Archive for month: Agustus, 2025

Oleh Prof. Dr. Muhammad, M. Ed

Kemerdekaan bukanlah untuk memberi amnesti dan pembebasan kepada koruptor dan para pelaku dosa terhadap rakyat dan negara. Konon lagi memberi pengampunan kepada mereka yang telah menipu rakyat banyak, akan tetapi berilah kemerdekaan kepada orang-orang yang ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara oleh lawan-lawan politiknya yang belum tentu bersalah. Karena kebanyakan pengadilan memutuskan perkara sesuai pesanan dan selera para pemegang kendali negara.

Oleh kerana itu hari kemerdekaan Republik Indonesia hari ini seharusnya membebaskan orang-orang yang dipenjara oleh rezim Jokowi bukan karena kesalahannya tetapi karena tidak mau mengikuti telunjuknya, karena tidak sealiran dengannya. Misalnya memerdekakan Setya Novanto atas tuduhan E-KTP dari penjara perlu ditinjau ulang karena ia seharusnya bukan pengampunan yang harus diberikan, akan tetapi dimiskinkan sampai ke titik nadir. Ini pelajaran penting bagi penjarah uang negara dan uang rakyat, “no bargain” terhadap mereka karena mereka tidak punya hati nurani dalam memiskinkan rakyat 230 juta demi memperkaya diri dan kroni-kroninya. Lalu kepada orang semacam ini diberi amnesti dan pemotongan masa tahanan, malah sebelumnya afa yang pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran selama dalam masa penahanan.
Orang
Presiden Prabowo seharusnya harus adil dan bijak dalam memberikan amnesti kepada narapidana, misalnya koruptor, narkoba, pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat-pengkhianat lainnya. Kemerdekaan harus diberikan kepada kaum tertindas, kaum fakir miskin agar mereka terbebas dari belenggu para tiran dan majikan yang biadab, dan bebas dari kelaparan dan kepapaan. Kalau ini bisa dilakukan oleh para pengendali negara, maka inilah kemerdekaan yang hakiki yang perlu dilaksanakan.

Orang sangat merasa risih dan sangat sakit hati kalau yang dibebaskan itu adalah koruptor yang melahap uang negara triliunan dan milyaran, pembunuh yang tidak berperi kemanusiaan, pemerkosa anak-anak dan perempuan, hakim dan jaksa yang menerima uang suap, polisi yang curang, tentara yang tidak setia kepada negara dan taat hukum, akan tetapi terapkan hukum kepada mereka hingga jera yang kuat harus dilemahkan hingga lunglai, yang kaya harus dimiskinkan, yang memperkosa harus dikebiri, dan yang berlaku tidak adil dan suka menerima dan minta suap harus dijadikan mereka menjadi pengemis. Itulah hukum yang sebanding dan inilah yang namanya qishas. Ini baru merdeka dalam pandangan masyarakat kelas bawah.
Kemerdekaan bukan hanya slogan kosong dan lomba panjat pinang, dan serba pertandingan lainnya. Akan tetapi kemerdekaan adalah renungan penuh makna disertai doa kepada para syuhada dan pahlawan. Kemerdekaan adalah mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dianugerahkan Allah kepada negara dan bangsa ini. Kita harus merdeka dari kebodohan dan kemiskinan serta informasi yang seluas-luasnya tanpa harus ditutup-tutupi. Ini baru merdeka.
Kita harus diberikan kemerdekaan juga dalam hal memberikan usul dan perbaikan pemerintah, dan jangan dianggap mengkritik pemerintah tetapi memberikan masukan agar kalau ada kekurangan dan ketimpangan cepat ditanggulangi, karena itu para Raja baik diperingkat Kabupaten, kota provinsi hingga pusat tidak alergi dengan kritikan yang datang dari rakyat bawah. Para raja tidak wajib mendengar bisikan bisikan yang berasal dari sekelilingnya saja yang hanya menyajikan berita yang manis sementara berita yang menyakitkan dan penderitaan rakyat banyak disembunyikan.

Marilah kita maknai kemerdekaan ini secara arif dan bernilai agar maksud dan tujuan kemerdekaan tidak salah paham bagi orang- orang yang sedang mengelola negara, adil dan bijaklah dalam berbuat serta berkuasa terhadàp rakyat yang tidak berdosa menjadi korban ketidakadilan kita sebagai pengendali negara. Letakan sesuatu pada tempatnya, jangan selalu melihat ke atas tetapi sesekali lihat ke bawah dan semakin banyak melihat ke bawah semakin baik dan selamat. Pengkhianat tidak perlu dipuji dan disanjung. Yang berhak dipenjara jangan dimerdekakan, dan yang berhak bebas tak perlu dipenjarakan. Inilah makna kemerdekaan dalam perspektif “lay man”.

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh

Oleh Prof. Dr. Muhammad AR.M.Ed

Bangsa Indonesia hari ini (Ahad tanggal 17 Agustus 2025) telah genap 80 tahun merayakan hari kemerdekaannya. Artinya bangsa ini telah 80 tahun merdeka dari penjajah yang tidak punya peri kemanusiaan dan tidak beradab dari segi nilai kemanusiaan. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang Indonesia mensyukuri nikmat Allah yang sangat besar ini dan tidak lupa mendoakan kepada segenap roh para pahlawan dan syuhada yang telah berjuang mati-matian demi bangsanya. Inilah bangsa yang mempunyai rasa syukur kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa)
dan jasa para pahlawan.

Merah putih merupakan bendera bangsa dan Inilah penyebab para pahlawan dan para syuhada rela nyawa dan hartanya melayang tanpa perlu mendapat pujian dan ganti rugi. Bendera bangsa ini bukan hanya harus dijunjung tinggi oleh TNI-POLRI saja, akan tetapi oleh semua anak bangsa tanpa kecuali bagi yang sudah berbangsa Indonesia, bertanah air Indonesia dan berbahasa Indonesia. Ingatlah jasa dan perjuangan mereka para pendiri bangsa, jangan sampai anda menjadi anti terhadàp sejarah bangsa hingga menghilangkan pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan bangsa. Ini adalah bentuk pengkhianat terhadap bangsa dan juga kepada orang-orang yang mengutamakan bendera-bendera lainnya.

Namun sekarang berlomba-lomba menaikkan bendera sendiri seperti one piece dan bendera-bendera partanya, bendera-bendera organisasinya, dan bendera-bendera lainnya karena mungkin tidak lagi senang dengan bendera bangsanya. Kalau tidak senang kepada pemerintah, bukan benderanya yang diboikot tetapi pemerintahnya yang harus diperbetulkan. Sebab kalau kita yang memerintah nanti sang saka merah putih itu juga yang kita pertahankan. Kalau pemerintah dan aparat negara tidak menjalankan keadilan, khususnya dalam menegakkan hukum secara adil, tidak berkeadilan dalam pengusaan dan distribusi hasil bumi, keadilan ekonomi, sosial, pendidikan dan pekerjaan kepada anak bangsa. Maka sama saja bagi mereka adalah termasuk orang-orang yang tidak tahu berterima kasih.

Orang yang tahu berterimakasih adalah zelalu bertanya “apa yang seharusnya kuberikan kepada negara bukan sebaliknya berapa banyak harta negara yang dikorupsi” . Kalau begini kelakuannya itu adalah pengkhianat negara, jadi gak perlu jauh dan sukar untuk mencari pengkhianat negara. Mereka ada di tengah-tengah kita tinggal mereka ditangkap dan dijebloskan ke Nusakambangan semuanya. Inilah cara yang harus ditempuh oleh Raja yang adil sebagai cara mensyukuri nikmat.

Jadi jangan salah cara menikmati hari kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kemerdekaan. Lihat bagaimana Umar bin Khattab memimpin sehingga orang misikin dan fakir-pun ditemukan karena Dia ketika habis shalat malam, mengunjungi rumah-rumah rakyatnya untuk memastikan apakah mereka makan atau berpuasa berhari-hari. Sehingga harta negara dan baitul maal harus menyantuni mereka semua. Jadi uang negara atau harta negara harus diberikan kepada anak bangsa yang membutuhkannya tidak mengendap dikantong-kantong conglomerat, penguasa dan baital maal. Orang kaya miskin disisi Umar bin Khattab dan orang miskin merasa kaya, orang kuat merasa lemah, dan orang lemah merasa kuat dihadapan mahkamahnya. Ini termasuk menyukuri nikmat dengan menjalankan keadilan yang merata tanpa pandang bulu.

Islam mengajarkan kita berterima kasih melalui ketaatan kepada Allah artinya mengerjakan semua suruhan-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, ini sebagai bukti perhambaan kepada Allah dan sekaligus menyukuri nikmat. Kalau ini kita lakukan baik ummat Islam ataupun non muslim maka ini sudah dianggap mensyukuri nikmat.

Oleh: Afrizal Refo, MA

Dua puluh tahun telah berlalu Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati menandatangani sebuah perjanjian bersejarah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di sebuah ruang bersejarah di Helsinki, Finlandia. Perjanjian itu menutup lembaran kelam konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade, yang telah merenggut nyawa puluhan ribu orang dan memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Tanggal 15 Agustus 2005 itu bukan sekadar lembaran perjanjian di atas kertas, melainkan ikrar jiwa bahwa peluru akan berhenti berbicara dan suara-suara nurani akan mengambil alih. MoU Helsinki menjadi tanda lahirnya kembali Aceh sebagai tanah yang merindukan pelukan, bukan ledakan tapi tanah rencong yang menebar senyum, bukan luka.

Sebelum hari itu, Aceh adalah hamparan tanah yang kerap basah bukan hanya oleh hujan, tapi juga oleh darah. Pekikan ibu yang kehilangan anaknya, isak anak yang kehilangan ayahnya, dan tatapan kosong mereka yang rumahnya musnah menjadi bagian dari nyanyian kelam masa lalu. Jalan-jalan dipenuhi pos-pos pemeriksaan, hutan-hutan menyimpan dentuman senjata, dan malam tak pernah benar-benar sunyi.

MoU Helsinki memutus rantai itu. Sejak hari itu, dentuman yang terdengar di Tanah Rencong bukan lagi ledakan senjata, melainkan denting cangkul di sawah, suara gelak tawa anak di sekolah, dan lantunan azan yang menggema tanpa rasa takut. Desa-desa yang dulu porak-poranda mulai berbenah, sawah kembali menghijau, pasar kembali ramai, dan wajah-wajah yang dulu tegang kini mulai berani tersenyum pada orang asing.

Kini, dua dekade telah berlalu. Damai masih bersemi di Serambi Mekah meski tak selalu tanpa ujian. Dua puluh tahun ini adalah waktu yang cukup panjang untuk menilai sejauh mana perjanjian itu dihidupi, diimplementasikan, dan diwariskan kepada generasi baru Aceh

Namun, damai bukanlah hadiah yang bisa disimpan begitu saja di lemari sejarah. Damai adalah taman yang harus disiram, dipangkas, dan dijaga dari duri-duri yang siap tumbuh kapan saja. Dua dekade ini mengajarkan bahwa menghentikan perang jauh lebih mudah daripada merawat perdamaian. Senjata bisa dikubur, tapi rasa curiga dan luka batin butuh waktu untuk sembuh.

Di balik pembangunan yang terlihat Aceh masih menyimpan pekerjaan rumah. Dana melimpah dari otonomi khusus belum sepenuhnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan merata. Ada desa yang makmur namun ada pula yang masih bertahan di pinggir kemiskinan. Ada anak muda yang sukses memimpin, namun tak sedikit yang terjebak pengangguran dan kehilangan arah. Korupsi sesekali merusak citra pemimpin seperti noda di kain putih perdamaian yang kita banggakan.

Meski begitu, tak ada yang bisa menyangkal bahwa Aceh hari ini jauh berbeda dari Aceh dua dekade silam. Pemuda-pemuda kini bisa beraktivitas bekerja seperti pergi kesawah atau menuntut imu tanpa takut suara mereka tertelan deru tembakan. Perempuan-perempuan bisa menjahit di teras rumah sambil bercengkerama dengan tetangga tanpa khawatir suara itu menjadi tanda bahaya. Dan para mantan kombatan kini bisa duduk berdampingan dengan mantan lawan politiknya di meja rapat membicarakan masa depan bukan masa lalu.

Dua dekade ini juga memberi pelajaran bahwa perdamaian harus terus dipelajari dan diwariskan. Generasi yang lahir setelah 2005 mungkin hanya mengenal perang dari buku dan cerita. Mereka tak pernah merasakan dinginnya tidur di hutan untuk menghindari baku tembak. Mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menyembunyikan saudara di kolong rumah. Karena itu, sejarah harus terus diceritakan bukan untuk membuka luka lama tetapi untuk mengajarkan harga mahal dari sebuah damai.

Kini, di Tanah Rencong, kita punya pilihan membiarkan damai ini berjalan di jalannya sendiri, atau merawatnya dengan sepenuh hati. Kita bisa mengisinya dengan pembangunan yang adil dengan pemerintahan yang bersih dengan ekonomi yang menghidupi rakyat dari desa hingga kota. Kita bisa mengajarkan kepada anak-anak bahwa damai bukan sekadar tiadanya perang, tapi hadirnya rasa aman, rasa dihargai, dan kesempatan yang sama untuk semua.

Aceh punya segalanya untuk menjadi contoh bagi dunia berupa alam yang kaya, budaya yang kokoh, dan sejarah yang mengajarkan betapa berharga hidup tanpa perang. Tinggal bagaimana kita, anak-anak yang lahir dari rahim damai ini mampu menjaganya dari tangan-tangan yang mungkin mencoba merenggutnya kembali.

Dua puluh tahun MoU Helsinki adalah pencapaian besar. Tidak banyak wilayah di dunia yang berhasil mempertahankan perdamaian begitu lama setelah konflik bersenjata. Tetapi, seperti taman yang indah, damai memerlukan perawatan terus-menerus. Jika dibiarkan tanpa perhatian, ia bisa dipenuhi gulma yang mengganggu keindahannya.

Dua puluh tahun MoU Helsinki bukanlah akhir dari perjalanan. Ia hanyalah sebuah jeda panjang dari masa lalu yang kelam, sebuah kesempatan untuk menulis bab-bab baru yang lebih indah. Jika dulu kita rela berkorban demi merdeka dari derita perang, maka kini kita harus rela berkorban demi merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.

Tanah Rencong telah mengajarkan pada dunia bahwa peluru bisa diganti dengan kata, bahwa luka bisa disembuhkan dengan pelukan, dan bahwa dendam bisa dikalahkan oleh doa. Mari kita terus menjaga agar pelajaran ini tak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi menjadi napas kehidupan setiap hari. Karena damai yang kita miliki hari ini adalah warisan, dan warisan hanya berarti jika dijaga untuk generasi berikutnya.

Dua dekade MoU Helsinki adalah cermin. Di dalamnya, kita bisa melihat betapa jauh kita telah berjalan, dan betapa panjang jalan yang masih harus ditempuh.

Aceh telah membuktikan bahwa luka masa lalu bisa disembuhkan dengan keberanian untuk berdamai. Tantangan kita kini adalah memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi bukan hanya tanah yang subur dan kaya budaya, tetapi juga negeri yang damai, adil, dan sejahtera. Dua dekade MoU Helsinki adalah pengingat bahwa perdamaian adalah hadiah yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan. Semoga ketika dua dekade berikutnya tiba, kita masih bisa berkata dengan bangga: Damai ini adalah pilihan kita, dan kita menjaganya dengan sepenuh hati.

Penulis : Sekjen Dewan Dakwah Kota Langsa dan Ketua Komunitas Generasi Rabbani Langsa

Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh kembali melahirkan kader dakwah unggulan. Sebanyak 12 dai dan daiyah dari angkatan XI tahun akademik 2024/2025 resmi diwisuda dalam acara tasyakuran yang digelar di Kampus ADI Aceh, Komplek Markaz Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Sabtu (2/8/2024).

Direktur ADI Aceh, Dr. Abizal Muhammad Yati, Lc, MA, dalam sambutannya menyampaikan ADI Aceh merupakan lembaga pencetak kader dai ilallah yang berada di bawah naungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Kini telah memasuki usia 11 tahun sejak didirikan pada tahun 2014. Dan telah melahirkan ratusan alumni yang saat ini telah bertugas sebagai dai di perbatasan dan pedalaman Aceh.

Ia menjelaskan pendidikan selama di ADI diberikan secara gratis baik tempat tinggal, konsumsi dan juga belajar. Hal ini berkat donatur yang senantiasa memberikan sumbangan rutin dan para dosen yang mengajar tanpa diberikan bayaran.

“Alhamdulillah, tahun ini kita mewisuda 12 kader dakwah—terdiri dari 8 dai dan 4 daiyah. Mayoritas berasal dari kawasan perbatasan Aceh-Sumatera Utara, seperti Sidikalang (2 orang), Aceh Singkil (1 orang), dan Subulussalam (3 orang). Selebihnya dari berbagai kabupaten lainnya di Aceh,” ujar Dr. Abizal.

Ia menambahkan, para wisudawan telah menempuh pendidikan selama satu tahun di ADI Aceh dengan materi pembelajaran meliputi ilmu syariat, tauhid, fiqh, tafsir, hadist dan teori dakwah. Selain itu juga praktikum dakwah lapangan dengan langsung diterjunkan untuk praktek dakwah selama satu bulan penuh pada bulan Ramadan di pedalaman dan perbatasan Aceh.

“Setelah lulus dari ADI, mereka akan melanjutkan studi ke jenjang S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Mohammad Natsir, Jakarta. Nantinya mereka akan kembali ke daerah asal untuk mengabdi di tengah masyarakat,” tambahnya.

Koodinator kegiatan, Hanisullah, S.Kom.I, M.Pd., menyebutkan rangkaian acara wisuda diisi dengan tausiah parenting oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Prof. Dr. Muhammad AR, M.Ed., yang menekankan pentingnya peran keluarga dalam mendukung gerakan dakwah.

“Dengan wisuda kali ini, jumlah total alumni ADI Aceh mencapai 133 orang. Mereka terus mengabdi di berbagai daerah, terutama wilayah-wilayah perbatasan dan pedalaman,” jelas Hanisullah.

Ia menegaskan, ADI Aceh semakin menunjukkan komitmennya dalam mencetak kader dakwah yang siap berkontribusi di berbagai medan pengabdian.

“Wisuda ini menjadi bukti nyata bahwa ADI Aceh terus memainkan peran penting dalam menjaga dan mengembangkan syiar Islam di tengah masyarakat,” katanya.

Prof. Muhammad AR M. Ed selaku Ketua Dewan Dakwah Aceh menyampaikan dalam orasinya bahwa perlu ukhuwah yang kokoh untuk dapat mendukung semua program Dewan Dakwah Aceh saat ini termasuk program kaderasi dai melalui ADI.

Program Dewan Dakwah Aceh lainnya seperti Kajian setiap sabtu Subuh ( Sabda), Taman Kanak-Kanak (TK) yang telah berjalan, Kegiatan TPA untuk anak-anak sore hari juga telah berjalan dan kegiatan lainnya.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada para donatur yang telah memberikan sumbangan sehingga terselenggaranya kegiatan di Dewan Dakwah. Kami juga mengajak kaum muslimin khususnya pengurus untuk senantiasa mengambil bagian dalam kegiatan yang dilaksanakan,”pungkas Prof Muhammad.