BEGITU TANDUSKAH NEGERI INI ?       
Oleh: Nazarullah S.Ag, M.Pd *

Indonesia dari dulu jadi rebutan negara-negara Eropa, Sehingga mereka "Meuseunoh" untuk menjajah negeri ini. Belanda menjajah Indonesia agar tidak terkesan radikal, Lewat mendirikan VOC merampas hasil alam Indonesia. Kenapa hasil alam yang diincar? Jawabannya, karena hasil alam Indonesia sangat menjanjikan keuntungan.

Bila hasil alam negeri ini membuat tergiur bangsa lain untuk menguasai Indonesia, kenapa saat Indonesia sudah merdeka dari penjajahan, bangsa ini tidak pernah menikmati kesejahteraan sampai dengan saat ini? Barangkali ini-lah misteri yang harus diungkapkan, agar menjadi terang benderang penyebab bangsa ini terpuruk sampai harus menjadi negara yang terutang dan terjajah.

Umar Bin Khattab pernah berkata: "Suatu negeri akan hancur jika pengkhianat jadi petinggi, dan kekayaan dikuasai oleh orang-orang yang fasik". Pertanyaannya, Apakah ungkapan Umar Bin Khattab itu sedang terjadi di NKRI yang kita cintai ini?

Buka mata lebar-lebar, Negera kita adalah negara yang kaya raya. Tapi penduduknya rela menjadi "Budak" (TKI) di Negeri orang demi sesuap nasi, Karena susahnya mencari lapangan kerja di Negeri sendiri. Penduduk Indonesia tidak-lah “bodoh-bodoh amat”, tapi Sumber Daya Alam diolah oleh bangsa lain. Sumber Daya Manusia sudah banyak yang dibentuk, tapi untuk berbuat sangat-lah terbatas.

Indonesia negara yang Aneh, kaya raya, tapi kebutuhan hari-hari harus di import dari negara lain. Kebutuhan pokok saja harus dipasok dari negara luar. Pertanyaannya, apakah begitu Tandusnya negeri Indonesia ini sehingga untuk kebutuhan makanan sehari-hari saja terpaksa didatangkan dari negara-negara tetangga ??

Tentulah jawabannya tidak, Indonesia bukan negara tandus. Indonesia adalah negara makmur dan Subur. Cuman penduduknya jadi miskin disebabkan oleh salah "Urus" negeri oleh orang-orang yang telah hilang hati nurani. Disaat bangsa kita butuh kerja, malah di PHK dan direkrut pekerja China. Inilah yang dimaksud sebagai pengkhianatan untuk anak-anak dari Ibu Pertiwi Indonesia. "Endatu" Bangsa Aceh pernah berkata tentang carut marutnya negeri ini, Bahwa:

Rakyat Deuk Troe.    
Neugara Ruyang Rayoe.        
Masyarakat Saket Asoe.        
Udep Lage Lam Lumpoe.

Negeri ini direbut oleh para pahlawan kita dari bangsa penjajah bertujuan untuk kesejahteraan penduduk negeri. Sehingga mereka rela "Menyumbang" Nyawanya demi kemerdekaan negara yang makmur dan kaya sumber alam ini. Tapi betapa sedihnya hati mereka jika mengetahui bahwa banyak pemimpin negeri ini yang telah berkhianat dan rela menjual tanah dan Sumber Daya Alam Indonesia demi kepentingan pribadi dan golongan.

Bukti nyata dari pengkhianatan itu salah satunya adalah dengan dibangunnya sejumlah Reklamasi untuk penduduk China yang nantinya akan menempati Bangunan tersebut, dan ironisnya, mengusir penduduk asli dari dari seputaran pantai itu hanya demi menyenangkan hati beberapa bangsa taipan sang penyandang dana.

Cukupkah sampai disitu? Jawabannya, belum. Saat bangunan reklamasi itu ditempati oleh orang-orang China nantinya, dan mereka dibekali dengan KTP Indonesia, maka siapa-pun suatu saat nanti dalam pemilihan Presiden atau Gubernur yang diusung mereka, pasti akan menang. Maka tamatlah riwayat negara Indonesia.      
Walahu A'lam…..

  • Penulis adalah Salah satu Calon Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Aceh

Partai Komunis Indonesia (PKI) awal sekali didirikan oleh seorang sosialis Belanda bernama Henk Sneevliet dan Sosialis Hindia Belanda lainnya pada bulan Mei 1914 yang dalam waktu lama berkantor pusat di Jakarta. PKI mempunyai organisasi-organisasi underbawnya seperti CGMI sebagai sayap Pelajar, pemuda Rakyat sebagai sayap pemuda, Gerwani sebagai sayap perempuan, SOBSI sebagai sayab buruh, BTI sebagi sayap petani. PKI juga memiliki warna khas yaitu warna merah dengan palu-arit sebagai lambangnya.

            Henk Sneevliet bersama teman-temannya membentuk tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama: Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) dalam bahasa Inggeris disebut; Indies Social Democratic Association. ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda. Anggota ISDV memakrufkan pemikiran-pemikiran Marxis, atheis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara menentang kekuasaan penjajah

Pada Kongres ISDV di Semarang bulai Mei 1920, nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun ditetapkan sebagai ketua partai dan Darsono sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda. PKH menjadi partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Pada Mei 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno memerintahkan komunis di Indonesia untuk membentuk sebuah front anti-imperialis bersatu dengan organisasi nasionalis non-komunis, tetapi unsur-unsur ekstremis didominasi oleh Alimin & Musso menyerukan revolusi untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Namun usaha pemberontakan tersebut telah gagal dan pemerintah Belanda melarang  PKI. pada tahun 1927

Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama yang diberi nama Front Demokrasi Rakyat. Partai Sosialis kemudian bergabung dengan PKI. dan milisi Pesindo berada di bawah kendali PKI. Pada tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun menuntut ilmu komunis di Uni Soviet. Pada 5 September 1948 Musso berpidato menganjurkan Indonesia berkiblat  ke Uni Soviet. Dengan kerja kerasnya kemudian Musso berhasil menggerakkan massa PKI untuk memberontak di Madiun Jawa Timur tahun 1948.

 

PEMBERONTAKAN PKI 1948

Pemberontakan PKI 1948 atau yang juga disebut Peristiwa Madiun adalah pemberontakan kaum komunis yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 di kota Madiun. Pemberontakan ini dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat" (FDR). Berawal dari kejatuhan kabinet RI yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan digantikan oleh kabinet Muhammad Hatta, membuat Amir Sjarifuddin membentuk wadah baru dan mengumpulkan orang-orang yang berpaham kiri dan sekuler dalamnya dengan nama Front Demokrasi Rakyat" (FDR).

Musso sebagai tokoh PKI yang lama tinggal di Uni Soviet dalam sidang Politbiro PKI 13-14 Agustus 1948 mengusulkan sebuah jalan baru untuk Republik Indonesia karena menurutnya gerakan PKI sudah salah jalan dalam bergerak di Indonesia. Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme, yaitu: PKI illegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional".

Tanggal 18 September 1948, PKI/FDR menguasai Kota Madiun, Jawa Timur, dan mengumumkan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Keesokan harinya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Di Pati, Jawa Tengah juga diduduki oleh PKI dan FDR. Pemberontakan ini menewaskan RM Suryo sebagai Gubernur Jawa Timur, dr. Moewardi yang pro-kemerdekaan, serta beberapa tokoh agama dan petugas kepolisian. Mengingat kondisi Madiun sudah sangat berbahaya maka kabinet Muhammad Hatta di Jakarta mengambil gerakan cepat untuk menghapus gerakan PKI tersebut. Pemerintah mengangkat Kolonel Sungkono sebagai gubernur militer untuk menumpas PKI. Yang dimulai pada tanggal 20 September 1948. Musso yang melarikan diri ke Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. berhasil ditembak mati. Amir Sjarifuddin yang di tangkap di Grobogan, Jawa Tengah dijatuhi hukuman mati.

 

PEMBERONTAKAN PKI 1965

            Semenjak tahun 1950, PKI menggeliat kembali di Indonesia yang dipimpin oleh Dipa Nusantara Aidit (D.N.Aidit) yang memilih posisi sebagai partai nasionalis. Aidit dan kelompok muda lainnya seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Di bawah kepemimpinan D.N.Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954 dan sampai 1,5 juta pada 1959, sungguh merupakan sebuah perkembangan yang sangat cepat.

kongres PKI yang diadakan Agustus 1959 walaupun dicegah militer namun berhasil dan berjalan lancar karena mendapatkan dukungan Soekarno dan ia pula yang membukanya. Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, Komunisme yang diwakili oleh PNI, NU, dan PKI. Dengan demikian peran PKI sebagai mitra junior dalam pemerintahan Sukarno resmi dilembagakan dan PKI semakin naik daun karena mendapatkan dukungan partai berbasis agama (NU) dan berbasis nasionalisme (PNI).

Perkembangan PKI yang mencapai 3 juta orang tahun 1965, PKI menjadi salah satu partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. PKI mempunyai massa dalam beberapa organisasi underbawnya seperti Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia, jumlah tersebut menjadi modal kuat buat PKI untuk berusaha menguasai Indonesia.

Merasa diri sudah kuat maka pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur yang terkenal dengan nama Lubang Buaya. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta tersebut gagal pada 2 Oktober esok harinya.

Menjelang terpilihnya Jokowi menjadi presiden RI,  mantan Aster Kasad Mayjen TNI Purn  Prijanto di Jakarta, Ahad (29/6/2014) mengatakan bahwa Komunisme sedang lakukan rekonsolidasi secara serius dan terencana di Indonesia. Lebih jauh, Prijanto mengatakan,  istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme. Sebab, istilah petugas partai mirip dengan pekerja partai yang pernah dikatakan tokoh PKI. D.N Aidit. Sekarang terjadi kolaborasi antara kader-kader komunis yang sudah menyusup di PDIP dengan kalangan Katolik yang memiliki ideologi ‘Theologi Pembebasan’ yang diadopsi dari Amerika Latin, dan bermuara lingkaran Jokowi. Maka, sekarang lingkaran Jokowi terus menggelindingkan dan menggelorakan tentang idiom atau kata ‘kerakyatan yang lazim digunakan PKI.

Dalam beberapa bulan terakhir ini pihak keturunan PKI dan aktivis HAM gencar menyebarkan issue bahwa negra RI sudah banyak membunuh anggota PKI dalam tahun 1948 dan tahun 1965 dan mereka menuntut pemerintah agar minta ma’af kepada keturunan korban. Selain itu lambang palu arit akhir-akhir ini kembali menjulang di kawasan-kawasan tertentu terutama sekali di Pulau Jawa. Ada orang menulis buku berjudul “Aku Bangga Menjadi anak PKI” (oleh Dr. Ribka Ciptaning), ramai kawula muda kini memakai kaos oblong berlambang palu arit (sebagai lambing PKI), ada pula muslim yang pakai kaos oblong bergambar Che Guevera (tokoh Komunis), dan sebagainya.

Apapun opini dan komentar serta pendapat orang tentang PKI, yang jelas PKI baik yang dipimpin Musso di Madiun maupun yang dipimpin D.N.Aidit di Jakarta telah banyak membunuh manusia. Mereka anti tuhan karena beraliran dan berpaham Marxisme, Atheisme, dan Leninisme, maka tidak layak lagi PKI eksis di bumi Indonesia yang konstitusinya mengesahkan enam agama bagi bangsanya (Islam, Hindu, Budha, Katholik, Protestan, dan Kong Hu Chu). Sementara Komunisme tidak memiliki agama, tidak bertuhan, dan suka kepada pembantaian terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Oleh: Hasanuddin Yusuf Adan

(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah pada fakultas Syari’ah & Hukum UIN Ar-Raniry)

Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA

oleh Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan,MCL., MA

            Negara Indonesia merupakan sebuah negara adonan dari sejumlah negara dan sejumlah bangsa di kepulauan Hindia yang dalam masa penjajahan Belanda disebut dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Dari istilah Hindia Belanda ini kemudian ditarik nama baru oleh sejumlah ilmuan baik dalam maupun luar Indonesia dengan nama Indus (India) dan Nesus (pulau-pulau) dari bahasa Latin. Dari dua istilah itulah kemudian muncul nama Indonesia yang wilayahnya mencakupi jazirah dari Sabang sampai Marauke. Sesungguhnya Indonesia tidak mempunyai akar tunggal sebagai sebuah negara berdaulat sebelum dijajah oleh Belanda, yang ada hanya kerajaan-kerajaan di kepulauan nusantara seperti kerajan Aceh Darussalam, kerajaan Mojopahit, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Ngurah Rai, kerajaan Kutai dan sebagainya.

            Kini Indonesia yang tidak berakar tunggal sudah berdiri selama 71 tahun lebih semenjak diumumkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rentang waktu 71 tahun tersebut negara yang hari ini makruf dengan sebutan NKRI ini telah mengalami banyak pengalaman, baik yang terasa manis, asin, masam, pedas dan sebagainya. Pemberontakan DI/TII tahun 1949, pemberontakan PKI 1948 di Madiun dan PKI 1965 di Jakarta, dan gerakan massa dalam kasuus reformasi 1998 yang melengserkan Soeharto dari kursi presiden NKRI merupakan sebahagian pengalaman pedas, asin, dan masam untuk negeri ini.

            Selain itu masih banyak pengalaman lain baik dalam skala besar maupun kecil seperti kasus pembajakan pesawat oleh Imran, kasus pembantaian Amir Biki di Tanjung Priuk, kasus peristiwa Malari, kasus serbuan terhadap Ahmadiyah Qadiani, syi’ah LDII, dan yang terakhir adalah kasus penodaan agama Islam oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI. Kasus terakhir ini membangunkan MUI untuk mengeluarkan fatwa yang disebutnya rekomendasi bahwa itu termasuk dalam kategori penistaan agama yang dalam Undang-undang No. 1 PNPS Tahun 1945 diancam maksimal lima tahun penjara. Efek dari penistaan agama Islam oleh seorang ummat Kristiani tersebut memeriahkan ibukota Jakarta dengan demo santun 4 November 2016 yang dislogani dengan 411 dan demo super damai 2 Desember 2012 yang dipopulerkan dengan sebutan 212. Yang menjadi sebuah keanehan di sini adalah ketika para ulama, para intelektual, para cucu pendiri negeri ini datang beramai-ramai dengan muslihat dan santun ingin menasehati presiden di istana negara, ternyata presiden mengelak, keluar dari istana dengan alasan yang diada-adakan dan tidak mau berjumpa dalam kasus 411. Sebaliknya ia bersama wakil presiden dan sejumlah menterinya datang bergabung, mendengar Habib Riziq berkhuthbah dan shalat jum’at bersama di Monas dalam kasus 212.

 

KASUS ALMAIDAH 51 DAN DEMO MASSA

            Hari Jum’at 4 November 2016 lebih kurang 2 juta representatif muslim se Indonesia berkumpul di masjid Istiqlal dengan rencana selepas Jum’at berdemo santun untuk memberi nasehat kepada presiden Joko Widodo di istana negara Jakarta. Inti nasehat yang mau disampaikan oleh representatif muslim tersebut adalah agar presiden menghormati dan  menjalankan fatwa MUI tentang penodaan agama oleh gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok). Ucapan penodaan tersebut terkait dengan pelecehan Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51, bunyinya lebih kurang sebagai berikut: “jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak itu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surah Al-Maidah 51 macem macem ini. Itu hak bapak ibu. Jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibohongi gitu ya”.

            Efek dari ucapan Ahok tersebut membuat MUI sebagai lembaga yang berhak memberikan dan menetapkan fatwa di Indonesia berijmak dan menetapkan fatwa bahwa Ahok sudah bersalah dan berhak mendapatkan hukuman. Namun demikian oleh penegak hukum di Indonesia tidak merespon dan tidak menjalankan fatwa MUI tersebut, itulah yang menyebabkan representatif muslim seluruh Indonesia berdemo dengan tujuan mau memberikan nasehat kepada presiden Joko Widodo. Demo yang menghadirkan lebih kurang dua juta ummat Islam dari berbagai kalangan dan berbagai wilayah di seluruh Indonesia itu menjadi sesuatu yang luar biasa karena berjalan santun, muslihat, aman, dan damai, belum pernah terjadi sebelumnya di negeri ini. Lebih hebat lagi ketika demo super damai yang menghadirkan tidak kurang dari tiga juta muslim se Indonesia dalam kasus 212.

            Fatwa MUI bertanggal 11 Oktober 2016 tersebut ditandatangani langsung oleh DR. KH. MA’RUF AMIN sebagai Ketua Umum dan DR. H. ANWAR ABBAS, MM, MAg, sebagai Sekretaris Jenderal.  Lima poin fatwa yang dalam ketetapan MUI disebut rekomendasi itu adalah:                                

1. Pemerintah dan masyarakat wajib menjaga harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 2. Pemerintah wajib mencegah setiap penodaan dan penistaan Al-Quran dan agama Islam dengan tidak melakukan pembiaran atas perbuatan tersebut.

3. Aparat penegak hukum wajib menindak tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan penistaan Al-Quran dan ajaran agama Islam serta penghinaan terhadap ulama dan umat Islam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Aparat penegak hukum diminta proaktif melakukan penegakan hukum secara tegas, cepat, proporsional, dan professional dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat, agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap penegakan hukum.

5. Masyarakat diminta untuk tetap tenang dan tidak melakukan aksi main hakim sendiri serta menyerahkan penanganannya kepada aparat penegak hukum, di samping tetap mengawasi aktivitas penistaan agama dan melaporkan kepada yang berwenang.

 

MENOLAK NASEHAT RAKYATNYA

            Seorang presiden yang dipilih oleh rakyat semacam Joko Widodo adalah sepenuhnya menjadi presiden rakyat, terlepas banyak rakyat yang tidak memilih dia karena memilih rifalnya Prabowo Subianto dalam pemilu dahulu. Tetapi ketika ia menjadi presiden RI bermakna dia menjadi presiden seluruh rakyat Indonesia, bukan lagi calon presiden yang didukung oleh rakyat ini dan rakyat itu, demikianlah rumus dan fungsi kedudukan seorang presiden dalam sesuatu negara. Akan halnya dengan Joko Widodo, ketika dua juta rakyatnya terutama sekali dari kalangan ulama dan intelektual mau berjumpa dengannya untuk memberi nasehat kepadanya malah ia keluar dari istana presiden, tidak mau berjumpa, dan berdalih memeriksa proyek di Air port Soekarno Hatta Cengkareng. Itu merupakan sebuah kesalahan besar yang sudah dilakukan seorang presiden semacam Joko Widodo. Sebaliknya, dalam kasus 212 malah ia ikut bergabung tanpa tujuan yang jelas dengan para demonstran super damai di Monas.

            Dalam Islam dan untuk masyarakat Islam, Rasulullah SAW telah bersabda: “Agama adalah nasehat”, para shahabat bertanya: “untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, untuk pemimpin kaum muslimin, dan rakyatnya”. (riwayat Bukhari dan Muslim). Dalam kaitannya dengan hadis tersebut, Rasulullah SAW dengan mudah menerima nasehat Abubakar Ash-Shiddiq ketika tiba di gua Tsur, tatkala itu Abubakar berucap: Ya Rasulullah, bersabarlah, biar saya dahulu yang memasuki gua Tsur, nanti belakangan baru Nabi masuk. Nabi tidak membantah nasehat Abubakart tersebut. Dalam kasus lain ketika Abbas pamannya Nabi tau nabi mau berjumpa dengan sejumlah orang Yatsrib di bukit ‘Aqabah untuk menerima bai’at mereka, lalu Abbas menasehati Nabi agar jangan pergi sendiri karena takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan, maka nabi mendengarnya. Akhirnya Abbas menemani Nabi pada tengah malam tersebut.

            Dalam kesempatan lain ketika terjadi perang Ahzab dan posisi muslimin sangat terjepit, shahabat Nabi Salman Al-Farisi menasehati beliau untuk menggali parit sebagai tempat berlindung dari serbuan musush yang lengkap dengan persenjataannya, lalu Nabi menerimanya dengan senang hati yang kemudian perang yang juga disebut perang Khandaq tersebut dimenangi pasukan muslimin. Masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang berkaitan dengan Nabi menerima nasehat rakyatnya dalam sejarah Islam, demikian juga dengan para Khulafaurrasyidin sebagai generasi pertama penerus risalah Nabi.

            Kalau nabi begitu mudah menerima nasehat daripada rakyatnya untuk kemenangan Islam dan kesejahteraan ummat Islam, maka apalah arti seorang Joko Widodo yang jauh sekali bandingannya dengan Nabi berani menolak nasehat para ulama di negeri yang dimerdekakan oleh ummat Islam ini. Sungguh merupakan suatu pelanggaran besar terhadap hakikat kemerdekaan Indonesia yang dilakukan seorang Joko Widodo. Tidakkah ia ketahui kalau tidak ada perjuangan para ulama muslim dan ummat Islam dalam berjihad melawan penjajah Belanda dahulu seorang Joko Widodo tidak akan mendapatkan kursi presiden di Indonesia hari ini? Tidakkah ia ketahui bahwa membela orang kafir dalam kehidupan beragama Islam merupakan perbuatan memasukkah gol ke gawang sendiri yang dilarang dan dibenci Allah? Atau model pemerintahan Hindia Belanda mau diwujudkan kembaili oleh seorang Jokowi di Indonesia hari ini, yakni sebagaimana digambarkan Aqib Suminto dalam bukunya: Politik Islam Hindia Belanda halaman 4 berikut ini: “dalam rangka menghadapi Islam di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda bekerjasama dengan para kepala adat dan menggunakan lembaga adat untuk membendung pengaruh Islam di kepulauan nusantara. Kalau pemerintahan pimpinan Jokowi hari ini sudah memasang strategi yang pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda maka perlu diingat bahwa Indonesia merupakan negara tanpa akar tunggal, ia akan mudah rebah ketika dihembus angin dan akan memungkinkan tercabut dari tanah ketika dibantai puting beliung. Berhati-hatilah wahai pencinta NKRI.

(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Politik Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh) diadanna@yahoo.com/085260185571

MENJELANG Pemilu umat Islam kerap dihadapkan pada perdebatan hukum pemilu. Tidak jarang, diskusi itu berlanjut pada perdebatan panas yang merenggangkan ukhuwah.

Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Syuhada Bahri, mengatakan, umat Islam harus saling menghargai pada pilihan masing-masing. Kelompok Golput menghargai yang memilih, begitupun sebaliknya.

“Golput itu hak mereka. Umat Islam yang memilih harus menghargai sikap mereka. Ini soal perbedaan pemahaman atau khilafiyah. Dan yang Golput juga harus menghargai umat Islam yang memilih,“ terangnya kepadaIslampos, Senin (27/5).

Namun kalau umat Islam memilih, kata Syuhada, kita bisa mengingatkan penguasa. Dia khawatir kalau umat Islam Golput justru memberikan peluang kepada orang lain untuk menghentikan jalan dakwah kita. Sebab berdasarkan pengalaman, Syuhada dan kawan-kawan pernah mengalami itu.

“Mungkin yang Golput belum merasakannya. Namun yang jelas sikap DDII adalah tidak Golput,” tutupnya. [andi/Islampos]

http://www.islampos.com/ddii-golput-dan-tidak-golput-harus-saling-menghargai-112320/

Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya jadwal audiensi dengan gubernur Aceh yang disampaikan oleh Pengurus Wilayah Dewan Da’wah Aceh terkabulkan. Melalui staf ahli bidang hukum dan Politik, Tgk. Adli Abdullah, MCL, pertemuan tersebut dillaksanakan di Meuligoe Gubernur Aceh, Selasa (19/8) pagi.

Rombongan Dewan Da’wah Aceh sejumlah enam orang, Dr. Tgk. H. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA, selaku Ketua Umum, didampingi oleh Dr. H.Muhammad AR, M.Ed, Drs. Zulkarnain Gamal, Drs. Bismi Syamaun, Tgk. Jamaluddin,MA dan Said Azhar selaku sekretaris umum. Sementara Gubernur didampingi oleh Kepala Biro Isra Serta Aceh, Drs. Ilyas Nyak Tuy, pejabat bagian Humas, staf pribadi, Tgk. Muzakkir Hamid serta Staf Ahli bidang Politik dan Hukum.

Dalam pertemuan tersebut, di samping silaturrahmi, Dewan Da’wah Aceh juga menyampaikan beberapa program kerja yang sudah dan sedang dikerjakan, seperti pembinaan muallaf di daerah perbatasan bekerjasama dengan Baitul Mal Aceh, sosialisasi Syari’at Islam melaui talk show kerjasama dengan Dinas Syariat Islam, pembinaan remaja dan mahasiswa secara berkala, juga memfasilitasi pendidikan untuk anak-anak muallaf di pesantren-pesantren terpadu yang ada di Aceh dan di Pulau Jawa, serta pengiriman mahasiswa S1 ke Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir di Jakarta dan S2 ke UIKA (Universitas Ibnu Khaldun) Bogor dalam rangka program kaderisasi ulama kerjasama dengan Baznas.

Sementara program yang prioritas saat ini adalah mendirikan Akademi Da’wah Indonesia (ADI) di Markaz Dewan Da’wah di Gampong Rumpet. Peserta program ini adalah anak-anak fakir miskin dan muallaf di daerah perbatasan yang tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikan. Mereka dididik selama dua tahun di ADI , kemudian dikirim ke STID Mohammad Natsir untuk melanjutkan program S1 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Saat ini sudah 13 mahasiswa yang sedang mengikuti program ADI.

Akhirnya terbukti penyelesaian konflik Aceh tidak selesai dengan perang, tetapi melalui perjanjian damai lewat MoU Helsinki. Hanya saja disayangkan kewenangan pemerintah pusat lebih banyak terhadap Aceh—ada 6 bidang; urusan luar negeri, pertahanan dari luar, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, keamanan nasional dan agama—dibandingkan apa yang pernah diperjuangkan oleh Ghazali Abbas Adan.

Kiranya dengan pengalaman yang ada, kendati konteks dan waktu berbeda, kiranya apa yang pernah dilakukan dulu oleh Ghazali Abbas dapat dipertahankan dan ditingkatkan dalam rangka menunaikan amanah rakyat Aceh. Ekpektasi rakyat sangat besar dipundaknya, ditengah lemahnya kinerja sebagian besar anggota parlemen Aceh selama ini baik di tingkat nasional maupun daerah (said)

 

  1. Himbauan

     

    1. Hendaknya segenap bangsa Indonesia terutama kaum muslimin selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk mengharapkan berkah dan rahmat-Nya, sehingga bangsa ini terhindar dari bencana dan keterpurukan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf : 96);

  1. Hendaknya segenap bangsa Indonesia terutama ummat Islam menjaga kesatuan dan persatuan ummat untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta menghindari perpecahan yang akan menjurus kepada disintegrasi bangsa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu)kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran : 103);

  1. Segenap bangsa Indonesia diharap menjaga hati, ucapan, dan perbuatan; Jangan sampai menimbulkan hal-hal yang dapat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan yang lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Hujur?t : 11);

  1. Khususnya kepada kaum muslimin Indonesia, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menghimbau supaya menggunakan hak pilihnya dan memilih wakil rakyat untuk DPR RI (DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota), dan DPD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden yang mempunyai kriteria sesuai dengan ajaran Islam, yaitu :

     

    • Muslim yang amanah yaitu : kuat/mampu dan terpercaya;
    • Muslim yang shiddiq yaitu : jujur, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia dan tampil menjadi negarawan yang bersih;
    • Muslim yang fathanah yaitu : cerdas, tegas dan adil;
    • Muslim yang terampil melaksanakan tabligh yaitu : komunikatif, aspiratif, reformis, dan profesional;
    • Muslim yang sehat jasmani dan rohani, memiliki keberpihakan kepada mustadh’afin (orang yang lemah), komitmen untuk membela dan menegakkan Syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari;

Firman AllahSubhanahu wa Ta’ala : “Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” (Al-Qashash : 26)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.” (Yusuf : 55)

Pesan Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam kepada Abu Dzar Al-Ghiffari Radhiyallahu ‘Anhu, tentang jabatan kepemimpinan harus diperoleh secara benar dan tepat :

???? ?????? ????? ?????  :?????? ??? ???????? ????? ?????? ????????????????? ????? : ???????? ???????? ???? ?????????? ????? ????? : ??? ????? ?????

  • ???????? ?????????? ????????? ?????????? ?????? ???????????? ?????? ??????????? ?????? ???? ????????? ?????????? ???????? ???????? ???????? ???????.

Abu Dzar RA dia berkata, saya berkata : “Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikan aku sebagai pejabat?” Kemudian Nabi menepuk bahuku dengan tangan beliau, seraya bersabda : “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan), padahal jabatan merupakan amanah; pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa saja yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan jujur.” (HR. Shahih Muslim no : 1825-1816);

Pesan Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tentang Ruwaibidhah, yaitu ketika manusia mengahadapi zaman tipu-menipu:

 ????? ???????? ????? ?????? ????? ???????? ?????????  :?????????? ????? ?????????? ????????? ??????????? ????????? ??????? ??????????

  • ??????? ?????????? ???????????? ??????? ?????????? ??????????? ??????? ?????????? ?????????? ??????? ??????????????, ?????? ?????

???????????????? ????? : ????????? ?????????? ???? ?????? ???????????.

Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Akan datang atas manusia tahun-tahun penuh tipuan; Pada masa itu para pembohong akan dikatakan sebagai orang jujur, sebaliknya orang jujur dikatakan pembohong; Para pengkhianat dipandang amanah, sementara yang amanah dipandang sebagai pengkhianat;Di zaman itu para Ruwaibidhah turut bicara.” Nabi ditanya, “Apakah Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab : “Orang-orang bodoh yang mengurusi soal-soal kemasyarakatan.” (HR. Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Imam Malik dari dua jalan, Abu Hurairah dan Anas bin Malik. Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami’ no : 3650);

  1. Kepada Lembaga-lembaga Negara yang langsung atau tidak langsung bertanggungjawab atas penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dihimbau agar dapat menyelenggarakannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan efisien, serta berlangsung dengan aman, damai, dan bermartabat;
  2. Menyerukan kepada semua calon-calon Anggota Legislatif dan calon-calon Presiden dan Wakil Presiden agar penyampaian Visi dan Misi Politik tidak dijadikan alat untuk mengelabui rakyat pemilih, menjauhi prasangka, saling menghujat dan memojokkan;
  3. Kepada Partai Politik peserta Pemilihan Umum, dan Partai atau Koalisi Partai yang mencalonkan calon Presiden dan Wakil Presiden, agar melaksanakan kampanye yang jujur, adil, tidak menggunakan politik uang, serangan fajar, dan tidak terjebak pada politik menghalalkan segala cara;
  4. Kepada masyarakat pemilih, agar menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan menggunakan akal sehat;
  5. Kepada Media, baik Cetak, Elektronik, maupun Media Sosial agar menjalankan fungsinya sebagai lembaga penyiaran yang netral, objektif, dan proporsional;
  6. Menganjurkan agar semua komponen bangsa bersikap dewasa, lapang dada, dan menahan diri dari tindakan-tindakan anarkis.

 

  1. Penutup dan Do’a

Akhirnya kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala :

?????????? ??????? ?????? ??????????? ?????????? ????? ????????? ?????????? ?????? ?????????? ???????????? ???????????? ??? ?????? ??????? ????? ?????? ?????????

 ????? ???? ???????????? ?????????????? ?????? ????????? ??????? ?????? ??????????? ???????????.

(Ya Allah, persatukanlah hati kami, perbaikilah hubungan antara kami; Tunjukkanlah kepada kami jalan-jalan keselamatan; Jauhkanlah dari kami segala hal yang keji baik yang lahir maupun yang bathin; Dan berkatilah kami dalam pendengaran dan penglihatan kami; Terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang).

 

Jakarta, 18  Rabi’ul Akhir 1435 H

                                                                                                     18      Februari    2014 M

 

                             Pengurus

         Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

 

 

H. Syuhada Bahri                                                            Drs. H. Amlir Syaifa Yasin, MA.            

          Ketua Umum                                                                          Sekretaris Umum

  •  

 

 

Prof. Dr. Ir. H. A.M. Saefuddin

                  Ketua

 

Pergumulan Syari’at Islam dengan politik di Aceh semenjak Aceh menjadi bahagian dari Indonesia selalu merugikan Aceh dan Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kebrutalan dan sekulerisasi para pemimpin Indonesia terutama sekali dalam dua periode, Orde Lama (Orla) dan Orde baru (Orba). Akibatnya gerakan memajukan Syari’at Islam di Aceh terkendala sampai hari ini. Karena kader-kader Orla dan Orba tersebut sudah sangat mengakar dalam kehidupan ke-Aceh-an. Walaupun mereka orang Aceh yang terkenal cucu pahlawan dan menyatu dengan Syari’at Islam, tapi karena sudah lebih setengah abad dikelabui oleh para penguasa Indonesia maka sulit bagi mereka untuk kembali ke fitrah semula. Itu problem besar yang harus diselaraskan kembali dengan nilai dan doktrin ke-Aceh-an.

 

KATA KUNCI: Aceh, Syari’at Islam, Politik

 

PENDAHULUAN

Implementasi Syari’at Islam di Aceh semenjak zaman awal ketika Aceh menjadi sebuah kerajaan berdaulat dahulukala selalu menjadi bahan aktual untuk diperbincangkan. Pasalnya adalah; muslim dan muslimah yang menghuni wilayah Aceh sa’at ini masih komit dengan hukum dan ketentuan Islam yang bergelar Syari’ah atau Syari’at Islam.

Awalnya Islam masuk ke nusantara melalui Aceh, baik menempuh jalur Kerajaan Peureulak maupun jalur Samudera Pasèi. Mengikut tahun yang ada terbukti Islam lebih awal bertapak di Peureulak kemudian berkembang sampai ke Pasèi. Walaupun sebahagian para pakar sejarah ada yang menyimpulkan bahwa Islam awalnya bertapak di Pasèi. Beberapa seminar yang diadakan baik di Aceh sendiri maupun di luar Aceh juga menyimpulkan awalnya Islam bertapak di kawasan Peureulak.[1]

Dari sinilah Maulana Sultan Abdul Azizsyah sejak hari Selasa 1 Muharram 225 H/840 M telah meresmikan Islam menjadi agama kerajaan di negeri Peureulak yang diisytiharkan langsung oleh Sayyid Maulana Abdul Aziz yang kemudiannya beliau dinobatkan menjadi raja Islam pertama di Peureulak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azizsyah (225-249 H/840-864 H)[2]. Semenjak itu pula Islam resmi dijadikan sebagai agama negara atau agama kerajaan Peureulak, dan disitu pulalah letaknya keterkaitan antara agama dengan negara yang paling awal dalam sejarah pergumulan Islam dengan politik di Aceh. Kebetulan saja pada waktu itu keterpaduan antara Islam dengan politik sangat menyatu sehingga negara dan politik itu dijadikan sebagai instrumen daripada agama.

Ketika Sultan Malik Al-Saleh mendirikan kerajaan Islam Pasèi di Samudera (dekat kota Lhokseumawe sekarang) tahun 1260 M, Islam semakin berkembang dan Syari’at Islampun semakin marak dan maju sehingga antara Syari’at Islam dengan politik kenegaraan terlihat sangat harmonis serta dapat diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[3]

Ketika Aceh menjadi sebuah kerajaan dengan gelar Kerajaan Aceh Darussalam yang diazaskan oleh Sultan Ali Mughayyatsyah, maka Syari’at Islam terus berkembang dan pada zaman Sultan Iskandar Muda dijadikan sebagai agama resmi kerajaan. Pada zaman ini pulalah Aceh menjadi salah satu negara super power dunia dalam peringkat lima besar negara kuasa besar dunia Islam, yaitu: Konstantinopel, Marocco, Isfahan, Agra dan Kerajaan Aceh Darussalam.[4] Dalam versi lain lima besar kuasa dunia Islam masa itu adalah:

1.     Kerajaan Islam Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul Asia Minor.

2.     Kerajaan Islam Morokko di Afrika Utara.

3.     Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.

4.     Kerajaan Islam Akra di anak benua India.

5.     Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.[5]

Semenjak itu pula pengaruh Islam dan Syari’at Islam dalam pemerintahan di Aceh menjadi bahagian yang tidak dapat dipisahkan. Ia menyatu amat mendalam sehingga muncul pepatah Aceh; Adat Bak Poteu Meureuhôm, Hukôm Bak Syiah Kuala, Kanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana/Béntara, Hukôm deungön Adat Lageei Zat deungön Sifeuet.

Adat Bak Poteu Meureuhom berarti panutan undang-undang/peraturan menurut Poteu (Sultan) Iskandar Muda almarhum. Hukôm Bak Syiah Kuala bermakna ketetapan Hukum Islam ada di tangan ulama besar Syeikh Abdul Rauf Syiah Kuala. Kanun Bak Putroe Phang berarti tertib majelis (lebih khusus berkenaan dengan perkara kewanitaan) diatur oleh Puteri Pahang yang bernama Kamaliah. Reusam bak Béntara bermaksud segala perkara ketentaraan diatur oleh panglima tentara atau laksamana atau bentara.[6] Adat ngön Hukôm lagei zat ngön sifeuet bermakna; antara adat Aceh dengan Hukum Islam seperti zat dengan sifat yang amat sulit dipisahkan keduanya.

Dengan demikian jelaslah bahwa Syari’at Islam dari awal lagi sudah menyatu dengan kerajaan atau pemerintahan di Aceh sehingga ia menjadi bahagian yang tidak dapat dipisahkan sama sekali. Kondisi semisal ini terus berlanjut sehingga kerajaan Aceh berhadapan dengan penjajah Belanda dan Jepang. Ketika Aceh menjadi bahagian daripada negara Indonesia kesan inipun tidak kurang kentalnya sehingga Aceh selalu mendapatkan keistimewaan dari Indonesia seperti gelar Daerah Istimewa Aceh dan keistimewaan memiliki Undang-undang Pemerintahan Aceh yang tidak dimiliki wilayah lain di Indonesia. Dengan keistimewaan tersebut Aceh memiliki keistimewaan Islam, keistimewaan Pendidikan, keistimewaan Adat istiadat dan keistimewaan Peran Ulama dalam pemerintahan.

Walaubagaimanapun, keistimewaan itu tidak dapat dijalankan semudah membalik telapak tangan. Pasalnya sangat banyak masalah yang harus dilalui sehingga keistimewaan dalam bidang agama Islam itu dapat diwujudkan di Aceh. Pergumulan antara Syari’at Islam dengan sistem politik Indonesia terutama sekali dalam era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) terlihat sangat genting di Aceh. Di zaman Soekarno Syari’at Islam dipangkas di Aceh sehingga memunculkan gerakan anti Indonesia dan anti Soekarno dari Aceh yang dimotori ulama dan pemimpin kharismatik; Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sejak 21 September tahun 1953 sampai tahun 1961.[7]

Di zaman Soeharto semua pegawai negeri dipaksa tunduk patuh kepada Golkar dan menjajah partai Islam, Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Islam sebagai azas partai dan azas semua organisasi dipaksa ganti dengan azas tunggal Pancasila. Pada zaman tersebut Syari’at Islam sama sekali tidak dapat disebut-sebut di Aceh apalagi untuk diaplikasikan sepenuhnya. Wilayah Aceh betul-betul menjadi wilayah Islam yang didiami oleh penghuni anti Islam waktu itu. Yang menjadi aneh dan lucu adalah tidak ada seorang Acehpun yang berani membetulkan suasana tersebut sehingga Hukum Allah (Syari’at Islam) bisa berjalan di Aceh. Baru pada 4 Desember tahun 1976 Tengku Hasan Tiro mengisytiharkan perlawanan besar terhadap kedhaliman Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang dideklarasikan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie.[8]

Pergumulan Syari’at Islam dengan sistem dan model politik Indonesia berjalan berat sebelah dan sama sekali tidak seimbang dalam periode itu. Prihal yang sama tidak hanya terjadi di Aceh saja tetapi juga berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Bedanya, Aceh kemudian melawan dan berontak tetapi tidak ada satu wilayah lainpun di seluruh Indonesia yang berani melawan rezin Seoharto bersama Orde Barunya yang syirik, sesat dan menyesatkan dalam kacamata Islam.

Hanya Acehlah satu-satunya yang berani bertindak untuk melawan kedhaliman Indonesia baik di zaman Orde Lama maupun Orde Baru yang sama-sama mengancam Syari’at Islam di wilayah yang hampir seratus persen berpenduduk muslim ini. Tantangan demi tantangan telah berlalu untuk Syari’at Islam di Aceh, terutama yang datangnya dari Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Kini kita sedang berhadapan dengan tantangan lain baik yang datang dari luar maupun dari Aceh sendiri yang belum terang nampak dipandang mata. Tantangan tersebut amat berpotensi untuk mengganjal berlakunya Syari’at Islam secara kaffah (sempurna) di bumi peninggalan Ali Mughayyatsyah, Iskandar Muda, Teungku Syhik di Tiro dan Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh ini. Kalau tantangan ini menjadi kenyataan, siapa yang bakal berani menantang?

 

TINJAUAN PUSTAKA

Selama penulis melakukan kajian tentang implementasi Syari’at Islam di Aceh khususnya dalam beberapa tahun terkhir, belum banyak penulisan yang berkenaan dengan relasi Syari’at Islam dengan pergulatan politik di Aceh. Yang kita dapati di pasar dan kedai-kedai buku antaranya buku yang  bertajuk; memahami Syari’at Islam yang ditulis oleh Prof. Muslim Ibrahim. Buku ini lebih mengarah kepada konsep perundang-undangan dalam Islam dan tidak banyak hal yang berkaitan dengan pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh. Buku ini mengupas asas-asas Syariat Islam seumpama konsep ibadah dan konsep mu’amalah dengan penjelasan-penjelasannya.

Buku Syari’at di wilayah Syari’at yang ditulis oleh beberapa orang pakar di Aceh terbitan Dinas Syariat Islam NAD. Disember 2002 menguraikan sepintas tentang Pendidikan Islam, Perekonomian Islam Pemberdayaan Hukum dan persoalan Dimensi Keulamaan dan persoalan minoriti. Ia tidak spesifik terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Selain itu penulis juga sudah ikut memperkaya khazanah perpustakaan Nanggroe dengan menulis tiga buku berkaitan dengan implementasi Syari’at Islam di Aceh. Yang pertama berjudul; ‘Aqidah modal utama Implementasi Syari’ah, kedua; Syari’at Islam di Aceh antara implementasi dan diskriminasi, dan yang ketiga Refleksi implementasi Syari’at Islam di Aceh. Ketiga buku ini memberikan nuansa politik dalam menjayakan pelaksanaan Hukum Allah di bumi Aceh.

Sebuah Qanun zaman silam sekitar masa Kerajaan Aceh Darussalam dengan tajuk Qanun Al-Asyi Meukuta Alam yang ditulis oleh Teungku di Meulék. Disebut-sebut sebagai sebuah pegangan kerajaan masa itu dalam menjalankan Hukum Islam dan hukum negara. Namun demikian kita sulit mendapatkan naskah asli qanun tersebut hari ini, apakah betul-betul ada atau hanya bersifat mitos saja.

 

PEMBAHASAN

Dari topik asal yang disiapkan panitia penulisan buku ini dengan judul: Relasi Syari’at Islam dengan pergulatan Politik di Aceh penulis modifikasi menjadi Pergumulan Syari’at Islam dengan Politik Di Aceh. Modifikasi ini sengaja dilakukan untuk menghindari paradoksi judul dengan penulis lain yang juga disuguhkan topik yang serupa. Dan itu tidak akan mengurangi nilai dan bobot penulisan artikel ini sama sekali, malah lebih memperindah topik dan mempertajam kandungan yang berkaitan dengan sasaran yang hendak dicapai dari tujuan awal kehadiran buku ini.

Untuk pembahasan lebi lanjut berkaitan dengan judul artikel ini penulis mencoba membagikan judul tersebut menjadi tiga bahagian yang saling berkaitan dan tidak boleh dipisahkan. Ketiganya adalah sebagai berkut:

 

Munculnya syari’ah di aceh

Syari’at Islam di Aceh sudah wujud semenjak Islam pertama bertapak di nusantara ini yang oleh pakar sejarah menyimpulkan bahwa Islam masuk pertama adalah di kawasan Peureulak kabupaten Aceh Timur. Semenjak itu penduduk wilayah tersebut gencar mengembangkan Syari’at Islam sehingga meluas ke Samudera Pasèi dan seterusnya menjelajahi Pulau jawa, Kalimantan, Semenanjung Malaysia dan sampai ke Pattani Thailand Selatan dan Moro (Filipina Selatan).

Inilah pangkal awal Syari’at Islam di Aceh sehingga bertahan sampai hari ini dengan posisi maju-mundur dan naik-turun serta pasang-surut seperti gelombang riak di lautan. Namun demikian yang sangat perlu kita catat di sini adalah Syari’at Islam di Aceh punya akar, punya batang, punya daun dan punya ranting sehingga tidak mudah dimatikan orang. Dan yang labih penting lagi Syari’at Islam di Aceh mempunyai bibit unggul yang siap tumbuh ketika ditanam dan cepat membesar ketika disiram. Modal ini perlu dipahami oleh semua orang Aceh dan juga non Aceh.  Dengan demikian ketika Aceh hendak menjalankan Syari’at Islam tidak akan ada komplain dari pihak-pihak lain baik ianya dari unsur Aceh ataupun non Aceh karena sudah memahami latar belakangnya. Kalaupun ada berarti yang mengkomplain itu buta sejarah atau buta perasaan yang amat sulit disembuhkan.

Kemunculan Syari’at Islam di Aceh tidak pernah padam dari masa ke masa, mulai dari kerajaan Peureulak mencuat ke Samudera Pasèi, terus diayomi Ali Mughayyatsyah ketika berjaya mewujudkan Kerajaan Aceh Darussalam dan diteruskan oleh Iskandar Muda sehingga menjadi kawasan cemerlang Islam di Asia Tenggara. Selepas itu para penerus mereka terus menyambung tali estafet tersebut sehingga turun temurun sampai zaman ini.

Untuk menguji ketangguhan iman dan keseriusan pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh adalah apa yang terjadi pada masa Sultan Alaiddin  Riayat Syah II Al-Qahhar yang telah melakukan hukum bunuh (qishash) terhadap puteranya sendiri Abangta yang ditangkap karena zalim, membunuh orang lain dan melawan hukun serta adat yang berlaku dalam kerajaan.[9]  Contoh konkrit lainnya adalah; ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa dan menjadi raja Aceh, sang raja menjatuhkan hukuman terhadap rakyatnya yang terbukti bersalah walaupun terkena anggota keluarganya. Hukuman rajam terhadap Meurah Pupok sebagai putra mahkota dan anak kandung Iskandar Muda menjadi bukti dalam sejarah betapa adilnya raja-raja Aceh zaman dahulu.[10]

Semua itu dilakukan berkaitan dengan kekuasaan dan dalam konteks kerajaan secara resmi bukan di luar sistem kerajaan. Maknanya antara Syari’at Islam dengan politik kerajaan amat menyatu dan sulit dipisahkan pada waktu itu. Itulah wajah implementasi Syari’at Islam yang orisinil di Aceh tempo dulu yang mesti dilanjutkan pada hari ini.

Bukti konkrit selanjutnya tentang keyakinan bangsa Aceh mengamalkan Syari’at Islam adalah; ketika Teungku Syhik di Tiro Muhammad Saman disurati dan diminta turun gunung untuk tidak berperang lagi oleh penjajah Belanda, tahun 1885 beliau membalas surat dengan perkiraan bunyinya: kalau hari ini tuan-tuan penjajah Belanda masuk Islam maka hari ini pula saya dan pengikut saya akan turun dari gunung dan menghentikan perang suci di jalan Allah, kita akan hidup berdampingan serta menikmati kekayaan alam Aceh bersama-sama.[11] Jawaban tersebut dapat membingungkan penjajah Belanda dan menjadi bukti bagaimana tingginya komitmen Islam bagi Bangsa Aceh.

Dalam versi lain menerangkan bahwa Teungku Syhik di Tiro Muhammad Saman yang melancarkan perang melawan penjajah Belanda pernah mengirim surat kepada ratu Belanda dalam upaya menghindari peperangan. Surat tersebut merupakan balasan surat Belanda yang meminta beliau menghentikan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam surat tersebut Teungku Syhik di Tiro mengajukan tiga usulan; pertama mengajak ratu Belanda memeluk agama Islam dan memerintah secara Islam. Kedua, agar ratu Belanda mengizinkan Bangsa Aceh menjalankan Syari’at Islam dan bangsa Aceh akan mengakui perlindung ratu Belanda. Ketiga, Ratu Belanda menyuruh tentaranya keluar dari Aceh dan Aceh akan hidup sebagai negara berdaulat. Kalau semua usul ini tidak dapat diterima, maka tidak ada jalan lain bagi dirinya dan bangsa Aceh selain berperang melawan Belanda agar mereka dapat hidup di bawah naungan Syari’ah yang suci.[12]

Ulama dan pemimpin kharismatik Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh bersedia menerima ajakan Soekarno memerangi Belanda bersama Bangsa Aceh dalam agresi kedua tahun 1948 yang sudah menguasai seluruh Indonesia kecuali Aceh karena presiden pertama RI tersebut berjanji dengan sumpahnya; wallah, ballah, tallah ingin mewujudkan Syari’at Islam di Indonesia ketika merdeka nanti, khususnya Syari’at Islam untuk Aceh. Namun ketika janji tersebut diingkari, ulama beken tersebut kembali berjihad menghancurkan rezim Soekarno lewat Gerakan DI/TII yang disifatkannya sebagai rezim Republik Indonesia Komunis (RIK). Semua itu dilakukan demi tegaknya Syari’at Islam di Aceh yang penghuninya memang komit terhadap Islam.

Syari’at Islam di Aceh berjalan dalam rentang waktu lumayan lama dan dengan kepemimpinan lumayan banyak. Mulai dari pengisytiharan Kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Ali Mughayyatsyah, kepemimpinan Sultan Al-Qahhar, Sultan Iskandar Muda, Perjuangan Teungku Syhik Ditiro Muhammad Saman, Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh sampai kepada perlawanan terhadap penjajah Jepang oleh Teungku Abdul Jalil di Bayu. Perjuangan demi perjuangan yang mereka lakukan semuanya tertumpu ke satu arah untuk mensyari’at Islamkan Aceh dan meng-Acehkan Syari’at Islam.

Rasanya memadai sudah kisah-kisah untuk mengedepankan bahwa Aceh adalah identik dengan Islam dan Islam tidak dapat dipisahkan dengan Aceh. Bagi mereka yang memerlukan alasan kenapa Aceh harus diberlakukan Syari’ah, maka ini merupakan salah satu dari sejumlah alasan-alasan lainnya. Bangsa Aceh murni pada zaman dahulu mau hidup mati dengan Islam, namun bangsa Aceh kombinasi hari ini banyak yang tidak lagi menyatu dengan Syari’at Islam. Semua itu disebabkan oleh proses perjalanan sejarah dan pertukaran generasi yang disertai oleh pergeseran penguasaan wilayah oleh satu ke kaum lainnya.

Walaupun dalam salat lima waktu sehari semalam ummat Islam Aceh senantiasa berikrar kepada Allah:

. . . “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An’am; 162).

Tetapi dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak dari mereka yang menyisihkan Islam dalam kehidupannya. Ada di antara mereka yang berani mengatakan; tidak perlu disebut-sebut Islam dalam perjuangan karena kita sudah Islam dari endatu. Dan sangat banyak dari mereka yang enggan membubuhi Islam sebagai azas organisasi yang mereka dirikan termasuk Partai Politik Lokal. Ini merupakan fenomena baru bagi generasi baru Aceh yang sudah terpengaruhi oleh sistem pendidikan dan hukum peninggalan penjajah Belanda di Indonesia. Selebihnya besar juga pengaruh barat yang mereka menggantungkan diri dalam perjuangannya. Bagi mereka bantuan barat yang kafir lebih diutamakan ketimbang bantuan Allah yang berkekalan dan abadi selamanya.

Sebahagian mereka berani mengatakan bahwa orang Aceh tidak pernah meminta berlakunya Syari’at Islam di Aceh. Mereka menantang ulama-ulama Aceh yang tengah berupaya Syari’at Islam dapat berjalan lancar di sini. Mereka juga mengatakan bahwa yang tengah berlaku di Aceh hari ini adalah Arabisasi dan bukan Islamisasi.[13] Mereka itu terdiri dari kader-kader didikan barat yang pergi dari Aceh kosong dengan ‘Aqidah Islamiyah, kosong dengan Syari’ah dan kosong dengan Akhlaq. Tetapi mereka memiliki semangat ingin maju, semangat berjuang yang tinggi untuk kemajuan Aceh di luar nuansa Islam. Karena terus mendapat bantuan luar yang memadai, maka mereka dapat berkiprah terus untuk mengembangkan ideologi anti Islam dan Syari’at Islam di Aceh.[14]

 

Pengaruh syari’ah dalam pemerintahan

Semenjak periode awal lagi Syari’at Islam sudah menyatu dengan pemerintahan di Aceh, baik pada masa Kerajaan Aceh Darussalam maupun sebelumnya ketika masih merupakan kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Peureulak, Samudera Pasei, Beunua, Lingge, Pedir, Kerajaan Daya dan sebagainya. Pada masa itu penguasa kerajaan memerangi penjajah Portugis karena didominasi oleh keyakinan Islam yang Hukum Islam itu dipraktikkan dalam kerajaannya.

Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam sebagaimana yang telah kita singgung di atas tadi bahwa kerajaan menetapkan sumber hukumnya adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah keliru kalau Sultan Al-Qahhar mengqishash puteranya yang suka membunuh dan Iskandar Muda merajam puteranya karena terlanjur berzina. Selain menjalankan Hukum Islam keduanya juga sangat komit dengan adat istiadat Aceh yang sudah menyatu dengan Hukum Islam. Ketika para pembesar negeri melantunkan aksi protes terhadap eksekusi Meurah Pupôk, beliau berucap: Maté aneuk meupat jeurat, gadoih adat pat tajak mita (mati anak ada kuburannya, hilang hukum adat kemana hendak dicari).

Ketika Aceh dipimpin oleh para ulama dari kalangan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), nuansa Syari’at Islam bergema di seluruh pelosok tanah Aceh. Gerakan dakwah yang dimotori kaum ulama pembaharu tersebut menembusi sampai ke pelosok-pelosok gampông dan kuta. Suasana meriah nampak di masjid-masjid, meunasah-meunasah, dan tempat-tempat pengajian di rumah-rumah teungku dan masyarakat. Suasana semacam itu tidak bertahan lama karena mendapatkan tantangan dari pihak Indonesia yang tidak senang Aceh berjalan Syari’at Islam. Sehingga para penguasa di Jakarkta menyusun strategi untuk menhancurkan kepemimpinan para ulama PUSA.

Dalam rentang waktu yang lumayan panjang akhirnya Jakarta berhasil menumbangkan rezim Islam berbasis PUSA di Aceh dan digantikannya dengan rezim sekuler yang sesuai dengan selera mereka. Wal hasil, para tokoh PUSA kemudian bergabung dengan Gerakan DI/TII selama lebih sembilan tahun menetap di gunung. [15] Ketika terjadi perdamaian Aceh kembali dikuasai oleh rezim sekuler dari Jakarta. Dengan demikian Syari’at Islampun kembali ngaur dan tidak menentu selama berpuluh-puluh tahun lamanya sampai kepada pemberian UU No. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dalam bidang Agama Islam, bidang Adat Istiadat, bidang Pendidikan dan bidang Peran ulama dalam pemerintahan Aceh.

Ketika Aceh menjadi bahagian daripada Republik Indonesia, Syari’at Islam hanya pernah jaya dalam waktu singkat di Aceh pada zaman pemerintahan ulama PUSA. Setelah itu Aceh terus menerus mendapatkan diskriminasi Syari’ah dari satu ke lain rezim yang berkuasa di Jakarta. Padahal hampir semua pecandu sejarah tahu bahwa mereka dapat duduk di kursi empuk di jakarta karena hasil perjuangan dan jihad fi sabilillah bangsa Aceh memerangi Belanda yang sudah menguasai kembali wilayah Indonesia kecuali Aceh. Hampir semua mereka sudah lupa atau tidak pernah mau membaca sejarah yang sebenarnya. Maka akibatnya mereka benci kepada Aceh kalau menjalankan Syari’at Islam.

Pasca priode PUSA Syari’at Islam di Aceh hanya dijadikan lip stip saja untuk meninabobokan bangsa Aceh agar terlena dengan ayunan yang mengasyikkan. Kondisi seumpama itu berlanjut sehingga tahun 1999 ketika disahkan UU. No. 44 tahun 1999 sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas tadi.

 

Pergumulan dan Tantangan

Pergumulan Syari’at Islam dengan politik di Aceh terjadi dengan serius dalam periode Aceh menjadi wilayah Republik Indonesia. Ketika Aceh mandiri sebagai sebuah negara, Syari’at Islam berjalan dengan lancar dan menjadi agama sah negara seperti pada zaman Iskandar Muda. Ketika Aceh dianeksasi oleh pihak-pihak tertentu dan menjadi bahagian terkecil dari Republik Indonesia maka implementasi Syari’at Islam di Aceh terus saja terkendala.

Pada masa awal kemerdekaan umpamanya ketika Aceh dikuasai oleh kaum ulama dari kalangan PUSA, Jakarta mendiskriminasi Aceh habis-habisan sehingga Syari’at Islampun tidak boleh dijalankan sebagaimana mestinya di Aceh. Keberadaan orang-orang PUSA terus dicurigai dan dihadu dengan kaum ulama tradisional yang berbeda pandangan tatacara beribadah antara mereka. Dalam hal pemerintahan orang-orang PUSA dihadu dengan kaum Ulèèbalang sehingga pihak ulama PUSA harus menghadapi dua lawan di Aceh dan satu lawan besar di Jakarta.[16]

Pergumulan Syari’at Islam dengan politik seperti ini terus berlangsung dalam tempo yang tidak terbatas sehingga para ulama PUSA benar-benar kehilangan jejak dan identitasnya. Mereka juga kehilangan lembaga pendidikan sebagai media pencetak kader muslim yang handal karena sudah dialihkan menjadi milik Indonesia. Semua aset PUSA yang berbentuk gedung sekolah, perkantoran dan lainnya tidak tersisa lagi hari ini. Kondisi semacam ini sangat menyulitkan pihak PUSA untuk bangkit kembali, apalagi seluruh tokoh PUSA sudah tiada. Yang tersisa hari ini adalah anak-anak dan cucu-cucu PUSA yang tidak punya kapasitas untuk menghidupkan kembali gerakan PUSA.

Pergumulan Syari’at Islam dengan kekuasaan politik juga terjadi di Aceh pada masa rezim Orde Lama pimpinan Soekarno. Pada waktu itu Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh masih menjabat Ketua PUSA dan pihak Jakarta sudah serius mempermainkan beliau dengan berbagai cara sehingga Soekarno dengan gamblang menolak berlakunya Syari’at Islam di Indonesia khususnya di Aceh. Ia berpidato di Amuntai Kalimantan dan di kampus Universitas Indonesia Salemba dengan ucapan: “Kita tidak akan memberlakukan Syari’at Islam di Indonesia karena memikirkan bagaimana saudara kita orang Kristen di Menado, dan orang Hindu di Bali”. Ungkapan tersebut sangat tersinggung Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh yang dahulu Soekarno pernah menangis terisak-isak di hadapannya seraya bersumpah akan menjalankan Syari’at Islam di Indonesia khususnya di Aceh ketika Indonesia merdeka.

Menanggapi suasana semacam itu, Tanggal 25-29 April 1953 Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh memimpin Kongres PUSA di Langsa Aceh Timur. Kongres tersebut digelar selain untuk mengevaluasi aktivitas PUSA sebagai kegiatan rutin, ia juga terkesan sebagai wahana penghimpunan kekuatan serta unjuk rasa PUSA terhadap pemerintah Indonesia yang sudah sangat diskriminatif terhadap Aceh waktu itu. Indonesia berupaya agar peran para ulama PUSA dengan nuansa Syari’at Islamnya berakhir di Aceh, dan Aceh akan disamakan kedudukannya dengan wilayah lain sebagai bahagian dari pada Indonesia yang nasionalis. Padahal pada masa perjuangan melawan Belanda lewat lidah Soekarno sebagai Presiden RI sudah diucapkan sumpah di depan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh bahwa Indonesia akan dijadikan negara yang berdasarkan Islam dan Aceh sepenuhnya diberlakukan Syari’at Islam.[17] Pasca kongres PUSA di Langsa beliau berdakwah seluruh Aceh bersama para ulama PUSA untuk mematangkan suasana menuju pemberontakan Islam. Itulah salah satu hasil implisit Kongres Langsa.

Alasan-alasan berikut ini dijadikan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sebagai penyebab beliau melawan rezim Soekarno yang disebutnya sebagai rezim RIK (Republik Idonesia Komunis):

(1). Soekarno mengingkari janji dengannya untuk menjalankan hukum Islam di negara yang ketika itu penduduknya 99 % Muslim.

(2). Soekarno tidak menepati janjinya dengan Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah daerah otonomi yang memberlakukan hukum Islam secara penuh di dalamnya.

(3). Dengan terang-terangan Soekarno mendukung, membantu dan berpihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) serta menghina Islam.

(4). Mengenyampingkan syari’at Islam dengan menjalankan sistem pemerintahan sekuler yang sangat dibenci Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh khususnya di Aceh.

(5). Mengacau balaukan struktur pemerintahan di Aceh dengan memindahkan putra-putra terbaik Aceh keluar Aceh dan menggantikannya dengan orang-orang dari daerah lain yang sebahagian mereka non muslim.

(6). Menurunkan pangkat dan jabatan Kolonel Husin Yusuf sebagai orang PUSA dari jabatannya sebagai panglima Divisi X menjadi Komandan Brigade dengan pangkat Letnan Kolonel pada pertengahan tahun 1950. Brigade ini kemudian diletakkan dibawah kekuasaan Panglima Bukit Barisan pimpinan Kawilarang.[18] Seterusnya Husin Yusuf diberhentikan dari tugasnya.

(7). Pemindahan Ketua Polisi Aceh Muhammad Insya, dan Komisaris Muda Polisi, Yusuf Effendi ke Medan merupakan suatu tamparan hebat bagi Aceh.[19]

(8). Pemindahan semua batalyon tentera yang dipimpin putra Aceh keluar Aceh dan digantikannya oleh orang luar yang kebanyakannya bukan muslim,[20] seperti pemindahan Mayor Hasballah Haji ke Tarutung, Tapanuli yang diganti oleh Leftenan Kolonel Nazir (Komunis). Batalyon T. Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalyon Alamsyah ke Indonesia Timur, Batalyon Hasan Saleh ke Sulawesi Selatan kemudian ke Maluku Selatan, dan Batalyon Nyak Adam Kamil pun segera dihijrahkan dari bumi Aceh. Sebagai penggantinya didatangkan sejumlah Batalyon dari Tapanuli seperti Batalyon Manaf Lubis, Batalyon Ulung Sitepu (Komunis), dan Batalyon Boyke Nainggolan.

                        Orang-orang Tapanuli ini bukan hanya beda agama dengan orang Aceh, akan tetapi cara kerja mereka pun sangat jauh daripada kebiasaan dan akhlak orang Aceh. Mereka memasuki Masjid dengan sepatu berlumpur, menampakkan kemaluan kepada orang perempuan, meminum arak di khalayak ramai. Kerja-kerja  seperti ini bukanlah kesilapan sesetengah tentara, akan tetapi nampaknya seperti telah diprogramkan lebih awal oleh Komandan Brigade Letnan Kolonel Nazir yang sangat benci wujudnya pemerintahan PUSA (Ulama) di Aceh. Dan usaha ini pula disengaja untuk memancing kemarahan bangsa Aceh, dengan demikian sudah ada alasan bagi Jakarta untuk menghancurkan Aceh dari sebuah propinsi yang Islami dan menjadikannya sebuah propinsi sekuler sebagaimana halnya dengan propinsi-propinsi lain.[21]

(9). Pembubaran Propinsi Aceh oleh Perdana Menteri Muhammad Nasir dari MASYUMI yang dibaca dan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Kutaraja pada tanggal 23 Januari 1951, menjadi sebab utama meletusnya peristiwa berdarah di Aceh.[22] Dalam versi Ibrahimy, Propinsi Aceh dibubarkan pada 14 Agustus 1950 oleh Kabinet Halim yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Peperpu No 5 tahun 1950 yang ditandatangani oleh pemangku jawatan Presiden RI Mr. Assat dan Mendagri RI Mr. Soesanto Tirtoprojo.[23] Di antara sekian penyebab meletusnya pemberontakan di Aceh, persoalan pembubaran Propinsi ini menjadi penyebab utama dalam pandangan masyarakat kita.

                        Pembubaran propinsi ini lebih didominasi oleh kepentingan politik MASYUMI, dengan perkiraan kalau Aceh tetap menjadi satu propinsi maka partai Islam ini akan menang mutlak di Aceh dan kalah total di Sumatera Utara yang banyak orang Kristen. Untuk mempertahankan kemenangannya di Sumatera maka pimpinan-pimpinan partai tersebut berusaha keras menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara dengan menghilangkan status propinsi Aceh.[24] Untuk mengelak jangan cemar reputasi (nama baiknya), mereka beralasan bahwa ketentuan Konferensi Meja Bundar di Denhaag menetapkan Indonesia menjadi sepuluh propinsi saja, sebenarnya itu bukan suatu ketentuan mutlak. Kalaupun harus mengikuti ketentuan tersebut maka kenaa harus Aceh yang dikorbankan, kan banyak provinsi lain yang lebih layak dilikuidasi? Sesungguhnya sasaran dan target Teungku Beureu-éh dari pemberontakan tersebut adalah terwujudnya Daulah Islamiyyah di bumi Aceh setelah melihat tidak mungkin untuk seluruh Indonesia.

(10). Suatu peristiwa yang sangat pahit dan pedih bagi bangsa Aceh di bawah pimpinan kaum ulama adalah, Razia Agustus 51 atau Razia Sukiman yang menginjak-injak kehormatan kaum ulama sekaligus bangsa Aceh yang dahulu pernah menjadi pionir (pelopor) kemerdekaan Republik Indonesia. Razia ini diperintahkan Perdana Menteri Dr. Sukiman di seluruh negara untuk mencari sisa-sisa senjata simpanan anggota Komunis.

         Di wilayah lain, perintah itu dilaksanakan dengan baik dan tepat yaitu, tentera-tentera Nasional menyita sejumlah senjata yang disembunyikan bekas orang Komunis. Sebaliknya, di Aceh orang-orang Komunis sendiri yang mencari-cari kesalahan dan menangkap para ulama PUSA serta menggeledah dan memeriksa rumah-rumah penduduk dengan alasan mencari senjata simpanan.

                        Strategi yang diterapkan untuk dapat menangkap mereka, tentera-tentera Republik lebih dahulu menaburkan sejumlah peluru ke dalam kandang ayam, kambing, lembu atau kerbau orang yang mau ditangkap di malam hari. Dengan demikian menjadi alasan yang cukup kuat untuk menangkap pemilik rumah yang mereka rencanakan karena terdapat sejumlah peluru di rumah mereka. Hal ini dilakukan karena tidak ada jalan lain untuk menangkap mereka yang tidak bersalah, sebab semua senjata yang dimiliki bekas pejuang kemerdekaan di Aceh telah dikumpulkan oleh Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh ke dalam wadah TNI ketika beliau menjadi Gubernur Militer. Cara-cara jahat seperti itu sampai hari ini masih tersisa dan dipraktikkan Jakarta terhadap Aceh terutama sekali dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka ketika Jakarta memberlakukan Daerah Operasi Militer tahun 1989-1998 dan Darurat Militer serta Darurat Sipil tahun 2003-2005.

                        Banyak bekas-bekas pejuang kemerdekaan dan kaum ulama yang jelas tidak bersalah telah dipenjara di beberapa tempat, rumah-rumah mereka diperiksa secara kejam dan biadap. Bahkan ketiga rumah Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh pun di obrak abrik  (diperiksa) dengan cara yang sangat kasar. Semua ini dilakukan oleh TNI atas perintah Nazir yang berusaha membalas dendam atas tahanan rumah yang dahulu dijatuhkan Gubernur Militer terhadapnya karena selalu melanggar perintah Komandan Divisi. Kerja-kerja tersebut semakin berani dilakukan karena mendapat bantuan dan support yang sangat kuat dari pihak sisa-sisa feodal (Ulèèbalang) di Aceh.[25]

                        Peristiwa terakhir ini telah menyempurnakan kemarahan orang Aceh yang telah mengorbankan jiwa raga, harta dan nyawa untuk mewujudkan sebuah republik yang ketika itu hampir mustahil terwujud tanpa adanya kerja keras daripada cucu-cucu Sultan Iskandar Muda di ujung barat pulau Sumatera.

(11).Penarikann mobil dinas yang sedang dipakai Gubernur Aceh Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh  secara kasar oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim merupakan satu pukulan berat bagi Aceh dan masyarakatnya.

                        Menurut versi M. Jasin (mantan Panglima Iskandar Muda) sesuai dengan cerita Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh kepadanya, ada enam sebab Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh berontak, yaitu:

Pertama: Sejak zaman dulu sampai Indonesia merdeka, Belanda tidak pernah menguasai Aceh. Juga pada masa Clash I dan Clash II, Aceh tetap tak terjamah oleh pasukan Belanda.

Kedua: Aceh selalu memberi sumbangan dan bantuan kepada pemerintah pusat, berupa pembiayaan kepada Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia dan India.

Ketiga: Aceh menyumbangkan dua buah pesawat Dakota dengan nama Seulawah I dan Seulawah II kepada pemerintah pusat.

Keempat: Janji janji pemerintah pusat setelah kemerdekaan tahun 1950, yakni janji akan memperbaiki masjid kebanggaan rakyat Aceh, masjid Raya Baiturrahman tetap janji dan tak pernah ditepati.

Kelima: Beliau sangat sakit hati setelah tahun 1950 status Aceh diubah dari sebuah provinsi menjadi sebuah keresidenan, dari Kodam menjadi Korem.

Keenam: Beliau ditarik dari daerah ke pemerintah pusat dengan tidak diberi jabatan apapun.[26]

Semua itu melambangkan pergumulan Syari’at Islam dengan poitik di Aceh dari periode ke periode, dari masa ke masa dan dari zaman ke zaman. Demikian pula pada zaman Orde Baru pimpinan Soeharto yang menjadikan Syari’at Islam di Aceh sebagai konsumsi politiknya untuk memudahkan ia berkuasa terhadap Aceh. Pada masa itu ummat Islam di Aceh dipaksa tunduk patuh kepada arahan jakarta yang membencikan Syari’at Islam sehingga peraturan membaca Qur’an untuk anak SD saja di Aceh diprotes oleh Jakarta lewat mesin politiknya Golkar.[27]

Pergumulan antara Syari’at Islam dengan politik di Aceh yang amat seru terjadi pada zaman Orde Baru sekitar tahun 1970 an. Pada masa itu cengkraman militer terhadap perpolitikan di Aceh yang dimulai sejak zaman Orde Lama tahun 1960 sudah membuahkan hasilnya yang ditandai oleh diwakilinya unsur militer dalam DPRDGR I dan DPRDGR II serta dipilihnya Letkol A.M. Namploh sebagai Wakil Gubernur. Pada zaman Orde Baru ditetapkan panglima Kodam Iskandar Muda sebagai Ketua Laksusda (Pelaksana operasi khusus Daerah) Aceh dan pemberian jatah 20 % kursi DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II kepada Fraksi ABRI. Dengan posisi demikian ABRI mendominasi perpolitikan Aceh sebagaimana terlihat pada personil gubernur, Bupati, Ketua DPRD tingkat I dan tingkat II yang diduduki ABRI.[28] Dan itulah masa tantangan berat terhadap kelajuan dan kemandirian Syari’at Islam di Aceh yang amat menonjol dan kritis.

Pegawai negeri sipil (PNS) yang sebelumnya bebas memilih partai apa saja pada masa pemilu dipaksa harus memilih Golongan Karya (Golkar) dalam tahun 1970 an. Kepres no. 82 tahun 1970 tentang Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di mana seluruh PNS bergabung dalam wadah ini digunakan Soeharto untuk memenangkan Golkar dan menyisihkan partai Islam yaitu PPP di Aceh secara paksa. Gubernur A. Muzakkir Walad tanggal 1 Juni 1971 mengeluarkan instruksi kepada Keuchik, Imum Mukim untuk menyatakan monoloyalitas kepada Kokarmendagri (Korp kekaryaan Kementerian Dalam Negeri) secara tertulis dan menyatakan keluar dari parpol sebelumnya, kalau tidak demikian, Bupati/Walikota segera menggantikannya dengan pejabat baru.[29]

Selain itu Laksusda Aceh melakukan penahanan terhadap aktivis partai-partai Islam seperti PSII, Parmusi, PI.Perti dan NU yang dianggap vokal terhadap pemerintah selama berlangsungnya kampanye pemilu. Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh sebagai tokoh kharismatik Aceh yang pro Parmusi dibawa keliling dunia khususnya ke Timur Tengah menjelang musim pemilu agar tidak berpengaruh terhadap partai Islam.[30] Dengan demikian para pelaku dan aktivis partai politik Islam tidak ada tempat mengadu dan berkonsultasi selama itu.

Demikianlah perlakuan rezim Orde Baru terhadap Islam dan ummatnya dalam upaya menghambat maraknya praktik Syari’at Islam di Aceh. Semenjak waktu itu Syari’at Islam sama sekali tidak dapat dipromosikan di Aceh karena dianggap ektrim kanan yang membahayakan kekuasaan Soeharto. Pergumulan Syari’at Islam dengan politik kotor Soeharto itu akhirnya mematikan benih-benih Syari’at Islam yang masih tersisa dari semangat perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang di zaman koloniual dahulu. Dan kondisi itu diganti dengan penghayatan dan pengamalan terhadap Pancasila yang tidak mengandung makna apa-apa di dalamnya. Namun ummat Islam Aceh terpaksa melaksanakannya karena tidak berani melawan kedhaliman Soeharto.

Pada masa itu menjadi puncak kritis eksistensi Syari’at Islam di Aceh karena hampir semua bangsa Aceh terdiam sejuta kata dan sama sekali tidak wujud sosok yang berani menentangnya. Efek daripada itu, untuk mengembalikan praktik Syari’at Islam di Aceh hari ini mengalami kendala kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang bernuansa dan komit dengan Syari’at Islam. Pengaruhnya adalah sudah lebih tujuh tahun Hukum Allah itu diberlakukan di Aceh namun sehingga hari ini belum berkesan sama sekali dari segi amalan kaffahnya.

 

PENUTUP

Pergumulan dan pergulatan Syari’at Islam dengan politik di Aceh terjadi dalam rentang waktu yang amat panjang. Ia dimulai semenjak Aceh menjadi bahagian daripada Indonesia yang selalu ditipu dan dirugikan oleh penguasa Indonesia di jakarta. Untuk melumpangkan kekuasaannya, mereka rela mendiskreditkan Syari’at Islam yang dari dulu sudah menyatu dengan Bangsa Aceh. Akibatnya, Aceh hanya bergelar Serambi Makkah tetapi kenyataannya tidak selaras dengan gelar dan nama.

Selama rezim Orde Lama dan Orde baru berkuasa semenjak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai tahun 1965 untuk Orla dan semenjak tahun 1965 sampai 1998 untuk rezim Orba, Syari’at Islam di Aceh menjadi runyam. Karena selalu dipakai menjadi alat dan kepentingan penguasa untuk memenangkan dan mempertahankan kekuasaannya. Ketika mereka memerlukan Ummat Islam untuk kepentingan politiknya maka Islam di bawa-bawa bersama mereka, tetapi ketika tujuannya sudah tercapai maka Islam dan Syari’atnya dicampakkan begitu saja. Paling tidak demikianlah gambaran kasar yang dapat penulis paparkan di sini.

Walaubagaimanapun, sejarah dunia selalu berputar dan silih berganti kekuasaan antara yang haq dengan yang batil. Karena itu apa yang telah terjadi dan dilakukan para penguasa Indonesia terhadap Aceh bukanlah prihal yang harus dibiarkan begitu saja. Akan tetapi muslim Aceh harus berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk mengembalikan marwah ke-Aceh-an yang identik dengan Islam sebagaimana pernah wujud pada masa Iskandar Muda dan masa periode PUSA. Tanpa usaha keras kita tidak akan berjaya dan selalu menjadi mangsa bagi jakarta. Hanya dengan kerja keras dan kekompakan yang menyeluruhlah Bangsa Aceh ini akan maju jaya dan tertebus segala ketinggala masa sebelumnya. Insya Allah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIODATA PENULIS:

Hasanuddin Yusuf Adan lahir di Meunasah Jumfhoh, Kemukiman Adan, Kecamatan Mutiara (sekarang Kecamatan Mutiara Timur), Kabupaten Pidie, Aceh  19 Juli 1962. Semasa kecil beliau mendapat pendidikan agama dari orang tua dan guru-guru pengajian di kampungnya, kemudian beranjak ke pendidikan formal mulai dari MIN, MTsAIN, PGAN 4Thn, MAN, PPDK. Unsyiah dan Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, jurusan Perdata dan Pidana Islam.

Sementara pendidikan peringkat Master, beliau memperoleh dua gelar dalam dua bidang studi, Master of Comparative Laws (MCL), Kulliyyah of Laws, International Islamic University Malaysia (IIUM), 1998 bidang Hukum Pidana Islam dan Master of Art (MA) Syari’ah Faculty,  University of  Malaya, Kuala Lumpur, 2000 dalam bidang Politik Islam. Untuk pendidikan non formal beliau juga pernah belajar di Dayah Po Teumeureuhôm Pu-uek Kecamatan Kembang Tanjung Kabupaten Pidie selama lima tahun.

Selain itu juga terlibat dalam beberapa seminar dan konferensi baik dalam maupun luar negeri, di antaranya adalah: Training Kepemimpinan IAIN se Sumatera di Medan 1985, Seminar Sejarah Negeri Pahang, 16-19 April 1992 di Kuantan, Malaysia, International Conference on Islamic Dakwah in Southeast Asia: Cultural and Human Dimensions, February 15-17, 1993 di Kuala Lumpur, Malaysia, International Conference on Comprehensive Development of Muslim Countries from an Islamic Perspective, 1-3 Agustus 1994 di Subang Jaya, Malaysia, International Symposium of Dinamika Mahasiswa Islam ASEAN, 5-7 Agustus 1994 di  ITM, Shah Alam Malaysia, UN/National Workshop, Post Tsunami Waste Management, Banda Aceh, 29-30 June 2005. (Organized by: UNDP, UNEP, Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam and Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia), Sphere standard training Held by Oxfam International in Banda Aceh 2005, guided by Mark  Prapossa, Accountability Training Held by Oxfam International, Banda Aceh 2005, guided by Soek Phoek, dan International Conference on Islamic Shari’ah and the Challenge of the Global world, a quest for an actual and dynamic form of Islamic Law implementation in Nanggroe Aceh Darussalam. Hermes Palace Hotel, Banda Aceh July 19 – 21, 2007.  Penulis juga sudah pernah melawat keluar negeri dalam kepentingan dakwah dan comparative study; di antaranya: Malaysia, Singapore, Thailand, Australia dan Brunei Darussalam .

.          Karir organisasi yang pernah digelimutinya adalah: Ketua Umum Senat Mahasiswa Program Pendidikan Diploma Kependidikan (PPDK) Unsyiah 1982 – 1985. Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh 1985 – 1986. Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Daerah Istimewa Aceh 1986 – 1988. Presiden Tanoh Rincong Students Association (TARSA) Malaysia, 1992-1995. President of Human Rights Forum for Achehnese Students and Society/Forum Mahasiswa dan Masyarakat Aceh untuk Hak Azasi Manusia (FORMAHAM) Malaysia, 1998 – 2000. Sekretaris Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Aceh, 2000 – 2002, Ketua Umum ‘Adnin Foundation Aceh 2001-2009 dan Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia tahun 2008-2012, dan sekarang beliau juga menduduki posisi Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry.

Sebagai salah seorang dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry penulis telah berhasil menerbitkan beberapa buku dengan judul: Tamaddun dan Sejarah; Etnografi Kekerasan di Aceh yang diterbitkan Prismasophie Jogjakarta 2003,  Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh, Ulama, Pemimpin dan Tokoh Pembaharuan yang diterbitkan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) 2005, Sejarah Aceh Dan Tsunami, Jogjakarta: Arruz Media, 2005, Elemen-elemen Politik Islam, Jogjakarta: AK. Group & Ar-Raniry Press, 2006, Politik dan Tamaddun Aceh, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2006, ‘Aqidah Modal Utama Implementasi Syari’ah, Jogjakarta: AK. Group & Ar-Raniry Press, 2006, UUPA Dan Kemungkinan Perubahan Pemerintahan Serta Sistem Politik Aceh, Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher, Ar-Raniry Press, & AK. Groub, 2007, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh dan Perjuangan Pemberontakan di Aceh, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2007, Syari’at Islam Di Aceh antara Implementasi dan Diskriminasi, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2008, Refleksi Implementasi Syari’at Islam di Aceh, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2009, khuthbah Jum’at dan dua Hari Raya, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2009. Selain itu juga banyak menulis di beberapa Jurnal, Majalah, Tabloid dan surat kabar dalam dan luar negeri.

Sebagai seorang aktivis, dengan izin Allah SWT penulis sudah banyak melaksanakan pengabdian masyarakat dalam berbagai bentuk dan jenis kegiatan baik di dalam maupun di luar negeri, seperti berceramah, khuthbah jum’at, khuthbah dua hari raya, mengisi pengajian, mengisi seminar, workshop dan lokakarya, menyalurkan bantuan kepada orang-orang terkena musibah dan bencana alam, melatih pemuda dan masyarakat tentang pemberdayaan dan kemandirian hidup, dan lain sebagainya.

Sa’at ini penulis tinggal bersama keluarga (seorang isteri & lima orang putera-puteri) di Jln. Al-Jannah, Jurông ‘Adnin, No. 4  Kompleks Lembah Hijau, Cot Masjid Kecamatan   Lueng Bata  Banda Aceh.    Phone: 0651+28484, Hp: 081534044283. e-mail: diadanna@yahoo.com

 

 


[1] Untuk informasi lebih lengkap silahkan baca: Ali Akbar, Peranan Kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai Pusat Pengembangan Islam di Nusantara, Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Utara, 1990,  hal.1.

[2] Syahbuddin Razi, Dayah Cot Kala, Kertas kerja Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara, Aceh Timur, 25-30 September, 1980, hal. 5-6.

[3] Ali Akbar, Loc Cit.

[4] Lihat Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History, First Printing, Princeton University Press, 1959, hal., 45.

[5] Tgk. A.K.Jakobi, Aceh dalam perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan 1945-1949 dan peranan Teuku Hamid Azwar sebagai pejuang, Jakarrta, Gramedia Pustaka Utama & Seulawah RI-001, 1998, hal. 17. Lihat juga Majalah Media Dakwah, April 1997, hal 41.

[6] Tuanku Abdul Jalil, Adat Meukuta Alam, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1991, hal., 39.

[7] Untuk kelengkapan kisah ini silahkan baca M. Jasin, Saya tidak pernah minta ampun kepada Soeharto, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, hal., 26-40.

[8] Lihat Dr. M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka, Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000, hal., 26.

[9] Untuk kesempurnaan kisah tersebut silakan baca A.Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, 1975, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 100-101.

[10] Ibid, hal. 101-102.

[11] Untuk rujukan konkrit silakan baca; H.C. Zentgraaff, Aceh, Jakarta: Beuna, 1983, hal. 29-30. lihat juga Ibrahim Alfian, Perang di jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 158.

[12] Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma, kebijakan dan kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2006, hal., 123.

[13] Ungkapan-ungkapan seperti itu sering diucapkan generasi muda Aceh pasca tsunami dalam kesempatan diskusi program partai politik lokal di beberapa tempat seperti di D’Rodya Café di Beurawe, di Gedung Dayan Dawood Darussalam, dan ditempat-tempat lain. Mereka membantah kalau Aceh sedang berlaku Syari’at Islam dengan Undang-undang No. 44 tahun 1999 yang diperkuat oleh Undang-undang no. 18 tahun 2001 serta Undang-undang no. 11 tahun 2006 sa’at ini, menurut mereka yang sedang terjadi di Aceh sa’at ini adalah praktek kehidupan orang-orang Arab yang bukan praktel Islam.

[14] Untuk menjadi bahan bandingan lihat juga Hasanuddin Yusuf Adan, Syari’at Islam di Aceh antara Implementasi dan Diskriminasi, Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Publisher, 2008,  hal., 1 – 6.

[15] Untuk kesempurnaan informasi tentang konflik PUSA dengan Jakarta silahkan baca Nazaruddin Syamsuddin,  Pemberontakan kaum Republik, Kasus Darul Islam Aceh, Jakarta: Grafiti, 1990, hal., 34 – 67.

[16] Ibid.

[17] Wawancara dengan Ustaz M. Nur El Ibrahimy, Mantan Direktur Institut Normal Islam Bireuen, Jakarta: 15 Juni 1997.

[18] Hasan Saleh, Op Cit, hal. 125-126. M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh, Jakarta: Gunung Agung, 1986, hal. 24.

[19] M. Nur El Ibrahimy, Ibid.

[20] P. Van Dijk , Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti Pers, 1983, hal. 282.

[21] Hasan Saleh, Op Cit, hal. 136. M. Nur El Ibrahimy, Ibid.

[22] Hasan Saleh, Op Cit, hal. 134. M. Nur El Ibrahimy, Op Cit, hal. 53-54. Nazaruddin Syamsuddin, The Republican Revolt, 1985, hal. 193.

[23] M. Nur El Ibrahimy, “Catatan tentang Pemberontakan Kaum Republik”, Serambi Indonesia, Sabtu 13 Agustus 1994. hal, 4. Informasi lebih lanjut tentang perkara ini silakan baca A. Hasymy, “Dari Khazanah Masa Lalu: Lahir dan Leburnya Propinsi Aceh I”, Waspada, Kamis 15 Desember 1983.

[24] Wawancara dengan Dr. Safwan Idris, Banda Aceh pada 3 Agustus 1997.

[25] Hasan Saleh, Op Cit, hal. 137 – 147. M. Nur El Ibrahimy, Op Cit, hal. 72 – 74.

[26] M. Jasin, Op Cit, hal 37

[27] Keterangan diberikan oleh Anas M. Adam, mantan Kepala Dinas Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam di Banda Aceh pada tanggal 27 Februari 2006.

[28] Dr. M. Isa Sulaiman, Op Cit, hal 7.

[29] Ibid.

[30] Ibid, hal., 7-8.

DDII menyatakan, dalam menjalankan syariat Islam, haruslah dimulai dari keteladanan para pemimpin dari tingkat provinsi hingga tingkat gampong (desa). Untuk itu, sehubungan semakin dekatnya Pilkada gubernur/wakil dan 18 bupati/walikota secara serentak di Aceh, DDII mengimbau muslimin Aceh, agar memilih pemimpin yang benar-benar sesuai kriteria islami, memiliki komitmen menjalankan syariat Islam, mencintai rakyat dan dicintai oleh rakyatnya.

Pada bagian lain rekomendasi yang ditulis tiga halaman itu, DDII mengharapkan pemerintah lebih hati hati-hati dan menyeleksi investor asing dan tamu luar Aceh, agar tidak membawa misi yang bertentangan dengan pelaksanaan syariat Islam. Orang non muslim haruslah menghargai Aceh yang sedang menjalankan syariat Islam sebagai identitas negerinya. 

Sementara untuk MPU, diharapkan bertindak tegas dan berani dalam membuat fatwa. Memanggil pemerintah untuk dinasehati apabila terdapat kebijakan yang diberlakukan merugikan Islam. Supaya kebedataan MPU lebih kuat, hendaknya dalam kepengurusan MPU melibatkan unsur Ormas Islam dan lembaga dakwah.

Muswil DDII Aceh ke 3 ditutup oleh Ketua terpilih kembali secara aklamasi untuk empat tahun kedepan, Drs Tgk H Hasanuddin Yusuf Adan MCL, MA. Pengurus lengkap PW DDII Aceh 2011-2015 akan diumumkan pasca Idul Fitri 1432 Hijriah oleh formatur yang telah ditunjuk forum Muswil, yang terdiri dari Ketua: Hasanuddin Yusuf Adan, anggota: Nazaruddin  Idris, Said Azhar, Bismi Syamaun, M. Yusran Hadi, Muhammad AR dan Samir Abdullah.     

 

Tak cukup hanya Aceh

Forum Muswil juga diboboti dengan Dialog Da’wah dan Bedah Buku.  Dalam presentasi makalahnya, Ketua Umum DDII Pusat H Syuhada Bahri Lc mengatakan, seharusnya pilot proyek pelaksanaan syariat Islam seharusnya tak hanya berlangsung di Aceh saja, sehingga lebih mudah dievaluasi. “Tak cukup hanya Aceh saja, mestinya ada tiga provinsi lagi,” katanya. Apabila satu provinsi dianggap gagal, maka akan ada provinsi lain  yang menjadi model sukses.

Menurut dia, pelaksanaan syariat Islam haruslah berlangsung di seluruh Indonesia. Itulah yang terus diperjuangkan oleh DDII dan komponen Islam lainnya melalui berbagai aktivitas dakwah dan pendekatan politik. Implementasi syariat Islam kaffah di Indonesia adalah hal wajar, mengingat negeri ini bebas dari penjajahan kolonial tak terlepas peran besar muslimin melakukan jihad fisabilillah melawan penjajah. “Muslimin mayoritas di Indonesia,’ tegasnya.

Untuk itu, dia berharap pengurus DDII dan aktivis dakwah di seluruh Indonesia dapat meningkatkan aktivitas dakwah, sehingga secara bertahap masyarakat Islam tak lagi menolak syariat Islam. Dalam pengetahuannya, selama ini, sering kali jika ada tuntutan pemberlakukan syariat Islam, maka yang menolaknya juga ummat Islam. Lihat saja pemberlakuan Perda-Perda syariat Islam di beberarapa daerah, justru yang memprotesnya dari kalangan Islam.

Syuhada Bahri berharap, syariat Islam di Aceh yang telah mendapat legitimasi UU dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga tidak gagal dan menjadi momok bari daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini DDII mestilah lebih serius lagi meningkatkan dakwah Islamiah, memperkuat jalinan kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota dan melakukan advokasi terhadap berbagai pelanggaran syariat Islam.

Dia mengharapkan dakwah dilakukan dengan santun di seluruh Indonesia, memperkuat SDM da’i, manajemen dakwah dan meningkatkan jaringan DDII kab/kota di seluruh Indonesia. “Di era otonomi sekarang ini, yang mesti ditingkatkan adalah keberadaan DDII kab/kota, sehingga dapat lebih mewarnai pelakasanaan syariat Islam dan bermitra dengan bupati/walikota,” harapnya.

Dialog Da’wah dilanjutkan dengan bedah buku “Aceh dan Inisiatif NKRI” karya Ketua DDII Aceh, Hasanuddin Yusuf Adan. Buku itu dibedah oleh Sekjen DDII Pusat, H Amlir Syaifa Yasin MA. Buku yang terdiri dari 252 halaman dan diterbitkan Adnin Foundation Banda Aceh  2010 itu memuat  sejarah kekecewaan Aceh terhadap Jakarta sejak DI/TII dan konflik GAM-RI. “Buku ini merekam sejarah kekecewaan Aceh terhadap NKRI, kareka tak mau melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara,” kata Hasanuddin.

Wagub yang hadir dan membuka Muswil Ke-3 Dewan Da’wah, dalam amanatnya mengidentifikasi problem ummat Islam yang menjadi tantangan pelaksanaan syariat Islam. di antaranya, secara internal masih rendahnya pemahaman agama di kalangan ummat, polarisasi pemahaman beberapa furu’iyah berimbas kepada perpecahan, kemampuan manajemen yang kurang memadai serta etos kerja dan citra ummat Islam yang baik dan bersih belum dapat diwujudkan. Di sisi lain, secara eksternal, Wagub menyebutkan pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi informasi, mainstream politik global yang menyudutkan ummat Islam dengan citra teoris, radikal dan upaya misionaris, menjadi hambatan lain guna menciptakan kehidupan Islami.

Menyahuti persoalan di atas, jalan keluar yang perlu ditempuh, di antaranya alah perkuat kegiatan da’wah yang bil-hikmah, mauidhah hasanah dan mujadalah yang baik. Hidupkan kembali pengajian di rumah-rumah, meunasah. Perkuat kontrol orang tua terhadap anak, khususnya ketika anak sudah menginjak remaja. Khusus untuk ormas Islam, hendaklah menjadi problem solver bukan  sebaliknya hanya sebagai trouble maker. Saya yakin, Dewan Da’wah dapat menjadi salah satu ormas Islam yang menyelesai masalahkan masalah ummat, demikian Muhammad Nazar mengakhiri amanatnya.

Banda Aceh, 18 Juli 2011

Panitia Pelaksana,

 

 

Drs. M. Nasir Idris

Sekretaris


Menurut DDII, katanya, pelaksanaan syariat Islam haruslah berlangsung di seluruh Indonesia dan itulah yang terus diperjuangkan oleh DDII melalui berbabagai bentuk aktivitas dakwah dan pendekatan politik. Implementasi syariat Islam yang kaffah di Indonesia dalah hal wajar mengingat negeri ini bebas dari penjajahan/konlonialisme tak terlepas dari peran pesar muslimin dengan jihad fisabilillah. Muslimin mayoritas di Indonesia.
 
Untuk itu, dia berharap pengurus DDII di seluruh Indonesia dapat meningkatkan aktivitas dakwah, sehingga secara bertahap masyarakat Islam tak menolak lagi syariat Islam. Dalam pengetahuannya selama ini, sering kali jika ada tuntutan pemberlakukan syariat Islam, maka yang menolaknya juga ummat Islam. Lihat saja pemberlakuan Perda-Perda Syariat Islam di beberarapa daerah, yang memproteskan juga ummat Islam.
 
Ia berharap, syariat Islam di Aceh yang telah mendapat legitimasi UU dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga tidak gagal dan menjadi momok bari daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini DDII mestilah lebih banyak dengan meningkatkan dakwah Islamiah, memperkuat jalinan kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota dan terus menerus melakukan advokasi terhadap berbagai pelanggaran syariat Islam.
 
Syuhada Bahri juga mengharapkan peningkatan dakwah yang santun di seluruh Indonesia, memperkuat SDM da’i, manejemen dakwah dan meningkatkan jaringan DDII kab/kota di seluruh Indonesia. Katanya, di era otonomi sekarang ini, yang mesti ditingkatkan adalah keberadaan DDII kab/kota, sehingga dapat lebih mewarnai pelakasanaan syariat Islam dan bermitra dengan bupati/walikota.
 
Dialog dakwah dilajutkan dengan bedah buku “Aceh dan Inisiatif NKRI” karya Ketua DDII Aceh, Tgk Hasanuddin Yusuf Adan. Buku itu dibedah oleh Sekjen DDII Pusat H Amlir Syaifa Yasin. Buku yang terdiri dari 252 halaman dan diterbitkan Adnin Foundation Banda Aceh  2010 itu memuat  sejarah kekecewaan Aceh terhadap Jakarta sejak DI/TII dan konflik GAM-RI.
 
Muswil 3 DDII Aceh dilanjutkan dengan agenda pertanggungjawaban pengurus, perumusan program kerja dan pemilihan pengurus baru. Insya Allah, Ahad 17/7 pengurus baru diharapkan telah terpilih.
 
Banda Aceh,         16 Juli 2011
                      14 Syakban 1432
 
Ketua Umum DDII Aceh,
 
 
Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan