Acara Musyawarah Wilayah (Muswil) Ke-3 Dewan Da’wah Aceh yang dilaksanakan pada Tahun 2011, selain sebagai amanat organisasi juga dalam rangka mengevaluasi apa yang sudah, sedang dan belum sempat dikerjakan selama satu periode kepengurusan sebelumnya. Evaluasi ini penting sebagai bahan untuk menyusun program kerja berikutnya, juga sebagai sarana penyamaan persepsi sehingga terjadi gerakan yang sinergis dan langkah padu ke depan dalam melaksanakan program da’wah baik di provinsi maupun di kabupaten/kota. Agenda lain yang juga penting dalam Muswil Ke-3 ini adalah pemilihan Pengurus Dewan Da’wah Periode 2011-2015 serta silaturrahim sesama pengurus.
Di sela-sela Muswil, juga diagendakan Dialog Nasional tentang Gerakan Da’wah bersama Ketua Umum Dewan Da’wah Pusat (Ustadz Syuhada Bahri, Lc) dan bedah buku Karya ketua umum Dewan Da’wah Aceh (Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan) dengan judul “Aceh dan Inisiatif NKRI” oleh Amlir Syaifa Yasin, M.Si (Sekjen Dewan Da’wah Pusat).
Dalam Muswil Ke-3 tersebut dipaparkan pula beberapa kegiatan Dewan Da’wah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang diharapkan dapat menjadi bahan tukar pikiran dan pengalaman dalam mengorganisir kegiatan-kegiatan da’wah ke depan.
Sesuai dengan tema yang diangkat, “Revitalisasi Potensi Dewan Da’wah Dalam Menangkal Aliran Sesat dan Upaya Penguatan Aqidah Ummat di Aceh” Musyawarah Wilayah Ke-3 Dewan Da’wah Aceh tahun ini menjadi strategis di tengah prahara pengrusakan aqidah yang terjadi di Aceh. Untuk itu, diharapkan selain membahas agenda-agenda organisasi di atas, pencerahan dan rumusan langkah-langkah konkrit guna mencegah dan menangkal (cekal) aliran sesat serta upaya penguatan aqidah ummat di Aceh dapat dihasilkan dalam muswil kali ini.
Banda Aceh, 12 Juli 2011
Panitia Pelaksana,
Ir. Nazar Idris, MP
Ketua

Panitia Pelaksana dalam laporannya menyebutkan bahwa pembangunan masjid tersebut didanai sepenuhnya oleh Yayasan Syeikh Eid Qatar, sementara tanah dibeli oleh Dewan Da’wah melalui sumbangan dari Dewan Da’wah Pusat, dan wakaf dari para muhsinin. Total tanah yang sudah dibebaskan adalah 2456 M. direncanakan di atas tanah tersebut juga akan didirikan gedung sebagai pusat pelatihan, rumah imam dan sekretariat sebagai markas Dewan Da’wah Aceh.
Ketua Umum Dewan Da’wah dalam sambutannya menyampaikan bahwa salah satu fokus program adalah melakukan penguatan aqidah, pembinaan muallaf dan pencekalan aliran sesat. Karenanya, diharapkan kepada masyarakat, khususnya warga gampong Rumpet di lokasi masjid and markas Dewan Da’wah, agar tidak perlu ragu dengan keberadaan lembaga ini.
Di sela-sela peresmian, Bapak Kepala Dinas Syariat Islam yang membacakan teks pidato Gubernur menyatakan bangga dengan kehadiran masjid Dewan Da’wah ini, juga dengan kegiatan yang selama ini sudah dilaksanakan oleh Dewan Da’wah. Terlebih lagi dalam percepatan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Sekali lagi selamat kepada Dewan Da’wah semoga semangat ini akan terus ditingkat dalam membina ummat di Aceh ke depan, demikian Prof. Rusydi Ali Muhammad mengakhiri sambutannya.
Dalam peresmian tersebut juga turut diundang pihak Donatur, Aparat Gampong Rumpet, Muspika Kecamatan Krueng Barona Jaya, Muspida Plus Kabupaten Aceh Besar, Muspida Kota Banda Aceh dan Muspida Plus Provinsi Aceh. Di samping itu pimpinan parpol nasional dan parpol lokal, ormas Islam juga diundang menghadiri peresmian tersebut.
Ketua panitia Pembangunan Masjid Dewan Dawah Aceh, Bismi Syamaun, memperkirakan peresmian akan dihadiri lebih kurang 300 orang tamu undangan, belum termasuk pengurus Dewan Da’wah Aceh.
Banda Aceh, 02 Juli 2011
Panitia Pembangunan
Dewan Da’wah Aceh,
Drs. Bismi Syamaun
Ketua

Mengingat kondisi yang ironis seperti ini, Dewan Da’wah Provinsi Aceh bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan Akhwalus-Syakhsiyah (HMJ-SAS) Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry melaksanakan pelatihan khatib dan imam selama 2 hari, tanggal 25-26 Juni 2011 bertempat di sekretariat Dewan Da’wah Aceh.
Pelatihan yang diikuti oleh 25 orang mahasiswa ini bertujuan menyiapkan bekal kepada mereka untuk dapat menjadi khatib dan imam shalat berjamaah, khususnya ketika mengikuti program pengabdian masyarakat pada saat akhir kuliah. Di samping itu, menjadi bekal ketika kembali ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka menghidupkan kegiatan ibadah dan syiar Islam.
Selama dua hari kepada peserta dibekali materi tentang ketrampilan berbicara (retorika speak) baik dalam bentuk ceramah, orasi, presentasi dan khutbah, syarat seorang khatib, tata cara khutbah, Syarat imam, tatacara mengimami shalat. Di samping teori, kepada peserta juga diajarkan praktek langsung berkhutbah dan mengimami shalat berjamaah.
Pelatihan yang dibekali oleh para pengurus wilayah Dewan Da’wah Aceh ini akan ditindak-lanjuti dengan pembinaan lanjutan secara periodik guna meningkatkan kemampuan, khususnya dalam hal ulumuddin (kafaah syar’iyah) bagi para peserta sebagai bekal dalam menjalankan tugas sebagai khatib dan imam kelak di dalam masyarakat.
Selain materi pelatihan tersebut, Dewan Da’wah juga telah menyediakan panduan tertulis dalam bentuk buku panduan khutbah bagi para khatib yang ditulis oleh Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh, Drs. Hasanuddin Yusuf Adan, MA. M.CL, dengan judul “Khutbah Jumat dan Dua Hari Raya; Kajian Ilmiah Isu-isu Semasa”. Buku ini berisi panduan dan tatacara khutbah serta materi-materi selipan untuk bahan khutbah berkaitan dengan beberapa isu aktual di Aceh dan dunia Islam.
Kalau buku ini tersedia di setiap masjid maka, kejadian seperti gagalnya jumat karena khatib tidak hadir akan tertanggulangi. Karena siapa saja di antara jamaah yang bisa membaca dan mengaji, dapat menjadikan buku ini panduan untuk membaca rukun-rukun khutbah dan materi nasehat yang ada di dalamnya, sehingga pelaksanaan ibadah shalat jumat menjadi sempurna.
Banda Aceh, 25 Juni 2011
Said Azhar
Sekjen Dewan Da’wah Aceh

Kendati sudah beberapa tahun berlakunya syari’at Islam di Provinsi Aceh, sampai sekarang belum ada sebuah gerakan, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, yang secara permanen dan profesional menangani pembinaan mu’allaf. Kegiatan yang dilakukan sering insidental dan temporer, tanpa proses keberlanjutan.

Menyikapi Kondisi ini Dewan Da’wah Aceh bekerjasama dengan Baitul Mal Provinsi Aceh, Dewan Da’wah Kabupaten Aceh Tenggara melaksanakan pembinaan mu’allaf secara berkesinambungan, yang untuk tahap awal berupa pembinaan pemahaman Islam, khususnya Aqidah dan ibadah praktis sehari-hari. Selanjutnya akan dilakukan proses pemberdayaan menyangkut kesejahteraan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Kegiatan pembekalan ini difasilitasi langsung oleh Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, Dr. Muhammad AR, M.Ed, dan pemateri lain dari Dewan Da’wah Agara

Bupati Agara, H. Hasanuddin, dalam sambutannya menyebutkan bahwa pembinaan untuk muallaf harus secara terpadu, sistematis dan berkelanjutan. Artinya disamping pembinaan aqidah, dan syariat Islam juga perlu penguatan kehidupan perekonomian. Untuk itu itu, dia meminta semua instansi terkait dan khususnya kepada Dewan Da’wah Agara agar menyusun program khusus untuk pembinaan muallaf ini. Saya berkomitmen untuk menjalankan program khusus ini, sekali lagi mohon dicamkan bahwa buat program ini secara khusus, demikian Bapak Bupati mewanti-wanti pihak Baitul Mal Agara, Bidang Kesra, Dinas Syariat Islam dan dinas teknis lainnya dengan melibatkan pengurus Dewan Da’wah Agara agara merespon instruksinya ini.

Kegiatan daurah syariat Islam untuk muallaf di Agara yang berlangsung sehari penuh, tanggal 23 April 2011 bertempat di Ooproom Setdakab Agara, diikuti oleh 45 muallaf yang berasal dari Kecamatan Babul Makmur, Lawe Sigala-Gala dan Semadam. Adapun materi yang disampaikan meliputi Wawasan Islam, Pemahaman Syahadatain, Membaca Al-Quran, Ibadah Praktis dan perkembangan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

 Dengan kegiatan pembekalan ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang komprehensif tentang Dienul Islam bagi para mu’allaf, khususnya berkaitan dengan aqidah dan ibadah, menghilangkan citra negatif yang selama ini ada, seolah-olah tidak ada beda antara sebelum mereka menjadi muslim dengan sesudah masuk Islam, dan menjawab kebutuhan para mu’allaf sendiri sebagai langkah awal belajar Islam dan proses pemberdayaan kesejahteraan keluarganya.

 Guna tercapainya tujuan yang diharapkan, Kegiatan ini akan ditindak-lanjuti dengan pembinaan rutin para muallaf oleh pengurus daerah Dewan Da’wah Agara, dengan menyusun program yang disampaikan oleh Bapak Bupati dalam pembukaan acara ini.

Kepada peserta panitia menyediakan bahan bacaan (Al-quran dan buku-buku agama), kain sarung dan juga sejumlah biaya transport. Kepada para donatur, baik lembaga, Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Agara, Kemenag Agara, bapak Bupati, maupun atas nama pribadi panitia mengucapkan terima kasih.

 

Kutacane, 23 April 2011

Koordinator

 

Said Azhar

“Orang Aceh dulu bekerja untuk Islam dan bangsa. Itu tidak mungkin terwujud tanpa bekerja dan beramal,” kata Hasanuddin. Pada kesempatan yang sama, DDII Kabupaten Pidie Jaya juga menggelar pelatihan dai dan Daurah Syariat Islam yang diikuti sejumlah kader dai Kabupaten Pidie Jaya.
Acara pelantikan ini selain dihadiri oleh masyarakat, tokoh masyarakat, kepala dinas terkait, pak camat juga dihadiri oleh bapak bupti Pidie Jaya Drs Gade Salam. beliau berpesan agar pengurus DDII Pidie Jaya mampu membantu pemerintah dalam hal keagamaan khususnya. Beliau juga mengingatkan bahwa dirinya termasuk pengurus DDII Aceh maka sudah sewajarnya beliau membantu DDII Pidie Jaya di kemudian hari.
Sementara Pengurus Daerah DDII Sabang yang dilantik, yaitu tgk H Junaidi Ibrahi,Lc, (Ketua Umum), Akmal Zaini. S.Pdi (Wakil Ketua), Syahrul M. Yusuf. S.Pdi (Wakil Ketua), Tgk Zainuddin Adam (Wakil Ketua), Husaini S.Pdi (Wakil Ketua), Mustafa, S.Pdi (Sekeretaris Umum),T Amzar (Ketua Bedahara). dan banyak lagi semunya berjumlah melebih 80 orang anggota.

Paket sembako yang berisikan beras 10 Kg, gula 5 Kg, Tepung Terigu 2 Kg, Minyak Bimoli 2 Kg, Susu 2 Kaleng, Sirup 2 botol, indomie 10 bungkus dan 1 botol kecap dibagikan kepada kaum dhuafa yang ada di Gampong Rumpet.

Keusyik Gampong Rumpet, mewakili warganya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pengurus Dewan Da’wah Aceh atas dipilihnya gampong Rumpet sebagai lokasi penyaluran bantuan sembako yang berasal dari Yayasan Ash-Shilah tersebut. Apalagi, Dewan Da’wah Aceh telah memutuskan untuk membangun markaz barunya dan masjid di gampong kami, semoga ukhuwah ini dapat terus dipererat untuk selama-lamanya, demikian Keusyik Rumpet menyudahi sambutannya.


Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh, Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, dalam amanatnya menyebutkan bahwa selain pembagian paket sembako, kegiatan lain yang dilaksanakan oleh Dewan Da’wah Aceh dalam bulan Ramadhan kali ini adalah Daurah Syariat Islam untuk aparat Gampong dan Remaja Se-Kecamatan Titeue Kabupaten Pidie pada tanggal 12-16 Agustus 2010, Ceramah “Hikmah Berbuka” di Radio Baiturrahman Banda Aceh tanggal 1-30 Ramadhan, Iftar Jama’i (buka puasa bersama) di Pulo Nasi pada 24 Agustus 2010 dan di Banda Aceh (secretariat DDII Aceh), 23 Agustus 2010, ceramah ramadhan di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar sekitarnya, 1-30 Ramadhan.

Semua kegiatan yang sudah diprogramkan tersebut berjalan sesuai dengan rencana. Ini semua berkat pertolongan Allah Swt, dan atas bantuan kerjasama dari Yayasan Syeikh Eid Qatar, Pemerintah Kecamatan Titeu, Pidie, Yayasan Ash-Shilah, Qatar Charity, Bank Muamalat, Radio Baiturrahman dan Dewan Da’wah Pidie dan Yayasan Al-Ikhlas Masjid Titeue. Untuk itu, atas nama pribadi dan mewakili Keluarga Besar Dewan Da’wah Aceh bersyukur kepada Allah Swt, dan mengucapkan terima kasih kepada semua sponsor atas kerjasamanya. Semoga apa yang sudah dan akan terus dilakukan ini memberi kontribusi positif bagi masyarakat di Aceh dan bagi percepatan tegaknya Islam di provinsi serambi mekkah ini, serta dicatat sebagai amal shalih di sisi Allah Swt, demikian Tgk. Hasanuddin berharap di akhir amanatnya. Semoga!

Banda Aceh, 22 Agustus 2010

Sayid Azhar
Sekjen DDII Aceh

Daurah yang dilaksanakan pada hari Senin 1 Maret 2010 diawali dengan daurah du’at. Daurah dengan peserta 30 orang utusan dari seluruh Kecamatan yang ada di Aceh Singkil tersebut dibahani oleh Pengurus Wilayah (PW) DDII Aceh. Di antara materi yang disuguhkan dalam daurah tersebut adalah; Mengenal Syari’at Islam di Aceh oleh Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, Problematika Dakwah di Aceh oleh Dr. Muhammad AR, dan Metodologi Khuthbah bagi sang khathib oleh Tgk. Jamaluddin, MA. Setelah selesainya daurah sehari penuh, acara dilanjutkan dengan musyawarah Daerah untuk memilih Pengurus Daerah DDII Aceh Singkil periode 2010-2013 yang juga bertempat di aula Kantor Camat Gunung Meriah di Rimo. Hasil musyawarah Daerah telah mengangkat ustaz Ihsan sebagai Ketua Umum menggantikan posisi Abdul Muhri sebagai Ketua Umum periode lalu. Ihsan ditemani oleh ustaz Samla sebagai Sekretaris Umum dan sejumlah pengurus lengkap lainnya.

Usai daurah dan Musda, yakni Selasa 2 Maret 2010 para petinggi DDII Aceh tersebut mengunjungi beberapa Kecamatan dalam wilayah Aceh Singkil seperti Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Suro, dan Kecamatan Danau Paris untuk melihat kondisi dan suasana muslim di sana sebagai langkah awal mewujudkan gambaran Peta Dakwah di Aceh Singkil. Ternyata di sana masih banyak muslim yang hidup berdampingan dengan non muslim dan dikuasai oleh mereka karena muslim minoritas dan lemah. Ada juga masjid yang diurus oleh seorang imam dan khadam yang tamatan Sekolah Dasar di Kecamatan Danau Paris, dari segi ilmu Islam sama sekali belum layak untuk itu, namun apa hendak dikata keadaan memang demikian adanya.

Follow up dari hasil kunjungan tersebut, dalam waktu dekat Dewan da’wah Aceh akan mengajukan proposal kerjasama kepada Baitul Mal  Aceh dan juga Pengurus Pusat Dewan Da’wah di Jakarta untuk menangani permasalahan ummat Islam di Aceh Singkil, khususnya pembinaan mu’allaf secara berkesinambungan. Pembinaan dimaksud baik berkaitan dengan pemahaman dan pengamalan Islam, juga pembinaan kesejahteraan agar dapat hidup layak. Untuk itu kami dari Dewan Da’wah Aceh sangat mengharapkan bantuan dari semua pihak agar program ini Berjaya, Insya Allah.

 

 

Secara substansial tidak ada yang dapat dipertentangkan dari terminologi politik tersebut, tetapi akan muncul deferensiasi manakala dilakoni para politisi, yakni orang yang berkecimpung dalam bidang politik, karena pada saat yang sama terjadi pergumulan (struggle) dalam upaya menuju posisi/jabatan politik, eksekutif dan/atau legislatif. Deferensiasi itu, – memakai terminologi Amien Rais- (Cakrawala Islam, 1987) dapat berwujud high politics (politik kualitas tinggi) dan low politics (politik kualitas rendah). Dalam pergumulan dua kutub perilaku politik yang antgonis tersebut, dimana  semestinya  posisi dan  bagaimana dilakoni politisi profesional, wabil khusus yang berkiprah dalam teritori Nanggroe Aceh Darussalam yang secara de faco dan de jure serta pengakuan  internasional bagian dari Negara RI, dengan perangkat aturan RI, juga syrari’at Islam, tanpa mempertentangkannya, karena sudah dimaklumi semua khalayak, nasional dan internasional, bahwa syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam juga bagian dari undang-undang  Negara RI itu sendiri. Inilah yang dideskripsikan dalam makalah ini. Karena ia  berdasarkan referensi yang jelas, legal, dan kalau boleh disebut hanya merupakan saintifik/tesis kecil-kecilan belaka, kiranya tidak dikai-kaitkan personal dan/atau kelompok, serta menyoritinitas dan formalitas kalah menang dalam pergumulan politik.

 

High Politics

Adalah ciri-ciri  high politics (politik kualitas tinggi), yakni, pertama, setiap jabatan politik pada hakikatnya merupakan amanah dari masyarakat. Kedua, Setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban. Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan dengan prinsip ukhuwah (brotherhood), yakni persaudaraan antara sesama umat manusia. Dalam arti luas, ukhuwah  melampaui batas-batas etnik, agama, latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya. Dengan ciri-ciri minimal ini sangat kondusif  bagi pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Agaknya , inilah antara  lain yang dimaksudkan oleh ayat: “ Mereka adalah orang-orang yang bila diberi kekuasaan yang teguh dimuka bumi, niscaya menegakkan shalat dan membayar zakat dan menyuruh (manusia)  berbuat kebaikan serta mencegah kejahatan, dan bagi Allah sajalah  kembalinya segala macam urusan” (Al-Hajj, 22: 41).(Amien Rais, Ibid). Mudah-mudahan juga tidak salah, apabila saya pahami teks-teks dalam ayat ini; shalat merupakan representasi dari pembangunan mental spiritual, zakat, prmbangunan fisik material, amar ma’ruf nahi munkar, pembangunan politik, hukum, HAM, sosial budaya, keamanan dan pertahanan.

 

Low Politics

Low politics  (politik kualitas rendah), ditinjau dari sudut pandangan Islam, tidak mendukung maksud-maksud dakwah. Malah  menjegal dakwah, merusak tatanan/bangunan masyarakat Islami. Low politics  ini identik dengan “politik Macheavellis”, dengan konotasi yang tidak sehat, penuh hipokrisi (kemunafikan), kelicikan dan sebagainya. Prktek low politics, seperti, pertama, kekerasan, brutalitas dan kekejaman dapat digunakan kapan saja, asalkan tujuan yang dikejar bisa dicapai. Pandangan seperti ini ,mendorong manusia menjadi “tega”, dan menjadi manusia berdarah dingin, melangkahi mayat orang lain untuk mencapai tujuan sendiri sebagai suatu hal yang wajar. Kedua, penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak. Ketiga, dalam menjalankan kehidupan politik, seorang (pemburu) kekuasaan harus dapat bermain seperti binatang buas. Politik Macheavellis juga tidak berbicara sama sekali tentang pertanggungjawban  manusia dihadapan Allah (Ibid).

Adalah juga, Fathi Yakan dalam  bukunya Islam Ditengah Persekongkolan Musuh Abad 20, menulis ihwal politik kualitas rendah berkaitan dengan doktrin politik Zionis Yahudi, dalam protocol of zion pasal 5;” Semboyan kita haruslah berarti, semua sarana kekuasaan dan kemunafikan mengharuskan supaya tindakan kekerasan itu prinsip, dan kekerasan inilah merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai kebajikan. Maka hendaknya  kita tidak ragu-ragu membeli kehormatan, kecurangan atau tipu daya, kalau hal itu membantu kepentingan kita”.

Karena wawasan, ilmu dan bacaan sangat terbatas, sehingga saya tidak pernah mengetahui, apakah dalam pergumulan politik internal Negara Zionis Yahudi dipraktekkan doktrin politik sebagaimana ditulis Fathi Yakan. Yang pasti, demikianlah perilaku politik Zionis terhadap bangsa Palestina.

Dengan deskripsi ini, kiranya sudah teramat jelas perilaku yang dikategorikan politik kualitas tinggi dan kualitas rendah, siyaasah thayyibah dan siyaasah qabiihah. Menukik ke konteks Aceh, elok juga diketahui  beberapa laporan berikut ini.

“Pemantau UE  temukan  intimidasi  pada  pilakada NAD. Ketua misi pemantau pilkada Uni Eropa (UE) Glyn Ford mengatakan, bahwa telah terjadi sejumlah intimidasi selama pesta demokrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang berlangsung 11 Desember 2006. Selama  penyelenggaraan pilkada terjadi sejumlah intimidasi, baik yang terjadi di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS), maupun di luar TPS, kata Glyn Ford di Banda Aceh (Jurnalnet.com, 13/12/2006).

“Jaringan Pendidikan untuk Pemilihan Rakyat (JPPR) melaporkan adanya intimidasi pada hari-H pemungutan suara di Aceh. Di kabupaten  Aceh Tamiang, kelompok pendukung kandidat tertentu mengancam akan membakar rumah kepala desa jika calonnya tidak meraih 50 persen suara. Di Aceh Selatan, tim sukses dari salah satu pasangan calon menghalang-halangi relawan pemantau dan saksi” (Kompas, 12 Desember 2006).

Asian Network for Free Election (ANFREL), sebuah LSM internasional pemantau pemilu mengumumkan temuannya dalam pemilu 2009 di Aceh; “Banyak kasus intimidasi ditemukan di Aceh. Banyak orang berjaga dan menunggu di TPS-TPS untuk mengintimidasi pemilih sebelum mencontreng. Bahkan setelah mencontreng juga masih dilihat apakah pilihan mereka sesuai yang dianjurkan. Seharusnya pemilu tersebut layak diulang” (Serambi Indonesia, 12/04/2009).

Posko Masyarakat Sipil juga mengkhalayakkan; “Praktek intimidasi sangat sulit diungkap, pasalnya para korban tidak ingin keterangan dan identitasnya dibuka kepada publik, padahal kasus intimidasi dan kekerasan pasca hari pemungutan suara secara umum masih terjadi diseluruh wilayah. Sebelum hari pemungutan suara, intimidasi/kekerasan  terjadi di desa-desa atau pemukiman penduduk, pasca hari pemungutan suara, kasus dimaksud ke lokasi PPK, baik dalam bentuk SMS, ataupun melalui telepon gelap kepada petugas PPK, juga adanya penggelembungan suara” (Serambi Indonesia, 13/04/2009).

Menurut saya, adalah dasar a-moral, primitif, tidak ada harga diri dan rasa malu, anti demokrasi dan HAM jika perilaku politik kualitas rendah seperti ini dicari pembenaran dengan alasan masa transisi, kasuistis, tidak ada perintah, bukan kebijakan, diluar kontrol dan sebagainya.

Bagaimana persoalan dan wujud perilaku politisi profesional ? Berikut ini deskripsinya.

Profesional, bersifat profesi, memiliki keahlian dan ketrampilan karena pendidikan dan latihan dalam bidang itu sesorang beroleh bayaran karena pekerjaan itu (Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1994). Dari terminology ini, agaknya boleh  dideskripsikan, bahwa politisi profesional, ialah orang-orang yang berkecimpung dalam bidang politik, memiliki pendidikan, keahlian, ketrampilan dan dedikasi, karenanya ia mendapat bayaran dari profesinya itu.  Tetapi menurut saya, sesungguhnya kriteria pilitisi profesional, selain sebagaimana deskripsi tersebut, pertama, tidak menganut paham pragmatisme, yang mengusung semboyan, mari membangun dari pada banyak bicara. Dengan kata lain, pragmatisme tidak suka mempertanyakan secara kritis, baik tujuan maupun cara-cara mencapainya (Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila). Kedua, kiprahnya dalam rangka jihad di jalan Allah, amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan yang haq,  menentang yang batil, menebar rahmat (kasih sayang) bagi alam semesta, lat batat kayee batee. Ketiga, berdasarkan fakta dan realita teritori, ketika dalam pergumulan untuk  mencapai tujuan, berpedoman pada aturan (undang-undang)  nasional dan syari’at Islam, dengan pemahaman, kedua aturan ini tidak dipertentangkan satu sama lain. Dan memang menurut saya, teks-teks aturan itu, termasuk berkaitan dengan kehidupan berpolitik, diantara keduanya tidak ada yang kontradiktif. Sebagai contoh, high politics dan low politics yang diuraikan di atas, baik aturan Negara RI maupun syari’at Islam memiliki persepsi dan sikap yang sama, yakni sama-sama mendukung dan memuji high politics, serta menentang dan mencela low politics.

Yang pertama, positif konstruktif (membangun), terhormat dan bermartabat. Yang kedua, negative destruktif (merusak), tercela, hina, dina. Distruktif, dalam bahasa al-Quran disebut fasad, dan Allah SWT sangat keras  melarangnya; “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan (fasad) di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qashash, 28: 77).

Dr Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam tafsirnya itu merinci beberapa perilaku yang dikategorikan perbuatan fasad. Di antaranya ialah, al-baghyu ‘alaa ‘ibaadillaahi bighairi haq, bertindak sewenang-wenang dan melanggar hukum terhadap  hamba Allah (apapun suka dan agamanya) dalam berbagai sisi kehidupan, poitik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya dengan perkataan dan/atau tindakan, seperti intimidasi, terror dan sebagainya, juga safkud dimaa’, yakni sesukanya menumpah darah manusia . Keempat, setelah melalui koridor politik kualitas tinggi,  mendapat posisi/jabatan di eksekutif dan/atau legislative, memenejnya dengan benar, amanah, bertanggungjawab, cerdas, bijaksana, aspiratif, transparan dan komunikatif. Last but not least, kelima, meyakini Allah ‘Azza wa Jalla, pertama, selalu menjaga dan megawasi (An-Nisa’, 4: 1, Al-Ahzab, 33: 52). Kedua, berada di mana-mana, mengetahui yang tersembunyi dan transparan, serta mengatahui segala usaha/aktifitas manusia (Al-An’am, 6: 3). Ketiga, meyakini adanya makhluk Allah yang mulia (malaikat-malaikat) bertugas mengawasi, mencatat, dan mengetahui apapun yang dikerjakan, dan pada saatnya kelak ada yang termasuk abraar, yakni orang-orang yang berbakti dan menjadi penghuni surga yang penuh nikmat. Ada juga  fujjaar, yakni orang-orang durhaka, pembangkang  syari’at Allah, dan menjadi penghuni neraka jahim (Al-Infithar, 83: 10-14).

Sejatinya politik itu tidak kotor, dan para politisi, apakah di legislatif maupun eksekutif bukanlah orang-orang yang berlumuran noda kotor, selama aktifitas dan  pergumulan politik  dilakoni dalam koridor yang benar, high politics, siyaasah thayyibah.  Adapun kata-kata kuncinya adalah, memiliki dan kosisten (istiqamah) dengan lima kriteria tersebut, serta dalam segala  ruang dan waktu  menjauhkan diri dari, pertama, an-nafsul ammaarah, yakni nafsu yang selalu menyuruh dan cenderung kepada kejahatan, syahawat keji dan munkar (Yusuf, 12: 53). Kedua, an-nafsul lawwaamah, yakni nafsu (jiwa) yang amat menyesali dirinya sendiri setelah berbuat kejahatan, namun kejahatan itu kembali dilakukan (Al-Qiyamah, 75: 2).

Menurut ulontuan, seperti inilah sosok, karakter dan perilaku politisi profesional, bermartabat, terhormat dan pantas dihormati.

 

2. Clean Government

Sudah merupakan persepsi umum, pemerintah yang bersih adalah apabila dalam pengelolaan pemerintahan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tetapi menurut saya, tidak sebatas ini, yakni selain bersih dari KKN, juga dalam proses sampai mendapatkan posisi jabatan politik di pusat kekuasaan (center of power), eksekutif dan legislative harus dengan cara-cara yang benar, bersih dan beradab, high politics,  siyaasah thayyibah, bukan  low politics, siyaasah qabiihah.

Seseorang yang mendapatkan posisi politik tersebut karena peran dan jasa preman atau cukong rakus (politik uang), maka dapat diduga akan terjadi politik balas jasa, dan lazimnya harus dipenuhi. Tidak hanya sebatas ini, kinerjanyapun akan dikontrol dan diarahkan. Kata-kata kuncinya adalah, kekuasaan yang didapatkan  karena dukungan, peran dan jasa preman atau cukong rakus, adalah  kekuasaan kotor, dan munasabat (susuai) dengan ungkapan orang awam, bahwa sapu kotor tidak akan dapat membersihkan lantai kotor, bahkan semakin kotor. Dalam terminologi dan konsep  Islam sebagaimana hadis Rasulullah Muhammad SAW, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla Maha Baik, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikelola dengan cara) yang baik, Maha Bersih, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikelola dengan cara) yang bersih, Maha Mulia, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikolola dengan cara) yang mulia.

Berbanding lurus dengan ungkapan ini, bahwa pemerintahan, eksekutif dan legislatif yang dipimpin politisi dimana dalam proses mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara kotor dan tidak beradab (politik kualitas rendah), maka tidak banyak dapat diharapkan menjalankan pemerintahan yang bersih (clean government). Juga dalam konteks Aceh yang merupakan salah satu tingkatan dalam system pemerintahan Negara bangsa Indonesia, seperti halnya obsesi rakyat lain di tanah air untuk daerahnya, niscaya terwujud clean government, rakyat Acehpun sangat mendambakannya, dan sampai saat ini dambaan itu belum terwujud.

Memang pihak petinggi pemerintahan, para aparatnya, serta tim ini dan tim itu, berplat merah dan/atau partikelir, melalui pernyataan, tabloid khusus, atau pariwara di media massa, kerap mengkhalayakkan rupa-rupa keberhasilan yang telah dicapainya, juga telah mewujudkan clean government. Hal ini saya hormati, sah dan manusiawi belaka. Namun banyak juga pendapat pihak lain, baik sendiri-nsendiri maupun berjamaah, institusi, berdasarkan fakta empirik, bahwa kinerja petinggi pemerintahan Aceh masih dibawah standard, masih amatiran, dan belum dapat dikatakan berhasil, belum mampu mewujudkan clean government. Hal ini menurut saya disebabkan beberapa faktor:

Pertama, lemahnya posisi rakyat, terutama rakyat di gampong-gampong. Berani bersuara dan bersikap kritis atas kekuasaan, serta merta menghadapi sikap dan bahasa kekuasan dari sementara preman gampong yang klo prip, disertai cap traumatis, pengkhianat, anti dan merusak perdamaian dan sebagainya, yang berujung kepada hilangnya hak-hak sipil sebagai warga Negara/warga masyarakat. Agakya di kota juga tidak sepi, bahkan boleh jadi ada  preman impor dari luar negeri. Yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan para pemilik keunggulan tertentu yang memperlihatkan sikap apatis dan menurunkan  tensi saraf peka akan kondisi di sekitarnya.

Kedua, anggota parlemen yang profesionalitasnya dipertanyakan.

Bagi anggota parlemen profesional, atau pernah menjadi anggota parlemen yang bekerja secara profesional, ikut aturan main, serta berfungsi sebagaimana fungsi parlemen, apalagi pakar hukum tata Negara dan ilmu politik, juga boleh jadi rakyat biasa yang melek politik gregetan melihat kinerja anggota parlemen Aceh.

Betapa  tidak,  halaman  media  massa  beberapa  tahun  terakhir  (saya  sudah hampir tiga tahun menetap di Aceh) kerap memuat berita tentang proyek fisik dan non fisik yang dananya melimpah  dari rupa-rupa sumber, dikerjakan/diurus asal-asalan/asal jadi, bahkan ada proyek diterlantarkan kontraktor setelah uang diambil.

Kendati diperhalus, bahwa itu adalah kerja orang tidak amanah, tetapi sejatinya ia adalah kerja para penipu, karena pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai  dengan perjanjian ketika mendapatkan proyek/pekerjaan itu. Tipu menipu, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah (konspiratif) adalah tindakan kriminal. Namun sampai saat ini terhadap jaringan kaum kriminal itu hanya  sebatas pernyataan di media massa, belum ada tindakan nyata.

Tanpa mengurangi apresiasi dan hormat saya kepada anggota parlemen yang bekerja profesional, tetapi secara umum dan kasat mata,  seperti inilah kualitas kinerja anggota parlemen selama ini. Dengan demikian patut dipertanyakan profesionalitas mereka berkaitan denga tugas-tugas/fungsi yang melekat pada lembaga dan anggota parlemen itu, yakni, penyusunan/penetapan anggaran (budgetter), penyusunan qanun/perda (legislasi) dan pengawasan (control). Lebih dari itu juga patut dipertanyakan keseriusan dan konsistensi  melaksanakan amanah rakyat, sesuai  maqam, status mereka, terlepas apakah status itu didapatkan dengan high politics atau low politics. Tetapi legal formal mereka  adalah wakil rakyat.

Semestinya, parlemen/anggota parlemen yang pada dirinya melekat fungsi kontrol misalnya, khusus berkaitan dengan kasus kriminal tersebut,  selain mengontrol melalui media massa, juga lebih nyata dengan menggelar rapat-rapat, apakah ia rapat kerja (raker), rapat dengar pendapat (RDP), maupun rapat dengar pendapat umum (RDPU). Melalui rapat-rapat inilah, berdasarkan data awal hasil temuan yang diduga ada unsur kriminal, mempertanyakan, meminta pertanggungjawaban, penjelasan dan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses tender dan penetapan sebagai pelaksana suatu proyek. Juga pihak-pihak yang melekat dengan pelaksanaan sebuah proyek, seperti kontraktor, konsultan, pengawas dan lain-lain, yang menyebabkan kerugian bagi rakyat, karena tidak mendapatkan manfaat dari proyek itu. Demikian pula semestinya secara berkala dan teratur menggelar rapat-rapat, selain  dengan mitra kerja, seperti dalam proses pembahasan anggaran belanja dan pendapatan daerah, penyusunan qanun/perda, juga rapat dengan mitra lainnya, maupun representasi masyarakat sesuai dengan jenis rapat  dan isu yang dibicarakan dalam rapat itu, semua rapat itu  terbuka untuk umum. Media massa dengan bebas meliput  dan menyiarkan kepada khalayak. Menurut saya, seperti inilah kinerja anggota parlemen yang profesional.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum (low enforcement).

Adalah lumrah, wajar, manusiawi dan  hak petinggi pemerintah Aceh bersama instrumennya, dengan rupa-rupa modus operandi mengkhalayakkan keberhasilan, penampilan citra dan pesonanya kepada masyarkat. Namun sebagaimana telah disebut sebelumnya, banyak juga pihak lain dari kalangan  masyarakat, sendiri-sendiri dan/atau institusi, berdasarkan fakta menyatakan hal yang berbeda dengannya. Berikut  ini saya kemukakan rupa-rupa pernyataan dari berbagai pihak, termasuk para petinggi pemerintahan Aceh dan kaki tangannya yang menjadi berita media massa di Aceh.

“Tiga tahun pemerintahan Aceh, pemberantasan korupsi masih sekedar jargon. Temuan Tim Monitoring dan Eveluasi (MONEV) di pedalaman Aceh, ratusan miliar dana pengawasan menguap. Di antaranya banyak proyek fisik 2009 yang dananya berasal  dari berbagai sumber dikerjakan di bawah spesifikasi teknis (Spek), atau jauh di bawah kualitas standar kontraknya. Gubernur: Bongkar proyek tak sesuai spek. Temuan Koalisi Lembaga Anti Korupsi: Korupsi anggaran publik di Aceh capai Rp 316 M. Sekum Gapensi: PPTK juga berperan terlantarkan proyek. Banyaknya proyek Otonomi Khusus (Otsus) infrastruktur 2008 yang belum selesai dikerjakan hingga memasuki tahun 2010, telah munculkan keprihatinan di kalangan masyarakat. Sekum Gapensi Aceh menilai, kondisi ini tidak hanya disebabkan kesalahan kontraktor dan konsultan perencana dan pengawas, tapi juga karena tidak tegasnya sejumlah pihak terkait lainnya. Kesalahan juga ada pada  panitia tender, Pejabat Pelaksana Tektik Kegiatan (PPTK) dan Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh . Proyek sekolah Otsus diduga diperjualbelikan, ratusan paket pekerjaan terlantar. “Ada permainan terselubung dalam pengadaan  barang dan jasa di Aceh”. . Rekanan berusaha sogok tim pansus, minta data realisasi proyek digelembungkan. . Tunggakan proyek 2008, banyak realisasi fisik yang digelembungkan. Wagub: Proses saja secara hukum. Kejahatan proyek sudah terjadi, tunggu apa lagi ? LSM anti korupsi protes usul dana aspirasi dewan. Pagu RAPBA membengkak, pembahasan terancam molor. Dana aspirasi matikan aspirasi rakyat.

Atas nama lex specialis, beberapa  tahun terakhir Aceh bergelimang dengan uang/dana dari berbagai sumber yang sejatinya untuk kesejahteraan seluruh rakyat, dan  berita-berita yang dilansir mendia massa ini semuannya  seputar proyek/uang. Wallahu’alam, saya tidak tahu, apakah di daerah-daerah lain di tanah air juga ada berita yang serupa dengannya. Atau memang demikianlah salah satu wujud lain dari “lex specialis”  Aceh.

Bagaimanapun interpretasi terhadap berita-berita tersebut, yang jelas berkaitan dengan masalah uang di Aceh, sangat diharapkan perhatian dan sikap instrumen penegakan hukum dan lembaga pemberantasan korupsi tingkat pusat, KPK dan BPK. Karena faktanya, sampai saat ini instrumen dan lembaga dengan tugas yang sama di Aceh belum menunjukkan kinerja yang signifikan. Dengan ungkapan yang lebih tegas, bahwa penegakan hukum di Aceh masih lemah.

Keempat, karena gaji kecil. Hal ini masih bisa diperdebatkan. Memang ada hadis  yang menyatakan, “kefakiran mendekatkan  seseorang kepada kekafiran”, yakni melanggar ketentuan hukum dan syari’at Islam,  karena  adakalanya karena kebutuhan yang amat mendesak seseorang menjadi gelap mata terhadap sesuatu yang bukan miliknya. Tetapi, bukanlah berarti hadis ini dijadikan landasan pembenaran perilaku pelanggaran dan kriminalitas seseorang. Sangat banyak hamba Allah secara ekonomi tergolong miskin, mustadh’afin. tetapi tetap qanaah, menerima dan menikmati apa adanya dari usaha  kerasnya dengan cara-cara terhormat, legal, baik dan halal. Sebaliknya, tidak sedikit hamba Allah, yang secara secara ekonomi sudah sangat memadai, malah makmur dan melimpah ruah, tetapi berlaku kriminal dan menjadi penghuni penjara.  Adalah fakta, apabila dikaitkan dengan kasus KKN yang terjadi selama ini, ditingkat nasional dan daerah, para pelakunya bukanlah orang secara sosial dan struktural dari golongan kecil. Kasus membawa lari uang rakyat Aceh Utara Rp 220 M ke Jakarta  dalam upaya memburu fee dan bunga berlipat, yang melibatkan orang-orang hebat (petinggi) Aceh Utara, merupakan contoh aktual, betapa kendati  status sosial sudah tinggi dan harta melimpah, namun masih tetap saja menunjukkan watak serta perilaku tamak dan rakus.

Kelima, membangkang pada ajaran/syari’at agama, atau beragama sekedar ritualitas. Sejatinya tidak boleh demikian. Dalam konteks Islam, adalah konsekuensi menjadi mukmin/muslim, agar dalam segala ruang dan waktu, apapun aktifitas dan profesi harus sesuai dan terikat dengan ajaran/syari’at Islam , dan Islam adalah sistem peradaban yang komplit (lengkap) mencakup berbagai aspek hidup dan kehidupan (Al-Ahzaab, 33:36, An-Nisaa’, 5:43, An-Nahl, 16:89). Juga meyakini dan pasti, dalam segala ruang waktu Allah ‘Azza wa Jalla mengawasi dan mencatat segala aktifitas setiap hamba-Nya, dengan konsekuensi digolongkan diantara orang-rang yang konsisten dengan syari’at-Nya (al-braar), terhormat, mulia di dunia dan di akhirat, atau pembangkang  (al-fujjaar), hina, dina dan nista di dunia dan di akhirat (Al-Infithaar, 82:10-16).

Dengan keyakinan dan pemahaman Islam  seperti ini, niscaya dalam segala ruang dan waktu serta apapun profesi dan aktifitasnya, setiap muslim tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar syari’at Allah ‘Azza wa Jalla.

Kelima sebab ini (terutama sekali sebab kelima) berbanding lurus dengan belum terwujudnya clean government. Last but not lease, yang menjadi kata-kata kunci adalah teritori Aceh sebagai bagian dari Negara RI dan salah satu  lex specialis nya adalah secara legal formal berlaku syari’at Islam. Karenanya, sebagai rakyat Indonesia yang tinggal dan hidup di Aceh, terikat dan tunduk pada hukum nasional dan syari’at Islam, sebagaima telah diuraikan  sebelumnya dalam  makalah ini.

In uriidu illal ishlaaha mastatha’tu, wamaa tawfiiqii illaa bil-Laah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib (Ulontuan (saya) tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan sesuai kemampuan. Dan tidak ada taufik bagi ulontuan, melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah ulontuan bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah ulontuan kembali. Huud, 11:88).

 

Banda Aceh, 20 Pebruari 2010

*Disampaikan dalam Seminar Nasional “Optimalisasi Peran Mahasiswa Dalam Mengawal Pemerintah Menuju Indonesia Bersih dan Bermartabat”, di  Unversitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, 20 Pebruari 2010.

** Anggota Parlemen RI 1992-2004, Dosen Universitas Islam Jakarta (UID) 1986-2006

Khusus untuk kawasan Aceh bagian Timur, dua hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 4 Juli 2010, sudah dilantik Pengurus Daerah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kabupaten Aceh Timur. Beberapa hari ke depan, direncanakan pada tanggal 13 dan 14 Juli akan dilakukan pelantikan Pengurus Daerah Dewan Da’wah Kabupaten Aceh Tamiang dan Kota Langsa.

Pengurus Daerah Dewan Da’wah Kabupaten Aceh Timur yang baru dilantik tersebut diketuai oleh Drs. M. Natsir, SH. MH, Sekretaris Hasan Basri, S.Ag dan Bendahara Ismuha, S.Ag serta dilengkapi dengan sejumlah biro-biro.

Dalam sambutannya, M. Natsir, selaku ketua terpilih menyebutkan bahwa kepengurusan yang disusun untuk daerah Aceh Timur sudah mewakili berbagai stakeholder yang ada, baik latar belakang pendidikan, organisasi maupun daerah tempat tinggal yang mewakili semua kecamatan yang ada di Aceh Timur. Penyatuan semua potensi ini menurutnya merupakan langkah awal untuk memajukan organisasi Dewan Da’wah Aceh Timur. Tentu saja, di samping potensi yang sudah ada, perlu tindakan nyata guna lancarnya roda organisasi, dan untuk itu akan segera dicarikan sekretariat di posisi yang strategis, terjangkau bagi semua pengurus. Langkah berikutnya adalah melakukan rapat kerja (raker) guna merumuskan program dan pembagian tugas bagi masing-masing pengurus, demikian Natsir mengakhiri sambutan dengan mengharapkan dukungan dan kerjasama serta keikhlasan bekerja dari semua jajaran pengurus agar semua program berjalan sesuai rencana.

Pihak Pengurus Wilayah Dewan Da’wah Aceh, dalam amanat yang disampaikan oleh ketua umum Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, mengucapkan terima  kasih yang setinggi-tingginya atas keberhasilan penerima mandat menyusun Pengurus Daerah Dewan Da’wah Aceh Timur sekaligus melaksanakan seremonial pelantikan yang dikemas dengan acara workshop singkat tentang bahaya ghazwul fikri. Kecuali itu, Ketua umum wilayah Dewan Da’wah Aceh juga menguraikan bagaimana sejarah perjuangan dari para pendiri Dewan Da’wah bekerja keras dan penuh keikhlasan mengorbankan waktu, tenaga, fikiran dan harta benda guna memajukan da’wah agar Islam tegak di muka bumi. Begitu juga pengorbanan yang telah dilakukan oleh ulama-ulama Aceh masa dulu, dengan berbagai keterbatasan—sarana komunikasi, transportasi, tehnologi—mereka sanggup mengislamkan Aceh, kenapa kita hari ini dengan berbagai kemudahan yang ada belum mampu bekerja sebagaimana mereka, demikian Hasanuddin Yusuf Adan menggugah semua pengurus Dewan Da’wah untuk mencontoh etos kerja tokoh-tokoh Islam sebelumnya.

Sebelum pelantikan yang dilakukan sore  hari, pada pagi dan siang harinya diisi dengan workshop singkat tentang bahaya ghazwul fikri yang membedah tentang problematika ummat Islam, Pluralisme Agama dan Liberalisasi Islam di Indonesia. Ketiga sesi materi tersebut difasilitasi oleh Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, Abizal Lc, MA dan Sayid Azhar,S.Ag. Kepada peserta juga disediakan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan tema workshop.

Diharapkan dengan workshop tersebut peserta mendapat pemahaman yang utuh tentang problematika ummat Islam hari ini, serta memahami program liberalisasi Islam serta upaya dari kaum pluralis untuk mengancurkan Islam. Sehingga workshop ini setidaknya diharapkan mampu membentengi peserta untuk tidak terpengaruh dan terjebak dengan pola pikir tersebut, alih-alih mampu mengcounter dan menunjukkan kelemahan dan kekeliruan dari argumentasi kaum liberal. Semoga!

Banda Aceh, 6 Juli 2010

Sayid Azhar

Sekjen DDII Aceh

 

آ آ Rutinitas kegiatan keagamaan seperti pengajian, khutbah jumat dan ceramah agama hanya diisi oleh tokoh setempat. Sangat jarang ada tenaga professional dari kota yang datang ke sana. Tenaga formal (pegawai pemerintah) pun kadangkala hanya bertahan satu dua hari dalam seminggu, kemudian mereka kembali ke daratan (kota).

آ Menyimak kondisi di atas, Dewan Da’wah Aceh yang selama ini sudah concern dengan pembinaan di Pulo Nasi, pad tahun 2010 kembali mengirim tim dakwah ke sana setiap bulan minimal dua orang guna melakukan pembinaan. Langkah ini dilakukan sambil mempersiapkan da’i permanen yang akan ditempat dan menetap di sana.

آ 

TUJUAN KEGIATAN

Tujuan dari kegaitan pembinaan ini adalah

1.آ آ آ آ  Tersebarnya pemahaman dan pengamalan Islam yang benar di tengah-tengah masyarakat.

2.آ آ آ  Membekali generasi muda dengan pemahaman agama dan akhlak karimah sehingga masjid-masjid dan Meunasah-meunasah menjadi makmur dengan pelaksanakan ibadah.

3.آ آ آ  Memotivasi masyarakat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan ukhuwwah Islamiyah bagi sesama muslim sehingga Kecamatan Pulo Aceh akan bebas dari manusia-manusia bodoh dan jahil yang dapat menghancurkan ummat bukan hanya dari segi ukhuwwah saja namun juga dapat menghancurkan tauhid serta aqidah ummat di sana.

آ 

آ BENTUK KEGIATAN

Kegiatan Pembinaan dilaksanakan dalam bentuk khutbah jum’at, ceramah agama, pengajian untuk orang tua dan remaja.

آ JADWAL KEGIATAN

Kegiatan dimulai dengan ceramah setelah shalat magrib dan subuh, pengajian orang dewasa Kamis Malam, khutbah Jum’at, pengajian ibu-ibu pada sore hari jum’at, pengajian remaja pada jum’at malam, dan hari sabtu pagi kembali ke tempat. Kegiatan ini dilaksanakan pada mingu kedua atau keempat setiap bulan

آ PEMATERI

Setiap bulan akan dikirim minimal dua orang pemateri ke Pulo Nasi, baik dari internal Dewan da’wah atau dari pihak lain yang dikoordinir oleh ketua bidang pembinaan daerah/pulo terpencil

آ 

آ