Semakin hari semakin meningkat kekerasan terhadap anak walaupun pelakunya adalah ayah kandungnya, pamannya, abang kandungnya, kakeknya, ayah tiri-nya, ustad atau guru ngaji-nya, dan sebagainya. Kejadian ini bukan hanya berlaku di Aceh, bahkan di seluruh Indonesia kerapkali terjadi.
Kalau kita mengkaji lebih dalam, apa kesalahan anak-anak yang masih dibawah umur sehingga mereka rela diperlakukan sesuatu yang tidak seharusnya mereka rasakan. Apakah manusia sudah bernafsu seperti binatang sehingga ayah kandung, rela memperkosa anaknya sendiri, paman rela melecehkan keponakannya, kakek rela berbuat tidak senonoh terhadap cucunya, guru atau ustad atau teungku bergairah sekali untuk mencabuli murid-muridnya yang masih dibawah umur?
Mungkin pada saat melakukan tindakan bejat itu, mereka telah dirasuki oleh setan sehingga tidak nampak pada matanya itu anak-anak, anaknya sendiri, keponakannya sendiri, muridnya sendiri dan cucunya sendiri. Inilah tindakan manusia akhir zaman yang hampir tidak bisa dibedakan antara binatang dengan manusia yang sesungguhnya. Mungkin inilah sebabnya hukuman yang dikenakan ke atas mereka tidak membuat efek jera, sehingga keadaan ini selalu saja terjadi, bahkan pelakunya itu-itu saja, yang beda hanya korbannya. Semua ini dilakukan dengan modus operandi yang berbagai macam cara.
Menyikapi persoalan yang telah terjadi selama ini kekerasan terhadap anak, dilakukan dengan cara misalnya seorang ayah tiri tega melakukan pencabulan anak tirinya yang sudah meninggal ayah kandungnya, ibunya kawin lagi sehingga ayah tirinya oleh sebab apa, mungkin kerasukan setan sehingga mencabuli anak tirinya seperti yang terjadi di Aceh Singkil (Lihat Harian SI Jum’at 29 Januari 2021). Ini kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang terdekatnya yaitu ayah tirinya. Oleh karena itu seorang ibu bukan hanya memperhatikan suaminya yang baru, tetapi harus melihat juga anak-anaknya dan kelakuan suaminya yang baru, jangan-jangan ayah tiri bukan hanya perlu kepada ibu, bahkan anaknya sekalian harus digarap.
Ada juga kasus yang ibunya mengetahui bahwa suaminya mencabuli anaknya tetapi ia (ibunya) tidak berani melapor. Ketika kita bertanya kepada ibunya, mengapa tidak melapor ke pihak kepolisian, jawabnya karena takut tidak ada yang bisa menanggulangi kebutuhan keluarganya. Ini pengakuan seorang perempuan yang akhirnya suaminya juga di bereukah (ditangkap) oleh polisi karena kebejatannya mencabuli anak tirinya. Kalau ayah tiri yang melakukan perkara semacam ini, maka labelnya bisa dikatakan bahwa ini “ayah tiri setan”. Karena ia tidak mempunyai rasa dan hati nurani kemanusiaan, ia hanya memiliki naluri kebinatangan yang hanya mementingkan nafsu ammarah yang merajalela dalam pikiran dan hatinya sehingga tidak ada istilah tebang pilih padanya dalam hal melakukan sex.
Kemudian penelantaran anak juga terjadi di Lhokseumawe karena ibunya perlu kaya cepat atau karena kebutuhan tiga orang anak, yang masih sekolah SMA, SMP dan SD setelah bercerai dengan suaminya, makanya ibunya rela menjadi pengedar sabu-sabu sehingga ia ditangkap polisi hingga tiga orang anaknya harus menderita selama ia dikurung dalam penjara. Memang niatnya baik untuk memenuhi kebutuhan tiga orang anaknya, namun cara yang dilaluinya melawan hukum. (Lihat pemberitaan Harian SI 27 Januari 2021).
Kejadian ibu (wanita) yang terlibat sabu-sabu bukan hanya sekali terjadi, sudah beberapa kasus terjadi dan ditangkap pihak kepolisian tentang kurir sabu-sabu antar kota dan antar provinsi. Kalau ditanya kepada mereka, mengapa melakukan tindakan yang nekat dan melanggar hukum tersebut, mereka hanya menjawab, “semua ini kulakukan demi kebutuhan keluarga”.
Kemudian ada juga orang tua yang melakukan penganianyaan terhadap anak, dan melakukan kekerasan terhadap anak, membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya, melakukan ancaman kekerasan kepada anak untuk melakukan perbuatan cabul dengannya (yang ini kerap sekali terjadi), banyak sekali kasus seperti ini yang sudah masuk ke pengadilan dan hampir di semua kabupaten /kota berlaku, namun kebanyakan luput dari pantauan pihak kepolisian dan komunitas peduli anak.
Selanjutnya, ada juga orang tua yang melakukan exploitasi secara ekonomi terhadap anak seperti menjadikan anak untuk mengemis, menyewakan anak-anaknya untuk dijadikan alat mengemis, menyuruh anak untuk mencuri dan barang curiannya ditampung oleh mereka dan sebagainya. Semua kasus ini sudah terjadi dan bahkan sudah diputuskan oleh hampir semua pengadilan di Aceh.
Kasus pencurian yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur telah banyak terjadi dan kasusnya berakhir dengan damai dan penjara yaitu pembinaan dalam masa tertentu di pusat-pusat pemulihan anak. Kasus pencurian ini bisa saja didukung oleh orang tua mereka karena kebutuhan hidup keluarga yang mendesak, dan adapula karena pihak-pihak tertentu yang sengaja merekrut anak-anak untuk mencuri seperti mencuri HP, Lap Top, sepeda, sepeda motor, sepatu dan sandal, yang nantinya dijual kepada mereka (penadah) dengan harga murah. Ini merupakan penyakit kota besar yang sudah melembaga dalam mengexploitasi anak demi kepentingan perut mereka. Namun perkara yang demikian lebih banyak terlupakan, padahal ianya penyakit social yang semua orang merasakannya.
Kemudian anak dibawah umur juga sudah memiliki tanaman ganja atau maryuana dan sudah ada kasus yang terungkap oleh pihak berwajib dan telah dijatuhkan hukuman oleh pengadilan anak, selain dari itu juga terdapat anak yang kedapatan sudah kerap kali menghisap ganja (narkotika) padahal ia masih di bawah umur, namun kasus seperti ini sudah banyak juga ditangkap oleh pihak berwajib dan dibawa ke pangadilan anak, kalau yang model ini bisa diprediksi bahwa kepedulian orang tua mereka sangat tidak maksimal terhadap pergerakan anak-anak mereka. Artinya orang tua lalai dalam memantau setiap gerak gerik anak-anak mereka, bahkan ada orang tua yang membiarkan anak-anaknya merokok padahal mereka masih usia sekolahan. Jadi, merokok bagi anak-anak sama dengan membuka jalan bagi mereka untuk menjadi calon penghisap ganja dan penghirup sabu-sabu.
Namun demikian ada juga hal lain yang paling tragis, yaitu orang tua memaksa anak-anaknya yang dibawah umur untuk mencari uang/mencari nafkah dan disuruh mengemis, kalau mereka tidak mau dan tidak membawa pulang uang yang banyak, maka mereka akan dipukul atau dirantai oleh orang tuanya, perkara ini juga sudah pernah diputuskan di pengadilan anak dan barang buktinya telah-pun disita. Jadi, pertanyaannya timbul, orang tua macam apa mereka ini, dan orang tua seperti ini yang tega menjadikan anak-anaknya sebagai pencari rezeki dan memenuhi kebutuhan mereka. Orang seperti ini sama seperti kerbau atau sapi yang hendak disembelih pada musim hari raya Qurban.
Kasus yang paling banyak terjadi adalah kekerasan terhadap anak yaitu orang tua sering memukul atau menyiksa anaknya karena kesal. Mereka (orang tua) kebanyakan kurang terdidik baik pendidikan umum ataupun pendidikan agama sehingga anak kecil-pun jadi sasaran amukan orang tuanya, dan kepedulian masyarakat-pun sangat kurang terhadap eksistensi tetangganya yang melakukan kekerasan terhadap anak kecil, dan tempat tinggal yang berjauhan dengan lingkungan masyarakat serta pihak-pihak berwajib juga bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak.
Hasil survey KPPAA ke beberapa daerah menunjukkan bahwa di daerah-daerah terpencil kasus pelecehan, pencabulan, kekerasan terhadap anak banyak terjadi khasnya di daerah-daerah terpencil.
Mereka tidak berani melapor karena beberapa alasan: pertama karena itu aib dan ianya tidak bisa dibuktikan secara hukum, akhirnya didiamkan saja dan apa yang terjadi, maka terjadilah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Kedua karena lokasi atau tempat kejadian perkara jauh dari kantor Polisi, KPPAA, Dinas Pemberadayaan Perempuan dan Anak, LSM anak, dan pihak-pihak yang peduli terhadap anak. Karena itu banyak kasus tersebut ditelan masa, dan para pelakunya terus mencari mangsa baru di tempat atau lokasi lainnya.
Kemudian kasus melarikan anak perempuan dibawah umur juga tidak sepi dalam masyarakat kita karena HP android sangat berjasa untuk terlaksananya acara tersebut. Jika orang tua melarang kawin dan pacaran, maka para remaja tidak segan-segan mengambil jalan tengah atau jalan keluar dengan melarikan anak perempuan dari rumah orang tuanya dan menikah di tempat-tempat tertentu selain dari petugas negara (KUAKEC). Di sini tidak dipandang batas umur yang penting menyelamatkan anak-anak dari perzinahan, kuakec liar ini yang penting ada amplop beres semuanya, dan langsung dinikahkan walaupun wali tidak hadir. Kawin lari seperti ini sangat sering terjadi di zaman teknologi informasi seperti sekarang ini. Memang kita tidak menyalahkan teknologi, namun para pengelola dan petugas yang berekepentingan terhadap terknologi ini harus dapat mengekang dan meminimalisir persoalan yang merusak akhlak generasi muda.
Mungkin solusi yang tepat adalah adanya peran dan tanggung jawab keluarga dalam memantau gerak gerik anak. Pengawasan dari berbagai unsur lembaga yang peduli terhadap kasus anak dan Dinas-dinas terkait harus selalu siap sedia dalam memantau kasus anak.
Kemudian para pihak yang membuat hukum atau undang-undang tentang perlindungan anak harus senantiasa memantau jalannya kasus persidangan ini di setiap pengadilan, sehingga para terdakwa atau para pesalah harus dihukum yang berat kepadanya, dan Negara juga harus melindunginya para korban, direrehabilitasi nama baiknya, diberikan ganti rugi (kompensasi) kepadanya dalam masa tertentu.
Rehabilitasi psikisnya, traumatiknya, dan membangkitkan gairah hidupnya khususnya para korban adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait khususnya pemerintah. Jika negara gagal mengurus dan menjaga eksisteni anak-anak, maka kehabisan stock kepemimpinan akan berlaku sepanjang hayat. Sebab, anak-anak sekarang dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka akan menjadi pemimpin masa depan. Apabila kehidupannya diamputasi sejak dini, maka terombang-ambinglah negara ini karena para pemimpinnya terdiri dari orang-orang cacat dan ampas kemanusiaan yang sangat tidak layak untuk memimpin. Camkanlah wahai para pecinta anak-anak dan selamatkanlah mereka demi kelanjutan kepemimpinan di masa depan.
Oleh Dr. Muhammad AR. M.Ed
Penulis adalah Ketua Komisioner Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh