Archive for category: Semua Katagori

semua katagori di bawah ini

Paket sembako yang berisikan beras 10 Kg, gula 5 Kg, Tepung Terigu 2 Kg, Minyak Bimoli 2 Kg, Susu 2 Kaleng, Sirup 2 botol, indomie 10 bungkus dan 1 botol kecap dibagikan kepada kaum dhuafa yang ada di Gampong Rumpet.

Keusyik Gampong Rumpet, mewakili warganya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pengurus Dewan Da’wah Aceh atas dipilihnya gampong Rumpet sebagai lokasi penyaluran bantuan sembako yang berasal dari Yayasan Ash-Shilah tersebut. Apalagi, Dewan Da’wah Aceh telah memutuskan untuk membangun markaz barunya dan masjid di gampong kami, semoga ukhuwah ini dapat terus dipererat untuk selama-lamanya, demikian Keusyik Rumpet menyudahi sambutannya.


Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh, Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, dalam amanatnya menyebutkan bahwa selain pembagian paket sembako, kegiatan lain yang dilaksanakan oleh Dewan Da’wah Aceh dalam bulan Ramadhan kali ini adalah Daurah Syariat Islam untuk aparat Gampong dan Remaja Se-Kecamatan Titeue Kabupaten Pidie pada tanggal 12-16 Agustus 2010, Ceramah “Hikmah Berbuka” di Radio Baiturrahman Banda Aceh tanggal 1-30 Ramadhan, Iftar Jama’i (buka puasa bersama) di Pulo Nasi pada 24 Agustus 2010 dan di Banda Aceh (secretariat DDII Aceh), 23 Agustus 2010, ceramah ramadhan di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar sekitarnya, 1-30 Ramadhan.

Semua kegiatan yang sudah diprogramkan tersebut berjalan sesuai dengan rencana. Ini semua berkat pertolongan Allah Swt, dan atas bantuan kerjasama dari Yayasan Syeikh Eid Qatar, Pemerintah Kecamatan Titeu, Pidie, Yayasan Ash-Shilah, Qatar Charity, Bank Muamalat, Radio Baiturrahman dan Dewan Da’wah Pidie dan Yayasan Al-Ikhlas Masjid Titeue. Untuk itu, atas nama pribadi dan mewakili Keluarga Besar Dewan Da’wah Aceh bersyukur kepada Allah Swt, dan mengucapkan terima kasih kepada semua sponsor atas kerjasamanya. Semoga apa yang sudah dan akan terus dilakukan ini memberi kontribusi positif bagi masyarakat di Aceh dan bagi percepatan tegaknya Islam di provinsi serambi mekkah ini, serta dicatat sebagai amal shalih di sisi Allah Swt, demikian Tgk. Hasanuddin berharap di akhir amanatnya. Semoga!

Banda Aceh, 22 Agustus 2010

Sayid Azhar
Sekjen DDII Aceh

dan dilanjutkan oleh para sahabat, sampai dengan sekarang dan Insya Allah sampai masa akan datang. Orang-orang yang masuk Islam dengan proses ini sering disebut dengan mu’allaf, walaupun para ahli berbeda dalam memahami makna mu’allaf, khususnya ketika membahas hak penerimaan zakat bagi mereka. Apakah pada saat Islam sudah kuat masih ada istilah mu’allaf yang perlu diberikan zakat agar mereka tertarik dan atau tidak berpotensi mengganggu da’wah Islam? Namun persoalan yang ingin ditangani sekarang bukan pada hal tersebut, tetapi lebih pada proses follow up setelah seseorang menjadi mu’allaf.

Persoalan yang muncul sekarang adalah pasca seseorang memeluk Islam (setelah proses pensyahadatan) berbeda dengan yang terjadi pada masa Rasulullah saw. dan para sahabat. Di mana mereka langsung mendapat bimbingan dan pengajaran tentang ajaran Islam secara bertahap. Saat ini para mu’allaf tidak menjalani proses yang cukup untuk pemahaman Islam, dan yang menyedihkan sering mereka dibekali satu lembar surat dari pihak berwenang yang menerangkan mereka sebagai mu’allaf dan selanjutnya mereka menjadi “pengemis”. Situasi ini diperparah lagi oleh realita bahwa mayoritas mu’allaf di Aceh adalah kelompok masyarakat pinggiran, baik dari segi status sosial, latar belakang pendidikan dan keluarga.

 Kendati sudah beberapa tahun berlakunya syari’at Islam di Provinsi Aceh, sampai sekarang belum ada sebuah gerakan, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, yang secara permanen dan profesional menangani pembinaan mu’allaf. Kegiatan yang dilakukan sering insidental dan temporer, tanpa proses keberlanjutan.

 Menyikapi Kondisi ini Dewan Da’wah Aceh bekerjasama dengan Baitul Mal Provinsi Aceh melaksanakan pembinaan mu’allaf secara berkesinambungan, yang untuk tahap awal berupa pembinaan pemahaman Islam, khususnya Aqidah dan ibadah praktis sehari-hari. Selanjutnya akan dilakukan proses pemberdayaan menyangkut kesejahteraan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Kegiatan pembekalan ini difasilitasi langsung oleh Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, Dr. Muhammad AR, M.Ed, Sayed Azhar dan Saifullah, Lc dari Dewan Da’wah Aceh.

 Lokasi yang dibina adalah di Kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di Kecamatan Desa Napagaluh Kecamatan Danau Paris pada tanggal 13 Juni 2010, yang diikuti 31 orang mullaf. Kegiatan ini merupakan serangkaian dari acara pelantikan pengurus daerah Dewan Da’wah Aceh singkil dan Daurah Duat tentang Ghazwul Fikri.

Selain itu, pembekalan syaraiat Islam untuk muallaf juga dilakukan di Kota Subulussalam, pada tanggal 14 Juni 2010, yang dikuti oleh 25 muallaf. Kepala Dinas Syariat Islam yang hadir dan membuka acara ini menyambut baik inisiatif yang dilakukan oleh Dewan Da’wah Aceh ini, dan berharap ke depan terus melakukan hal serupa dan pihaknya juga siap bekerja sama melalui program yang diusulkan ke dinas syariat Islam Subulussalam.

Pihak Baitul Mal Provinsi Aceh selaku mitra kerjasama dalam pembinaan muallaf, yang menyediakan dana untuk pengadaan buku-buku bacaan, juga mempercayakan Dewan Da’wah Aceh memfasilitasi rekruitmen anak-anak muallaf untuk diberikan beasiswa yang langsung dikirim ke rekening mereka masing-masing selama setahun, dengan jumlah 100 ribu rupiah perbulan.

 Beasiswa ini diberikan kepada anak muallaf yang masih sekolah, dari keluarga kurang mampu dan orang tuanya menjadi muallaf belum lebih dari dua tahun, demikian kriteria yang ditetapkan oleh Badan Baitul Mal Provinsi Aceh.

 Dengan kegiatan pembekalan dan beasiswa ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang komprehensif tentang Dienul Islam bagi para mu’allaf, khususnya berkaitan dengan aqidah dan ibadah, menghilangkan citra negatif yang selama ini ada, seolah-olah tidak ada beda antara sebelum mereka menjadi muslim dengan sesudah masuk Islam, dan menjawab kebutuhan para mu’allaf sendiri sebagai langkah awal belajar Islam dan proses pemberdayaan kesejahteraan keluarganya.

Guna tercapainya tujuan yang diharapkan, Kegiatan ini akan ditindak-lanjuti dengan pembinaan rutin para muallaf oleh pengurus daerah Dewan Da’wah, baik di Aceh Singkil Maupun di Subulussalam. Kecuali itu, pihak pengurus wilayah Dewan Da’wah Aceh juga akan melakukan koordinasi yang efektif dengan semua pihak, serta evaluasi dan monitoring yang ketat untuk terlaksananya program ini.

Selain itu  hadir juga Pimpinan Yayasan Sheikd Eid bin Mohammad Al-Thani Qatar Cabang Indonesia yang berkantor di Banda Aceh, Syeikh Muhammad Naseer, selaku donator yang membantu keseluruhan pembangunan masjid Dewan Da’wah Aceh, sementara dari pemerintah Aceh hadir mewakili Kepala Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Aceh, juga diramaikan oleh tokoh-tokoh masyarakat Gampong Reumpet, Muspika Krueng Barona Jaya dan beberapa pejabat dari Kabupaten Aceh Besar serta keluarga besar Dewan Da’wah Aceh

Dewan Da’wah Aceh, dalam sambutan yang disampaikan oleh Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, selaku ketua umum, mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses acara peletakan batu pertama pada hari ini (jumat, 26/3), wabil khusus kepada Geusyik dan aparat desa Reumpet selaku penguasa wilayah serta pihak Yayasan Sheikd Eid bin Mohammad Al-Thani Qatar Cabang Indonesia yang telah membantu pembangunan masjid. Hanya saja, Ketua Dewan Da’wah mengingatkan bahwa proses pembangunan masjid ini masih terkendala dengan status tanah, yang sampai saat ini masih terhutang. Untuk itu, melalui acara ini kami menghimbau kepada para dermawan, khususnya Pemerintah Kabupaten Aceh Besar agar dapat membantu mengatasi permasalahan ini, demikian Hasanuddin mengharap. Di samping masjid, di tanah seluas 1800 meter, akan dibebaskan lagi sekitar 700 meter, juga nantinya akan dibangun sarana pendidikan dan sekaligus menjadi markas besar Dewan Da’wah Provinsi Aceh.

Kegiatan peletakan batu pertama dilakukan oleh Bupati dan pimpinan yayasan Syeikh Eid. Setelah prosesi peletakan batu pertama, Bupati Aceh Besar dalam sambutannya menyatakan, atas nama Pemerintah mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Syeikh EId bin Mohammad Al-Thani Qatar yang telah mempercayakan bantuan Masjid seluas 15 x 15 meter kepada Dewan Da’wah Aceh, semoga bantuan ini dapat dikelola dengan baik sehingga dapat berfungsi sebagai pusat pembinaan masyarakat Islam, khususnya Gampong Reumpet. Kepada masyarakat setempat (Gampong Reumpet) Tgk. Bukhari Daud, sebagai sosok bupati yang kerapkali menjadi khatib, menghimbau untuk bekerjasama dengan Dewan Da’wah dengan sama-sama menjaga fasilitas yang akan dibangun agar dapat bermanfaat maksimal, khususnya untuk pendidikan anak-anak sebagai generasi penerus.

Kepada Dewan Da’wah, Bapak Bupati, juga sekaligus sebagai anggota majelis syura Dewan Da’wah Aceh mengucapkan terima kasih yang telah memilih wilayahnya (Gampong Reumpet Kecamatan Krueng Barona Jaya) sebagai tempat membangun masjid dan menjadi markas untuk pembinaan ummat ke depan. Di samping itu, saya juga ingin berpesan kepada Dewan Da’wah agar dapat meningkatkan kapasitas internal, khususnya berkaitan dengan kemampuan Bahasa Arab bagi para pengurus. Pengurus Dewan Da’wah, sepertinya, wajib mampu berbahasa Arab, tegas Bupati. Wejangan lain untuk Dewan Da’wah adalah perlu upaya membangun institusi pendidikan sehingga melahirkan kader yang seirama dalam mengemban misi da’wah. Hindari radikalisme, pahami masyarakat dalam batas-batas syar’iyah agar da’wah berhasil. Demikian bupati mengakhiri sambutannya.

Menyahuti permasalahanyang dikeluhkan oleh Dewan Da’wah, tentang pembebasan tanah, diakhir prosesi acara peletakan batu pertama, sebelum makan siang bersama, bupati memimpin pelelangan wakaf tanah tempat pembangunan masjid. Dirinya atas nama pribadi mewakaf 10 meter, diikuti sopirnya 1 meter, ajudannya 2 meter. Kemudian diikuti oleh beberapa pejabat—tetapi sumbangan atas nama pribadi bukan jabatan– di Kabupaten Aceh Besar dan juga dari majlis syura Dewan Da’wah Aceh. Sehingga total terkumpul wakaf sejumlah 35 meter,  yang kalau diuangkan sebesar Rp. 10,5 juta.

Atas semua upaya ini Dewan Da’wah Aceh, khususnya panitia pembangunan masjid, mengucapkan Alhamdulillah dan terima kasih, semoga wakaf tersebut menjadi sedekah jariyah yang balasannya tidak pernah putus. Amien.

 

Banda Aceh, 26 Maret 2010

Sayed Azhar

Sekjen Dewan Da’wah Aceh

 

Proses ini sudah mulai digagas pada awal tahun 2008, dengan mencoba mencari tanah wakaf, tetapi upaya tersebut tidak berhasil. Oleh sebab itu, pengurus bekerja keras menggalang dana dari berbagai sumber sehingga dapat menyediakan sepetak tanah, kendati belum lunas (masih terhutang) dengan pihak lain,  untuk pembangunan masjid dan sekaligus sebagai markas dan sarana pendidikan untuk masa mendatang.

Masjid yang berlokasi di Desa Rumpet Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar mulai pengerjaan pada awal Maret 2010 dengan diawali pengukuran arah kiblat. Proses pengukuran arah kiblat pada tanggal 9 Maret 2010 dilakukan langsung oleh Badan Hisab dan Rukyah Provinsi Aceh yang terdiri dari pihak Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Selanjutnya penyiapan pembangunan masjid yang dikelola langsung oleh pihak Yayasan Syeikh Eid Qatar diperkirakan akan rampung dalam waktu 4 bulan.

Pihak Dewan Da’wah Aceh mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yayasan Syeikh Eid atas bantuannya, juga kepada pimpinan masyarakat di Gampong Rumpet atas kerjasamanya sehingga masjid sudah dapat mulai dibangun dengan harapan tidak ada kendala. Ucapan terima kasih juga kepada para donator, para dermawan yang sudah menyumbangkan dana dalam bentuk wakaf untuk pembebasan tanah tempat pembangunan masjid tersebut.

Mengingat masih terhutangnya harga tanah, maka sekali lagi kami sangat mengharapkan kepada semua pihak yang memiliki kemudahan rezeki agar dapat menyumbangkan dana dalam bentuk wakaf tunai guna pelunasan harga tanah, dengan harga Rp. 300.000,-/meter. Sumbangan tersebut dapat diantar langsung ke sekretariat Dewan Da’wah Aceh Jl. T. Nyak Arief No. 159 Lamgugop-Jeulingke Banda Aceh, Telp. 0651-7406436, atau ditransfer ke Bank Muamalat Cabang Banda Aceh nomor Rekening 918.1604699 atas nama Hasanuddin Yusuf Adan QQ DDII-NAD. Atas semua bantuannya kami ucapkan al-hamdulillah.

 

Daurah yang dilaksanakan pada hari Senin 1 Maret 2010 diawali dengan daurah du’at. Daurah dengan peserta 30 orang utusan dari seluruh Kecamatan yang ada di Aceh Singkil tersebut dibahani oleh Pengurus Wilayah (PW) DDII Aceh. Di antara materi yang disuguhkan dalam daurah tersebut adalah; Mengenal Syari’at Islam di Aceh oleh Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, Problematika Dakwah di Aceh oleh Dr. Muhammad AR, dan Metodologi Khuthbah bagi sang khathib oleh Tgk. Jamaluddin, MA. Setelah selesainya daurah sehari penuh, acara dilanjutkan dengan musyawarah Daerah untuk memilih Pengurus Daerah DDII Aceh Singkil periode 2010-2013 yang juga bertempat di aula Kantor Camat Gunung Meriah di Rimo. Hasil musyawarah Daerah telah mengangkat ustaz Ihsan sebagai Ketua Umum menggantikan posisi Abdul Muhri sebagai Ketua Umum periode lalu. Ihsan ditemani oleh ustaz Samla sebagai Sekretaris Umum dan sejumlah pengurus lengkap lainnya.

Usai daurah dan Musda, yakni Selasa 2 Maret 2010 para petinggi DDII Aceh tersebut mengunjungi beberapa Kecamatan dalam wilayah Aceh Singkil seperti Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Suro, dan Kecamatan Danau Paris untuk melihat kondisi dan suasana muslim di sana sebagai langkah awal mewujudkan gambaran Peta Dakwah di Aceh Singkil. Ternyata di sana masih banyak muslim yang hidup berdampingan dengan non muslim dan dikuasai oleh mereka karena muslim minoritas dan lemah. Ada juga masjid yang diurus oleh seorang imam dan khadam yang tamatan Sekolah Dasar di Kecamatan Danau Paris, dari segi ilmu Islam sama sekali belum layak untuk itu, namun apa hendak dikata keadaan memang demikian adanya.

Follow up dari hasil kunjungan tersebut, dalam waktu dekat Dewan da’wah Aceh akan mengajukan proposal kerjasama kepada Baitul Mal  Aceh dan juga Pengurus Pusat Dewan Da’wah di Jakarta untuk menangani permasalahan ummat Islam di Aceh Singkil, khususnya pembinaan mu’allaf secara berkesinambungan. Pembinaan dimaksud baik berkaitan dengan pemahaman dan pengamalan Islam, juga pembinaan kesejahteraan agar dapat hidup layak. Untuk itu kami dari Dewan Da’wah Aceh sangat mengharapkan bantuan dari semua pihak agar program ini Berjaya, Insya Allah.

 

 

Secara substansial tidak ada yang dapat dipertentangkan dari terminologi politik tersebut, tetapi akan muncul deferensiasi manakala dilakoni para politisi, yakni orang yang berkecimpung dalam bidang politik, karena pada saat yang sama terjadi pergumulan (struggle) dalam upaya menuju posisi/jabatan politik, eksekutif dan/atau legislatif. Deferensiasi itu, – memakai terminologi Amien Rais- (Cakrawala Islam, 1987) dapat berwujud high politics (politik kualitas tinggi) dan low politics (politik kualitas rendah). Dalam pergumulan dua kutub perilaku politik yang antgonis tersebut, dimana  semestinya  posisi dan  bagaimana dilakoni politisi profesional, wabil khusus yang berkiprah dalam teritori Nanggroe Aceh Darussalam yang secara de faco dan de jure serta pengakuan  internasional bagian dari Negara RI, dengan perangkat aturan RI, juga syrari’at Islam, tanpa mempertentangkannya, karena sudah dimaklumi semua khalayak, nasional dan internasional, bahwa syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam juga bagian dari undang-undang  Negara RI itu sendiri. Inilah yang dideskripsikan dalam makalah ini. Karena ia  berdasarkan referensi yang jelas, legal, dan kalau boleh disebut hanya merupakan saintifik/tesis kecil-kecilan belaka, kiranya tidak dikai-kaitkan personal dan/atau kelompok, serta menyoritinitas dan formalitas kalah menang dalam pergumulan politik.

 

High Politics

Adalah ciri-ciri  high politics (politik kualitas tinggi), yakni, pertama, setiap jabatan politik pada hakikatnya merupakan amanah dari masyarakat. Kedua, Setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban. Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan dengan prinsip ukhuwah (brotherhood), yakni persaudaraan antara sesama umat manusia. Dalam arti luas, ukhuwah  melampaui batas-batas etnik, agama, latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya. Dengan ciri-ciri minimal ini sangat kondusif  bagi pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Agaknya , inilah antara  lain yang dimaksudkan oleh ayat: “ Mereka adalah orang-orang yang bila diberi kekuasaan yang teguh dimuka bumi, niscaya menegakkan shalat dan membayar zakat dan menyuruh (manusia)  berbuat kebaikan serta mencegah kejahatan, dan bagi Allah sajalah  kembalinya segala macam urusan” (Al-Hajj, 22: 41).(Amien Rais, Ibid). Mudah-mudahan juga tidak salah, apabila saya pahami teks-teks dalam ayat ini; shalat merupakan representasi dari pembangunan mental spiritual, zakat, prmbangunan fisik material, amar ma’ruf nahi munkar, pembangunan politik, hukum, HAM, sosial budaya, keamanan dan pertahanan.

 

Low Politics

Low politics  (politik kualitas rendah), ditinjau dari sudut pandangan Islam, tidak mendukung maksud-maksud dakwah. Malah  menjegal dakwah, merusak tatanan/bangunan masyarakat Islami. Low politics  ini identik dengan “politik Macheavellis”, dengan konotasi yang tidak sehat, penuh hipokrisi (kemunafikan), kelicikan dan sebagainya. Prktek low politics, seperti, pertama, kekerasan, brutalitas dan kekejaman dapat digunakan kapan saja, asalkan tujuan yang dikejar bisa dicapai. Pandangan seperti ini ,mendorong manusia menjadi “tega”, dan menjadi manusia berdarah dingin, melangkahi mayat orang lain untuk mencapai tujuan sendiri sebagai suatu hal yang wajar. Kedua, penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak. Ketiga, dalam menjalankan kehidupan politik, seorang (pemburu) kekuasaan harus dapat bermain seperti binatang buas. Politik Macheavellis juga tidak berbicara sama sekali tentang pertanggungjawban  manusia dihadapan Allah (Ibid).

Adalah juga, Fathi Yakan dalam  bukunya Islam Ditengah Persekongkolan Musuh Abad 20, menulis ihwal politik kualitas rendah berkaitan dengan doktrin politik Zionis Yahudi, dalam protocol of zion pasal 5;” Semboyan kita haruslah berarti, semua sarana kekuasaan dan kemunafikan mengharuskan supaya tindakan kekerasan itu prinsip, dan kekerasan inilah merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai kebajikan. Maka hendaknya  kita tidak ragu-ragu membeli kehormatan, kecurangan atau tipu daya, kalau hal itu membantu kepentingan kita”.

Karena wawasan, ilmu dan bacaan sangat terbatas, sehingga saya tidak pernah mengetahui, apakah dalam pergumulan politik internal Negara Zionis Yahudi dipraktekkan doktrin politik sebagaimana ditulis Fathi Yakan. Yang pasti, demikianlah perilaku politik Zionis terhadap bangsa Palestina.

Dengan deskripsi ini, kiranya sudah teramat jelas perilaku yang dikategorikan politik kualitas tinggi dan kualitas rendah, siyaasah thayyibah dan siyaasah qabiihah. Menukik ke konteks Aceh, elok juga diketahui  beberapa laporan berikut ini.

“Pemantau UE  temukan  intimidasi  pada  pilakada NAD. Ketua misi pemantau pilkada Uni Eropa (UE) Glyn Ford mengatakan, bahwa telah terjadi sejumlah intimidasi selama pesta demokrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang berlangsung 11 Desember 2006. Selama  penyelenggaraan pilkada terjadi sejumlah intimidasi, baik yang terjadi di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS), maupun di luar TPS, kata Glyn Ford di Banda Aceh (Jurnalnet.com, 13/12/2006).

“Jaringan Pendidikan untuk Pemilihan Rakyat (JPPR) melaporkan adanya intimidasi pada hari-H pemungutan suara di Aceh. Di kabupaten  Aceh Tamiang, kelompok pendukung kandidat tertentu mengancam akan membakar rumah kepala desa jika calonnya tidak meraih 50 persen suara. Di Aceh Selatan, tim sukses dari salah satu pasangan calon menghalang-halangi relawan pemantau dan saksi” (Kompas, 12 Desember 2006).

Asian Network for Free Election (ANFREL), sebuah LSM internasional pemantau pemilu mengumumkan temuannya dalam pemilu 2009 di Aceh; “Banyak kasus intimidasi ditemukan di Aceh. Banyak orang berjaga dan menunggu di TPS-TPS untuk mengintimidasi pemilih sebelum mencontreng. Bahkan setelah mencontreng juga masih dilihat apakah pilihan mereka sesuai yang dianjurkan. Seharusnya pemilu tersebut layak diulang” (Serambi Indonesia, 12/04/2009).

Posko Masyarakat Sipil juga mengkhalayakkan; “Praktek intimidasi sangat sulit diungkap, pasalnya para korban tidak ingin keterangan dan identitasnya dibuka kepada publik, padahal kasus intimidasi dan kekerasan pasca hari pemungutan suara secara umum masih terjadi diseluruh wilayah. Sebelum hari pemungutan suara, intimidasi/kekerasan  terjadi di desa-desa atau pemukiman penduduk, pasca hari pemungutan suara, kasus dimaksud ke lokasi PPK, baik dalam bentuk SMS, ataupun melalui telepon gelap kepada petugas PPK, juga adanya penggelembungan suara” (Serambi Indonesia, 13/04/2009).

Menurut saya, adalah dasar a-moral, primitif, tidak ada harga diri dan rasa malu, anti demokrasi dan HAM jika perilaku politik kualitas rendah seperti ini dicari pembenaran dengan alasan masa transisi, kasuistis, tidak ada perintah, bukan kebijakan, diluar kontrol dan sebagainya.

Bagaimana persoalan dan wujud perilaku politisi profesional ? Berikut ini deskripsinya.

Profesional, bersifat profesi, memiliki keahlian dan ketrampilan karena pendidikan dan latihan dalam bidang itu sesorang beroleh bayaran karena pekerjaan itu (Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1994). Dari terminology ini, agaknya boleh  dideskripsikan, bahwa politisi profesional, ialah orang-orang yang berkecimpung dalam bidang politik, memiliki pendidikan, keahlian, ketrampilan dan dedikasi, karenanya ia mendapat bayaran dari profesinya itu.  Tetapi menurut saya, sesungguhnya kriteria pilitisi profesional, selain sebagaimana deskripsi tersebut, pertama, tidak menganut paham pragmatisme, yang mengusung semboyan, mari membangun dari pada banyak bicara. Dengan kata lain, pragmatisme tidak suka mempertanyakan secara kritis, baik tujuan maupun cara-cara mencapainya (Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila). Kedua, kiprahnya dalam rangka jihad di jalan Allah, amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan yang haq,  menentang yang batil, menebar rahmat (kasih sayang) bagi alam semesta, lat batat kayee batee. Ketiga, berdasarkan fakta dan realita teritori, ketika dalam pergumulan untuk  mencapai tujuan, berpedoman pada aturan (undang-undang)  nasional dan syari’at Islam, dengan pemahaman, kedua aturan ini tidak dipertentangkan satu sama lain. Dan memang menurut saya, teks-teks aturan itu, termasuk berkaitan dengan kehidupan berpolitik, diantara keduanya tidak ada yang kontradiktif. Sebagai contoh, high politics dan low politics yang diuraikan di atas, baik aturan Negara RI maupun syari’at Islam memiliki persepsi dan sikap yang sama, yakni sama-sama mendukung dan memuji high politics, serta menentang dan mencela low politics.

Yang pertama, positif konstruktif (membangun), terhormat dan bermartabat. Yang kedua, negative destruktif (merusak), tercela, hina, dina. Distruktif, dalam bahasa al-Quran disebut fasad, dan Allah SWT sangat keras  melarangnya; “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan (fasad) di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qashash, 28: 77).

Dr Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam tafsirnya itu merinci beberapa perilaku yang dikategorikan perbuatan fasad. Di antaranya ialah, al-baghyu ‘alaa ‘ibaadillaahi bighairi haq, bertindak sewenang-wenang dan melanggar hukum terhadap  hamba Allah (apapun suka dan agamanya) dalam berbagai sisi kehidupan, poitik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya dengan perkataan dan/atau tindakan, seperti intimidasi, terror dan sebagainya, juga safkud dimaa’, yakni sesukanya menumpah darah manusia . Keempat, setelah melalui koridor politik kualitas tinggi,  mendapat posisi/jabatan di eksekutif dan/atau legislative, memenejnya dengan benar, amanah, bertanggungjawab, cerdas, bijaksana, aspiratif, transparan dan komunikatif. Last but not least, kelima, meyakini Allah ‘Azza wa Jalla, pertama, selalu menjaga dan megawasi (An-Nisa’, 4: 1, Al-Ahzab, 33: 52). Kedua, berada di mana-mana, mengetahui yang tersembunyi dan transparan, serta mengatahui segala usaha/aktifitas manusia (Al-An’am, 6: 3). Ketiga, meyakini adanya makhluk Allah yang mulia (malaikat-malaikat) bertugas mengawasi, mencatat, dan mengetahui apapun yang dikerjakan, dan pada saatnya kelak ada yang termasuk abraar, yakni orang-orang yang berbakti dan menjadi penghuni surga yang penuh nikmat. Ada juga  fujjaar, yakni orang-orang durhaka, pembangkang  syari’at Allah, dan menjadi penghuni neraka jahim (Al-Infithar, 83: 10-14).

Sejatinya politik itu tidak kotor, dan para politisi, apakah di legislatif maupun eksekutif bukanlah orang-orang yang berlumuran noda kotor, selama aktifitas dan  pergumulan politik  dilakoni dalam koridor yang benar, high politics, siyaasah thayyibah.  Adapun kata-kata kuncinya adalah, memiliki dan kosisten (istiqamah) dengan lima kriteria tersebut, serta dalam segala  ruang dan waktu  menjauhkan diri dari, pertama, an-nafsul ammaarah, yakni nafsu yang selalu menyuruh dan cenderung kepada kejahatan, syahawat keji dan munkar (Yusuf, 12: 53). Kedua, an-nafsul lawwaamah, yakni nafsu (jiwa) yang amat menyesali dirinya sendiri setelah berbuat kejahatan, namun kejahatan itu kembali dilakukan (Al-Qiyamah, 75: 2).

Menurut ulontuan, seperti inilah sosok, karakter dan perilaku politisi profesional, bermartabat, terhormat dan pantas dihormati.

 

2. Clean Government

Sudah merupakan persepsi umum, pemerintah yang bersih adalah apabila dalam pengelolaan pemerintahan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tetapi menurut saya, tidak sebatas ini, yakni selain bersih dari KKN, juga dalam proses sampai mendapatkan posisi jabatan politik di pusat kekuasaan (center of power), eksekutif dan legislative harus dengan cara-cara yang benar, bersih dan beradab, high politics,  siyaasah thayyibah, bukan  low politics, siyaasah qabiihah.

Seseorang yang mendapatkan posisi politik tersebut karena peran dan jasa preman atau cukong rakus (politik uang), maka dapat diduga akan terjadi politik balas jasa, dan lazimnya harus dipenuhi. Tidak hanya sebatas ini, kinerjanyapun akan dikontrol dan diarahkan. Kata-kata kuncinya adalah, kekuasaan yang didapatkan  karena dukungan, peran dan jasa preman atau cukong rakus, adalah  kekuasaan kotor, dan munasabat (susuai) dengan ungkapan orang awam, bahwa sapu kotor tidak akan dapat membersihkan lantai kotor, bahkan semakin kotor. Dalam terminologi dan konsep  Islam sebagaimana hadis Rasulullah Muhammad SAW, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla Maha Baik, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikelola dengan cara) yang baik, Maha Bersih, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikelola dengan cara) yang bersih, Maha Mulia, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikolola dengan cara) yang mulia.

Berbanding lurus dengan ungkapan ini, bahwa pemerintahan, eksekutif dan legislatif yang dipimpin politisi dimana dalam proses mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara kotor dan tidak beradab (politik kualitas rendah), maka tidak banyak dapat diharapkan menjalankan pemerintahan yang bersih (clean government). Juga dalam konteks Aceh yang merupakan salah satu tingkatan dalam system pemerintahan Negara bangsa Indonesia, seperti halnya obsesi rakyat lain di tanah air untuk daerahnya, niscaya terwujud clean government, rakyat Acehpun sangat mendambakannya, dan sampai saat ini dambaan itu belum terwujud.

Memang pihak petinggi pemerintahan, para aparatnya, serta tim ini dan tim itu, berplat merah dan/atau partikelir, melalui pernyataan, tabloid khusus, atau pariwara di media massa, kerap mengkhalayakkan rupa-rupa keberhasilan yang telah dicapainya, juga telah mewujudkan clean government. Hal ini saya hormati, sah dan manusiawi belaka. Namun banyak juga pendapat pihak lain, baik sendiri-nsendiri maupun berjamaah, institusi, berdasarkan fakta empirik, bahwa kinerja petinggi pemerintahan Aceh masih dibawah standard, masih amatiran, dan belum dapat dikatakan berhasil, belum mampu mewujudkan clean government. Hal ini menurut saya disebabkan beberapa faktor:

Pertama, lemahnya posisi rakyat, terutama rakyat di gampong-gampong. Berani bersuara dan bersikap kritis atas kekuasaan, serta merta menghadapi sikap dan bahasa kekuasan dari sementara preman gampong yang klo prip, disertai cap traumatis, pengkhianat, anti dan merusak perdamaian dan sebagainya, yang berujung kepada hilangnya hak-hak sipil sebagai warga Negara/warga masyarakat. Agakya di kota juga tidak sepi, bahkan boleh jadi ada  preman impor dari luar negeri. Yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan para pemilik keunggulan tertentu yang memperlihatkan sikap apatis dan menurunkan  tensi saraf peka akan kondisi di sekitarnya.

Kedua, anggota parlemen yang profesionalitasnya dipertanyakan.

Bagi anggota parlemen profesional, atau pernah menjadi anggota parlemen yang bekerja secara profesional, ikut aturan main, serta berfungsi sebagaimana fungsi parlemen, apalagi pakar hukum tata Negara dan ilmu politik, juga boleh jadi rakyat biasa yang melek politik gregetan melihat kinerja anggota parlemen Aceh.

Betapa  tidak,  halaman  media  massa  beberapa  tahun  terakhir  (saya  sudah hampir tiga tahun menetap di Aceh) kerap memuat berita tentang proyek fisik dan non fisik yang dananya melimpah  dari rupa-rupa sumber, dikerjakan/diurus asal-asalan/asal jadi, bahkan ada proyek diterlantarkan kontraktor setelah uang diambil.

Kendati diperhalus, bahwa itu adalah kerja orang tidak amanah, tetapi sejatinya ia adalah kerja para penipu, karena pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai  dengan perjanjian ketika mendapatkan proyek/pekerjaan itu. Tipu menipu, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah (konspiratif) adalah tindakan kriminal. Namun sampai saat ini terhadap jaringan kaum kriminal itu hanya  sebatas pernyataan di media massa, belum ada tindakan nyata.

Tanpa mengurangi apresiasi dan hormat saya kepada anggota parlemen yang bekerja profesional, tetapi secara umum dan kasat mata,  seperti inilah kualitas kinerja anggota parlemen selama ini. Dengan demikian patut dipertanyakan profesionalitas mereka berkaitan denga tugas-tugas/fungsi yang melekat pada lembaga dan anggota parlemen itu, yakni, penyusunan/penetapan anggaran (budgetter), penyusunan qanun/perda (legislasi) dan pengawasan (control). Lebih dari itu juga patut dipertanyakan keseriusan dan konsistensi  melaksanakan amanah rakyat, sesuai  maqam, status mereka, terlepas apakah status itu didapatkan dengan high politics atau low politics. Tetapi legal formal mereka  adalah wakil rakyat.

Semestinya, parlemen/anggota parlemen yang pada dirinya melekat fungsi kontrol misalnya, khusus berkaitan dengan kasus kriminal tersebut,  selain mengontrol melalui media massa, juga lebih nyata dengan menggelar rapat-rapat, apakah ia rapat kerja (raker), rapat dengar pendapat (RDP), maupun rapat dengar pendapat umum (RDPU). Melalui rapat-rapat inilah, berdasarkan data awal hasil temuan yang diduga ada unsur kriminal, mempertanyakan, meminta pertanggungjawaban, penjelasan dan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses tender dan penetapan sebagai pelaksana suatu proyek. Juga pihak-pihak yang melekat dengan pelaksanaan sebuah proyek, seperti kontraktor, konsultan, pengawas dan lain-lain, yang menyebabkan kerugian bagi rakyat, karena tidak mendapatkan manfaat dari proyek itu. Demikian pula semestinya secara berkala dan teratur menggelar rapat-rapat, selain  dengan mitra kerja, seperti dalam proses pembahasan anggaran belanja dan pendapatan daerah, penyusunan qanun/perda, juga rapat dengan mitra lainnya, maupun representasi masyarakat sesuai dengan jenis rapat  dan isu yang dibicarakan dalam rapat itu, semua rapat itu  terbuka untuk umum. Media massa dengan bebas meliput  dan menyiarkan kepada khalayak. Menurut saya, seperti inilah kinerja anggota parlemen yang profesional.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum (low enforcement).

Adalah lumrah, wajar, manusiawi dan  hak petinggi pemerintah Aceh bersama instrumennya, dengan rupa-rupa modus operandi mengkhalayakkan keberhasilan, penampilan citra dan pesonanya kepada masyarkat. Namun sebagaimana telah disebut sebelumnya, banyak juga pihak lain dari kalangan  masyarakat, sendiri-sendiri dan/atau institusi, berdasarkan fakta menyatakan hal yang berbeda dengannya. Berikut  ini saya kemukakan rupa-rupa pernyataan dari berbagai pihak, termasuk para petinggi pemerintahan Aceh dan kaki tangannya yang menjadi berita media massa di Aceh.

“Tiga tahun pemerintahan Aceh, pemberantasan korupsi masih sekedar jargon. Temuan Tim Monitoring dan Eveluasi (MONEV) di pedalaman Aceh, ratusan miliar dana pengawasan menguap. Di antaranya banyak proyek fisik 2009 yang dananya berasal  dari berbagai sumber dikerjakan di bawah spesifikasi teknis (Spek), atau jauh di bawah kualitas standar kontraknya. Gubernur: Bongkar proyek tak sesuai spek. Temuan Koalisi Lembaga Anti Korupsi: Korupsi anggaran publik di Aceh capai Rp 316 M. Sekum Gapensi: PPTK juga berperan terlantarkan proyek. Banyaknya proyek Otonomi Khusus (Otsus) infrastruktur 2008 yang belum selesai dikerjakan hingga memasuki tahun 2010, telah munculkan keprihatinan di kalangan masyarakat. Sekum Gapensi Aceh menilai, kondisi ini tidak hanya disebabkan kesalahan kontraktor dan konsultan perencana dan pengawas, tapi juga karena tidak tegasnya sejumlah pihak terkait lainnya. Kesalahan juga ada pada  panitia tender, Pejabat Pelaksana Tektik Kegiatan (PPTK) dan Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh . Proyek sekolah Otsus diduga diperjualbelikan, ratusan paket pekerjaan terlantar. “Ada permainan terselubung dalam pengadaan  barang dan jasa di Aceh”. . Rekanan berusaha sogok tim pansus, minta data realisasi proyek digelembungkan. . Tunggakan proyek 2008, banyak realisasi fisik yang digelembungkan. Wagub: Proses saja secara hukum. Kejahatan proyek sudah terjadi, tunggu apa lagi ? LSM anti korupsi protes usul dana aspirasi dewan. Pagu RAPBA membengkak, pembahasan terancam molor. Dana aspirasi matikan aspirasi rakyat.

Atas nama lex specialis, beberapa  tahun terakhir Aceh bergelimang dengan uang/dana dari berbagai sumber yang sejatinya untuk kesejahteraan seluruh rakyat, dan  berita-berita yang dilansir mendia massa ini semuannya  seputar proyek/uang. Wallahu’alam, saya tidak tahu, apakah di daerah-daerah lain di tanah air juga ada berita yang serupa dengannya. Atau memang demikianlah salah satu wujud lain dari “lex specialis”  Aceh.

Bagaimanapun interpretasi terhadap berita-berita tersebut, yang jelas berkaitan dengan masalah uang di Aceh, sangat diharapkan perhatian dan sikap instrumen penegakan hukum dan lembaga pemberantasan korupsi tingkat pusat, KPK dan BPK. Karena faktanya, sampai saat ini instrumen dan lembaga dengan tugas yang sama di Aceh belum menunjukkan kinerja yang signifikan. Dengan ungkapan yang lebih tegas, bahwa penegakan hukum di Aceh masih lemah.

Keempat, karena gaji kecil. Hal ini masih bisa diperdebatkan. Memang ada hadis  yang menyatakan, “kefakiran mendekatkan  seseorang kepada kekafiran”, yakni melanggar ketentuan hukum dan syari’at Islam,  karena  adakalanya karena kebutuhan yang amat mendesak seseorang menjadi gelap mata terhadap sesuatu yang bukan miliknya. Tetapi, bukanlah berarti hadis ini dijadikan landasan pembenaran perilaku pelanggaran dan kriminalitas seseorang. Sangat banyak hamba Allah secara ekonomi tergolong miskin, mustadh’afin. tetapi tetap qanaah, menerima dan menikmati apa adanya dari usaha  kerasnya dengan cara-cara terhormat, legal, baik dan halal. Sebaliknya, tidak sedikit hamba Allah, yang secara secara ekonomi sudah sangat memadai, malah makmur dan melimpah ruah, tetapi berlaku kriminal dan menjadi penghuni penjara.  Adalah fakta, apabila dikaitkan dengan kasus KKN yang terjadi selama ini, ditingkat nasional dan daerah, para pelakunya bukanlah orang secara sosial dan struktural dari golongan kecil. Kasus membawa lari uang rakyat Aceh Utara Rp 220 M ke Jakarta  dalam upaya memburu fee dan bunga berlipat, yang melibatkan orang-orang hebat (petinggi) Aceh Utara, merupakan contoh aktual, betapa kendati  status sosial sudah tinggi dan harta melimpah, namun masih tetap saja menunjukkan watak serta perilaku tamak dan rakus.

Kelima, membangkang pada ajaran/syari’at agama, atau beragama sekedar ritualitas. Sejatinya tidak boleh demikian. Dalam konteks Islam, adalah konsekuensi menjadi mukmin/muslim, agar dalam segala ruang dan waktu, apapun aktifitas dan profesi harus sesuai dan terikat dengan ajaran/syari’at Islam , dan Islam adalah sistem peradaban yang komplit (lengkap) mencakup berbagai aspek hidup dan kehidupan (Al-Ahzaab, 33:36, An-Nisaa’, 5:43, An-Nahl, 16:89). Juga meyakini dan pasti, dalam segala ruang waktu Allah ‘Azza wa Jalla mengawasi dan mencatat segala aktifitas setiap hamba-Nya, dengan konsekuensi digolongkan diantara orang-rang yang konsisten dengan syari’at-Nya (al-braar), terhormat, mulia di dunia dan di akhirat, atau pembangkang  (al-fujjaar), hina, dina dan nista di dunia dan di akhirat (Al-Infithaar, 82:10-16).

Dengan keyakinan dan pemahaman Islam  seperti ini, niscaya dalam segala ruang dan waktu serta apapun profesi dan aktifitasnya, setiap muslim tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar syari’at Allah ‘Azza wa Jalla.

Kelima sebab ini (terutama sekali sebab kelima) berbanding lurus dengan belum terwujudnya clean government. Last but not lease, yang menjadi kata-kata kunci adalah teritori Aceh sebagai bagian dari Negara RI dan salah satu  lex specialis nya adalah secara legal formal berlaku syari’at Islam. Karenanya, sebagai rakyat Indonesia yang tinggal dan hidup di Aceh, terikat dan tunduk pada hukum nasional dan syari’at Islam, sebagaima telah diuraikan  sebelumnya dalam  makalah ini.

In uriidu illal ishlaaha mastatha’tu, wamaa tawfiiqii illaa bil-Laah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib (Ulontuan (saya) tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan sesuai kemampuan. Dan tidak ada taufik bagi ulontuan, melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah ulontuan bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah ulontuan kembali. Huud, 11:88).

 

Banda Aceh, 20 Pebruari 2010

*Disampaikan dalam Seminar Nasional “Optimalisasi Peran Mahasiswa Dalam Mengawal Pemerintah Menuju Indonesia Bersih dan Bermartabat”, di  Unversitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, 20 Pebruari 2010.

** Anggota Parlemen RI 1992-2004, Dosen Universitas Islam Jakarta (UID) 1986-2006

Kaitannya dengan akhir tahun yang hampir bersamaan ini, ada satu hal menarik dan strategis untuk dihitung di Provinsi Aceh, yakni sejauhmana prospek dan tanggung jawab percepatan pelaksanaan syariat Islam sudah terlaksana, mengingat proyek ini sudah berjalan hampir sepuluh tahun.

Dalam hitungan sementara, mensikapi perkembangan pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam saat ini yang telah berjalan satu dasawarsa sejak lahirnya UU No. 44, Tahun 1999, memperlihatkan-dalam tataran konsep–pemahaman masyarakat masih sangat rendah terhadap isi dan substansi yang terkandung didalamnya, di samping adanya kesulitan-kesulitan–dalam tataran aplikatif–untuk proses penerapannya.

Berangkat dari realitas dan atau asumsi di atas, Dewan Da’wah Aceh yang berperan dalam pengembangan dakwah dan menata kehidupan masyarakat islami bermaksud memberikan sumbangan pemikiran untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam rangka pembangunan Aceh yang lebih bermartabat dalam konteks percepatan penegakan syariat Islam melalui seminar tentang Prospek dan Tanggung Jawab Percepatan Penegakan Syariat Islam di Aceh  dalam rangka mengevaluasi apa yang sudah, belum dan akan dikerjakan berkaitan dengan implementasi Syariat Islam di Aceh pada hari Sabtu, tanggal 19 Desember 2009 di Aula Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Seminar ini sekaligus dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1431 H.

Seminar yang dibahani oleh Dr. Muhammad Nur Rasyid,SH.,MH., Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA. dan  Dr. Syukri M. Yusuf, MA. mengambil topik masing-masing; Legal Formal dan Prospek Pelaksanaan Syari`at Islam yang Tertuang dalam Undang-Undang  (UU No. 44/1999 dan UU No 11, Tahun 2006), Implementasi Syariat Islam Menggapai Masyarakat Yang bermartabat; Apa yang sudah, belum dan akan dilaksanakan? Dan Percepatan Penegakan Syariat Islam di Aceh, Tanggung Jawab Siapa?

Mengambil Tema “Hijrah Dari Kejahiliyahan Menuju Syari`At Islam Yang Bermartabat”, kegiatan ini bertujuan untuk menjaring aspirasi para peserta yang terhimpun dalam berbagai elemen masyarakat tentang   persoalan-persoalan umat yang terus berkembang, terutama yang terkait dengan prospek percepatan pelaksanaan Syari`at Islam dalam berbagai aspek. Kecuali itu diharapkan juga adanya muhasabah (menghitung) sejauhmana prospek dan tanggung jawab percepatan penegakan Syariat Islam yang sudah, sedang dan akan dikerjakan, baik oleh pemerintah, masyarakat, organisasi massa dan individu yang beragam latar belakang di Aceh. Tak dipungkiri kegaitan ini sekaligus berusaha mengantisipasi realitas dalam perayaan tahun baru, dimana tahun baru  Islam sering dilupakan ketimbang perayaan tahun baru masehi dan natal yang sering  diperingati secara besar-besaran, bahkan terkesan berhura-hura, sehingga keluar dari konteks pelaksanaan syari’at Islam. Apalagi waktunya agak berdekatan antara kedua tahun baru pada tahun ini. Hasil dari seminar ini diharapkan menjadi kontribusi bagi Pemerintahan Aceh dalam memajukan negeri ini menjadi negeri yang “Baldatun Thayyibatun wa Rabb al-Ghafur” di bawah payung syari`at.

Yang jelas ia menjadi momok dan ‘aib besar bagi muslim dan muslimah yang beriman kepada Allah SWT. 

      

 Para fuqaha telah memberikan definisi zina dalam pengertian yang tidak terlalu jauh berbeda antara satu dengan fuqaha lainya. Secara majmu’ mereka berpendapat bahwa zina adalah; memasukkan zakar (kelamin) lelaki kedalam faraj (vagina) perempuan sampai dengan teguh, diibaratkan seperti timba masuk kedalam sumur. Definisi ini sudah lumayan sempurna dan dapat dipahami secara umum oleh setiap orang, namun demikian kalaupun tidak sampai teguh atau tidak seperti timba masuk kedalam sumur karena sesuatu hal juga sudah termasuk dalam kategori zina.

            Allah sangat melarang perbuatan zina ini, malah melarangnya untuk tidak mendekati zina. Firman-Nya dalam surah Al-Israk (17) ayat 32 yang artinya  

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

 

Kelezatan sementara

            Banyak orang yang tergiur dengan perbuatan zina karena didorong keras oleh hawa nafsu yang tidak mampu dikendalikan. Dan banyak pula yang menyesal secara luarbiasa setelah melakukan zina. Tetapi tidak berguna lagi karena sudah terlanjur berbuat zina. Yang paling kita sayangkan adalah seorang pezina yang baru sekali berzina akan dipacu oleh syaithan untuk berzina kedua kali, kemudian ketiga kali dan seterusnya berkali-kali.

            Beberapa orang yang terlanjur berzina pernah menuturkan dan mengkisahkan pengalaman zinanya kepada penulis seperti itu. Karenanya penulis mengibaratkan berzina itu tak obahnya seperti orang minum air es yang semakin diminum semakin haus dan ia akan berakhir dengan pening kepala atau serak suara. Demikian juga dengan seorang pezina yang berakhir dengan kecewa dan dosa serta jiwa raga rusak binasa. Karenanya jauhilah perbuatan zina karena ia merupakan suatu perbuatan keji dan sebuah jalan yang buruk yang patut dilakukan orang-orang buruk dan keji.

            Bagi yang belum menikah, rasanya berzina itu sesuatu yang lezat dan sedap, tetapi setelah berzina menyesal luarbiasa. Kelezatan sementara yang ditimbulkan perbuatan zina sangat tidak sebanding dengan dosa dan akibat yang ditanggung di Mahkamah Allah Ta’ala. Oleh karena itu yang sudah membutuhkan persetubuhan maka kawinlah segera sesuai dengan syari’at Islam. Yang sudah punya seorang isteri lalu masih suka kepada isteri lainnya silakan tambah dua sampai menjadi empat orang isteri dengan syarat mau berlaku adil untuk semua mereka.

            Islam telah lama memberikan solusi kepada kita, lalu kenapa pula manusia itu meninggalkan ketentuan Islam dan mengambil ketentuan syaithan? Berarti mereka patut disamakan dengan syaithan karena telah mengambil perangai syaithan. Ketahuilah olehmu wahai anak Adam zina itu terkesan lezat dan mengasyikkan tetapi janganlah lupa bahwa itu perbuatan terkutuk dan terlarang yang amat mengecewakan. Untuk itu katakan tidak kepada zina, ingat azab Allah ketika dekat dengan zina, ingat anak-isteri dan anak-suami ketika sudah dekat dengan zina. Ingat kalau anak kita dizinahi orang ketika kita mau berzina, ingat bagaimana kalau isteri atau suami kita dizinahi orang.  Rasanya tidak ada perbedaan bersetubuh dengan isteri atau suami sendiri dengan berzina karena itu bukan buah mangga atau buah salak yang berlainan pohon maka berlainan pula rasanya.

 

Kesengsaraan Berkepanjangan

            Diakui atau tidak, kerusakan dan kesengsaraan bagi seorang pezina akan tinggal berkekalan sepanjang zaman. Seorang pezina akan hilang maruah dalam kehidupan, hina dalam pandangan orang, berdausa dengan tuhan dan diazad dalam neraka jahannam. Keturunan mereka akan disisihkan dan diboikot secara hukum alam, keberkatan hidup tidak akan pernah datang. Mereka senantiasa dikejar oleh bayang-bayang hitam yang mengerikan dan menyeramkan, kalau tidak di waktu muda, di waktu tua pasti akan datang.

            Dalam hukum Islam, seorang pezina muhsan (sudah kawin) harus dirajam sampai mati dilapangan atau di simpang jalan. Dizaman Rasulullah SAW ada kasus-kasus zina muhsan seperti kasus Maiz dan wanita Ghamidiyah. Sementara pezina ghair muhsan (seseorang yang belum kawin) maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali. Demikian praktik yang pernah berlaku baik di zaman Rasulullah SAW maupun para sahabat. Untuk lebih puas tentang hukuman tersebut silakan baca Al-Qur’an al-Karim surah An-Nur ayat 2 sebagai berikut; Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

            Ini berarti di dunia ia akan sengsara dengan hukuman rajam atau cambuk, dalam masyarakat ia tidak terhormat dan hina dina, di akhirat kelak akan mendapat azab yang sangat luar biasa. Memang tidak seorangpun dapat memberikan contoh konkrit tentang azab neraka sebagai mana memberikan contoh konkrit untuk sebuah perbuatan di dunia seperti zina. Namun itu janji Allah yang pasti adanya dan tiada seorangpun yang mampu lari daripadanya, walau seorang jenderal, seorang presiden selama hidup di dunia. Kalau tidak percaya silakan tanya kepada mereka yang sudah melakukannya di hari kemudian nanti.

            Tapi semua itu akan tidak berguna lagi ketika Allah sudah menetapkan hukumannya. Sekaranglah waktunya untuk menjaga diri, keturunan dan keluarga. Dalam qa’idah syari’ah ada poin Hifzun-Nasl yang berkaitan dengan hak menjaga kemurnian keturunan. Seorang muslim perlu dan berhak menjaga kemurnian keturunan sehingga ia bersih dalam kehidupan. Ia juga punya hak untuk berketurunan dan mengembangkan keturunan secara sah dan bersih. Hal ini berbeda dengan kehidupan orang-orang kafir terutama di belahan barat dunia yang mengamalkan model kehidupan animal sehingga dapat bersetubuh dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja dengan satu azas yaitu; senang sama seang. Islam tidak membolehkan demikian karena itu dapat mengotori kehidupan, mengotori reputasi orang tua dan keturunan serta mengotori lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit yang sangat amat membahayakan. Untuk itu semua jauhilah akan perbuatan zina karena ia menjanjikan yang enak dengan menghasilkan yang sakit, menjanjikan kesedapan dengan memperoleh penyesalan yang pahit, baik setelah maupun ketika dilakukan. Katakan tidak kepada zina. Hän-ééék…lôn…meuzinaaaa…

 

Nabi telah meninggalkan sekelompok orang yang tidak mementingkan diri, yang telah mengabdikan dirinya kepada satu tujuan, yakni berbakti kepada agama yang baru itu. Salah seorang di antaranya adalah Umar al-Faruq, seorang tokoh besar, di masa perang maupun di waktu damai. Tidak banyak tokoh dalam sejarah manusia yang telah menunjukkan kepintaran dan kebaikan hati yang melebihi Umar, baik sebagai pemimpin tentara di medan perang, maupun dalam mengemban tugas-tugas terhadap rakyat serta dalam hak ketaatan kepada keadilan. Kehebatannya terlihat juga dalam mengkonsolidasikan negeri-negeri yang telah di taklukkan.

Islam sempat dituduh menyebarluaskan dirinya melalui ujung pedang. Tapi riset sejarah modern yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa perang yang dilakukan orang Muslim selama kekhalifahan Khulafaur Rasyidin adalah untuk mempertahankan diri. Ditambah lagi Umar adalah ahli strategi militer yang besar. Ia mengeluarkan perintah operasi militer secara mendetail hingga membuat peperangan dapat dimenangi.

Wilayah Kekusaan Super Power

Ketika Islam datang ditanah Arab telah muncul dua negara Super Power yaitu Romawi memimpin disebelah barat dan Persia memimpin disebelah timur. Wilayah kekuasaan Romawi saat itu melampaui Eropa, Mesir, Yordania, Palestina dan lain-lain. Sedangkan wilayah kekuasaan Persia meliputi Irak, Iran, khurasan dan daerah-daerah sekitarnya. Belum ada kekuatan lain yang mampu menyainginya Kedua Negara adidaya saat itu. Kalaupun ada mereka dengan mudah dapat mematahkannya.

Perang Melawan Kekuatan Super Power

Pada tahun 12 H, pernah terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan Islam dan Romawi di dataran Yarmuk, saat itu dibawah kekuasaan bangsa Romawi yang dipimpin oleh Herkules ((?????? ?? ??????? – ??? ?????? 1/390). Pihak Romawi mengerahkan 300.000 tentaranya, 80000 pasukan terlatih, 40000 pasukan berani mati, 40000 pasukan dengan syarat khusus agar tidak lari, 80000 pasukan infantri (?????? ?? ??????? – ??? ?????? 1/392).  sedangkan tentara Muslimin hanya 46.000 orang.

Disebabkan perbedaan yang sangat mencolok dalam peperangan tersebut, kaum muslimin membuat persiapan rapi. Walaupun tidak terlatih dan berperlengkapan buruk, pasukan Muslimin yang bertempur dengan gagah berani akhirnya berhasil mengalahkan tentara Romawi. Sekitar 100.000 orang serdadu Romawi tewas sedangkan di pihak Muslimin tidak lebih dari 3000 orang yang tewas dalam pertempuran itu. Ketika Caesar diberitakan dengan kekalahan di pihaknya, dengan sedih ia berteriak: "Selamat tinggal Syria," dan dia mundur ke Konstantinopel.

Pada tahun 12 H, setelah berhasil dengan peprangan Yamamah, Khalid bin Walid kembali di kirim ke Irak yang saat itu berada dibawah Persia sebagai panglima perang untuk mengamankan Umat Islam yang setia dan membersihkan kekuatan musuh yang mengancam umat Islam. Di Irak sempat terjadi beberapa titik peperangan diantaranya peperangan Assani, Alwaj'ah dan juga beberapa titik peperangan di Furat. (?????? ?? ??????? – ??? ?????? 1/382). Semua peperangan dimenangi oleh kaum muslimin di bawah komando Khalid bin Walid.

Motif Peperangan

Seiring dengan bertambahnya penganut agama Islam dari berbagai negara maka bertambah pula tekanan, siksaan dan pelecehan atas nama akidah maka Khalifah sangat merespon hal tersebut hingga dikirimkan pasukan tentara untuk mengamankan kaum muslimin. Namun pihak negara tersebut tidak menginginkan campur tangan negara luar hingga mereka bebas sesuka hati memperlakukan kaum muslimin di Negara tersebut, hal ini tentu menimbulkan gegesakan bahkan peperangan walau sebelumnya Khalifah kaum muslimin telah mengirimkan utusan perdamain bahkan Khalifah menginginkan kawasan yang telah menjadi muslim dipisahkan dan dipimpin oleh oleh orang muslim sendiri. Keadaan seperti itu menjadikan peperangan sesuatu hal yang sulit dihindari hingga akhirnya kaum muslimin memenangi peperangan demi peperangan.

Hampir semua peperangan yang dilalui oleh orang Islam masa Khalifaur Rasyidin lebih disebabkan faktor untuk mengamankan kaum muslimin yang telah masuk Islam dari tekanan, penindasan dan cacian terhadap agama dan rasulullah (??????? – ??? ?????? 1/447). Maka secara tidak langsung terbukalah pintu-pintu negara lain untuk dimasuki tentara muslimin, hingga akhirnya negeri tersebut tertaklukkan.

Perang melawan kaum yang murtad, bukan hanya berhasil menundukan mereka namun telah terbuka satu kesempatan lain untuk membuka negara-negara baru yang tunduk di bawah khilafah Islamiyah, ini terbukti dengan satu persatu Negara kafir menjadi negara Islam.

Yang membuat peperangan dengan mudah dimenangi kaum muslimin adalah dukungan rakyat kepada pemerintahan setempat sangat lemah, dimana pemerintahnya terkadang berlaku kasar, agak diktator dan pajak negara yang dibebani atas pundak rakyat semakin melambung tinggi. Sementara ketika negara tersebut dikuasai oleh Islam pajak yang dikenakan jauh lebih rendah bahkan lebih rendah dari kadar zakat yang dikutip dari umat Islam sendiri. Pajak yang dipungut dari mereka diambil dari hasil panen namun jika gagal panen pemerintah Islam waktu itu tidak mengambil pajak. Keadaan ini semakin membuat rakyat kritis dan ramai-ramai mendukung pemerintahan Islam bahkan ada sebahagian rakyat yang masih kafir namun mendukung pasukan kaum muslimin ketika perang berkecamuk.

Suatu penelitian pernah dilakukan untuk menunjukkan faktor-faktor yang menentukan kemenangan besar operasai militer Muslimin yang diraih dalam waktu yang begitu singkat., selama pemerintahan khalifah yang kedua, orang Islam memerintah daerah yang sangat luas. Termasuk di dalamnya Syria, Mesir, Irak, Parsi, Khuzistan, Armenia, Azerbaijan, Kirman, Khurasan, Mekran, dan sebagian Baluchistan. Pernah sekelompok orang Arab yang bersenjata tidak lengkap dan tidak terlatih berhasil menggulingkan dua kerajaan yang paling kuat di dunia. Apa yang memotivasikan mereka? Ternyata, ajaran Nabi SAW. telah menanamkan semangat baru kepada pengikut agama baru itu. Mereka merasa berjuang hanya demi Allah semata. Kebijaksanaan khalifah Islam kedua dalam memilih para jenderalnya dan syarat-syarat yang lunak yang ditawarkan kepada bangsa-bangsa yang ditaklukan telah membantu terciptanya serangkaian kemenangan bagi kaum Muslimin yang dicapai dalam waktu sangat singkat.

 

Sebaliknya apabila eksistensi muslim Aceh hari ini lebih banyak memihak kepada ingkar terhadap Allah SWT, maka itu bermakna mereka sedang berada pada dataran negatif yang pada suatu ketika akan mendapatkan sesuatu malapetaka dari Allah Azza wa jalla.

            Persoalan positif dan negatif dalam kehidupan ini merupakan keberadaan sejati yang selalu hinggap pada diri manusia. Akan tetapi manusia diperintahkan untuk mengumpulkan nilai positif dengan menolak keberadaan negatif sepanjang hidupnya. Kalau berhasil melaksanakan demikian ia akan berhasil dalam kehidupan dunia dan akhirat. Memang hidup di dunia ini banyak sekali hambatan dan rintangan yang harus dilalui ummat manusia, mereka harus mengarungi semua itu dengan penuh kesabaran dan kesungguhan sehingga keberadaan positif itu memihak kepadanya.

            Persoalan baru yang menggeruguti kehidupan muslim Aceh hari ini adalah lalai dengan perkembangan zaman dan kemutakhiran teknologi. Mereka yang dasar pendidikan Islamnya lemah cenderung membaur dengan kemajuan teknologi tanpa batas sehingga mencabuli eksistensi kemurnian Islam. Dengan cara demikian membuat Islam dan ummatnya kehilangan kehormatan di mata non muslim walaupun ia agama terhormat. Demikian juga dengan muslim yang baik, sempurna dan terhormat menjadi jorok, tidak sempurna dan tidak terhormat diakibatkan oleh prilakunya sendiri.

            Semua itu menjadi problem besar yang sulit diperbaiki dalam waktu singkat, apa lagi kalau muslim Aceh sempat phobi terhadap Islam seperti yang pernah terjadi di Turki, di Mesir, di Indonesia, di Iraq, di Siria dan di mana-mana. Di negara-negara tersebut pernah ummat Islam tidak senang kepada Islam, mereka lebih suka kepada cara hidup barat ketimbang cara hidup Islam. Mereka memang memilih budaya barat dalam kehidupannya dengan meninggalkan budaya Islam, mereka memilih sistem politik barat dengan menyisihkan sistem politik Islam. Mereka juga mengamalkan amalan sistem ekonomi kapital, sosial dan sekuler dengan mengorbankan sistem ekonomi Islam.

            Wujud dari semua perobahan hidup muslim seperti itu membuat mereka kehilangan arah dalam kehidupan ini. Masjid sebagai tempat ibadah paling utama bagi mereka dibiarkan kosong tanpa penghuni. Pasar sebagai salah satu tempat yang sangat tidak disukai oleh Rasulullah SAW menjadi tempat bermain bagi mereka siang dan malam. Masjid sebagai tempat ibadah dijadikan tempat tidur dan tempat buang hadas besar ketika diperlukan sehingga masjid bukan hanya sepi dari ibadatnya muslim melainkan menjadi jorok, berbau, kumuh dan menjijikkan.[1]

            Generasi muda Aceh yang diharapkan menjadi pioner penegakan Syari’at Islam di sini menjadi penghambat berjalannya Hukum Allah di bumi Aceh ini. Mereka tidak pernah sayang kepada Syari’at Islam sehingga selalu dilanggar dan tidak pernah dibela ketika dilanggar oleh orang lain. Fenomena semacam ini tengah menghantui Aceh hari ini sehingga Aceh menjadi lemah dan hilang daya tawar di mata jakarta. Pihak berkuasa Indonesia di Jakarta hari ini tidak lagi menghormati Aceh dan tidak lagi menganggap Aceh lebih penting daripada provinsi lain.[2] Ini semua disebabkan oleh ulah orang Aceh sendiri yang tidak sadar-sadar dari keterpurukan perpecahan yang tidak berujung.

 

REALITAS DAN EKSISTENSI MUSLIM ACEH HARI INI

Ummat Islam Aceh pasca konflik yang berkepanjangan mencapai 30 tahun dan musibah gempa bumi besar 8,9 SR serta tsunami tanggal 26 Desember 2004 banyak yang jatuh miskin. Kemiskinan yang ditimpa masyarakat Aceh hari ini melingkupi miskin akal, miskin pikiran, miskin ilmu pengetahuan, miskin ukhuwwah, miskin akhlak (moral) dan miskin harta benda. Semua itu melilit masyarakat Aceh yang sulit untuk melepaskan diri dari lilitan tersebut kalau tidak berupaya keras untuk keluar dari kemiskinan-kemiskinan tersebut.

Miskin akal yang menimpa masyarakat Aceh hari ini membuat mereka hidup seperti orang gila. Mereka teringan kepada kerja dan uang ketika sudah lapar dan haus, ketika sudah kenyang mereka kembali fokum dan tidak bergerak. Miskin pikiran yang menimpa mereka membuat mereka pasif dan lesu, mereka tidak banyak memikirkan sesuatu kecuali hanya sekedar cukup makan dan cukup minum. Miskin ilmu pengetahuan yang menimpa mereka membuat mereka selalu menjadi kuli dan buruh kasar bagi orang yang berilmu banyak. Kompensasi dari itu mereka berbondong-bondong keluar negeri untuk mencari rezeki dan menetas kehidupan baru. Ketika mereka berada di sana, biasanya jauh dari ibadah dan dekat dengan maksiyat.

Miskin ukhuwwah yang menimpa mereka membuat mereka masing-masing berjalan sendiri-sendiri, tanpa tegur sapa, tanpa saling membantu dan bahkan sering saling menghina dan memfitnah. Akibat dari itu muncul problem baru yaitu miskin akhlak dalam kehidupan sesama muslim Aceh sehingga terjadilah perzinaan, penipuan, pembohongan, saling memburukkan, saling menghujat, saling menyalahkan dan jarang saling berma’afan. Kemiskinan harta benda yang diderita masyarakat Aceh hari ini membuat mereka tidak mampu menyekolahkan anaknya, tidak mampu beribadah secara maksimal dan tidak ada kemampuan berobat ketika sakit.

            Kenyataan lain dari sisi kehidupan muslim Aceh hari ini adalah sangat ramai di antara mereka yang malas dan tidak melaksanakan salat lima waktu sehari semalam. Dengan demikian secara otomatis mereka jauh dari masjid, maka jadilah masjid di Aceh sebagai penghias bumi Aceh bukan tempat bertaqarrub dan beribadah kepada Allah. Masjid sangat banyak di Aceh hari ini, hampir setiap gampong mempunyai masjid dan setiap Kemukiman mempunyai lebih dari satu masjid, namun masjid-masjid tersebut hanya berisi penuh atau separuh masjid ketika salat Jum’at saja, sementara salat lima waktu lainnya tidak pernah berisi maksimal.

            Ini merupakan sebuah fenomena negatif untuk mengukur keta’atan muslim Aceh di era pasca bencana besar (konflik, gempa dan tsunami). Kalau boleh kita transparankan dengan perkiraan analisa hanya tiga puluh persen saja ummat Islam Aceh yang rutin salat. Dari tiga puluh persen itu hanya dua puluh persen saja yang menggunakan masjid untuk salat berjama’ah lima kali sehari semalam. Prosentase ini sangat menyedihkan apabila dikaitkan dengan prosentase muslim Aceh yang hampir mencapai seratus persen. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa mereka malas shalat? Apakah mereka tidak tau cara shalat? Atau iman mereka lemah sehingga tidak terikat dengan ibadah kepada Allah? Atau ada kemungkinan lain seperti jahil (bodoh), terpengaruh oleh lingkungan dan sebagainya.

            Kalau sekedar malas shalat jama’ah tetapi tetap shalat di rumah atau di kantor atau di kedai masing-masing masih lumayan. Tetapi setelah tidak melaksanakan shalat sama sekali banyak berbuat maksiat lagi di bumi Aceh ini. Kita akui atau tidak maksiat dan kemungkaran tetap saja merajalela di Aceh hari ini walaupun mereka sudah pernah dihayun gempa besar dan diterjang tsunami dahsyat. Buktinya, koran-koran lokal tiap hari mengangkat kasus perampokan, penculikan, perzinaan, khalwat, maisir, penipuan, ancaman, manipulasi, korupsi dan sebagainya.[3]

            Maksiat yang berkembang di Aceh hari ini lebih kentara kepermukaan dikarenakan ada muhtasib atau anggota wilayatul hisbah yang menangkap para pelakunya. Sesungguhnya maksiat itu sudah ada dari dulu tetapi tidak begitu nampak karena semua pihak diam dan tidak mau bertidak apa-apa. Padahal sebagaimana sekarang juga, dahulu banyak terjadi zina, banyak orang main judi, banyak peminum arak dan lain sebagainya. Akan tetapi muslim Aceh tidak punya wewenang dan kuasa untuk memberantasnya. Kini dengan berlakunya Syari’at Islam di Aceh dan ada lembaga Wilayatul Hisbah maka satu demi satu perbuatan maksiat terungkap, sebahagiannya diseret ke mahkamah dan sebagian yang lain didiamkan saja.[4]

            Kenyataan lain dari kehidupan muslim Aceh hari ini masih ada sifat suka memfitnah orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Umpamanya memfitnah si pulan yang sedang punya jabatan pada atasannya agar dipecat dan digantikan dengan tukang fitnah tersebut. Prihal semacam ini terus terjadi di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi dan hampir di mana-mana. Tabi’at suka memfitnah yang ada pada diri orang Aceh ini diperkirakan menular dari penjajah Belanda yang menggunakan politik devide et impera selama menjajah negeri Aceh tempo dulu. Ketika Belanda lari dari Aceh orang Aceh pula mengamalkannya terhadap orang Aceh lain.

            Satu lagi perangai orang Aceh yang amat berbahaya adalah ku ëh, ini merupakan satu sifat yang  jahat dari seseorang yang tidak suka orang lain senang dan sangat senang kalau orang lain susah. Sifat ini dimiliki oleh orang-orang tertentu zaman ini di Aceh untuk mempertahankan jabatan atau untuk mendapatkan jabatan. Sifat ini cenderung mirip dengan perangai kucing jantan yang tidak suka lahir dan besar kucing jantan lain karena dikawatirkan menjadi lawan baginya. Maka terlihatlah di kator-kantor ada atasan yang ku ëh kepada bawahannya sehingga si bawahan tidak diizinkan melanjutkan pendidikan, tidak diizinkan ikut pelatihan-pelatihan karena dikhawatirkan sibawahan menjadi pandai dan tidak bisa diatur semena-mena lagi.

            Ada juga atasan yang tidak mau menandatangani usulan pangkat bawahannya karena takut kalau bawahan sudah tinggi pangkat akan menjadi saingan baginya kedepan. Di kampung-ampung ku’eh itu juga terjadi pada petani yang menggunakan perangai tikus yang suka mengorek pematang sawah saudaranya agar air turun kesawahnya di musim kemarau. Dalam bidang ibadah juga terjadi ku’eh dari seorang teungku yang berupaya orang lain melaksanakan ibadah harus sesuai dengan cara ibadah orang tuanya. Walaupun orang lain punya nas dan dalil yang sarih untuk itu, biasanya sang teungku memprofokasi masyarakat agar ikut cara ibadahnya. Dan banyak jenis ku ëh lainnya yang bertaburan di Aceh hari ini sehingga membuat bangsa ini sulit untuk maju.

            Gambaran lain keberadaan muslim Aceh hari ini adalah jahil atau bodoh, dan mereka tidak mau belajar agar menjadi pandai. Ada juga yang dibodoh-bodohi oleh orang-orang tertentu. Masih banyak orang Aceh yang putus sekolah hari ini dan tidak mempunyai pekerjaan yang muslihat. Kebodohan itu boleh jadi karena orang tuanya tidak mampu mendidiknya, boleh jadi pula sistem pendidikan yang tidak representatif untuk memandaikan anak bangsa. Apapun penyebabnya orang Aceh masih banyak yang bodoh hari ini, sebagai cermin; belum ada orang Aceh yang mampu membuat kenderaan, membuat komputer, malah lahan yang banyak tersedia di Aceh tidak mampu dimanfa’atkan semaksimal mungkin seperti banyak ladang yang masih kosong banyak hutan yang tidak dimanfa’atkan. Malah semua kebutuhan hidup orang Aceh didatangkan dari luar Aceh seperti telur ayam, sapi, kambing, ayam, kacang, dan lainnya.

            Kebodohan lain yang masih ada di Aceh hari ini adalah; orang Aceh masih senang berantam sesama Aceh, masih suka menipu sesama Aceh, masih suka memfitnah sesama Aceh, masih suka membunuh sesama Aceh, masih suka merampok sesama Aceh, masih suka menganiaya sesama Aceh dan sebagainya. Ini merupakan pekerjaan jahat, jahil, sesat dan menyesatkan. Tetapi itulah yang terjadi di Aceh hari ini.[5]

            Masih banyak juga muslim Aceh yang lemah iman dalam kehidupan ini sehingga tidak takut kepada Allah. Mereka tidak melaksanakan salat berhari-hari. Malah ada juga yang siap dizinahi lelaki luar karena dikasih uang yang banyak[6] sehingga lupa kepada ancaman Allah di hari kemudian. Juga lemah iman sehingga mau melakukan korupsi uang rakyat dan uang negara, para penguasa mematok fee sekian persen pada kontraktor yang diberikan proyek dan sebagainya.

            Selain lemah iman mereka juga masih pendek wawasan sehingga selalu menganggap diri pandai dan orang lain bodoh. Ada golongan yang mengklaim ilmu itu hanya lebih banyak di Aceh, karenanya tidak perlu pergi keluar negeri karena di sana tidak banyak ilmu dan ilmu itu terkumpul di Aceh semuanya. Klaim seperti ini bukan hanya menunjukkan orang Aceh masih kurang wawasan, tetapi juga menunjukkan sebahagian orang Aceh tidak paham perkembangan zaman. Akibatnya hidup mereka seperti katak di bawah tempurung yang selalu menganggap diri pandai padahal ianya bodoh, selalu menganggap dirinya kuat padahal ia lemah, menganggap dirinya maju padahal ianya kolot.

            Kenyataan lain yang muncul dalam kehidupan orang Aceh hari ini adalah para pemuka masyarakat membiarkan kemaksiyatan dan kemungkaran berlalu di depan matanya. Kalau ada orang yang tidak salat tidak pernah dianjurkan untuk salat, kalau ada pemain judi di kampung tida pernah diberantas secara tegas, kalau ada penjual buntut juga dibiarkan ia berlalu. Malah yang amat menyedihkan lagi adalah orang-orang disekeliling dayah/pesantren tidak pernah salat tidak ada orang yang mengajaknya salat, mereka beranggapan itu bukan tanggung jawabnya.

            Kalau terjadi zina di sesuatu kampung bukannya dihukum pelaku zina tersebut tetapi segera dinikahkan.[7] Ini bermakna memberi kesempatan kepada pezina lain untuk berbuat zina yang banyak di Aceh. Dan mereka yang sudah suka sama suka antara lelaki dengan wanita yang tidak mendapat persetujuan orang tuanya mudah saja mereka kawin, pertama berzina dulu dan zinanya tidak perlu sembunyi karena punya target agar dinikahkan oleh pihak berkompeten. Begitulah kondisi Aceh hari ini yang tidak dapat kita tutup mata dan harus kita akui adanya.

            Upaya amar ma’ruf nahi munkar yang semestinya wujud di kawasan-kawasan mayorits muslim tidak ada lagi di Aceh hari ini. Mereka cenderung hidup nafsi-nafsi seperti di yaumil mahsyar yang tidak saling peduli kecuali masing-masing diri memikirkan dirinya sendiri. Gerakan dakwah yang ada hari ini di Aceh adalah mengajak orang melaksanakan kebajikan tetapi tidak ada ajakan untuk meninggalkan kejahatan, apalagi untuk memberantas kejahatan.

            Kenyataan lain yang sulit dipungkiri adalah orang Aceh berlomba-lomba membangun masjid besar-besar, elok-elok, cantik-cantik dan megah-megah. Tetapi mereka tidak mau mengisinya, memakmurkannya, membersihnya, merawatnya dan menggunakannya untuk pengkaderan.[8] Akhirnya kita hanya bangga dengan banyak masjid di Aceh tetapi tidak mungkin bangga dengan isi di dalam masjid tersebut. Dengan demikian maka jadilah masjid sebagai lambang Islam tetapi tidak banyak manfa’at yang dapat diambil Islam dari masjid-masjid tersebut.

            Satu kenyataan lagi yang sulit dibantah adalah para pemimpin Aceh hari ini belum menyatu dengan Hukum Islam atau Hukum Allah. Mereka susah kalau Syari’at Islam dijalankan semestinya di Aceh dan tidak mau mengesahkan aturan pelaksananya seperti qanun yang berhubungan dengannya.[9] Bukan hanya itu, sebahagian mereka tidak melaksanakan shalat rutin lima waktu sehari semalam, ini persoalan serius bagi muslim Aceh. Apalagi kalau sempat terjadi ketika maju menjadi pemimpin Aceh lewat jalur panas mengancam masyarakat, atau meneror masyarakat, atau menuba masyarakat dengan uang, dengan materi-matei khusus dan sebagainya.

 

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI

            Sangat banyak problematika umat Islam Aceh hari ini yang tidak pernah tuntas solusinya dari zaman ke zaman. Sehingga tiap hari, tiap minggu, tiap bulan dan tiap tahun terus saja dipikir dan dikerjakan yang itu-itu. Persoalan belum memadainya Sumber Daya Manusia (SDM) muslim Aceh tidak pernah tuntas sampai sekarang ini. Dahulu ada alasan rejim Orde Baru pimpinan Soeharto tidak menyisakan hasil LNG Arun sepersenpun untuk Aceh sehingga sulit mendongkrak SDM Aceh karena tidak ada dana. Setelah tumbangnya Soeharto tahun 1998 yang lalu Indonesia berubah cara dan Aceh mendapatkan 30 % hasil LNG Arun yang dituangkan dalam APBA dan dipeuntukkan 30 % pula untuk keperluan pendidikan anak bangsa Aceh, tetap saja SDM Aceh belum memadai walaupun sudah memakan waktu dekat sepuluh tahun.

            Prihal disintegrasi ukhuwah ummah terus menerus terjadi di Aceh walaupun mereka tau sesama muslim adalah bersaudara. Namun yang tau itu yang juga suka meyalahkan orang lain walaupun ia belum tentu salah. Yang menamakan ulama masih suka menyalahkan cara ibadah ulama lain, masih suka mengkafirkan muslim lain, masih suka menipu ummah, masih suka menjilat kepada penguasa, masih suka memperalat agama untuk mendapatkan uang dan sebagainya. Krisis ukhuwah lainnya juga wujud dalam bidang perdagangan di mana satu sama lain saling memburukkan agar langganan datang dan berbelanja pada dia. Dalam bidang pendidikanpun tidak kurang pecahnya, antara pimpinan pendidikan umum dengan pimpinan pendidikan agama selalu saling memburukkan yang diikuti oleh murid-murid mereka. Perebutan masjid terjadi di mana-mana dengan tujuan yang tidak berdasarkan agama seperti yang terjadi di Beureunuen,[10] di Bireuen[11] beberapa tahun yang lalu, di Gandapura tahun 2009 dan sebagainya. Begitulah keadaannya sampai kepada kehancuran ukhuwwah di gampong dan kuta. Belum nampak warna baru yang dapat menyelesaikan problematika ini.

            Kemiskinan masih merajalela di Aceh baik miskin harta benda maupun miskin ukhuwwah, miskin akhlak, miskin ilmu pengetahuan maupun miskin pemimpin Islami. Kemiskinan harta benda membuat bangsa ini tidak berdaya, miskin ukhuwwah dapat menghancurkan bangsa dan negara, miskin akhlak dapat mengganggu rakyat jelata, miskin ilmu pengetahuan dapat mengganggu kemajuan bangsa dan miskin pemimpin yang Islami dapat menyeret ummat Islam Aceh ke jurang perpecahan dan neraka jahannam. Apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus melakukan untuk menetralisir perkara ini untuk sa’at ini? Kita tetap menunggu kedatangan ratu adil untuk menuntaskan semua itu sebagaimana janjinya Rasulullah SAW.: ”Sesungguhnya Allah akan mengutuskan seorang pembaharu untuk ummat ini dalam seratus tahun sekali”.

Sistem pendidikan dan hukum yang ada hari ini sama sekali belum Islami, ia masih berhubung kait dengan sistem pendidikan dan hukum peninggalan Belanda. Karenanya produk yang dihasilkan tetap saja memihak kepada Belanda dalam eksistensinya dan dalam hal-hal tertentu bertentangan seratus persen dengan sistem pendidikan dan sistem huku Islam. Umpamanya; Islam mengharamkan zina dalam bentuk apapun termasuk senang sama senang, tetapi hukum peninggalan Belanda di Aceh menghalalkanya atas dasar senang sama senang. Sistem pendidikan Islam didasari pada kerangka ’aqidah sebagai azas paling dasar, sementara sistem pendidikan peninggalan Belanda di Aceh mengutamakan ilmu pengetahuan sebagai azas paling dasar. Maka tidak heran kalau semakin banyak sarjana yang dihasilkan negeri ini semakin banyak pula korupsi terjadi, semakin banyak pula penipuan terjadi dan sebagainya.

Belum ada frekuensi baru tentang kemajuan pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh hari ini walaupun Syari’at Islam itu sudah lebih tujuh tahun diisytiharkan di sini namun belum jalan maksimal sebagaimana harapan masyarakat di gampong dan di kota sekitar bumi peninggalan Iskandar Muda ini. Kalau belum jalan Syari’at Islam karena masyarakat belum tau caranya masih bisa diperbaiki, atau kalau terhambatnya perjalanan Hukum Allah di Aceh hari ini karena banyak kafir di sini masih bisa dipahami. Tetapi kalau belum jalannya Hukum Islam secara maksimal di Aceh hari ini karena para pemimpin Aceh benci kepadanya, ini yang sama sekali tidak dapat ditoleransi. Karenanya ini merupakan issue penting dan amat sensitif dibicarakan.

Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya dan menjadi problematika Muslim Aceh paling serius sekarang ini adalah merajalelanya rasukan pemahaman liberal, sekuler dan sosialis. Sebahagian kalangan akademisi sudah dirasuki oleh pamahaman ini, sejumlah mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa sudah meyatu dengan pemahaman ini dan tentu saja sejumlah masyarakat yang mengandalkan rasiopun ikut bergabung kesana. Sesungguhnya ini merupakan missi lama yang dikembangkan kaum penjajah yang bangkit kembali hari ini lewat penjajahan pemikiran yang juga disebut ghazwul fikr atau invasi pemikiran. Hal ini dilakukan oleh antek-antek penjajah karena mereka tau zaman ini tidak ada lagi penjajahan fisik, maka mereka beralih kepada penjajahan pemikiran dan intelektualitas. Problematika ini menjadi salah satu yang amat sangat berbahaya bgi muslim Aceh terutama sekali generasi muda sebagai generasi penerus kepemimpinan bangsa.

 

ALTERNATIF SOLUSI

            Solusi jitu untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut adalah ummat Islam Aceh harus kembali kepada Syari’at Islam pada dataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan kembali kepada ’aqidah serta akhlak Islam pada dataran spiritual dan duniawi. Kembali kepada syari’ah bermakna kita harus meninggalkan sistem hukum lama, sistem ekonomi lama, sistem pendidikan lama, sistem politik lama dan sistem kehidupan sebelumnya yang sudah jelas gharar dan syubhat di sana kalau tidak mau kita katakan haram. Seterusnya hiduplah sebagaimana ketentuan Hukum Islam, hiduplah mengikut tata cara ‘aqidah Islam dan akhlak Islam, insya Allah semua problematika ke-Aceh-an akan terlerai dengan serta merta. Di antara langkah-langkah jitu yang dapat dilakukan untuk menuju ke sistem hidup Islami adalah:

?  Kembali menghidupkan masjid

Masjid yang terhitung banyak dan indah-indah di Aceh harus segera diisi, dimakmurkan dan dihidupkan dengan shalat berjama’ah lima waktu sehari semalam. Ini merupakan amalan rutin dan tidak pernah absen dilakukan Rasulullah SAW beserta dengan para sahabat dan ummat Islam di zaman-Nya. Dengan demikian muncullah keberkatan, muncullah kekompakan dan muncullah rahmat tuhan bagi masyarakat sekelilingnya. Dan itu menjadi tolok ukur penyelesaian berbagai persoalan yang berkembang. Kalau muslim Aceh mengamalkan ini dengan sungguh-sungguh dan ikhlas insya Allah Aceh dalam masa singkat akan bernuansa lain dari sekarang ini.

            Jadikanlah masjid itu sebagai tempat utama penghambaan diri kepada Allah baik siang maupun malam, baik dalam keadaan murung maupun keadaan riang, baik ketika miskin, kaya maupun cukup-cukupan. Masjid adalah media penghubung kita dengan tuhan, maka hubungkanlah diri sendiri dan keluarga dengan Allah khaliqul alam. Penuhilah masjid-masjid untuk bersujud, bermunajat, bertaqarrub dan berserah diri kepada Allah. Sisihkan waktu untuk itu, robah kebiasaan lama yang menyisihkan masjid dalam kehidupan ini, sadarkanlah diri sendiri untuk keperluan asasi menghadap Ilahi.

?  Kembangkan pendidikan dan pengkaderan Islam via masjid

Apa saja jenis pendidikan yang dikembangkan harus Islami dan harus pula digunakan masjid sebagai salah satu medianya. Selama ini muslim Aceh menggunakan masjid sekedar tempat salat Jum’at saja, sebagian mereka menggunakannya untuk salat rawatib, selebihnya masjid yang banyak dan indah-indah di Aceh itu kosong tidak dimanfa’atkan secara maksimal. Untuk menjadi salah satu solusi sejumlah problematika muslim Aceh hari ini maka media masjid amat penting dan strategis untuk dijadikan tempat pencetakan kader-kader muslim yang beraqidah kuat, bersyari’ah mantab dan berakhlak mulia. Wujudkan dan kembangkan pendidikan berbasis Islam di seluruh masjid di Nanggroe Aceh Darussalam untuk menerobos kebekuan yang ada.

Pendidikan yang kita maksudkan di sini harus melingkupi pendidikan yang berbasis imtaq dan iptek. Dengan demikian diharapkan masjid tidak sia-sia, ummah dan kader-kader Islam berjaya lewat jalur pendidikan yang bersahaja dan dapat pula memajukan kehidupan bangsa. Robahlah kebiasaan selama ini yang saling melepas tangan terhadap pendidikan anak bangsa yang berbasi masjid. Kalau ada masjid-masjid yang sudah bagus pendidikan kanak-kanak, maka harus ditingkatkan kepada remaja dan pemuda, terus kepada orang tua sehingga setiap kampung semuanya paham Islam secara menyeluruh. Dengan demikian sesama muslim tidak akan bermusuhan, tidak akan berpecah belah, tidak akan saling menuduh dan mengancam, sebaliknya selalu rukun dalam kehidupan di bawah naungan Allah SWT.

?  Tolak pemikiran liberal dan sekuler

Merupakan kewajiban menyeluruh kepada muslim Aceh untuk menolak secara spontan pemikiran dan ajaran yang berbau liberal, sekuler yang dapat merusak iman. Tidak perlu didiskusikan lagi untuk pemahaman seperti itu karena sudah jelas dan dapat bukti bahwa itu punca kesesatan yang nyata bagi ummat Islam di dunia. Terlepas siapa yang sudah menyatu dengannya tidak perlu didiskusikan lagi karena itu memang mambahayakan aqidah anak bangsa di Aceh ini.

Sebahagian tokoh-tokoh liberal berani mengatakan jilbab bukan kewajiban dalam Islam, Al Qur’an tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,[12] poligami tidak benar, kawin sejenis dibolehkan menurut mereka,[13] naik haji boleh setiap bulan dalam setahun,[14] dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran semacam ini wajib kita tolak dan jauh dari bumi Aceh agar Aceh tetap bersih dan suci dari aliran dan pemahaman sesat.

?  Awasi kehidupan ummah dengan syari’at Islam

Hukum Islam merupaka Hukum Allah yang paling lengkap dan sempurna di dunia ini karena ia selalu selaras dengan perkembangan zaman. Untuk mengukur kelengkapan tersebut dapat kita lihat pada sumber hukum Islam itu sendiri yang terdiri dari dua kategori, yaitu sumber utama (Al Qur’an dan Hadis) dan sumber kedua (Ijma’, Qiyas, Ijtihad, istihsan, istishab, ’uruf, syar’u man qablana, pendapat para sahabat, dll). Ini menunjukkan tidak mungkin Hukum slam itu kaku atau ketinggalan zaman seperti hukum-hukum lain karena sumber utama menjadi fondasi sementara sumber kedua menjadi translasi, penyelaras dan penyesuai yang terikat kepada sumber utama.

Hanya orang-orang yang tidak paham Hukum Islam saja yang berkata macam-macam terhadapnya. Oleh karenanya sudah selayaknya Hukum Islam dijadikan pengawas dalam kehidupan ummat Islam Aceh kapan saja. Untuk itu pula deklarasikan secara gamblang bahwa Aceh menjalankan Hukum Islam, para pemimpin Aceh tidak boleh macam-macam karena ini menyangkut dengan Hukum Allah. Pemerintah Aceh harus secepatnya mengesahkan semua qanun yang berhubungan dengan pelaksanaan Hukum Islam di Aceh.[15]

?  Hidupkan gerakan dakwah melalui media cetak dan media elektronik

Gerakan dakwah merupakan salah satu media paling jitu untuk merubah suasana dari jahat menjadi baik, dari dhalim menjadi adil, dari bangsat menjadi ta’at dan seterusnya. Kita tau di Aceh banyak media cetak seperti koran, majalah, tabloid dan sebagainya, juga banyak media elektronik seperti radio, televisi, internet dan sebagainya. Kalau semua media tersebut dapat dimanfa’atkan menjadi media gerakan dakwah sepenuhnya sesuai dengan keadaan Aceh yang berlaku Syari’at Islam maka dapat dipastikan Aceh cepat berubah ke arah yang lebih positif.

Kalaupun tidak bisa memihak sepenuhnya kepada gerakan dakwah apabila semua media tersebut tidak memihak kepada kafir dan tidak ikut serta memprofokasi Islam saja sudah cukup untuk merobah situasi di Aceh hari ini menuju kearah yang Islami. Yang sedih dan menyedihkan adalah masih ada media yang turut menyudutkan Islam dan mengangkat kafir dalam issue-issue tertentu seperti issue jender, HAM, kekerasan terhadap perempuan, terhadap anak dan sebagainya.

?  Bangun dan optimalkan operasionalkan radio dakwah di masjid-masjid

Radio merupakan salah satu media elektronik yang paling mudah digunakan dan diserap informasinya oleh masyarakat, hal ini menyatu dengan kemalasan sejumlah orang Aceh untuk membaca tetapi rajin mendengar dan menonton. Untuk itu operasional gerakan dakwah lewat radio amat penting dan mustahak dilakukan untuk merobah kondisi Aceh yang dililit oleh berbagai problematika ummah. Perlu ada radio Islam paling kurang setiap masjid kabupaten/kota satu, kalau boleh diperluas ke peringkat kecamatan yang berjauhan dengan ibukota kabupaten jauh lebih baik lagi.

Radio ini diharapkan dapat memberikan informasi setiap waktu kepada masyarakat dan dapat mengajar masyarakat tentang ilmu-ilmu Islam dan sebagainya. Kalau setiap masjid kabupaten/kota sudah memiliki radio yang dibangun oleh pemerintah Aceh yang Islami kemudian ditata dengan baik dan rapi serta tidak diperebutkan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan kaum dan kelompoknya, insya Allah problematika-problematika yang selama ini mengancam Islam di Aceh dapat teratasi secara bertahap.

?  Dobrak pemimpin dhalim dan perbaiki rakyat rusak

Solusi yang amat mencabar yang harus dilakukan muslim Aceh hari ini adalah dobrak kejahilan pemimpin dhalim di Aceh dan perbaiki rakyat yang terlanjur rusak. Prihal ini sudah pernah berhasil dilakukan para endatu seperti pada masa Ali Mughayatsyah, Abdul Qahharsyah, Iskandar Muda, Tgk, Syhik Di Tiro, dan Tgk. Muhammad Dawud Beureu-éh. Kalau dahulu di zaman kuda sudah pernah berhasil dilakukan maka pada zaman komputer ini mustahil bisa gagal, hanya perlu orang yang berdiri dan berjalan di depan. Mudah-mudahan orang yang kita maksudkan akan segera datang agar ummat ini ada tempat pijakan.

 

KHATIMAH

            Banyak sekali problematika ummah yang tidak pernah tuntas dan tidak pernah dituntaskan dalam kehidupan muslim Aceh. Baik karena acuh dan phobinya orang Aceh terhadap permasalahan maupun karena tidak ada kapasitas untuk memberantasnya. Yang jelas faktor kepemimpinan dapat mempengaruhi semua itu, dahulu pemmpin Aceh komit dengan Islam dan syari’at Islam, komit memberdayakan dan membela rakyat, hari ini mereka hanya komit membela kaum dan golongan, mereka bukan tidak mau menjalankan syari’at Islam tetapi ada yang belum menyatu dengan ajaran Islam.

            Semua itu terjadi karena pilihan rakyat Aceh yang masih lugu dan rentan dengan ancaman. Merea ingin Aceh yang Islami tetapi ketika memilih pemimpin tetap saja memilih orang-orang yang kuat meneror rakyat, yang kuat mengancam rakyat, yang kuat menipu rakyat dan yang kuat menyuap rakyat. Pada masa itu rakyat tidak terpikir apa-apa, tetapi ketika dihadapkan dengan masalah seperti hari ini baru menyesal, tidaklah berguna lagi. Pepatah melayu megatakan: pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Karena itu jadilah pengalaman pahit ini untuk menentukan dan memilih pemimpin Islam yang Islami di Aceh masa depan, baik peringkat nanggroe maupun wilayah, sagoe dan gampong-gampong.


 

[1] Lihat Waspada onlineSelasa, 25 Maret 2008

[2] Wawancara dengan Tgk. Muhammad Yus, mantan anggota DPR RI periode 2004-2009 di Banda Aceh 15 Oktober 2009

[3] http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1873, http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1774, http://harian-aceh.com/news.php?bid=116

[4] http://harian-aceh.com/news.php?bid=116, http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1792

[5] Lihat berita tentang perkara itu dalam Serambi Indonesia Sabtu, 24 Oktober 2009, Ahad 25 Oktober 2009.

[6] Lihat kasus Nazaryah dengan bulek Eropa di Hotel Kiyah Langsa. Kasus perempuan asal Simpang Tiga (pegawai kantor Bupati Pidie) dengan lelaki bule asal Itali di salah satu rumah di Pulo Kiton Bireuen.

[7] Aceh Kita online, Jumat, 20 April 2007, 09:49 WIB

[8] Waspada Selasa, 25 Maret 2008.

[9] Lihat Serambi Indonesia Jum’at 17 September 2009, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tidak mau menandatangani qanun jinayah dan acara jinayah yang telah disahkan DPRA 14 September 2009. Lihat juga Serambi Indonesia Sabtu 24 Oktober 2009.

[10] Kejadian perebutan masjid Baitul A’la lilmujahidin yang dibangun ulama dan pemimpin besar Tgk. Muhammad Dawud Beureu-eh itu dipacu oleh sejumlah ulama dayah tradisional bersama murid-muridnya karena persoalan perbedaan cara ibadah di antara mereka.

[11] Kasus perebutan masjid kabupaten Bireuen ini dipacu oleh kepentingan politik bupati Mustafa Abdullah Geulanggang yang bernafsu menduduki jabatan bupati kedua kalinya, dia memperalat kaum dayah tradisional dan kaum dayah juga memanfa’atkan pengaruh dia untuk dapat menguasai masjid tersebut dari pengurus lama yang berpaham modernis.

[12] Ini pemikiran Munawir Syadzali, salah seorang Menteri Agama pada masa rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.

[13] Ini pemikiran Musdah Mulia, salah seorang tokoh liberal yang juga anti terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.

[14] Ini pemikiran Masdar F Masudi, tokoh muda Nahdhatul Ulama (NU) yang berpaham liberal.

[15] Gubernur Aceh Irwandi Yusuf masih enggan menandaangani Qanun Jinayah dan Acara Jinayah yang sudah disahkan oleh DPRA 14 September lalu. Lihat Serambi Indonesia Sabtu 24 Oktober 2009.

 

—–=hya=—–