Archive for month: Desember, 2025

Oleh: Prof. Dr. Muhammad AR. M.Ed

Jika ada manusia yang berani mengatakan bahwa bencana banjir di Sumatera atau di Aceh adalah bukan karena ulah tangan manusia, berari mereka telah menentang pernyataan Allah swt dalam al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 41. Ini jelas sekali pertentangannya dan mengabaikan eksistensi kalam Allah, mereka ingin cuci tangan terhadap kerusakan yang telah mereka lakukan secara besar-besaran dengan menggunduli hutan untuk tanam kelapa sawit dengan alasan ekonomi dan menggali gunung untuk mencari emas, batubara, nikel dan sebagainya demi investasi dan meningkatkan income perkapita, serta meratakan gunung secara perlahan-lahan hingga akhirnya gunung seperti kepala tanpa rambut. Kalau bukan demi kerakusan dan keuntungan segelintir manusia, bumi ini insya Allah akan tetap aman dan sejahtera bagi para penghuninya. Tragis memang, yang menikmati alam ini hanya segelintir manusia yang berkuasa dan memiliki harta, sedangkan yang menderita jutawan anak bangsa yang tidak berdosa. Inikah yang disebut “Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia?” Makanya pemilik lahan itu harusnya orang daerah karena mereka tahu bahwa yang akan menerima akibat nanti adalah saudara atau keluarganya, keponakannya, mertuanya, bisannnya, menantunya, sepupunya, ibunya bapaknya, gurunya, orang kampungnya sehingga ketika dia hendak berbuat sesuatu dia pasti berpikir akan keselamatran saudara-saudaranya, tetapi kalau pemilik lahan itu orang luar apalagi orang asing, pasti mereka tidak tahu menahu tentang harga diri kemanusiaan dan persaudaraan. Mereka hanya tahu uang dan keuntungan, kemewahan diri, kebahagian keluarga dan kroninya sendiri. Mereka tidak ubahnya seperti penjajah.
Firman Allah yang artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Ar-Rum, ayat 41).
Coba pakek akal sehat dan hati nurani untuk memaknai ayat Allah di atas, kenapa semua kejadian yang mengenaskan baik di daratan ataupun di lautan itu terjadi, apakah itu terjadi dengan sendirinya atau secara alamiah, atau ada yang mengundangnya, atau ada orang yang ditakdirkan Allah untuk merusak bumi ini. Siapa yang bertanggung jawab atas rusaknya bumi, gundulnya gunung-gunung, kering dan dangkalnya sungai-sungai, matinya makhluk yang ada di sungai-sungai, terganggunya habitat makhluk hutan dan satwa liar, salahkan mereka ketika turun ke kawasan penduduk manusia? Salahkah para pengungsi yang tidak punya rumah lagi, tidak punya makanan dan minuman ketika menjarah dan merampok apa yang ada didepan mata mereka? Sedangkan para perusak hutan bersenang-senang di tempat aman dan tidur nyenyak di atas dipan-dipan yang menggairahkan, memakan sesuai kehendaknya, berjalan di atas tol dan highways yang tidak tersentuh lumpur dan debu, mereka bersuka ria dengan kroni, keluarga dan para pengeluar izin menggundul hutan, sementara rakyat jelata hidup penuh penderitaan dan kesengsaraan akibat ulah tangan manusia rakus. Bukankah pernyataan Allah lewat surat Ar-Rum ayat 41 di atas menshahihkan kebejatan manusia tentang perbuatan mereka yang tidak memikirkan keselamatan manusia lainnya, tidak menghiraukan nasib orang lain, dan sama sekali tidak punya belas kasihan seperti yang berlaku di Sumatera dan Aceh akhir bulan November dan awal Desember 2025.
Mari kita memakai otak untuk menghitung berapa nyawa yang sudah hilang gara-gara bala bencana ini, berapa buah rumah yang tidak tahu rimbanya diterjang banjir ini, berapa banyak binatang ternak yang telah punah dan bangkai-bangkainya merajalela di tengah pemukiman penduduk dengan bau yang menyesakkan hidung, berapa banyak bangkai-bangkai manusia berserakan di dalam lumpur dan sungai-sungai yang tidak terkubur, berapa banyak penduduk gunung dan bukit yang punah, berapa kantor pemerintah yang harus dibangun kembali, berapa harta benda yang sudah ranap, dan berapa kenderaan yang harus diperbaiki dari nol, dan berapa ribu anak manusia yang tidak belajar (berhenti) karena situasi dan kondisi ini serta gedung sekolahnya hancur, berapa banyak rumah ibadah yang rusak dan dipenuhi lumpur yang secara akal sehat kalau mau dibersihkan pakek cangkul dan alat-alat lainnya, enam bulanpun belum tentu selesai. Tidakkah kamu memakai otak? Demikian pernyataan Allah sering kita dapatkan dalam al-Qur’an. Seharusnya tidak purlu ditanya siapa manusia, itulah sejatinya seorang manusia kerjanya suka membangkang, suka merusak, suka membantah, keras kepala , egois, dan mau menang sendiri. Sering kita dengar orang-orang yang berkuasa selalu mengatakan, “Negara tidak boleh kalah”, walaupun terhadap rakyat jelata yang tidak punya pembela dan penolong.
Lihat bagaimana tragis dan sengsaranya warga Aceh Tamiang, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireun, akibat dari bencana banjir ini. Rumah mereka ditelan bumi, harta benda mereka ditelan sungai dan lumpur, sanak saudaranya banyak yang hilang ditelan banjir, tempat sekolah anak-anak mereka banyak yang tidak tahu rimbanya, mereka menjerit kelaparan dan kehausan karena terisolir dan terputus hubungan dari berbagai jurusan. Jembatan putus, jalan terbelah dan terputus serta terkubur tanah longsor. Kata Wali Nanggroe helicopter di negeri ini banyak sekali tetapi yang diberikan untuk setiap provinsi yang terkena banjir hanya empat unit, suplai makanan terhenti seperti saudara kita yang tinggal di Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues, mereka memang tidak terkena banjir bandang tetapi imbasnya mereka kehabisan makanan, minuman, minyak, gas dan lain-lain. Ini dikarenakan terputusnya hubungan darat ke daerah mereka karena jembatan menuju ke dataran tinggi semuanya ludes dilahap air bah (banjir). Jika boleh dikatakan, musibah banjir tahun 2025 untuk Aceh melebihi Tsunami tanggal 26 Desember 2004. Karena tsunami hanya terjadi Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Sedangkan musibah banjir kali ini Desember 2025 hampir menyeluruh dirasakan di provinsi Aceh. Namun Tsunami banyak kehilangan nyawa dan harta benda, sedangkan musibah banjir tahun 2025 banyak kehilangan harta benda. Itu saja perbedaannya.
Namun demikian hingga hari ini, Ahad 14 Desember 2025 Pemerintah Republik Indonesia belum menetapkan Bencana Banjir Sumatera sebagai bencana nasional sehingga bantuan asing tidak diizinkan masuk dan tidak berani masuk untuk membantu korban banjir. Memang ini seperti buah simalakama, artinya “kalau dimakan mati ayah, dan kalau tidak dimakan mati mama”. Kita sendiri gak sanggup membantu dan merekonstruksi semula semua kehancuran ini walau dalam masa enam bulan, ada negara luarpun yang hendak membantu, namun ditolak oleh pemerintah kita, harus ada surat izin masuk. Kenapa untuk merambah hutan dan menggali gunung cepat sekali izinnya keluar? Ini artinya kita masih tegak berdiri untuk menolak bantuan asing , tetapi ada resikonya kalau bantuan asing diterima, mereka sambil bawa bantuan menyelidiki kenapa musibah ini terjadi, kalau penyebabnya sudah diketahui, hasilnya akan dipaparkan di event dunia, disitulah wajah Pemerintah Indonesia akan dipermalukan karena membiarkan hutan digundul, bukit diratakan, tambang dibuka seperti orang buka lapak di pasar malam khususnya kepada mereka yang punya kuku (ukee). Ini resiko dan memalukan, makanya walaupun kita miskin tetap menyuarakan kaya di mata dunia walaupun rakyat meronta-ronta, rumah tempat tinggal ranap, makanan senin kamis, air bersih model tadah hujan, transportasi lumpuh, aktivitas lumpuh total, hidup di tempat pengungsian yang sangat tidak layak dari semua unsur, dan begitulah yang penting rakyat yang punya ketauhidan yang tinggi, bersabarlah kepada Yang Maha Kuasa karena Dia-lah Yang Maha Penolong hamba-hambanya yang sabar.
Perlu diketahui akibat banjir itu, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Bireun, Pijay, Tamiang, Langsa, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues dll dalam keadaan gelap gulita, krisis Listrik, krisis air mimun, krisis gas dan krisis BBM. Ini diakibatkan aktivitas transportasi lumpuh, lalu rakyat bertanya, kapan kondisi ini berubah setahun kah, sebulan kah, atau …? Sejak tulisan ini ditulis Aceh sudah tiga minggu hidup dalam menderita dari berbagai sektor, nasib baik manusia yang tinggal di Aceh masih dalam tataran sabar dan beriman yang hanya kepada Allah mereka sandarkan diri. Semoga artikel ini bisa menggugah semua orang dan jangan gara-gara musibah ini ada manusia busuk mengambil kesempatan dalam kesempitan, menaikkan harga, menaikkan biaya transortasi, menaikkan biaya penyeberangan, mempersulit izin, dan mengmabil upah seenaknya saja terhadap barang bantuan untuk kemanusiaan, memonopoli pelabuhan dan lapangan terbang untuk meminta ongkos bongkar muat barang. Bukankah pemerintah pusat dan orang-orang dermawan mengirimkan bantuan untuk saudara kita? Kenapa kita tidak punya hati nurani dan kemanusiaan? Ini telah berlaku terhadap penduduk Aceh oleh manusia yang berprangai Belut yang hanya bisa mencari makan di air keruh. Jauhkan sifat busuk ini kalau anda masih ber-KTP Islam.
Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh

Pada Rabu dini hari, 26 November 2025, sekitar pukul 03.00, badai angin menghantam Aceh Tamiang. Akibatnya, terjadi pemadaman listrik sesaat dan beberapa pohon tumbang di sejumlah lokasi, termasuk di Tualang Cut, jalan lintas Sumatra. Badai ini kemudian disusul hujan yang sangat deras, yang telah mengguyur sejak Selasa dan berlanjut hingga siang hari Rabu. Kondisi ini menyebabkan beberapa kawasan seperti Seruway, Sekerak, dan Bukit Rata mulai terendam, memaksa warganya mengungsi ke rumah-rumah kerabat.

Menjelang malam, setelah Isya, sekitar pukul 21.00, air mulai memasuki Kampung Dalam, daerah tempat tinggal kami. Padahal, menurut penuturan warga setempat, kampung ini belum pernah terendam air bahkan saat banjir besar sekalipun. Namun, kami menyaksikan sebuah keanehan: meskipun ketinggian air baru sebatas betis orang dewasa, arusnya sangatlah deras, ini menunjukkan air datang dari luapan sungai dari atas gunung bukan tergenang.

Sekitar pukul 21.47, air akhirnya masuk ke dalam rumah kami. Saya dan keluarga paman segera naik ke lantai 2 untuk menyelamatkan diri. Kami tidak sempat membawa banyak barang, seperti makanan, pakaian, dan obat-obatan, karena kami memperkirakan air hanya akan naik setinggi lutut atau sepinggang.

Namun, Allah berkehendak lain. Listrik padam dan ketinggian air terus meningkat drastis, mencapai 1,5 meter pada Kamis, 27 November. Pada pagi hari Kamis itu, melihat kondisi air yang semakin tinggi, kami mencoba turun ke lantai dasar untuk mengambil beberapa makanan yang masih terselamatkan di dapur, serta gas dan kompor agar bisa memasak. Saat itu, sinyal ponsel masih hilang timbul, dan menjelang siang, sinyal hilang total. Air terus naik dengan gelombang yang semakin besar. Di depan rumah, kami juga melihat beberapa narapidana yang dilepas berjalan perlahan melewati genangan air setinggi leher orang dewasa, mencari tempat berlindung. Namun, banyak yang menolak mereka karena statusnya sebagai narapidana, dan beberapa rumah juga sudah sangat sesak di lantai duanya, seperti rumah kami yang berukuran 3×3 meter menampung 7 orang (termasuk 1 balita), dan rumah tetangga kami yang menampung 30 orang. Meskipun demikian, Alhamdulillah, beberapa toko yang memiliki lantai dua bersedia menerima dan menolong mereka.

Sekitar pukul 10.00 pagi, air dan arus terus bergejolak, menabrak beberapa rumah hingga merobohkannya. Salah satu korbannya adalah Alfamart yang berada tepat di depan rumah kami. Dinding belakangnya jebol, menumpahkan seluruh isinya. Semua makanan menyebar dan tersangkut di beberapa rumah, memudahkan orang-orang yang sudah tidak sempat menyelamatkan makanannya untuk memungutnya. Beberapa anak remaja yang berani berenang dan naik di atas atap rumah-rumah warga pun ikut mengambil makanan dan menyalurkannya.

Menjelang Asar, ketinggian air semakin kencang dan mencapai sekitar 3 meter, sehingga tidak ada satu orang pun yang terlihat mencoba berenang atau turun. Semuanya hanya bisa melihat dan menunggu, berharap air segera surut. Di pagi hari, kami sudah mencoba menghubungi tim SAR, namun mereka tidak dapat menolong, hanya menyarankan untuk evakuasi mandiri dan bertahan di lantai 2. Kami juga menghubungi BPBD, tetapi tidak ada jawaban.

Situasi semakin mencekam karena arus dan airnya semakin kuat dan tinggi. Ditambah lagi, ada dua orang (termasuk 1 anak kecil) yang hanyut terbawa arus. Orang-orang hanya bisa berteriak histeris dan menangis, tak mampu berbuat apa-apa, berharap puluhan helikopter TNI dan POLRI datang menyelamatkan kami. Hingga akhirnya malam tiba, situasi pun semakin genting. Hanya tersisa beberapa anak tangga lagi sebelum air mencapai lantai 2. Saat itu, saya langsung mengumandangkan azan dengan suara yang keras, mencoba melawan kerasnya suara arus. Saya berharap suara ini didengar, memberikan harapan dan pesan kepada orang-orang bahwa sebagai seorang muslim yang memiliki tauhid, mereka masih punya penolong. Kami memanjatkan doa kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya, bertobat di detik-detik terakhir, dan menyesali dosa yang telah dilakukan agar saat kami semua hanyut pun, kami mati dalam husnul khatimah dan meninggalkan dunia dengan kepala tegap menghadap Allah.

Setelah Isya, situasi semakin menakutkan karena suara arus yang semakin mendekati lantai 2 terdengar seperti ombak di tengah badai lautan. Kami sudah menyiapkan terpal untuk naik ke atap lantai 2, jika kemungkinan air naik lebih tinggi. Paman dan bibi saya sudah naik, sedangkan kami belum, karena masih ada satu anak tangga lagi sebelum air mencapai lantai 2.

Malam itu adalah malam Jumat, saya teringat bahwa itu adalah hari di mana semua doa diijabah. Saya terus berdoa kepada Allah sepanjang malam tersebut sambil menangis, “Ya Allah, kami semua pendosa, semua membangkang kepada-Mu, namun setidaknya ada orang saleh dan ikhlas beribadah kepada-Mu. Mohon selamatkanlah kami karena mereka. Ya Allah, di antara kami ada anak kecil, balita, bayi di atas loteng rumah orang, mereka belum berbuat dosa sama sekali kepada-Mu, selamatkanlah kami karena mereka, Ya Allah. Ya Allah, saya masih punya anak umur 1 bulan,istri orang tua, dan 4 adik, berikanlah saya kesempatan lagi untuk berbuat baik kepada mereka semua, Ya Allah.” Sayapun salat 2 rakaat sebagai persembahan ibadah terakhir saya sebelum air menghanyutkan kami semua. Pada malam itu, semua orang yang ada di atap berteriak “Tolong… tolong…”, berharap ada tim penyelamat yang datang karena mendengar suara ini. Tidak ada satu pun yang tidur karena situasi sudah seperti ini.

Hingga akhirnya saya merasa Allah mengijabah doa kami, karena dari semalam sampai subuh, airnya terus bertahan tidak naik lagi, sehingga membuat hati saya agak semakin lega. Namun, tantangan baru kembali datang. Air masih setinggi sekitar 5 meter, dan arusnya tidak ada yang sanggup menerjang. Makanan dan air minum sudah menipis, beberapa bayi pun sudah kelaparan. Sehingga, ada beberapa rumah yang langsung menimba air banjir yang lewat dan memasaknya untuk diminum. Adapun kami memasak air hujan yang sudah tertampung di terpal yang sudah kami bentangkan semalam, sehingga bisa bertahan satu hari lagi.

Orang-orang yang berada di lantai 2 dan di atas rooftop juga mencoba melempar makanan dan tali ke rumah kami untuk kami lemparkan lagi ke rumah dan atap orang lain. Yang sangat mengejutkan saya adalah, yang mengumpulkan dan melempar makanan serta minuman ke rumah kami tersebut adalah para narapidana yang sebelumnya diizinkan masuk dan menginap bersama penjaga ruko. Para narapidana yang sebelumnya diusir dan ditolak hampir oleh seluruh rumah warga, pada hari itu justru lebih layak diberikan bintang penghargaan pahlawan daripada pejabat-pejabat hari ini. Mereka lebih manusiawi, lebih simpati, dan lebih bisa diandalkan daripada tim SAR, aparat, dan pejabat negeri ini.

Singkat cerita, air perlahan surut mulai Jumat hingga Ahad pagi, 30 November 2025. Saat air surut, semua orang langsung turun untuk mencari makanan dan minuman di puing-puing reruntuhan rumah. Kami saling bertemu, menanyakan nasib dan keadaan sesama, saling menangis haru karena Allah masih memberikan kami kesempatan untuk melihat matahari dan beribadah kepada-Nya.

Dari Ahad sampai Rabu (30 November – 3 Desember), orang-orang mencari makanan, gas, mencuci sisa pakaian yang sudah berlumuran lumpur untuk digunakan lagi, serta membersihkan rumah dari lumpur yang sudah setinggi lutut. Kami mendengar kabar dari pejalan kaki dari arah Medan ke Banda Aceh dan sebaliknya. Mereka berjalan kaki, berenang di genangan banjir, untuk melanjutkan perjalanan kembali ke kampung dan ke tempat yang aman, serta melihat saudara mereka di Tamiang.

Hingga akhirnya Rabu 3 Desember 2025 saya memutuskan untuk meninggalkan Tamiang, berjalan dan menumpang truk yang lewat, dan tiba di Langsa. Di sana, kami langsung mendapatkan sinyal dan menghubungi keluarga, yang sudah mencari dan menantikan kabar kami di Tamiang.

Allah memberikan cobaan ini untuk kita renungkan bersama, bahwa harta itu jika bukan kita yang meninggalkannya, maka dialah yang akan meninggalkan kita. Orang kaya di Tamiang dengan segala hartanya habis Allah ambil dengan bencana. Maka, jangan terlalu tamak dan serakah, rajinlah bersedekah karena itu semua bukan milik kita.

Saat bencana terjadi, segala harta yang kita miliki sudah tidak bernilai lagi. Kita tidak risau lagi saat melihat mobil, motor, rumah, dan segala isinya hancur dan rusak. Kita malah bersyukur bahwa Allah masih menyisakan kita nyawa. Maka dari itu, janganlah kita jadikan harta sebagai tujuan utama hidup kita di dunia ini.

Saat semua mengharapkan manusia, pemerintah, tim SAR untuk menolong, tidak ada satu pun yang datang kecuali Allah Ta’ala. Mereka tidak mampu dan tidak bisa melakukan apa pun. Maka, jadikanlah Allah sebagai penjaga dan penolongmu, berharaplah kepada-Nya dalam segala hal.

Saya berharap agar bantuan segera datang dan masuk ke Tamiang. Mereka butuh obat, makanan, air bersih, tempat tinggal, pakaian, dan lainnya. Dana sudah digalang, maka saya mohon sekali tidak ada permainan dan orang mengambil untung dari kejadian ini. Saya mohon sekali dengan sangat-sangat agar tidak ada korupsi dari bantuan ini. Jika tidak mau membantu, maka jangan menzalimi. Tolong pemerintah turun tangan dengan cepat. Mereka rakyat kalian. Ke mana kalian saat datang mengemis di masa Pilkada kepada mereka, dan saat mereka butuh kalian, kalian tiada. Kalau kalian tidak mampu, maka biarkan orang dan negara lain membantu, jangan dihalangi. Apakah kalian menjadikan angka kematian sebagai syarat penerima bantuan? Umar bin Khattab saja tidak bisa tidur jika ada satu saja rakyatnya kelaparan. Apakah kalian menunggu dan melihat angka survei jumlah korban agar kalian memutuskan membantu mereka yang sudah ditunggu oleh kematian karena lapar, haus, dan kedinginan?

Saya dengan hati yang paling dalam memohon dengan sebesar-besarnya, bantulah mereka, kerahkan semuanya.

Penulis: Sahal Muhammad AR, Penyuluh Agama Islam Aceh Tamiang.