Archive for month: Desember, 2024

Oleh Afrizal Refo, MA

Tepat Pada tanggal 26 Desember 2004 silam, dunia dikejutkan oleh bencana dahsyat yang melanda Aceh yaitu gempa dan tsunami yang menewaskan lebih dari 200.000 orang dan juga banyak korban yang hilang serta menghancurkan hampir seluruh infrastruktur di wilayah tersebut. Gempa berkekuatan 9,1 skala Richter yang memicu gelombang tsunami ini merenggut banyak nyawa dan mengubah wajah Aceh dalam sekejap. Namun, meskipun kehancuran yang begitu besar terjadi, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: masjid-masjid Allah tetap berdiri kokoh, tak terpengaruh oleh gelombang dahsyat yang menerjang.

Peristiwa tersebut mengundang banyak refleksi, terutama bagi kita yang hidup di zaman yang kerap kali lupa akan pentingnya kembali kepada Allah. Tsunami Aceh mengajarkan banyak hal, namun di antara pelajaran-pelajaran tersebut, ada satu pesan yang jelas: betapa pentingnya untuk tidak lalai dalam menjalankan ibadah dan menjaga hubungan kita dengan Allah. Bencana besar seperti ini tidak hanya mengingatkan kita akan keterbatasan manusia, tetapi juga menunjukkan betapa dunia ini hanyalah tempat sementara. Segala sesuatu yang kita miliki yaitu harta, kekuasaan, dan bahkan bangunan megah dapat hilang dalam sekejap mata. Tetapi, hanya hubungan kita dengan Allah yang akan abadi.

Salah satu pemandangan yang paling menggugah dalam tragedi tsunami Aceh adalah bagaimana bangunan-bangunan tinggi yang dibangun dengan kekuatan manusia roboh rata dengan tanah, sementara masjid-masjid Allah tetap berdiri kokoh. Masjid yang seharusnya menjadi tempat ibadah dan pengingat kita kepada Allah, tetap menjadi simbol keteguhan dan kekuatan yang lebih tinggi dari segala sesuatu yang ada di dunia ini.

Pemandangan ini mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di dunia ini pada akhirnya akan runtuh. Rumah, gedung-gedung pencakar langit, mobil-mobil mewah, dan harta benda lainnya, semua itu tidak akan kita bawa mati. Namun, masjid sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah tetap kokoh dan kuat. Ini adalah simbol bahwa yang harus kita jaga dengan sebaik-baiknya adalah hubungan kita dengan Allah, bukan dunia yang fana ini.

Sebagai manusia, kita sering terjebak dalam godaan dunia. Kita berlomba-lomba mengejar kesenangan duniawi, mengejar kekayaan, status sosial, dan kekuasaan. Namun, bencana besar seperti tsunami Aceh mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita anggap kekal di dunia ini bisa hilang dalam sekejap. Hanya ibadah dan ketakwaan kepada Allah yang menjadi sandaran kita yang sesungguhnya.

Salah satu pesan terbesar yang dapat diambil dari peristiwa tsunami Aceh adalah pentingnya menjaga ibadah kita dan tidak lalai dengan dunia. Tsunami tersebut datang begitu tiba-tiba, tanpa ada peringatan sebelumnya. Begitu juga dengan kehidupan kita; ajal dan bencana bisa datang kapan saja tanpa kita duga. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menjaga hubungan kita dengan Allah, menjaga ibadah kita, dan tidak terlena dengan gemerlap dunia yang sementara.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Kamu dilalaikan oleh (perhiasan dunia) sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1-2). Ayat ini mengingatkan kita bahwa kita sering kali terlena dengan kehidupan dunia yang penuh dengan kesenangan semu, sementara kita lupa bahwa kehidupan akhirat yang kekal lebih utama. Tsunami Aceh menjadi pengingat bagi kita bahwa dunia ini tidaklah abadi. Harta yang kita kumpulkan, jabatan yang kita raih, atau rumah megah yang kita bangun, semua itu pada akhirnya akan meninggalkan kita. Yang tinggal hanyalah amal ibadah yang kita lakukan di jalan Allah.

Tsunami Aceh juga mengingatkan kita tentang pentingnya kembali kepada Allah dalam segala keadaan. Ketika bencana datang, banyak orang yang menyadari bahwa kekuatan manusia sangat terbatas. Meskipun sudah berusaha keras untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana, nyatanya tak ada yang bisa menghindari kehendak Allah. Di tengah kehancuran, banyak orang yang berdoa, meminta ampunan, dan berharap agar diberikan keselamatan. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa dalam keadaan apapun baik dalam kesenangan maupun kesulitan kita harus senantiasa kembali kepada Allah, mengingat-Nya, dan meminta pertolongan-Nya.

Saat bencana datang, kita semua menjadi sadar akan keterbatasan kita sebagai manusia. Tsunami Aceh tidak hanya menghancurkan fisik, tetapi juga menggugah jiwa dan hati banyak orang untuk kembali kepada Allah. Tidak sedikit yang setelah bencana menjadi lebih rajin beribadah dan lebih dekat dengan Allah, menyadari bahwa dunia ini hanya sementara dan yang kekal hanyalah kehidupan akhirat.

Refleksi untuk Generasi Mendatang

Tsunami Aceh memberikan pelajaran berharga yang harus dipahami oleh generasi mendatang. Ketika kita melihat betapa banyaknya korban yang meninggal dan hilang akibat bencana tersebut, kita harus merenungkan bagaimana kehidupan kita yang sementara ini tidak bisa dijadikan fokus utama. Kita harus terus menjaga ibadah kita, memperbanyak amal saleh, dan menjalin hubungan yang baik dengan Allah.

Generasi mendatang harus diberi pemahaman bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah ujian dari Allah. Kekayaan, jabatan, dan semua kenikmatan yang kita rasakan hari ini bisa saja hilang dengan sekejap mata. Oleh karena itu, jangan sampai kita terperangkap dalam kehidupan dunia yang sementara ini. Fokuskan hati kita kepada Allah, perbaiki niat dan amal kita, dan senantiasa menjaga ibadah sebagai prioritas utama dalam hidup.

Marilah kita mengambil hikmah dari peristiwa tersebut dan kembali kepada Allah dengan sepenuh hati, tidak hanya dalam keadaan susah, tetapi juga dalam keadaan senang. Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih dekat dengan Allah dan tidak terlena dengan kehidupan dunia yang sementara.

Penulis adalah Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa dan Wakil Ketua Parmusi Kota Langsa

Oleh Afrizal Refo, MA

Setiap anak pasti memiliki sosok yang sangat istimewa dalam hidupnya. Sosok tersebut adalah ibu. Ibu adalah orang pertama yang kita kenal saat kita berada di dalam kandungan. Ibu pula yang pertama kali menyambut kita ke dunia, memberikan kasih sayang, dan melatih kita untuk bertumbuh menjadi individu yang memiliki rasa empati, etika, dan moral. Ibu adalah guru pertama dan utama dalam kehidupan kita, karena ia adalah orang yang pertama mengajarkan kita tentang kehidupan, kasih sayang, dan nilai-nilai yang akan membentuk kita menjadi pribadi yang baik.

Sebagai seorang anak, kita sudah sepantasnya untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua kita, terutama ibu. Ibu adalah guru pertama dan utama dalam hidup kita. Ia adalah sosok yang tidak hanya mengajari kita hal-hal dasar dalam kehidupan, tetapi juga membentuk kita menjadi pribadi yang baik, berbudi luhur, dan penuh kasih sayang. Ibu mengajarkan kita tentang cinta, kedisiplinan, tanggung jawab, dan nilai-nilai moral yang akan membimbing kita sepanjang hidup.

Ibu mengajarkan kita nilai-nilai dasar yang akan membentuk karakter kita sepanjang hidup. Ketika kita masih kecil, ibu adalah orang pertama yang mengajari kita berbicara, berjalan, dan melakukan hal-hal sederhana lainnya. Namun, peran ibu sebagai guru tidak berhenti di situ. Seiring bertambahnya usia kita, ibu juga mengajarkan kita tentang pentingnya sopan santun, menghormati orang lain, dan menjaga hubungan dengan sesama. Ibu adalah orang yang dengan sabar mengingatkan kita untuk selalu berbicara dengan baik, bersikap ramah, dan tidak menyakiti perasaan orang lain.

Pendidikan moral yang diberikan ibu sangat berperan dalam membentuk jati diri kita. Ibu mengajarkan kita tentang cinta kasih, kejujuran, kesabaran, dan ketulusan hati. Semua nilai ini tidak diajarkan melalui kata-kata saja, tetapi juga melalui contoh dan teladan yang ditunjukkan ibu dalam kehidupan sehari-hari. Ibu adalah sosok yang selalu ada untuk kita, memberi perhatian penuh kepada kebutuhan fisik dan emosional kita. Ia adalah guru yang tidak mengenal lelah, yang selalu siap memberi dukungan tanpa mengharapkan imbalan apapun. Kasih sayangnya yang tulus mengajarkan kita tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan orang lain dengan penuh cinta dan perhatian.

Selain itu, ibu juga memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik kita dalam hal spiritualitas. Ibu adalah orang pertama yang mengajarkan kita tentang agama dan nilai-nilai moral dalam beribadah. Ketika kita masih kecil, ibu yang mengajarkan kita untuk shalat, membaca doa, dan memahami arti pentingnya beribadah kepada Allah. Melalui ibu, kita diajarkan tentang kasih sayang kepada sesama, menghormati orang tua, dan menjaga adab dalam berinteraksi dengan dunia sekitar. Semua ini adalah pelajaran yang sangat penting untuk membentuk kita menjadi manusia yang baik, tidak hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam hubungan kita dengan Allah.

Peran ibu dalam pendidikan tidak hanya terbatas pada hal-hal spiritual dan moral saja, tetapi juga dalam mendidik kita untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Ibu mengajarkan kita untuk menghargai waktu, belajar dengan tekun, dan selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam segala hal yang kita lakukan. Ibu adalah sosok yang selalu mengingatkan kita untuk menjaga kesehatan, menjaga kebersihan diri, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap apa yang kita kerjakan. Semua pelajaran ini diberikan oleh ibu dengan penuh kasih sayang, dan kita sebagai anak harus mampu menghargainya.

Namun, meskipun ibu adalah guru pertama yang sangat penting dalam hidup kita, kita tidak bisa melupakan peran ayah. Ayah adalah pemimpin keluarga yang tidak hanya memberi nafkah, tetapi juga berperan penting dalam mendidik kita dalam hal kebaikan. Ayah mengajarkan kita tentang tanggung jawab, kedisiplinan, dan bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Ayah juga berperan dalam menjaga nilai-nilai agama dalam kehidupan kita, dengan mendidik kita untuk menjaga ibadah dan menjauhi perbuatan yang dilarang. Peran ibu dan ayah saling melengkapi, dan keduanya memiliki peranan yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk kepribadian anak.

Di tengah kesibukan dan tuntutan hidup yang semakin berat, kita sebagai anak harus mampu menghargai pengorbanan ibu. Ibu adalah sosok yang sangat berharga, yang selalu ada untuk kita dalam suka maupun duka. Kita harus selalu mengingat dan menghargai segala bentuk kasih sayang dan perhatian yang telah ibu berikan selama ini. Sebagai anak, sudah sepantasnya kita menjaga ibu, merawatnya, dan selalu berusaha membuatnya bahagia. Ibu adalah harta yang sangat berharga, dan kita harus selalu berusaha untuk berbakti kepadanya.

Oleh karena itu, kita sebagai seorang anak harus selalu menjaga dan menghargai ibu kita, karena tanpa ibu, kita tidak akan menjadi seperti sekarang ini. Sebagai anak, sudah menjadi kewajiban kita untuk berbakti kepada ibu dan memberikan kasih sayang serta perhatian yang sama seperti yang ia berikan kepada kita. Ibu adalah sosok yang tidak tergantikan, dan peranannya dalam hidup kita tidak akan pernah terlupakan.

Penulis adalah Ketua KGR Kota Langsa dan Sekretaris Umum Dewan Dakwah Kota Langsa.

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

Sunhaji (38 tahun), pedagang es teh yang diolok-olok penceramah ternama Miftah Maulana Habiburrahman (gus Miftah) dalam salah satu pengajiannya (cermahanya) di Magelang adalah salah seorang yang bertanggung jawab terhadap keluarganya dalam mencari kehidupan yang halal walaupun sebagain orang melihat ini sebuah pekerjaan rendahan. Sunhaji orang biasa yang memiliki dua orang anak yang masih bersekolah di SD dan SMP di Magelang. Dia tinggal di Dusun Gestari, Desa Banyusari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.

Sunhaji seorang pekerja keras untuk mencukupi keluarganya dan keuntungan menjual es teh yang tidak menentu, kadang-kadang bisa dapat untung Rp. 10 ribu dalam satu hari. Dia menjual es teh ini untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dan dua anak yang masih usia sekolah.

Inilah tanggung jawab seorang ayah terhadap keluarganya (anak dan isterinya) walaupun kadang-kadang manusia punya prinsip yang berbeda diantara kita dalam hal melihat seseorang mencari kehidupan. Namun ini biasa hina dalam pandangan manusia, namun mulia dalam pandangan Allah.

Kalau dia mendapat untung Rp. 10 ribu, maka uangnya ditabung untuk keperluan sekolah anak-anaknya, ini adalah seorang ayah yang punya visi yang jelas walau harus merangkak dan bertungkus lumus dalam berikhtiar agar masa depan anak-anaknya terbantu. Sebelum menjadi penjual es teh, Bapak Sunhaji adalah seorang tukang kayu. Namun pada suatu hari terjadi kecelakaan yang menyebabkan salah satu anggota badannya tidak lagi normal untuk terus melanjutkan karirnya sebagai tukang kayu, maka ia beralih profesi dari tukang kayu menjadi penjual es teh, hinggalah ia dihina oleh seorang yang mengaku pemilik Pesantren dan penceramah kondang.

Kalau dia Ulama atau penceramah atau benar-benar pemilik pesantren, mungkn tidak akan mengeluarkan kata-kata yang sifatnya olok-olok kepada seorang pencari harta halal (penjuah es teh). Mungkin ini sebuah teguran dari Allah kepada seseorang bahwa kesombongan itu bukan milik manusia tetapi milik Allah, karena itu janganlah memakai pakaian Allah. Jika tidak juga mau berubah, maka Allah bisa saja berkehendak lain, dan inilah yang mungkin Misbah lakukan terhadap penjual es-teh. Ini artinya Allah membukan aib seseorang apabila ianya sudah berulang kali melakukan kesalahan yang tidak mau meminta ampun kepada-Nya dan tidak mau memohon maaf kepada Allah. Makanya kalau kita punya ilmu bertindaklah sesuai dengan ilmu, kalau kita ulama, maka berbuatlah seperti ulama, kalaunkita penceramah, maka jangan untuk orang lain, tetapi untuk diri sendiri dulu dan keluarga. Kalau kita jadi ulama, jangan jadi ulama penjilat. Kalau ia sering mendatangi pintu-pintu penguasa, bermakna ia ulama su’. Seorang public figure perlu sentiasa bermuhasabah dan bukan melulu ingin menggapai pangkat keduniaan dan ketenaran karena ini bertentangan dengan sifat ilmu, kecuali kalau ia seseorang yang dungu alias tidak punya ilmu.

Miftah mengeluarkan kata-kata kasar kepada Pak Sunhaji yang sedang menjaja es teh-nya. Saat itu Sunhaji sedang berjualan di acara pengajiannya di Magelang, dan Miftah sebagai pencramahnya. Dia mengatakan kepada penjual es teh, “Es tehmu seh okeh ra? (Es teh mu masih banyak gak?) masih? Yo kono didol goblok, (Ya sana dijual bodoh),” demikian ucap si Miftah itu kepada penjual es teh.

Ucapan tersebut langsung disambut gelak tawa oleh para hadirin yang datang, demikianlah kalau para hadirin samanya pikirannya dengan penceramahnya atau dengan gurunya. Kemudian Miftah melanjutkan guyonannya, “Dolen disek, nko lak during payu, wes, takdir (jual dulu, kalau belum laku, sudah takdir,”), demikian kata Misbah. Namun apa yang dilakukan oleh Miftah terhadap Sunhaji ini timbul berbagai pemikiran pro dan kontra terhadapnya, ada orang-orang yang sealiran dengannya malah tidak cepat-cepat menyalahkan Misbah karena mungkin seperti (Chinese in one building), namun yang berpikiran sebaliknya, langsung saja mengkritik dan bahkan menghujuat penceramah atau pemilik pesantren itu karena tidak sesuai dengan apa yang disandangnya selama ini.

Makanya kalau berceramah jangan sampe untuk orang lain saja, tetapi untuk kita sendiri dan keluarga sendiri dulu, kalau mau jadi ulama, maka jangan sering-sering merengek-rengek penguasa, dan jangan jadi ulama atau penceramah penjilat. Nanti Allah akan buka aibmu karena keberpura-puraanmu.

Miftah ini adalah pemilik Pondok Pesantren di Kawasan Ora Aji, Kepanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekarang ini selama Presiden Prabowo menjadi Presiden RI, ia dilantik sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.

Namun pada Hari Jum’at 6 Desember 2024 Gus Miftah secara resmi mengundurkan diri sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Ini diawali karena ketelanjurannya terhadap Sunhaji (penjual es teh) hingga datang kritikan dan sorotan dari berbagai kalangan masyarakat terhadapnya. Akhirnya dia mengundurkan diri. Dalam hal ini kita memetika Pelajaran penting dari Gus Miftah ini bahwa ia sangat bertanggung jawab atas kekhilafannya sehingga tidak segan-segan meminta maaf pada Sunhaji atas keteledorannya dan juga untuk tidak mencemarkan nama baik Presiden Prabowo, ia legowo mundur.

Ini perlu diambil oleh para pejabat lain, kalau anda pikir tidak berguna bagi ummat dan tidak sanggup berlaku adil dan tegas silakan lempar handuk. Namun kebanyakan para penegak hukum di negeri ini yang cepat sekali menuntaskan kasus masyarakat kelas bawah walau penuh rekayasa seperti terjadi Kasus KM 50, kasus Vina Cirebon, Jessica Kumala Wongso, namun kalau kasus yang menimpa para petinggi negara kasus ketua KPK jenderal (Purn) Polisi Firli Bahuri yang sudah setahun ditangani Polda Metro Jaya belum kunjung selesai, kasus Rudi Soik di Polda NTT karena membongkar penimbunan BBM, kasus judi online yang hanya terlibat orang-orang sipil di Kementerian Komdigi saja dan belum menyentuh para backingnya dari oknum-oknum penegak hukum, dan kasus-kasus lainnya yang yang tak kunjung tuntas.

Seharusnya kalau ia punya komitmen atau rasa malu, maka langsung ia undur diri dari jabatan penegak hukum baik polisi, jaksa dan hakim karena masih ada orang-orang lain yang lebih tegas dan adil di negeri ini yang bisa menuntaskan semua perkara baik yang terjadi dalam masyarakat, atau dilakukan oleh pejabat negara atau oleh para oligarkhi. Demikian pula kasus Jokowi yang diduga berijazah palsu dan para pejabat lainnya yang juga ada yang berijazah palsu namun belum ada yang punya nyali menuntaskannya baik para penyidik ataupun para hakim. Kita salut kepada Gus Miftah dalam hal ini karena ada kesalahannya langsung ia minta maaf dan mengundurkan diri.

Setelah terjadinya pengolok-olokan terhadap Sunhaji, maka kritikan dan sorotan berdatangan dari berbagai penjuru bahkan hingga ke Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim. Beliau berkata, “Ternyata orang yang paham agama, yang bicara tentang Islam, akidah, Shalat, dan Sunnah (bisa sombong). Tetapi bila timbul (kesombongan), saya merasa aneh, agak luar biasa,” demikian kata Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim dalam sebuah pidato yang disampaikan pada acara pertemuan dengan Kementerian Keuangan Malaysia pada hari Kamis tanggal 5 Desember 2024. Dan juga masyarakat luas memintanya Gus Miftah mengundurkan diri dari jabatan dan meminta maaf kepada Sunhaji. Secara gentleman, Gus Miftah telah melakukan kedua hal ini dan kita patut beri apresiasi kepadanya karena tanggung jawabnya sementara para pejabat lainnya hamper tidak pernah ada yang mau mengundurkan diri walau sudah divonis bersalah. Begitulah tebal mukanya tanpa sedikit rasa malu untuk mengundurkan diri dari jabatan.

Peristiwa Gus Miftah dan Bapak Sunhaji bisa diambil Kesimpulan dua hal: pertama Allah merendahkan atau menghinakan siapa saja yang dikehendaki-Nya dan kedua Allah meninggikan derajat siapa yang Dia kehendaki-Nya. Gus Miftah yang selama ini menjadi penceramah kondang, dipercayai oleh Presiden Joko Widodo dan merupakan ulama Kerajaan namun tiba-tiba terperosok kakinya ke dalam lobang kehinaan karena merendahakan seseorang yang belum tentu hina dalam pandangan Allah; berikutnya Bapak Sunhaji yang mungkin sangat ikhlas menjalani kehidupan ini yang penuh tanggung jawab untuk memuaskan keluarganya serta anak-anaknya, dan Allah berkehendak lain, beliau mendapat cucuran rahmat dari Allah serta mendapat bantuan yang tidak pernah disangka-sangka berupa uang ratusan juta rupiah, dapat tiket umrah, dapat beasiswa untuk dua orang anaknya, dapat bantuan modal usaha, dan lain-lain. Sebelum ini Bapak Sunhaji tidak pernah bermimpi akan semua ini dan bagaimana apabila Allah berkehendak seketika akan berlaku, oleh karena itu jika kita berdoa, maka berdoalah kepada Allah, jika kita meminta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah.

Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed
Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Prov. Aceh