program Biro Ekonomi dan UKM Muslimat Dewan Da’wah Pusat. “Pelatihan ini akan berlanjut di beberapa perwakilan Muslimat Dewan Da’wah Daerah di seluruh Indonesia salah satunya kota Medan yang menyatakan telah siap”, jelasnya. Dewan Da’wah Pusat pun telah siap memfasilitasi seandainya perwakilan daerah menghendaki pelatihan serupa.
Peserta yang berjumlah ratusan tampak cukup antusias mengikuti jalannya acara. Tidak hanya teori yang didapat, peserta juga berkesempatan praktik membuat dan mencicipi keripik singkong olahan Ibu Muslimah yang saat ini pangsa pasarnya sudah go Internasional.

Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Aceh bekerjasama dengan Markaz Al Muhtasib Riyadh, Saudi Arabia menggelar Daurah Syar’iyah Al Ihtisab Qawai’id Wa Mahaarat yaitu Pelatihan Metode dan Skill Amar Makruf Nahi Mungkar di Hotel Kuala Radja, Kamis (1/3).
Kegiatan yang berlangsung dengan menggunakan bahasa arab tersebut di buka secara resmi oleh Kasatpol PP dan WH Aceh yang diwakili oleh Kabid Pengawasan Syariat Islam, Drs H Aidi Kamal, MM
Dalam sambutannya saat membuka acara, Aidi Kamal mengatakan di zaman moderen yang hidup serba gemerlap dengan kemajuan teknologi ini telah membuat perilaku seseorang semakin berubah gaya hidupnya. Arus globalisasi yang datang dari dunia barat tersebut semakin menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Belum lagi pergaulan dan perilaku yang banyak menyimpang dari ajaran agama.
“Oleh karenanya apabila kaum muslimin tidak lagi beramar makruf nahi mungkar, sudah pasti kejahatan akan merajalela. Akibatnya kita akan binasa ditelan oleh kejahatan itu sendiri,” kata Aidi.
Ia menambahkan betapa mulianya seorang muslim yang menyibukkan diri untuk beramar makruf nahi mungkar dalam setiap kesempatan. Seperti menyampaikan dakwah islamiyah di berbagai tempat yang tidak terikat dengan waktu, menegur yang berbuat salah dan mengajak untuk berlomba-lomba menuju kebaikan.
“hal ini tentunya sesuai dengan tupoksi Satpol PP dan WH Aceh yang melaksanakan urusan pemerintah bidang penegakan qanun dan syariat islam, ketentraman dan ketertiban umum serta perlidungan masyarakat dan hubungan antar lembaga,” tegas Aidi.
Sementara itu Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA, dalam sambutannya mengatakan Syariat Islam yang sudah berjalan lebih dari satu dekade ini senantiasa harus di kawal dan di jaga pelaksanaanya. Pasalnya pelaksanaan syariat islam di Aceh ini selalu menjadi sorotan dunia luar.
Dosen Fak. Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry ini menambahkan melalui daurah syar’iyah ini akan dapat memberikan pemahaman konsepsional tentang metode amar makruf nahi mungkar. Selain itu juga dapat menyusun strategi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar tersebut di tengah-tengah masyarakat.
“Daurah ini akan bernilai tinggi dan bermanfaat dalam kehidupan kita. Dari itu kami berharap para peserta dapat bersungguh-sungguh dalam mengukutinya. Yang terpenting pasca daurah ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Dan kami juga berterima kasih kepada semua pihak atas prakarsa kegiatan ini,” ungkap Tgk Hasanuddin.
Sebelumnya panitia pelaksana Muhammad Muslem, Lc MA menyampaikan kegiatan tersebut diikuti oleh 50 peserta yang terdiri dari ulama, dai, ormas islam, muhtasib dan lembaga pendidikan islam.
“Panitia juga menghadirkan pemateri dari Riyadh, Saudi Arabia. Yaitu Syaikh Dr Abdullah bin Abdurrahman Al-Wathaban dan Syeikh Shalih bin Sa’id Al-Dha’yan,” tutup Muslem