Archive for month: Januari, 2018

Oleh: Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
Gerhana bulan yang dalam bahasa Arab disebut khasafal qamaru bermakna hilangnya cahaya bulan merupakan gejala alam yang Allah jadikan untuk menakuti hambaNya agar lebih tha’at dan lebih tinggi imannya kepada Allah SWT. Dalam bahasa Arab ada dua istilah yang digunakan untuk dua kejadian gerhana, yaitu kata khusuf dan kata kusuf, khusuf sering digunakan untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana mata hari. Secara literlek khusuf bermakna kekurangan dan kusuf berarti berubah menjadi hitam, keduanya dapat disimpulkan dengan makna gerhana.
Gerhana bulan terjadi karena posisi bumi berada antara bulan dan mata hari sehingga bulan terhalangi memperoleh cahaya dari mata hari dan yang tersisa adalah gelapnya cahaya di bumi pada orbitnya, lazimnya bulan tidak mempunyai cahaya melainkan setelah mendapatkannya dari mata hari. Allah menetapkan gerhana bulan selalu terjadi ketika purnama dan gerhana mata hari selalu terjadi ketika tersembunyinya hilal. Semua itu merupakan fenomena alam yang sengaja Allah jadikan untuk menakuti hambaNya agar lebih tha’at dan lebih tinggi imannya kepada Allah selaras dengan hadis dari Abu Bakrah yang berbunyi: “sesungguhnya mata hari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang, tetapi Allah menakut-nakuti hambaNya dengan keduanya”.
TUJUAN GERHANA
Dalam beberapa hadis terdapat keterangan bahwa gerhana itu terjadi untuk menakuti hamba Allah agar lebih tha’at dan lebih beriman kepada Allah SWT, dan terjadinya gerhana sama sekali tidak ada hubungan dengan kehidupan dan kematian seseorang hamba sebagaimana yang diisyaratkan oleh kaum jahiliyah pada masanya. Rasulullah SAW.bersabda yang artinya: “sesungguhnya mata hari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, akan tetapi Allah menakut-nakuti hambaNya dengan keduanya.”
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim berbunyi: “tanda-tanda kebesaran yang Allah kirim kali ini bukanlah karena kematian seseorang dan bukan juga karena hidupnya seseorang, tetapi dengannya Allah menakut-nakuti hambaNya, jika kalian melihat sesuatu darinya maka bergegaslah mengingat Allah, berdo’a dan memohon ampun kepadaNya”. Ketika terjadinya gerhana Rasulullah SAW selalu memerintahkan ummatnya untuk memerdekakan budak, bersedekah, mengerjakan shalat, dan bertaubat. Karenanya kepada seluruh ummat Islam disunnatkan untuk melaksanakan shalat gerhana yang disertai dengan do’a ketika terjadinya gerhana bulan dan mata hari.
Mengingat kejadian-kejadian alam itu ada kaitannya dengan ulah manusia yang mendiami planet bumi ini maka cobaan-demi cobaan dari Allah selalu terjadi dalam berbagai bentuk yang sering disebut dengan murka alam seperti gerhana, gempa, banjir, hujan batu, angin putting beliung, dan seumpamanya. Allah SWT.berfirman: Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.
SHALAT GERHANA
Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW.yang memerintahkan ummatnya melaksanakan shalat sunat ketika terjadi gerhana maka semua kita harus mengerjakannya karena takut kepada Allah SWT. shalat sunat gerhana itu berbeda dengan shalat sunat lainnya karena ia memiliki dua kali ruku’ setip rakat dan setiap even dalam shalat tersebut dianjurkan berdiam lebih lama dibandingkan dengan shalat sunat lainnya. Selengkapnya tata cara shalat sunat gerhana dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Pertama melakukan takbiratul ihram dengan mengucapkan Allahu Akbar layaknya memulai shalat lima waktu sehari semalam, kemudian yang kedua membaca do’a iftitah seperti shalat biasa, lalu yang ketiga membaca ta’awudz (memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan yang terkutuk) dan membaca basmalah (Bismillahirrahmanirrahim). Keempat membaca surah Al-Fatihah yang diikuti dengan membaca satu surah panjang dari Al-Qur’an sepanjang surah Al-Baqarah dengan mengeraskan suara. Kelima bertakbir dan ruku’ yang lama serta mengulang-ulang bacaan do’a ruku’ di dalamnya.
Lalu keenam mengangkat kepala dari ruku’ seraya membaca sami’allahu liman hamidah, setelah berdiri tegak membaca: rabbana wa lakal hamdu. Ketujuh membaca surat Al-fatihan dan satu surat panjang yang lebih pendek dari surat pertama dalam ruku’ pertama (Aisyah menerangkan; Nabi membaca surah Ali Imran pada kesempatan tersebut), ukuran standarnya adalah berdiri yang pertama lebih lama daripada berdiri yang kedua. Kedelapan bertakbir dan ruku’ yang lama, lebih pendek dari ruku’ yang pertama sehingga lamanya ruku’ pertamaa berbeda dengan ruku’ kedua.
Kesembilan mengangkat kepala dari ruku’ dan membaca sami’allahu liman hamidah, setelah berdiri tegak membaca rabbana wa lakal hamdu, dan memanjangkan berdiri dalam I’tidal seperti lamanya ruku’. Kesepuluh bertakbir dan sujud yang lama seperti lamanya ruku’, kesebelas bertakbir dan mengangkat kepala dari sujud, lalu duduk di antara dua sujud, dan memanjangkan duduk ini seperti lamanya sujud. Kedua belas bertakbir dan sujud yang lama, tetapi tidak selama sujud yang pertama.
Ketiga belas adalah bertakbir dan bangkit menuju raka’at kedua, kemudian shalat seperti pada raka’at pertama yaitu dengan dua kali bacaan Al-Qur’an, dua kali ruku’, dan dua kali sujud. Hanya saja setiap bacaan Al-Qur’an, berdiri, dan sujud yang pertama lebih lama daripada yang dilakukan setelahnya. Keempat belas duduk tasyahhud dan bershalawat kepada Nabi SAW, lalu yang terakhir mengakhiri shalat dengan dua kali salam selaras dengan hadis dari Aisyah r.a: “sesungguhnya Rasulullah SAW.mengerjakan shalat pada hari terjadinya gerhana mata hari. Beliau berdiri dan bertakbir seraya membaca Al-Qur’an yang cukup panjang, ruku’ yang lama, mengangkat kepalanya lalu membaca: “sami’allahu liman hamidah”, kemudian Beliau kembali berdiri yang lama, namun tidak selama berdiri yang pertama. Kemudian ruku’ yang lama, namun tidak selama ruku’ yang pertama, lalu membaca “sami’allahu liman hamidah” dengan melanjutkan bacaa: “rabbana wa lakal hamdu”. Beliaupun sujud yang lama sebelum bangkit. Kemudian Rasulullah SAW berdiri lama namun tidak selama berdiri yang pertama, kemudian ruku’ yang lama, namun tidak selama ruku’ yang pertama, lalu berdiri lama, namun tidak selama berdiri yang pertama, lantas ruku’ yang lama, namun tidak selama ruku’ yang pertama, selanjutnya sujud, namun tidak selama sujud yang pertama, hingga selesai shalat gerhana.
Demikianlah tata cara pelaksanaan shalat gerhana yang mu’tamad yang menjadi pedoman utama karena didukung oleh hadis-hadis yang shahih. Dan kepada seluruh ummat Islam dianjurkan untuk melaksanakannya ketika terjadi gerhana, baik gerhana bulan maupun gerhana mata hari. Sebagaimana kita dapat informasi dari pihak berkompeten bahwa hari Rabu tanggal 31 Januari 2018 akan terjadinya gerhana bulan pada waktu sekitaran ba’da maghrib sampai waktu shalat ‘isya, maka kepada segenap muslim wal muslimah dianjurkan untuk melaksanakan shalat khusuf (shalat gerhana bulan) secara berjama’ah di masjid-masjid terdekat karena Rasulullah SAW selalu melaksanakannya di masjid ketika terjadi gerhana baik gerhana bulan maupun gerhana mata hari.
Setelah selesai melaksanakan shalat gerhana tersebut imam atau seseorang yang ditugaskan bertindak sebagai khathib yang menyampaikan nasehat kepada seluruh jama’ah shalat. Berdasarkan hadis dari Aisyah r.a.bahwa Rasulullah SAW setelah melaksanakan shalat khusuf beliau segera menuju mimbar untuk menyampaikan khuthbah. Di antara kandungan khuthbah yang disampaikan Beliau adalah: dimulai dengan memuji Allah dengan pujian yang sangat pantas bagiNya, lalu berucab: “amma ba’du” dan menyambungnya dengan: “wahai ummat manusia, sesungguhnya mata hari dan bulan termasuk dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana lantaran kematian atau kehidupan seseorang. Jika kalian melihat peristiwa tersebut, maka ingatlah kepada Allah dan bertakbirlah. Beliau juga menyuruh ummatNya bersedekah, memerdekakan budak, beristighfar, dan berdo’a. beliau juga bersabda: “jika kalian melihatnya maka bergegaslah melaksanakan shalat, lalu shalatlah sehingga tersingkap apa yang sebenarnya menimpa kalian”. Selanjutnya Nabi menggambarkan apa yang terjadi dalam syurga dan dalam negara yang diawali dengan kata-kata: “wahai ummat Muhammad, tidak ada seorangpun yang lebih cemburu daripada Allah ketika hamba laki-lakiNya berzina atau hamba perempuanNya berzina. Wahai ummat Muhammad, demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.
Penulis : Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fakultas Syari’ah & Hukum UIN Ar-Raniry)
=diadanna@yahoo.com=

Banda Aceh (27/01) Hakim Mahkamah Kasasi Kerajaan Arab Saudi Syeikh Dr Abdul Muchsin bin Abdullah Al Zikri, Jum’at (26/1) malam mengunjungi Markaz Dewan Dakwah Aceh di Gampong Rumpet, Kec. Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.
Kedatangan Guru Besar Universitas Muhammad bin Su’ud Riyadh, Arab Saudi ini di sambut Ketua Dewan Dakwah Aceh Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA dan Direktur Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh Dr Muhammad AR MEd.
Selain itu turut hadir Kabid Bina Hukum Syariat Islam dan HAM Dinas Syariat Islam Dr Syukri M Yusuf MA, dosen, mahasiswa dan undangan lainnya.
Dr Syukri M Yusuf MA yang juga fasilitator kehadiran Syeikh Dr Abdul Muchsin, mengatakan selain berkunjung ke Dewan Dakwah Aceh, selama tiga hari (25-27) lawatannya di Banda Aceh Syeikh juga mengisi sejumlah kegiatan.
Diantaranya pada Kamis (25/1) Diskusi Penguatan Kapasitas Aparatur Penegak Syariat Islam di Aceh di Dinas Syariat Islam Aceh dan Taushiyah ba’da Magrib di Mesjid Al Makmur.
Selanjutnya Jum’at (26/1) mengisi Taushiyah ba’da subuh di Mesjid Al Fitrah Keutapang dan Seminar Internasional di UIN Ar-Raniry. Dan Sabtu (27/1) kembali ke Arab Saudi.
Saat berada di Markaz Dewan Dakwah Aceh, Syeikh Dr Abdul Muchsin bin Abdullah Al Zikri menyampaikan kuliah umum. Dihadapan tamu yang hadir, ia mengatakan kondisi ummat islam saat ini sedang menuju ke posisi puncak, khususnya para pemuda islam. Menurutnya di banyak negara perkembangan islam semakin pesat dan pemuda yang jadi pioner di dalamnya.
“Kondisi Islam sekarang dalam menuju proses ke puncak gemilang. Dan kita harus optimis masa depan Islam berada di tangan pemuda,” kata Syeikh Dr Abdul Muchsin
Dengan kebangkitan islam tersebut, tambahnya akan menjadi momok bagi musuh-musuh islam. Dengan demikian membuat mareka semakin tidak senang dengan islam. Dan itu sesuatu yang wajar.
“yang terpenting kita harus melaksanakan tupoksi masing-masing untuk islam dan dakwah. Proses dakwah menjadi tanggung jawab kita bersama. Dan ummat islam lebih berhak menguasai dunia,”harapnya.
Dari itu ia mengajak para pemuda dan mahasiwa untuk tekun belajar dan menuntut ilmu. Walaupun prosesnya sulit dan berliku-liku. Karena semua hanyalah untuk kebangkitan dan kemajuan islam.
Diakhir Kuliah umumnya Syeikh Dr Abdul Muchsin merasa senang bisa hadir di Dewan Dakwah Aceh. Juga melihat langsung Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh yang merupakan lembaga pendidikan binaan Dewan Dakwah Aceh. Dan akan kembali lagi dengan mengajak rekan-rekannya yang lain.
Sementara itu Ketua Dewan Dakwah Aceh Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA sangat bersyukur dan berterima kasih atas kedatangan Syeikh Dr Abdul Muchsin bin Abdullah Al Zikri. Dan ini merupakan karunia yang tidak disangka-sangka
“Alhamdulillah, atas kunjungannya. Kami berharap Dewan Dakwah Aceh dapat menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga dan universitas yang ada di Arab Saudi. semoga kunjungan ini mendapat berkah bagi kita semua,” Pungkas Tgk Hasanuddin.

Partai Aceh yang disingkat dengan PA merupakan estafeta daripada Komite Peralihan Aceh (KPA) yang juga estafeta daripada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berjuang lebih kurang 30 tahun (1976-2005) melawan kedhaliman Indonesia terhadap Aceh. Ketika Aceh berdamai dengan Indonesia pada bulan Agustus 2005 dengan isyarat MoU Helsinki maka GAM melebur dalam gerakan sipil yang diberi nama KPA. KPA yang diketuai mantan Panglima GAM Muzakkir Manaf kemudian membentuk sebuah partai lokal bernama Partai Aceh yang juga diketuai Muzakkir Manaf yang bergelar Mu’allim.
Dalam perjalanan politiknya PA yang pengurusnya dominan mantan kombatan sempat menguasai Aceh dalam dua periode Pilkada di Aceh, yaitu Pilkada 2006 yang dimenangi oleh Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar sebagai Gubernur dan wakil Gubernur, serta Pilkada 2011 yang dimenangi Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Kepemimpinan Irwandi-Nazar sudah berlalu dengan prestasi plus-minusnya dan beberapa warisannya seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), Aceh Green, bangunan dayah terpadu di perbatasan dan sebagainya. Sementara kepemimpinan Zaini-Muzakkir yang disingkat Zikir menampilkan sejumlah bangunan fisik seperti payung ala masjid Nabawi di masjid Raya Baiturrahman, fly over simpang Surabaya, terowongan Beurawe-Kuta Alam penambahan jembatan Lamnyong, dan lainnya.
BICAH KONSI
Perjalanan dan peralihan GAM ke KPA dan ke PA telah menuai perpecahan dalam sejarah perjalanan dan perjuangannya. Perpecahan yang dalam bahasa Aceh disebut bicah konsi (pecah kongsi) tersebut telah memporak porandakan ukhuwwah Islamiyyah sekaligus menghancurkan perjuangan pemisahan Aceh dari Indonesia. Bicah konsi pertama terjadi ketika pihak keluarga pimpinan GAM dengan pihak non keluarga bercerai dalam shaf perjuangan di Sweden yang berhadapan antara pihak Zaini Abdullah, Malik Mahmud, Bakhtiar Abdullah, dan lainnya yang berpihak kepada keluarga Tiro, dan Husaini Hasan, Daud Paneuk, Syahbuddin, M. Yusuf Daud, dan lainnya dari kalangan non keluarga Tiro.
Bicah konsi tersebut tidak berefek kepada perlawanan Tentera Nanggroe Aceh (TNA) terhadap Tentera Nasional Indonesia (TNI) yang berperang dahsyat di Aceh. Cuma efek dari bicah konsi tersebut sempat muncul gerakan baru yang bernama Majlis Pemerintahan Gerakan Aceh Merdeka (MPGAM) yang disebut-sebut Sekretaris Jenderal (Sekjen) nya adalah Tgk. Don Zulfahri yang menetap di Kuala Lumpur, Malaysia. Khabarnya serpihan perpecahan di Sweden dari kalangan non keluarga Tiro sempat menyatu dengan MPGAM tersebut sehingga mereka sempat menghiasi media lokal, nasional dan internasional dengan berbagai statemennya yang lugas dan transparan. Gerakan MPGAM tersebut kemudian hilang dalam peredaran setelah tertembaknya Tgk Don Zulfahri dengan dua peluru oleh orang tidak dikenal ketika makan siang di sebuah restoran kawasan Ampang, Kuala Lumpur, Kamis 1 Juni 2000, tertembaknya Tgk. Usman Pasi Lhok di Gombak, Selangor, Malaysia, dan beberapa orang lainnya di Kuala Lumpur.
Ketika damai terjadi antara GAM dengan RI yang berlangsung dengan Pilkadasung yang diikuti oleh beberapa partai lokal Aceh selain partai nasioanal, maka bicah konsi selanjutnya terjadi antara dua kubu calon gubernur dan wakil gubernur berbasis GAM dari dukungan kalangan tua dan kalangan muda. Kalangan tua GAM mendukung pasangan Ahmad Humam A. Hamid dengan Hasbi Abdullah yang disingkat H2O (Humam-Hasbi Okay) sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Sementara kalangan muda menjuarai Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh. Hasil dari bicah konsi tersebut Irwandi-Nazar menang Pilkadasung dan menjadi pemimpin Aceh, sementara H2O mengalami kekalahan yang menyisakan hutang. Akibat dari hasil pilkadasung tersebut membuat kalangan tua GAM yang kalah bersaing murka terhadap kalangan muda yang memenangkan Irwandi-Nazar dalam pilkadasung tahun 2006.
Murka kalangan tua tersebut membuat terbelah lagi jama’ah GAM di Aceh setelah terbelah di Sweden sebelumnya. Dengan demikian, konkrit atau tidak konkrit, pasti atau tidak pasti, GAM berbasis segi tiga, pertama; GAM kalangan keluarga Tiro, kedua GAM non keluarga Tiro (hasil bicah konsi di Sweden) dan GAM pemenang Pilkadasung 2006 di Aceh. Belum cukup sampai di situ, ketika Zikir memimpin negeri Aceh hasil Pilkadasung 2011, di tengah jalan kembali bicah konci antara Doto Zaini dengan Mu’allim. Bicah konsi kali ini jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan peristiwa bicah konsi sebelumnya. Kenapa tidak, bicah konsi sebelumnya dilandasi oleh faktor keluarga dengan non keluarga dan faktor perebutan kekuasaan. Namun bicah konsi kali ini justeru terjadi setelah berhasil memperoleh kekuasaan dalam satu jama’ah yang dahulunya berjuang sungguh-sungguh untuk memisahkan Aceh dari Indonesia, setelah memperoleh kuasa malah bicah konsi yang terjadi dan tidak merasa malu dengan rakyat yang dipimpinnya. (aneh bin ajaib binti membingungkan). Debat terbuka keduanya yang disiarkan media dalam bahasa Aceh disebut; MUTULÈH LAGÈH.
Mutulèh lagèh dalam bahasa Indonesia adalah sahut menyahut atau debat mendebat antara satu pihak dengan pihak lainnya berkenaan sesuatu masalah. Mutulèh lagèh yang kita maksudkan dalam artikel ini adalah sahut menyahut antara gubernur Aceh dengan wakil gubernur Aceh periode 2011-2016 yang keduanya adalah orang penting GAM, yang satu mantan Menteri Kesehatan dan yang satu lagi mantan Panglima GAM berkaitan isyu pemilihan presiden (pilpres) Indonesia antara Jokowi dan Prabowo. Mutulèh lagèh yang sempat disiarkan harian Serambi Indonesia antara lain; Rabu, 19 Maret 2014, Kamis, 3 Juli 2014, dan Ahad 27 Juli 2014 tersebut dapat menghantarkan perjuangan berani GAM pada posisi simpang tiga di simpang jalan.
DI SIMPANG JALAN
Kita sebut kerajaan PA dalam artikel ini karena mantan kombatan dari kalangan GAM secara resmi telah dua kali menguasai kekuasaan dan kepemimpinan di Aceh, dan itu kita anggap sebagai sebuah kerajaan yang dipimpin GAM/PA. Apa yang kita mau analisa di sini adalah; kerajaan PA sekarang sedang berada pada posisi genting di simpang jalan yang berhadapan dengan simpang tiga. Simpang pertama merupakan jalan yang sedang dilalui kerajaan PA sehingga berhadapan dengan dua simpang jalan di hadapannya, yang satu menuju ke kanan dan yang satu lagi menuju ke kiri, yang mana satu yang semestinya PA harus lalui?
Kalau jalan yang sedang dilalui sekarang ini adalah jalan yang penuh onak dan duri yang berhadapan antara bicah konsi dengan Mutulèh lagèh. Sementara jalan kekanan merupakan jalan keselamatan PA yang sekaligus keselamatan Aceh, sedangkan jalan kekiri adalah jalan kehancuran bagi PA sehingga baik GAM, KPA, maupun PA akan menjadi sebuah nostalgia bagi bangsa Aceh pasca Pilkada 2022. Sekarang menjadi taruhan bagi kerajaan PA untuk memilih jalan dari simpang tiga yang berhadapan di depan mata.
Kalau PA memilih jalan ke kanan maka para petinggi PA dan kader-kader PA harus bersatu padu dalam barisan Islam. Harus komit dengan syari’at Islam, dan harus membaur dengan tokoh, ilmuan dan cendekiawan Aceh lainnya dalam upaya memajukan Aceh berbasis syari’ah. PA sudah masanya membongkar kebiasaan lama yang berprinsip; tidak perlu kita sebut-sebut Islam dalam perjuangan karena dari endatu kita sudah Islam, atau takut tidak dibantu Eropah dan Amerika, atau takut tidak masuk investor asing. Takutlah kepada Allah dan jangan pernah takut kepada manusia yang melawan Allah Ta’ala, haraplah bantuan Allah agar kita selalu sejahtera. PA juga harus membongkar kebiasaan lama yang memeras dan memaksa rakyat baik berkenaan pelaksanaan proyek negara, berkenaan dengan pemilu atau pilkada maupun berkenaan dengan kelompok GAM dengan kelompok non GAM dari bangsa Aceh. Bongkar kebiasaan lama kalau PA mau tetap berada di hati rakyatnya.
Apabila kerajaan PA yang sedang berada di simpang jalan tersebut lalu memilih jalan ke kiri dari simpang tiga yang ada, maka PA harus tetap mempertahankan kebiasan lama untuk kejar mengejar proyek, ancam mengancam sesama anak bangsa, tipu menipu dalam pemilu dan pilkada serta terus bicah konsi dan Mutulèh lagèh sepanjang masa, kalau demikian adanya maka kerajaan PA akan menjadi punca utama penghancuran negeri Aceh dari sudut pandang politik, agama dan ukhuwwah Islamiyah yang sudah ditanam oleh éndatu kita semenjak Aceh wujud dan Indonesia merdeka.
Dari ilustrasi bicah konsi dan Mutulèh lagèh tersebut tergambarkan keruntuhan kerajaan PA sudah di depan mata sekarang tinggal para petinggi PA mau apa, mau rakyat, Negara dan Islam atau mau kuasa. Kalau mau rakyat, Negara dan Islam maka PA bersama anggota-anggotanya akan tetap terhormat baik semasa berkuasa maupun selepas berkuasa. Tetapi kalau mau kuasa, ia akan dihormati semasa punya kuasa dan akan dibenci setelah berakhirnya kekuasaan yang ada. Kalau alternatif pertama yang dipilih bermakna PA memilih jalan ke kanan, namun kalau alternatif kedua yang diambil maka PA akan memilih jalan kekiri yang berhadapan dengan kehancuran kerajaan PA sekaligus kehancuran Aceh karena daya tawar Aceh terhadap Jakarta sudah runyam akibat bicah konsi dan Mutulèh lagèh di kalangan PA sendiri. Bicah kongsi dahsyat terjadi dalam musim pilkada 2017 di mana pasangan calon gubernur dan wakil gubernur berlatarbelakang GAM tampil empat pasang: Zaini Abdullah-Nasaruddin, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah, Zakaria Saman-T. Alaiddin, dan Muzakkir Manaf-T. A. Khalid.
Kalam akhir dari penulis: wahai penguasa dari kerajaan PA, jangan hancurkan Aceh dengan memilih jalan ke kiri. Wahai para ulama, ilmuan, tokoh masyarakat dan cendekiawan Aceh, papahlah kerajaan PA yang sedang berada di simpang jalan agar mereka memilih jalan ke kanan dan menghindari jalan ke kiri, karena jalan ke kanan melambangkan syurga, sementara jalan ke kiri mengisyaratkan jalur ke neraka. Na’uzubillah.
Penulis : Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA
(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Siyasah Fak. Syari’ah & Hukum UIN Ar-Raniry)
diadanna@yahoo.com

Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
ISTILAH ku’eh bukanlah suatu perkataan asing buat orang Aceh yang hidup zaman dulu atau yang hidup di kampung-kampung dalam masyarakat Aceh yang masih tulen. Kalau kita mau cocokkan istilah ini dengan istilah bahasa Melayu ia sederetan dengan perkataan dengki, khianat, cemooh, dendam, menggerogoti, dan menghina. Namun semua istilah Melayu tersebut tidaklah singkron seratus persen dengan istilah ku‘eh karena ku‘eh mengandung makna yang amat mendalam terhadap perbuatan seseorang sehingga dapat mengorbankan orang lain serta pelaku ku‘eh sendiri.
Ku‘eh adalah sikap atau perilaku seseorang terhadap orang lain yang dapat menghancurkan atau merugikan orang lain dan juga orang ku‘eh itu sendiri. Jadi setiap adanya perilaku ku‘eh maka di sana juga wujud kehancuran atau kerugian, baik kerugian tersebut menimpa orang yang di-ku‘eh-kan maupun menimpa orang ku‘eh itu sendiri, atau kedua-duanya sekaligus.
Setiap orang ku‘eh biasanya berpenampilan agak aneh karena ia selalu dan setiap waktu memikirkan bagaimana agar orang lain selalu susah. Kalau orang yang di-ku‘eh-kan itu sudah nampak hidup susah, ia sudah senang dalam kehidupannya. Sebaliknya kalau orang yang di-ku‘eh-kan itu terus senang ia pula yang terus menerus hidup susah. Karenanya ku‘eh itu juga dapat dipatrikan kepada singkatan SMS; yaitu: Senang Melihat orang lain Susah dan Susah Melihat orang lain Senang.
Apabila ku‘eh itu melekat pada diri seorang peniaga di sebuah pasar dan ia melihat kedai sebelahnya agak ramai pembeli dibandingkan kedai dia, maka ia akan mencari cara untuk menghambat kedai sebelahnya harus pailit dan tidak ramai yang membeli di sana. Dalam keadaan seperti ini selalunya si ku‘eh memprovokasi, memanggil dukun, membayarnya untuk memanterai atau mengguna-gunai kedai sebelahnya agar tidak maju lagi.
Kalau ku’eh itu hinggap pada seorang kepala kantor, si kepala kantor mulai memilih-milih kasih dalam memimpin kantornya. Kalau ada bawahannya yang tunduk patuh kepadanya (termasuk terhadap perbuatan salah) maka selalu diperhatikan dan dibantunya. Kalau ada bawahannya yang agak kritis dan sering mengingatkan dia agar tidak berlaku curang di kantor disisihkan dan tidak diberikan peluang untuk berkembang. Selalunya ku‘eh pada seorang pimpinan di kantor tidak mau menandatangani keperluan bawahannya berkenaan dengan kemajuan pangkat dan golongan, karena dikhawatirkan kalau bawahannya sudah sama pangkat dengannya, posisi dia akan terancam oleh bawahan tersebut. Padahal dia adalah kepala untuk semua rakyatnya di kantor dan dia wajib mengembangkan karir bawahannya agar kantor tersebut terus maju dan berkembang.
Manakala ku‘eh itu berada pada seorang teungku dalam mengajarkan masyarakat, maka teungku tersebut mewajibkan masyarakat belajar pada dia melulu tidak boleh belajar pada orang lain dengan alasan salah diberi ilmu oleh orang lain, atau orang lain tidak alim, atau orang lain wahabi, atau orang lain salah.
Ketika ku‘eh itu muncul pada diri seorang dosen maka sang dosen memperlambat keperluan seorang mahasiswa. Memerintahkan mahasiswa selalu mencarinya, menyuruh mahasiswa menunggu berjam-jam lamanya sementara dia duduk ngobrol dengan teman lainnya. Ketika membimbing skripsi mahasiswa sang dosen ku‘eh tersebut selalu mencoret tulisan mahasiswa tanpa sebab, tanpa alasan dan tanpa perbaikan dan bimbingan sehingga mahasiswa menjadi bingung dan mumang. Ketika mahasiswa bertanya sesuatu ia marah-marah dan menyuruh tanya kepada orang lain.
Dalam kehidupan berumahtangga ku‘eh juga muncul dari seorang suami terhadap istri atau sebaliknya dari seorang istri terhadap suami. Seorang suami sering menipu istrinya ketika keluar malam umpamanya, ia selalu bilang keluar malam karena ada tugas penting di kantor yang harus diselesaikan malam itu juga. Ternyata ia keluar dari rumah malam itu pergi ke night club (kelab malam) untuk berdansa dengan perempuan jalanan sehingga menjurus kepada perzinaan. Sang istri ketika suaminya pulang pagi hari memapahnya luar biasa karena sayang suaminya terlalu capek dengan tugas kantor semalaman, dia tidak tahu suaminya pergi ke kelab malam.
Demikian juga ku‘eh seorang istri terhadap seorang suami, si istri selalu membantah suaminya manakala suaminya mendidik anak dengan sunnah nabi. Ketika suaminya mendidik anaknya untuk berbaik-baik dengan tetangga sang istri dengan lugas mengatakan; jangan kamu dengar dia, bohong semuanya itu. Ketika suaminya tidak ada di rumah dia menerima lelaki lain masuk rumah suaminya, atau ketika suaminya tidak ada di rumah dia membongkar semua dokumen dan dompet suaminya tanpa izin suaminya. Ketika orang tuanya atau saudaranya datang ke rumah duduk di rumah suaminya ketawa ria cerita ini dan cerita itu, ketika orang tua suaminya atau saudara suaminya datang ke rumahnya tidak dipedulikan dan dibiarkan begitu saja, dan seterusnya.
Ku‘eh-ku‘eh semacam itu biasanya muncul dari diri seseorang manusia yang jahil, manusia yang mi-ung, manusia yang punya kepentingan tertentu pada tempat tertentu pula, manusia yang ria dan manusia yang ketahanan iman dan amalnya lemah. Akibatnya, kehancuran umat dan bangsa bercucuran sepanjang zaman dan masa tanpa henti dalam bentuk yang berlainan dan berbeda-beda. Ketika ku‘eh itu menghinggapi ranah politik maka si pelaku politik mencari celah untuk menghambat kemajuan orang lain dengan mempertahankan kepicikan dirinya sehingga mengorbankan kepentingan rakyatnya yang disebut-sebut sebagai orang yang dibelanya.
Di Aceh, ku‘eh itu sudah mendarah gapah dalam kehidupan masyarakatnya, mulai dari kalangan abra’u, kalangan geuleugong, kalangan apa ta’a, apa kapluk, kalangan meungab sampai kepada kalangan politikus, intelektual, ulama, teungku rakyat jelata, dan para penguasa.
Bagaimana solusi menghilangkan ku‘eh dalam kehidupan orang Aceh? Semua orang Aceh jangan menjadikan jabatan sebagai ajang ku‘eh meu ku‘eh, jangan jadikan pengajian sebagai media meraup rupiah dengan jalan ku‘eh kepada orang lain, jangan jadikan orang lain sebagai lawan dan jangan memposisikan diri sendiri pihak yang paling benar, betul dan pandai dengan menyalahkan pihak lain tanpa dasar. Tetapi berpenampilanlah sesederhana mungkin, carilah rezeki dengan cara yang halal dan jauh dari subhat, riba, dan gharar, posisikan semua muslimin sebagai saudara kita bukan musuh kita dan jadikan mereka sebagai bagian dari kehidupan kita. Biasakan senang terhadap kesenangan saudara kita yang lain dan biasakan pula susah terhadap kesusuahan yang tertimpa terhadap saudara kita yang lain yang seiman dan seagama, sehingga istilah SMS berubah makna menjadi; Senang Melihat orang lain Senang dan Susah Melihat orang lain Susah. Wallahu a’lam.
* Penulis adalah Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh.

Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
WARIA adalah akronim dari “wanita-pria”, sinonim dengan wadam alias “wanita-adam”, kunsa, banci, bencong, dan gay. Semua itu masuk dalam kumpulan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) yang tidak sesuai dengan pergaulan dan kehidupan islami. Manusia dan kelompok waria cenderung berprilaku aneh karena mereka terkadang berjenis kelamin lelaki, tetapi berpenampilan wanita. Ada pula yang sebaliknya, berkelamin wanita tetapi berpenampilan lelaki. Yang lebih menghebohkan lagi, mereka cenderung berperilaku dan menganut paham seks bebas (free sex).
Kaum waria biasanya suka berebut langganan di malam hari dengan berpose di pinggir jalan menunggu langganan, terkadang kalau nafsunya terganggu mereka bertindak kasar sampai kepada pembunuhan. Di mana-mana kota besar mereka berusaha untuk membentuk wadah atau organisasi waria sebagai badan hukum agar bisa legal eksis dalam masyarakat.
Di Banda Aceh sebelum tsunami kita kenal ada waria di tempat-tempat tertentu, namun tidak wujud pertumbuhan mereka karena kontrol sosial masyarakat masih tinggi. Tetapi pascatsunami 2004, mereka sudah berani menampakkan identitasnya sebagai satu komunitas tertentu yang farak dari lelaki dan wanita. Suatu masa dahulu mereka juga pernah buat kontes di aula RRI Banda Aceh dengan menyalahgunakan izin penggunaan tempat, katanya mereka mengumpulkan dana untuk fakir miskin dan anak yatim tetapi yang dilakukan adalah pemilihhan ratu waria.
Prihal serupa terulang kembali pada Sabtu, 16 Desember 2017, di satu hotel berbintang di Banda Aceh. Dalam kesempatan ini mereka lagi-lagi berdalih memperingati ulang tahun, tetapi ada agenda tersembunyi untuk memilih “ratu waria” mewakili Aceh untuk dikirim ke ibu kota negara. Demikianlah cara mereka mengelabui pihak berkuasa negara dan masyarakat untuk mewujudkan tujuan mereka, yang bukan saja tidak sesuai dengan syariat Islam, tapi juga sangat bertentangan dengan budaya masyarakat Aceh.
Tidak menentu
Waria murupakan jenis manusia yang mengarahkan hidupnya tidak menentu karena mereka tidak mau memperjelaskan status gendernya ke arah lelaki atau wanita, mereka berada di tengah-tengah antara keduanya. Sikap semacam itulah yang membuat mereka hidup tidak menentu, karena kehidupan gender yang tidak menentu, maka aktivitas mereka pun jadi tidak menentu juga karena dipengaruhi oleh pola pikir yang tidak menentu tadi.
Selain itu, semakin banyak waria di sesuatu tempat semakin tidak menentu pula pola hidup masyarakat di tempat tersebut, karena mereka cenderung untuk berbuat di luar kelaziman hidup sperti homoseksual (liwath), dan lesbian. Karena amalan-amalan semacam itu bertentangan dengan kelaziman kehidupan manusia normal, maka otomatis ia berlawanan dengan ketentuan hukum Islam yang mengedepankan keobjektivan hidup umat manusia.
Keanehan hidup yang wujud pada kaum waria tersebut dapat berefek jauh dan fatal dalam kehidupan berakhlak umat manusia, keadaan semacam itu dpat berbahaya bagi kehidupan umat Islam yang anti ketidakmenentuan seperti tidak menentu jenis kelamin antara pria dan wanita. Kita khawatir kalau keanehan kaum waria itu mendominasi wilayah Aceh akan berakibat fatal bukan kepada implementasi syariat Islam saja melainkan menjadi malapetaka dan aib besar kepada anak bangsa ketika ia menjurus kepada praktik amalan kaum Nabi Luth as (liwath, lesbian), dan seumpamanya.
Kita sudah melihat, bagaimana kehidupan kaum tersebut di dunia barat yang awalnya hanya menuntut HAM bagi waria. Tetapi efek dari pemberian keabsahan wadah waria kemudian mereka menuntut kawin sejenis, sehingga konstitusi negara harus diubah untuk memenuhi keinginan mereka seperti yang sudah terjadi di Amerika Serikat, Belanda, Norwegia, dan lainnya. Kalau sampai begitu yang terjadi bermakna masyarakat di sana hanya tinggal menunggu kapan Allah Swt hancurkan mereka sebagaimana beliau menghancurkan kaum nabi Luth dahulu kala.
Kalau sempat Aceh tembus kontes waria sekali saja, maka sudah terbuka peluang bagi mereka untuk melakukan kali kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya yang berefek kepada model kehidupan kaum Nabi Luth as. Karenanya, mengapa Aceh harus tegas melarang aktivitas kaum Nabi Luth tersebut berlaku di sini, karena untuk menghindari berlakunya bala dahsyat sebagaimana yang berlaku terhadap kaum Nabi Luth as, yang hancur dimakan bumi siddim dan diserbu hujan batu.
Prilaku waria yang tergambarkan tadi menjadi momok paling “berbisa” terhadap implementasi syariat Islam di Aceh, karena amalan mereka bukan sekadar tidak relevan dengan syariah melainkan bertentangan dan dilarang sangat dalam syariat Islam. Ada prediksi kita bahwa maraknya kaum waria di kota Banda Aceh yang datang dari berbagai daerah itu, seperti ada “komando” dengan target untuk melemahkan dan mencemarkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Kalau analisa ini benar, berarti itu merupakan gerakan terstruktur, bersahaja, dan berencana yang dapat mengancam kehidupan bersyariah umat Islam di Aceh, baik dalam rentang waktu singkat maupun jangka panjang.
Mencari celah
Oleh karenanya, muslimin Aceh harus berhati-hati dengan gerakan waria di Aceh, sekarang mereka sedang mencari celah untuk mendapatkan keabsahan dan legalitas. Kalau yang dicari itu sudah didapati suatu masa nanti, maka peluang dan kesempatan mereka menantang syariah dengan dalih HAM, demokrasi dan gender sudah terbuka lebar.
Sekarang mereka mencari jalan masuk, ketika yang dicari itu didapat, maka mereka akan masuk terus dan tidak mau keluar lagi dari sistem hukum negara yang mengakui keabsahan mereka. Ibarat perangai Yahudi di Palestina, awalnya mereka izin tinggal saja di Palestina, kemudian satu demi satu keluarga Yahudi dihantar ke sana. Lalu, mereka membangun perkampungan, terus perkotaan, dan mengumumkan negaranya sampai hari ini ingin menguasai penuh wilayah tanah tumpah darah muslimin Palestina.
Itu merupakan strategi Yahudi, ingin menguasai dunia yang dijadikan sasaran utama adalah umat Islam dan negara-negara mayoritas muslim. Aktivitas waria tersebut sinkron dengan program dan strategi kaum yahudi menguasai dunia, karena itu umat Islam Aceh harus waspada dengan gerakan waria. Jangan pernah mengakui komunitas mereka sebagai lembaga resmi dalam negara, karena kalau itu yang terjadi mereka akan melangkan kepada tuntutan hak karena mereka sudah legal terdaftar di Kesbangpol Linmas sebagai institusi sah menurut UU negara. Ketika sudah sampai ke titik tersebut, maka Islam dan muslim tidak berdaya untuk mengatasinya karena di belakang mereka akan berdiri negara kuasa besar dunia untuk melegalkan kehendak mereka dalam masa panjang.
Untuk kepentingan masa depan syariah di Aceh, perkumpulan waria sama sekali tidak boleh legal dan tidak boleh diterima karena mereka akan menggiring umat Islam untuk berprilaku upnormal dalam menjalani hidup ini. Kalau prilaku abnormal tersebut marak di negeri syariah ini, maka akhlaqul karimah anak bangsa dan anak cucu kita nanti akan tercemar dan hancur berantakan. Lagi pula aktivitas yang mereka jalani hari-hari sangat jelas bertentangan dengan ketentuan syariat Islam yang sedang berlaku di Aceh hari ini.
Karena alasan-alasan tersebutlah maka kepada pihak berkuasa dan pihak keamanan di Aceh jangan membohongi rakyat terhadap eksistensi wadah kaum waria baik di Aceh secara umum maupun di Banda Aceh secara khusus. Pihak penguasa negara dan pihak keamanan negara harus berbicara jujur kepada rakyat dan jangan ada yang disembunyikan karena rasa tidak enak, atau karena sudah “diracuni dengan uang” atau karena larut dalam kelezatan yang membahayakan bangsa dan Islam.
Penguasa Aceh, penguasa Banda Aceh, dan pihak penegak hukum harus transparan dalam mengungkapkan kasus tersebut, karena itu merupakan api dalam sekam. Ibarat “gunting dalam lipatan”, dan “duri dalam daging” yang dapat menghancurkan Aceh, Islam dan syariat Islam suatu ketika nanti. Antisipasi dini merupakan inisiatif paling arif dilakukan.
Tinggalkan rasa tidak enak demi membela kepentingan agama Allah dan menyelamatkan umat dari bahaya ketidakmenentuan cara hidup mereka. Semua komponen bangsa di Aceh harus melatih hidup jujur dan jauh dari prilaku kaum munafik yang berbicaranya bohong, yang suka memecahkan amanah, dan yang suka ingkar janji. Sifat semacam itulah yang bakal menghancurkan kelestarian kehidupan bangsa. Na’uzubillah.
Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA., Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh.
Sumber : aceh.tribunnews

Visi Dewan Da’wah :
“Terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami dalam NKRI yang kuat dan sejahtera”
(Pasal 4 AD/ART Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia )
Misi Dewan Da’wah :
1. Melaksanakan Khittah Da’wah, Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Da’wah guna terwujudnya tatanan kehidupan yang islami, dengan meningkatkan mutu da’wah di Indonesia yang berasaskan Islam, Taqwa dan keridhaan Allah Ta’alaa;
2. Menanamkan aqidah dan menyebarkan pemikiran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah;
3. Menyiapkan du’at untuk berbagai tingkatan sosial kemasyarakatan dan menyediakan sarana untuk meningkatkan kualitas dakwah;
4. Menyadarkan umat akan kewajiban da’wah dan membina kemandirian mereka;
5. Membendung pemurtadan, ghazwul fikri dan harakah hadamah.
6. Mengembangkan jaringan kerjasama serta koordinasi ke arah realisasi amal jama’i
Memberdayakan hubungan dengan berbagai pihak; pemerintah dan lembaga lainnya bagi kemaslahatan ummat dan bangsa.
7. Membangun solidaritas Islam Internasional dalam rangka turut serta mendukung terciptanya perdamaian dunia.
(Pasal 5 AD/ART Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Aceh yang diwakili oleh Ketua Umum Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA dan Sekjend Said Azhar S.Ag mengikuti acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah Pusat), 19-21 Januari 2018 di Wisma Arga Mulya Kemendikbud, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Kegiatan tahunan yang dihadiri oleh ratusan peserta yang terdiri dari pengurus Dewan Dakwah Pusat dan 34 Pengurus Wilayah seluruh Indonesia itu di buka oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Pusat Dr Mohammad Siddiq MA.
Dalam acara yang bertajuk “Meningkatkan Profesionalisme dan Memperkuat Kemandirian Ekonomi untuk Melaksanakan Dakwah Ukhuwah guna Memperkokoh Persaudaraan Ummat” itu juga dihadiri oleh Ketua MPR RI Dr H Zulkifli Hasan SE MM.
“Rakernas tersebut membahas banyak persoalan penting yang telah, sedang dan akan terjadi, baik kondisi eksternal Dewan Dakwah maupun kondisi internalnya,”kata Sekjend Dewan Dakwah Aceh Said Azhar S.Ag, Minggu (21/01/2018)
Said Azhar menjelaskan kondisi eksternal yang terjadi saat ini Dewan Dakwah menghadapi tantangan dakwah yang semakin kompleks. Tantangan dan persoalan dakwah terus datang dan berkembang dalam berbagai bentuk, intensitas dan bobotnya.
Ia mencontohkan gerakan sekularisme yang mengusung konsep Hak Asasi Manusia (HAM konsep Barat) telah berhasil mempengaruhi lembaga-lembaga tinggi negara untuk mengubah aturan yang menyangkut aqidah dan mengancam ketenangan Ummat Islam.
Selain itu perhelatan Pilkada Serentak 2018, Pileg dan Pilpres 2019 yang tidak dapat dilewati begitu saja. Usaha untuk memenangkan calon pemimpin Muslim menghadapi tantangan kuat dari kekuatan di luar Islam dan kaum sekuler.
Sedangkan kondisi internal, menurut Said Azhar diantaranya rendahnya SDM baik dari sisi kualitas maupun kuantitas (profesionalisme). Kemudian jumlah dan kualifikasi yang tidak sebanding dengan tantangan yang ada serta minimnya finansial.
“dalam kondisi internal dan eksternal yang demikian, ummat sangat menunggu dan mengharap peran maksimal Dewan Dakwah terutama dalam merekat ukhuwah dengan menjalin sinergi seluruh komponen ummat. Selain itu pentingnya membangun kembali komitmen untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme SDM serta memperkuat kemandirian ekonomi,”ungkap Said Azhar

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia disingkat “Dewan Da’wah”, didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 oleh para ulama pejuang diantaranya adalah Bpk. Mohammad Natsir (Mantan Perdana Menteri RI, setelah berhasil dengan ide besarnya yaitu mosi integral yang bermuara pada Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI).
Dewan Da’wah adalah organisasi da’wah yang berbadan hukum, yang kini telah berkembang ke seluruh tanah air di 30 provinsi dan lebih dari 100 di kotamadya & kabupaten, dengan kantor pusat di Jalan Kramat Raya No. 45 Jakarta. Landasan geraknya adalah kewajiban setiap Muslim dalam melaksanakan da’wah (Q.S. Al-’Imran : 104).
Maksud dan Tujuannya didirikan Dewan Da’wah adalah Terwujudnya tatanan kehidupan yang Islami, dengan menggiatkan dan meningkatkan mutu da’wah di Indonesia berasaskan Islam, taqwa dan keridhaan Allah Ta’ala(Pasal 2 Anggaran Dasar Dewan Da’wah)
Dewan Da’wah juga bekerja untuk membangun solidaritas Islam internasional bersama organisasi – organisasi da’wah yang lain di berbagai negara ke arah terwujudnya Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Pada tingkat internasional Dewan Da’wah antara lain menjadi anggota pada Al-Haiah Al-’ulya Littansik Al-Munazhomat Al-Islamiyah yang berpusat di Makkah Al-Mukaramah, International Islamic Council for Da’wah and Relief (IICDR). Sedangkan pada tingkat regional menjadi anggota Regional Islamic Da’wah Council of Southest Asia and the Pacific (RISEAP) yang berpusat di Kuala Lumpur.

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia disingkat “Dewan Da’wah”, didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 oleh para ulama pejuang diantaranya adalah Bpk. Mohammad Natsir (Mantan Perdana Menteri RI, setelah berhasil dengan ide besarnya yaitu mosi integral yang bermuara pada Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI).
Dewan Da’wah adalah organisasi da’wah yang berbadan hukum, yang kini telah berkembang ke seluruh tanah air di 30 provinsi dan lebih dari 100 di kotamadya & kabupaten, dengan kantor pusat di Jalan Kramat Raya No. 45 Jakarta. Landasan geraknya adalah kewajiban setiap Muslim dalam melaksanakan da’wah (Q.S. Al-’Imran : 104).
Maksud dan Tujuannya didirikan Dewan Da’wah adalah Terwujudnya tatanan kehidupan yang Islami, dengan menggiatkan dan meningkatkan mutu da’wah di Indonesia berasaskan Islam, taqwa dan keridhaan Allah Ta’ala(Pasal 2 Anggaran Dasar Dewan Da’wah)
Dewan Da’wah juga bekerja untuk membangun solidaritas Islam internasional bersama organisasi – organisasi da’wah yang lain di berbagai negara ke arah terwujudnya Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Pada tingkat internasional Dewan Da’wah antara lain menjadi anggota pada Al-Haiah Al-’ulya Littansik Al-Munazhomat Al-Islamiyah yang berpusat di Makkah Al-Mukaramah, International Islamic Council for Da’wah and Relief (IICDR). Sedangkan pada tingkat regional menjadi anggota Regional Islamic Da’wah Council of Southest Asia and the Pacific (RISEAP) yang berpusat di Kuala Lumpur.

Oleh Hasanuddin Yusuf Adan
ZINA yang didefinisikan dalam Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat adalah; persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak. Sebagian ulama fiqh mendefinisikan zina lebih mendalam dan konkret dari pada definisi versi Qanun Jinayat ini, yaitu persetubuhan yang memasukkan penis lelaki ke dalam vagina perempuan yang bukan suami isteri atas dasar senang sama senang sampai dengan teguh.
Dengan demikian, siapa saja orangnya dan berapa saja jumlahnya yang bukan suami isteri berhubungan badan dengan ketentuan tersebut dalam definisi di atas merupakan perbuatan zina. Definisi tersebut merupakan makna zina secara mendalam, namun sebagian ulama ada juga yang memilah-milah zina seperti; zina mata, zina hidung, zina tangan, zina mulut dan seumpamanya, sehingga pengertian zina tersebut lebih meluas lagi. Walau bagaimanapun zina yang menjadi pemahaman umum umat Islam adalah seperti yang terdapat dalam definisi di atas.
Zina merupakan satu larangan Allah kepada ummat Islam yang terhitung lumayan banyak dikerjakan umat Islam itu sendiri. Zina marak berlaku karena wilayah atau negara tempat berlaku zina tersebut tidak menerapkan hukum Islam seperti di Aceh dan negara-negara Islam lainnya seperti Saudi Arabia, Republik Islam Gambia, Kerajaan Brunei Darussalam, Republik Islam Mauritania, Republik Islam Iran dan lainnya.
Larangan zina
Allah Swt melarang perbuatan zina tersebut dari akar permasalahannya dengan melarang mendekati zina, bukan melarang berbuat zina, sebagaimana firman-Nya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32). Maknanya larangan zina itu sangat amat ketat kepada umat Islam, sehingga Allah tidak akan berucap, tidak akan mengampuni, tidak akan memperhatikan si pelaku zina seraya memberikan azab yang sangat amat pedih kepadanya di hari akhirat kelak (HR. Muslim).
Selain azab di akhirat kelak, Allah juga telah menetapkan hukuman kepada pelaku zina di dunia ini berupa sebatan (cambuk) dengan jumlah 100 (seratus) kali cambukan kepada pezina ghairu muhsan (pezina yang belum menikah). Allah Swt berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur: 2).
Makna ayat tersebut juga sangat ketat sekali, yaitu setelah Allah memberi hukuman berat kepada pezina di dunia, Allah melarang pelaksana hukum Islam agar tidak memberikan belas kasihan kepada pezina yang dihukum serta pelaksanaannya harus disaksikan oleh sejumlah orang beriman. Kandungan dua ayat Alquran dan satu hadis tersebut memberi pemahaman kepada kita bahwa perbuatan zina sangat dibenci oleh Allah Swt. Di dunia pezina ghairu muhsan mendapatkan 100 (seratus) kali cambuk dan rajam sampai mati bagi pezina muhsan (pezina yang sudah pernah menikah). Oleh karenanya tidaklah layak seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah berbuat zina, karena itu perbuatan keji dan jalan yang amat sangat buruk untuk dilalui.
Dalam Pasal 33 ayat (1) Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat ditetapkan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah zina, diancam dengan ‘uqubat hudud cambuk 100 (seratus) kali”. Qanun tersebut tidak memisahkan antara pezina muhsan dengan ghairu muhsan seperti dalam ketentuan hukum Islam yang memisahkan 100 kali cambuk untuk pezina ghairu muhsan dan rajam sampai mati bagi pezina muhsan. Itu berarti orang yang berzina di Aceh baik yang sudah menikah ataupun belum menikah sama berat hukumannya yakni 100 (seratus) kali cambukan.
Namun demikian Pasal 33 ayat (2) menekankan hukuman ganda kepada setiap orang yang sudah pernah dihukum cambuk 100 (seratus) kali akibat perbuatan zinanya, lalu berzina lagi, maka setelah dicambuk 100 (seratus) kali sebagai hukuman zina maka dapat ditambahkan dengan hukuman ta’zir berupa denda 120 gram emas murni atau dipenjara 12 bulan. ‘Uqubah tersebut sangat selaras dengan dua ayat Alquran dan satu hadis Nabi di atas dalam upaya menghambat ummat Islam berbuat zina. Dan hukuman tersebut juga menjadi satu keseriusan Islam untuk membedakan ummatnya dengan syetan dan hayawan karena perbuatan zina itu adalah identik dengan perbuatan mereka.
Hukuman lebih berat ditetapkan dalam Qanun Jinayat bagi orang atau badan usaha yang dengan sengaja memberikan fasilitas atau mempromosikan jarimah zina, mereka diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan. Setiap orang dewasa yang melakukan zina dengan anak, selain diancam dengan ‘uqubat hudud sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat 1 dapat ditambah dengan hukuman ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan.
Berhati-hatilah Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah zina dengan orang yang berhubungan mahram dengannya, selain diancam dengan ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dapat ditambah dengan ‘uqubat ta’zir denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau ‘uqubat ta’zir penjara paling lama 10 bulan. Dengan demikian, maka berhati-hatilah kaum muslimin wal muslimah di nanggroe Aceh berkenaan dengan persoalan zina, ancaman Allah di dunia sangat berat dan ancaman Allah di akhirat juga sangat lebih berat, ditambah lagi dengan ketentuan Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 yang memberikan alternatif ‘uqubat ganda bagi pelaku berulang kali, penyedia tempat, penampung pezina dan sumpamanya.
Untuk prosedur pelaksanaan Qanun No.6 tersebut dilengkapi oleh Qanun Aceh No.7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayah. Jadi kalau dulu masa berlaku Qanun No.12, 13, dan 14 Tahun 2003 tentang Maisir, Minuman keras, dan Khalwat tidak ada qanun acara, sehingga beberapa orang yang melanggar tiga qanun tersebut sempat lolos dari Aceh dan tidak sempat dicambuk. Maka sejak Qanun Acara Jinayah disahkan pada 13 Desember 2013 dan Qanun Jinayat disahkan pada 23 Oktober 2014, lengkaplah perangkat hukum untuk menindak para pelanggar qanun Aceh masa depan. Pasal 21 Qanun Acara Jinayah menyatakan para pelanggar qanun Aceh dapat ditahan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, penyidangan dan pelaksanaan ‘uqubat. Berkenaan dengan kepentingan penangkapan pelanggar qanun juga diatur dalam Pasal 17, 18, dan 19 Qanun Acara Jinayah.
Untuk menghindari ancaman Allah di dunia dan di akhirat, serta menghindari ancaman qanun Aceh tersebut, maka umat Islam Aceh tidak akan pernah berzina dan tidak akan pernah mengulangi perbuatan zina bagi yang sudah terlanjur melakukannya. Persoalannya adalah ketika penduduk suatu negeri inkar terhadap perintah dan larangan Allah, maka bala Allah sebagai solusi bagi penduduk negeri tersebut (QS. al-A’raf: 96). Karenanyalah umat muslim di Aceh harus menjauhi zina dalam kesempatan bagaimanapun juga.
Umat Islam di Aceh patut bersyukur atas pemberlakuan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah tersebut karena sudah ada jalan yang menyelamatkan kita dari dosa. Kalau ada umat Islam yang membenci qanun tersebut, bermakna mereka membenci Allah karena qanun tersebut terisi penuh dengan hukum Allah. Membenci Allah sama dengan syirik. Karena itu janganlah kita terperosok ke dalam lubang yang sama di tempat yang sama pula. Mudah-mudahan kita selamat dan dijauhkan dari perbuatan zina, dan Aceh menjadi satu-satunya wilayah di dunia yang berlaku hukum Islam penuh.
Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA., Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh