Archive for year: 2016

  1.        Pengertian  Musyarakah (partnership, project financing participation)

Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana (amal/axpertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko (kerugian) akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[i]

Dalam hal kerugian, para ulama sepakat bahwa kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan proporsi penyertaan modal masing-masing.[ii]

Musyarakah juga merupakan satu skim fiqih yang fleksibel penggunaannya, seperti di Iran misalnya, skim ini digunakan untuk pembiayaan sektor produksi, jasa, dan belakangan untuk kepemilikan rumah. Dalam khazanah ilmu fiqh, musyarakah melingkupi jenis-jenis transaksi yang sangat luas.[iii]

  1.        Landasan Musyarakah

Islam menyukai kerja sama dalam berbagai bentuk usaha kebajikan dan sebaliknya menolak usaha-usaha yang bisa mendatangkan kemudharatan untuk diri sendiri dan orang banyak oleh karenanya kegiatan musyarakah dibolehkan oleh syariat Islam seperti Firman Allah SWT dalam beberapa surat, “….Tetapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” (QS. An-Nisa: (12), dan dalam surat lainnya “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman & mengerjakan amal saleh.” (QS Shad [38]: 24).

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa musyarakah (persekutuan) tersebut dibenarkan oleh syariat dan musyarakah yang benar adalah musyarakah yang didasari pada keimanan dan dikerjakan secara ikhlas (amal saleh).

Dari  Abu Huraira RA, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman,“Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat (berkongsi) selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya apabila ia mengkhianatinya, maka aku keluar dari serikat (perkongsian) itu”. (HR. Abu Dawud dan Hakim). Berdasarkan hadits Rasulullah SAW di atas jelas Islam telah menghalalkan dan memberkahi perkongsian (musyarakah) selama di dalamnya tidak terdapat unsur tipu-menipu (saling mengkhianati).

Sedangkan menurut ijma’, umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.[iv]

  1.        Rukun dan Syarat Musyarakah

Menurut jumhur ulama rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah pelaku akad (mitra usaha), objek akad (modal, kerja, dan keuntungan), dan shighah (ijab dan qabul)[v].

Sedangkan syarat-syarat syirkah menurut Hanafiyah terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

  1.    Syarat yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik harta, maupun lainnya. Pertama, benda yang diakadkan harus berupa benda yang dapat diterima sebagai perwakilan. Kedua, berkaitan dengan keuntungan, pembagiannya harus jelas dan disepakati oleh kedua belah pihak.
  2.    Syarat yang terkait dengan harta (mal). Pertama, modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran yang sah (nuqud). Kedua, adanya pokok harta (modal) ketika akad berlangsung baik jumlahnya sama atau berbeda.
  3.    Syarat yang terkait dengan syirkah mufawadhah yaitu, modal pokok harus sama, orang yang bersyirkah yaitu ahli kafalah, dan objek akad yang disyaratkan syirkah umum, yaitu semua macam jual-beli atau perdagangan.
  4.    Syarat yang berkaitan dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.

Malikiyah menambahkan bahwa orang yang melakukan akad syirkah disyaratkan merdeka, baligh, dan pintar.[vi]

  1.        Pembagian Syirkah
  1.    Syirkah Ibahah, yaitu suatu bentuk perkongsian yang membolehkan kaum muslimin untuk mengambil manfaat secara bersama-sama terhadap suatu objek yang halal ain-nya dan diketahui bahwa objek tersebut sangat diperlukan manfa’atnya untuk memenuhi hajat hidup. Para ulama sepakat yang termasuk dalam syirkah ini adalah memiliki bersama ke atas air, udara dan api, seperti Sabda Rasulullah SAW: “Dari Abi Kharasy dari sahabat Rasulullah SAW bahwa kaum muslimin itu berkongsi pada tiga    hal yaitu: udara, air dan api”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
  2.    Syirkah Milki ialah perkongsian yang terjadi antara dua orang atau lebih atas sesuatu sebab dari sebab-sebab pemilikan seperti pembelian, penerimaan sesuatu pemberian (hibah), penerimaan wasiat, warisan atau percampuran harta mereka dalam bentuk yang tidak dapat dipisahkan.
  3.    Syirkah ‘Uqud adalah perkongsian yang di bentuk berdasarkan aqad antara dua orang atau lebih terhadap mudah dan keuntungan dengan syarat-syarat yang disepakati bersama.[vii]

Dari ketiga jenis syirkah di atas, hanya ada satu syirkah yang sangat populer dan berlaku secara aktif dalam dunia usaha yaitu syirkah ‘uqud.

  1.        Jenis Musyarakah Akad (Syirkah ‘Uqud)

Musyarakah akad tercipta dengan kesepakatan dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad dibagi menjadi:

  1.    Syirkah ‘Inan (شركة العنان)

       Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih, masing-masing memberikan kontribusi dana dan berpartisipasi dalam kerja. Porsi dana dan bobot partisipasi dalam kerja tidak harus sama, bahkan memungkinkan hanya salah satu pihak yang aktif mengelola yang ditunjuk oleh partner lainnya. Keuntungan atau kerugian dibagi menurut kesepakatan bersama.[viii] Para ulama sepakat membolehkan bentuk syirkah ini.[ix]

  1.    Syirkah Mufawadhah (شركة المفاوضة)

       Masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama dan berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Untung dan rugi harus dibagi secara sama pula.[x] Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan syirkah yang seperti ini, sementara mazhab Syafi’i dan Hambali melarangnya karena secara realita sangat sukar terjadi persamaan pada semua unsurnya.[xi]

  1.    Syirkah A’mal (  شركة الأعمال)

     Kerja sama antara dua pihak atau lebih yang memiliki profesi dan keahlian tertentu, untuk menerima serta melaksanakan suatu pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari hasil yang diperoleh.[xii] Jumhur ulama, yaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan, sementara mazhab Syafi’i melarangnya karena mazhab ini hanya membolehkan syirkah modal dan tidak boleh syirkah kerja.[xiii]

  1.    Syirkah Wujuh (شركة الوجوه)

                   Kerja sama tanpa setoran modal uang. Modal yang digunakan hanyalah nama baik yang dimiliki, terutama karena kepribadian dan  kejujuran masing-masing dalam berniaga (perkongsian atas dasar kepercayaan).[xiv] Mazhab Hanafi dan mazhab Hambali membolehkan syirkah seperti ini, sedangkan mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i melarangnya.[xv]

Dari ke empat jenis syirkah ‘uqud di atas hanya syirkah ‘inan saja yang relevan dengan produk bank-bank Islam serta di setujui oleh empat mazhab besar Islam.

  1. Bentuk-Bentuk Musyarakah

Dalam prakteknya ada dua bentuk fundamental musyarakah berdasarkan perubahan porsi dana para mitra, yaitu:

  1. Musyarakah permanen, yaitu musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra bersifat tetap hingga akhir masa akad.
  2. Musyarakah menurun (musyarakah Mutanaqisah), yaitu musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu mitra akan dialihkan bertahap kepada mitra lainnya, sehingga bagian dananya akan menurun dan pada akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha itu.[xvi]
  1.       Berakhirnya Akad Musyarakah

Perkara yang membatalkan syirkah terbagi atas dua hal sebagai berikut:

  1.    Pembatalan syirkah secara umum, yaitu pembatalan dari salah seorang yang bersekutu, meninggalnya salah seorang syarik, salah seorang syarik murtad dan gila.
  2.    Pembatalan syirkah secara khusus
  1.     Harta syirkah rusak sebelum dibelanjakan. Hal ini terjadi pada syirkah amwal karena yang menjadi barang transaksi adalah harta.
  2.     Tidak ada kesamaan modal dalam syirkah mufawadhah pada awal transaksi, perkongsian batal sebab hal itu merupakan bagian dari syarat transaksi mufawadhah.[xvii]
  1.        Aplikasi Musyarakah Di Sektor Perbankan Sebagai Solusi Islam untuk Menghapus Praktik Ribawi di Bank

Bunga uang merupakan bagian dari teori riba. Bunga bank termasuk ke dalam riba nasi’ah (riba karena perpanjangan waktu).[xviii] MUI secara tegas telah menyatakan bahwa praktik pembungaan itu “hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Koperasi, Pasar Modal, Pegadaian dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu”.[xix]

Allah SWT berfirman, “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk  riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (Qs. Ar-Ruum: (39). Ayat ini jelas menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil.

Dalam memperlancar roda perekonomian, perangkat bunga jelas memiliki peran penting, oleh karena itu Islam memberikan solusi pemecahan untuk mengembangkan peranan bank tetapi bebas dari sifat-sifat kotor dan negatifnya, salah satunya dengan cara musyarakah/syirkah (persekutuan), dalam musyarakah pihak bank dan pihak penguasa sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan, mereka mengelola usaha patungan dan menanggung untung ruginya bersama atas dasar perjanjian Profit and Loss Sharing.[xx] Dan pasti bebas bunga.

Seperti yang sudah diketahui bahwa bank konvensional membiayai sebuah proyek melalui pinjaman berbunga. Hubungan bank dengan risiko proyek dapat dipastikan tidak ada, artinya para peminjam tetap berkewajiban membayarkan pokok pinjaman dan bunganya kepada pihak bank tanpa melihat apakah proyek yang dibiayai itu rugi atau untung, sedangkan di dalam akad musyarakah semua tanggungjawab, keuntungan dan kerugian dibagi secara proporsional kepada masing-masing pihak yang ber-musyarakah. Pada bank konvensional nasabahlah yang memperoleh semua keuntungan dan menanggung semua kerugian proyek.[xxi] Terlihat jelas bahwa sistem perbankan konvensional ini sangat eksploitatif dan tidak dapat diterima oleh syariah.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka bisa dikatakan pembiayaan dengan menggunakan akad musyarakah pada bank Islam adalah pembiayaan bank Islam yang bersifat riil dan menyentuh kehidupan ekonomi secara langsung. Di samping menanamkan sahamnya pada proyek-proyek, bank Islam juga melakukan praktik bisnis yang Insya Allah bebas dari prinsip kotor dan di berkahi Allah SWT.

  1.           Musyarakah: Salah Satu Langkah Mencapai Falah

Di dalam Islam manusia tidak hanya dituntut untuk menghasilkan harta (berorientasi pada profit semata), tetapi juga pada falah yaitu kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (dunia dan akhirat). Modal utama seorang manusia adalah ‘Islam’ sehingga segala aktivitas (termasuk bermuamalah seperti ber-musyarakah) yang dilakukan dengan berdasarkan ketentuan syari’ah pastilah di hitung sebagai bentuk ibadah dan menambah berkah pahala di sisi-Nya.

Islam mensyari’atkan syirkah sesuai dengan maqashid asy-syari’ah itu sendiri, yaitu salah satunya adalah memelihara harta dengan terjamin kehalalan dan pengembangan harta itu sendiri serta juga memenuhi nilai-nilai kebersamaan antar ummat. Islam mengatur cara untuk menghasilkan dan membelanjakan  harta. Seorang manusia wajib untuk mencari rezeki untuk menutupi keperluan hidupnya beserta tanggungannya dan bermuamalah (termasuk di dalamnya musyarakah) merupakan salah satu cara ke arah tersebut. Dengan musyarakah, manusia tidak hanya bisa menghasilkan dan menambah harta kekayaan, tetapi juga menambah berkah pahala  karena hidup dengan cara yang halal dan baik.

Allah SWT berfirman, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Qs. Al-Baqarah (2): (195).

 

Oleh: Nurul Azmi

(Mahasiswi Fakultas Ekonomi & Bisnis Unsyiah jurusan Ekonomi Islam)

 


[i]  Veithzal Rivai. H, Andria Permata Veithzal. 2008. Islamic Financial Management. Jakarta : PT Raja Grafindo, hal. 121.

[ii]  Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal. 51

[iii] Adiwarman Karim Aswar. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Cetakan Pertama, Jakarta : Gema Insani, hal. 81.

[iv] Syafe’i Rachmat. Fiqih Muamalah. 2001. Bandung : Pustaka Setia, hal. 186.

[v] Ascarya. Opcit, hal. 52.

[vi] Rahman Ghazaly, Abdul, Ghufron Ihsan, Sapiudin Sidiq. 2010. Fiqh Muamalat. Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana, hal. 129-130.

[vii] Baihaqi A. Shamad, 2007. Konsepsi Syirkah dalam Islam Perbandingan Antar Mazhab. Cetakan Pertama. Banda Aceh : Yayasan Pena, hal. 62-63.

[viii] Veithzal rivai. H, Andria Permata veithzal. Opcit, hal. 121.

[ix] Ascarya. Opcit, hal. 50.

[x] Veithzal rivai. H, Andria Permata veithzal. Opcit, hal. 121.

[xi] Ascarya. Opcit, hal. 50.

[xii] Veithzal rivai. H, Andria Permata veithzal. Opcit, hal. 121.

[xiii] Ascarya. Opcit, hal. 50.

[xiv] Veithzal rivai. H, Andria Permata veithzal. Opcit, hal. 121.

[xv] Ascarya. Opcit, hal. 50.

[xvi] Yaya, Rizal, Aji Erlangga Martawireja, Ahim Abdurahim. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemprer. 2014. Cetakan Kedua. Jakarta : Salemba Empat, hal. 135.

[xvii] Syafe’i Rachmat. Opcit, hal. 201.

[xviii] Adiwarman Karim Aswar. Opcit, hal. 73-74.

[xix] Zamir iqbal dan Abbas Mirakhor. 2008. Pengantar Keuangan Islam. Jakarta : Kencana, hal. 85.

[xx] Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Cetakan Pertama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 284-285.

[xxi] Mth, Asmuni. Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Islam (Study Fiqh Terhadap Produk Perbankan Islam). Journal Of Islamic Law, Al-Mawarid Edisi XI Tahun 2004, hal. 30.

           Hari Jum’at tanggal 29 Juli 2016 merupakan hari bersejarah bagi Dewan Dakwah Aceh karena mendapatkan penghormatan dari sejumlah dokter dan mahasiswa kedokteran dari Universitas Cyber Jaya Malaysia. Penghormatan tersebut adalah dalam bentuk kerjasama khitanan massal dan pemeriksaan kesehatan gratis untuk masyarakat di beberapa kecamatan dalam wilayah Aceh Besar, terutama masyarakat gampong Rumpet di mana markas Dewan Dakwah berdiri.

            Rombongan yang dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Abdul Latiff Mohamed sebagai wakil rektor bidang akademik dan hubungan Internasional Fakultas Kedokteran Universitas Cyber Jaya tersebut menghadirkan enam orang dokter dan 26 mahasiswa tahun akhir. Mereka mengadakan program bakti sosial semata-mata untuk belajar membantu kepada orang-orang yang berhak di bantu di jagad raya ini atas dasar amalan shaliha. Karenanya mereka sudah siap berangkat dari Malaysia dengan perbekalan yang matang, baik dari segi pengetahuan, keuangan, dan ubat-ubatan.

            Mereka tidak meminta makan, minum dan sejenisnya dari tempat kunjungannya melainkan makan tengah hari bagi masyarakat yang berobat ditanggung mereka. Praktik bakti sosial semacam itu sudah dijalankan dalam empat Negara di Asia Tenggara seperti Laos, Camboja, Vietnam, dan Indonesia. Khusus di Indonesia mereka sudah beberapa kali mengadakan bakti sosial dalam bentuk khitanan massal dan periksa kesehatan masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera, salah satunya adalah di Banda Aceh.

            Para relawan tersebut mengaku sangat puas melaksanakan bakti social di Aceh karena sempat melancong ke tempat-tempat bekas tsunami dan sempat dijamu makan malam oleh Gubernur Aceh malam terakhir berada di Banda Aceh atas inisiatif pengurus Dewan Dakwah Aceh. Sementara pihak yang paling berperan melebihi peran sutradara dalam sebuah film untuk mewujudkan bakti sosial tersebut adalah Abdul Ghaffar. Beliau yang menjadi kontak person, beliau pula yang menyambut kedatangannya bersama sejumlah anggota Dewan Dakwah, dan beliau pula yang mengurus bebasnya ubat-ubatan yang ditahan imigrasi di bandara.

 

KAWASAN PILIHAN DAN KERJA SAMA

            Bakti sosial tersebut terjadi atas dasar kerjasama antara Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Aceh dengan pihak College of Medical Sciences, Cyber Jaya University Malaysia. Pelaksanaan khitanan dan pemeriksaan kesehatan massal menjadi sasaran kerjasama yang berlangsung di dua tempat dalam wilayah kabupaten Aceh Besar, pertama berlangsung di Lhong pada hari Rabu 27 Juli 2016, dan kedua terjadi di markas Dewan Dakwah Aceh di gampong Rumpet Kecamatan Krueng Barona Jaya kabupaten Aceh Besar.

            Bakti Sosial tersebut dibuka oleh Asisten dua mewakili Bupati kabupaten Aceh Besar Bapak Samsul Rijal. Dalam sambutannya beliau menyambut baik program bakti sosial tersebut sebagai ajang silaturrahmi dan amal shalih sesama muslim antara muslim Malaysia dengan muslim Indonesia, khususnya muslim Aceh. Jumlah anak-anak yang dikhitan di Rumpae adalah 30 orang dan masyarakat yang memeriksa kesehatan mereka berjumlah 100 orang dari beberapa kecamatan seperti kecamatan Krueng Barona Jaya, kecamatan Kutabaro, kecamatan Darussalam dan lainnya.

            Sementara yang berlaku di Lhoong adalah khusus untuk masyarakat kecamatan Lhoong sahaja sejumlah lebih kurang 120 orang masyarakat yang diperiksa kesehatannya ditambah dengan khitanan massal bagi anak-anak usia SMP. Pengobatan tersebut terjadi dengan sangat khidmat karena ada nuansa berbeda dari segi bahasa antara Indonesia dengan Malaysia, sehingga sejumlah masyarakat sengaja banyak bertanya karena ingin mendengar bahasa Malaysia yang diucapkan mereka yang jarang didengar sebelumnya. Memang ada beda-beda sedikit antara bahasa Melayu Malaysia dengan Indonesia seperti bahwa di Indonesia bahawa di Malaysia, yaitu di Indonesia iaitu di Malaysia, jahe di Indonesia halia di Malaysia, mancret di Indonesia ciret biret di Malaysia, dan sebagainya.

            Prihal menarik lain dalam bakti sosial tersebut adalah para dokter menggunakan tenaga laser ketika memotong hujung kemaluan anak-anak yang dikhitankan sehingga tidak berdarah, tidak terlalu sakit, dan cepat sembuh. Dengan demikian Nampak beberapa orang anak-anak senyum-senyum saja ketika berlaku khitan seperti tidak merasa sakit, walaupun ada juga beberapa orang anak yang menjerit dan menangis seperti sudah dipukul orang. Namun jeritan tersebut tidak berlangsung lama karena umumnya anak-anak tersebut didampingi oleh orangtuanya yang cepat memberi semangat kepada anak mereka.

 

ESENSI BAKTI SOSIAL

            Sesungguhnya yang menjadi esensi bakti sosial tersebut menurut percakapan pimpinan rombongan mereka Prof. Dr. Abdul Latiff Mohamed adalah mengajak para mahasiswa yang umumnya lahir dan besar di kota besar di Malaysia untuk merasakan bagaimana kondisi gampong dan kondisi masyarakat yang hidup di kampung. Mereka juga ingin beramal shalih dengan ilmu yang dimilikinya sehingga tercatat pahala di hadapan Allah SWT. Menurut Prof. Latiff, beliau sengaja mengajak para mahasiswa mengenal lingkungan luar dari lingkungan yang hari-hari mereka hidup di sana sehingga mereka tahu membagi rasa dan saling berkasih sayang sesama ummat manusia terutama sekali sesama muslim.

            Karena esensi bakti sosial tersebut adalah bahagian dari ibadah maka mereka datang dengan membawa perlengkapan yang memadai sehingga tidak merepotkan orang tempatan yang mereka kunjungi. Lebih jauh dari itu mereka juga menyumbangkan sehelai kain sarung kepada setiap anak yang dikhitankan sehingga nilai dan nuansa ibadah sangat nampak dalam bakti sosial tersebut. Oleh karenanya masyarakat yang berobatpun datang silih berganti sehingga sampainya waktu shalat Jum’at pada hari tersebut. Bakti sosial diakhiri menjelang masuknya waktu shalat Jum’at karena mereka wajib pergi ke masjid.

            Bakti sosial yang dilakukan tersebut sangat membantu masyarakat terutama masyarakat miskin yang tidak berdaya untuk berobat di tempat lain yang dikenakan bayaran. Alhamdulillah dengan adanya bakti sosial tersebut sejumlah masyarakat pulang dengan wajah berseri-seri karena sudah selesai berobat pada dokter luar Negara yang lebih mereka yakini ketimbang dokter dalam Negara Indonesia. Ada keyakinan bagi masyarakat kita adalah barang luar lebih baik daripada barang dalam, dokter luar lebih mahir dari dokter dalam, begitulah seterusnya.

            Walaubagaimanapun, inti dari bakti sosial yang mereka lakukan itu semata-mata karena mengharapkan pahala dari Allah bukan sekedar belajar dan mengajar sebagaimana layaknya praktik koas dokter-dokter di Negara  Indonesia. Dengan demikian tidaklah heran kita kalau mereka begitu antusias mengkhitankan anak-anak dan memeriksa orang-orang lemah dan tua. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang artinya: apabila mati seseorang anak Adam maka putuslah semua hubungan kecuali tiga perkara yang tidak putus adalah: shadakah jariyah, ilmu yang bermanfa’at dan anak shalih/ah yang berdo’a kepada orang tuanya. Dasar hadis inilah dapat dikatakan bahwa mereka mengadakan bakti sosial tersebut karena ingin mendapatkan pahala Allah karena telah memberikan ilmu dan perobatan kepada masyarakat.

 
 

Artikel di tulis oleh: Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA, (Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fiqh Siyasah pada Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry) 

Muqaddimah

            Wisuda angkatan pertama Akademi Dakwah Indonesia (ADI) yang berlangsung di markas besar Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Aceh yang terletak di gampong Rumpet Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar pada hari Khamis 28 Juli 2016 berlangsung dengan penuh khidmat dan meriah. Hadir dalam acara tersebut ketua bidang pendidikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Dr. Imam Zamrozi, MA, anggota DPD asal Aceh (Ghazali Abbas Adan), Muspika Krueng Barona Jaya, Imum Mukim Lam Ujong (Tgk. Jailani), Geuchik gampong Rumpet beserta dengan perangkat gampong, Geuchik gampong Lamgapang, para orang tua wisudawan, dan segenap pengurus Dewan Dakwah Aceh.

            Acara yang berlangsung sangat khidmat tersebut dibuka oleh protokol (Zulfikar Tijue) dan secara meraton diberikan sambutan oleh ketua panitia (Dr. Abizal Muhammad Yathi, MA), Direktur ADI (Dr. Muhammad AR, M.Ed), Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh (Dr. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA), ketua bidang pendidikan Dewan Dakwah Pusat (Dr. Imam Zamrozi, MA), dan disertai dengan orasi ilmiah yang disampaikan oleh Dr. Bustami Abu Bakar, MA dengan judul: “Dakwah bil hal dalam teropongan antropologi”. Acara yang berakhir dengan makan siang bersama tersebut disambut baik oleh pihak Muspika Krueng Barona Jaya, pihak kemukiman Lam Ujong, dan pihak gampong Rumpet di mana kampus ADI terletak, karena itu merupakan prosesi transfer ilmu dari para generasi tua terhadap generasi pelanjut.

            Terlihat juga wajah ceria dari para wisudawan yang diwisuda pada hari tersebut yang kesemuanya baru saja kembali dari kampung halaman menjalankan dakwah sebulan penuh di bulan Ramadhan. Adik-adik leting mereka sebagai mahasiswa ADI angkatan kedua sebagai panitia pelaksana nampak bekerja keras dengan serius untuk mensukseskan acara wisuda tersebut. Mereka bekerja semenjak dua hari sebelumnya mulai dari memasang tenda, mengatur kursi, merapikan kawasan dan menerima tamu. Kerja keras mereka menghadirkan suasana nyaman dan menarik bagi para tetamu yang hadir sehingga suasana meriah wujud dalam acara tersebut.

            Suasana wisuda Nampak semakin meriah dan bersemangat ketika secara beruntun para pembesar ADI dan Dewan Dakwah menyampaikan sambutannya yang dimulai oleh direktur ADI. Dalam sambutannya Dr. Muhammad AR, M.Ed mengkisahkan kehadiran ADI di Aceh sebagai satu-satunya lembaga pendidikan berbasis dakwah yang para mahasiswa menetap di asrama dalam kampus untuk dididik siang malam sehingga rata-rata mereka sudah dapat menghafal Al-Qur’an sampai lima juz, mampu berbahasa Arab dan Inggeris, dan menguasai pengetahuan yang memadai.

            Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh mengkongkritkan eksistensi Dewan Dakwah sebagai induk ADI berusaha keras untuk mencetak kader-kader dakwah untuk mengkounter upaya pendangkalan akidah dan pemurtadan di bumi Aceh. Sementara Ketua Bidang Pendidikan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Muhammad Nasir yang datang dari Jakarta mengkisahkan perjalanan panjang lahir STID dan ADI di merata tempat di wilayah Indonesia sebagai upaya pengkaderan yang diamanahkan oleh pendiri Dewan Dakwah, Muhammad Natsir yang harus diteruskan oleh generasi dakwah masa kini.

 

BACKGROND ADI

Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aceh merupakan lembaga pendidikan tinggi yang didirikan oleh Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Aceh pada tahun 2014 sebagai jawaban dan tuntutan bagi problema krisis kader dakwah di bumi Aceh. ADI lahir sebagai sebuah tuntutan zaman dan tuntutan dunia global yang cenderung tidak memisahkan antara haq dengan bathil dalam kehidupan muslim Aceh dan Indonesia. Karenanya pendidikan yang gratis SPP, gratis makan, dan gratis ilmu pengetahuan tersebut cepat sekali menjadi perhatian orang banyak sehingga banyak orang yang menitipkan anaknya belajar di sini.

Untuk peringkat awal ADI hanya menerima para mahasiswa pilihan dari kawasan Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Kota Subulussalam, dan Pulau Simeulu. Karena mereka dididik lebih istimewa di kampus tersebut maka para pimpinan ADI merekrut calon mahasiswa dengan sangat ketat dan hati-hati. Metode rekrutmen yang dilakukan adalah para petinggi ADI datang langsung ke lapangan untuk menguji calon mahasiswa, dari hasil seleksi tersebut diterima hanya sebanyak sepuluh sampai lima belas orang sahaja.

Angkatan pertama diterima 15 orang dan bertahan sampai mendapatkan ijazah ADI hanya 10 orang saja, dari 10 orang tersebut pada bulan Ramadhan yang baru lalu seorang yang bernama Herdiansyah Padang telah meninggal dunia, sehingga mereka tinggal Sembilan orang sahaja. Kesembilan orang tersebut telah dihantar ke Jakarta untuk melanjutkan S1 pada Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammad Natsir di Bekasi oleh sekretaris ADI (Dr. Abizal, Zulfikar sebagai wakil direktur bidang akademik, dan Afrizal Revo, Direktur bidang kemahasiswaan pada hari Sabtu 30 Juli 2016.

 

JALAN PANJANG MENUJU ISLAM KAFFAH

            Kehadiran ADI ini merupakan perjuangan jangka panjang untuk memurnikan aqidah, syari’ah dan akhlak anak bangsa Islam Aceh agar mereka siap menjadi para da’I di mana dan kapan saja dalam kehidupannya. Ia merupakan sebuah persiapan untuk menormalkan suasana dan memurnikan Islam menjadi kaffah. Yang dimaksudkan menuju Islam kaffah adalah sempurna dalam beramal dan beribadah tanpa kurang suatu apapun.

            Kita pahami dan sadari bahwa kehidupan manusia di akhir zaman ini cenderung mengejar kenikmatan dunia dengan membiarkan kenikmatan akhirat. Akibatnya dakwah tiada yang menggerakkan lagi karena orang-orang sudah bosan dengannya. Untuk itulah ADI dibuka dan mahasiswa dibina untuk menebus kembali eksistensi gerakan dakwah yang sudah pernah Berjaya di masa lampau namun layu di zaman kini. Gerakan dakwah yang digerakkan Dewan Dakwah Aceh tersebut lebih difokuskan pada pembinaan kader lewat ADI sebagai jalan panjang menuju Islam kaffah yang sudah pernah Berjaya dahulu kala.

            Para mahasiswa yang dididik baik di ADI maupun di STID yang dibekali dengan tahfizul Qur’an tersebut dipersiapkan minimal menjadi sarjana dan maksimal memperoleh gelar master dan doktor. Ketika mereka sudah sukses dalam pendidikan maka mereka berkewajiban untuk membantu Islam dan ummatnya lewat berbagai jalur yang dimiliki. Persiapan hari ini tentu untuk keberhasilan di hari nanti, perjuangan hari ini sudah pasti untuk kemenangan masa hadapan, benih yang kita taburkan hari ini akan berbuah dan dipetik buahnya oleh generasi Islam di hari nanti sehingga ekosistem dan prosesi pergantian generasi akan berjalan normal dan alami.

            Dengan cara demikianlah jalan panjang menuju kesuksesan akan tembus dilalui oleh para kader-kader da’I yang kita persiapkan hari ini ntuk kepentingan hari nanti. Itu semua dipersiapkan di zaman dan masa ketika banyak orang sudah melupakannya sehingga gerakan dakwah terkesan pasif, kewujudan ukhuwwah terasa hancur, dan keseriusan ibadah juga menurun drastis. Itulah latar belakang kenapa ADI harus lahir di Aceh dan STID harus wujud di Pulau Jawa. Perjalanan panjang gerakan dakwah yang diasaskan Rasulullah SAW tidak boleh berhenti, tidak boleh putus, dan tidak boleh mandek hatta sedetikpun karena itu merupakan warisan Rasulullah SAW sebagai alat utama dan jitu untuk menguasai dunia.

 
Artikel di tulis oleh: Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL., MA, (Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh & Dosen Fiqh Siyasah pada Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry)

Banda Aceh. Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Provinsi Aceh (Dewan Dakwah Aceh) periode 2015-2020 dilantik oleh Ketua Umum Dewan Dakwah Pusat, Drs Mohammad Siddiq MA.

Pelantikan di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, baru-baru ini dihadiri Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, unsur Forkopimda, jajaran SKPA, Wakil Walikota Banda Aceh, Ormas Islam, dan OKP.

Sebelum dilantik, Ketua Bidang Pem­berdayaan Organisasi Dewan Dakwat Pusat, Dwi Budiman Assiroji membacakan SK Pengurus Dewan Dakwah Aceh hasil Musyawarah Wilayah (Muswil) IV yang dilaksanakan 12-13 Desember 2015 lalu di aula Kantor Mahkamah Syariyah Aceh dan di LPTQ Dinas Syariat Islam Aceh.

Gubernur Zaini Abdullah mengatakan, setelah 16 tahun berlalu sejak syariat Islam diberlakukan di Aceh telah banyak capaian-capaian yang diraih. Meskipun tidak terlepas dari berbagai tantangan yang menghadang, upaya penguatan syariat Islam akan terus dilakukan oleh Pemerintah Aceh.

“Namun, sebagaimana dipahami bersa­ma, upaya ini tentu tidak bisa dijalankan sen­diri oleh pemerintah. Diperlukan keterli­batan dan partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk para ulama dan da’i yang tergabung dalam Dewan Dakwah Aceh,” kata Zaini.

Menurutnya, Dewan Dakwah Aceh yang sejak lama berkiprah dalam dunia dakwah dan pembinaan umat, tentu semakin diharap­kan kiprah dan perannya dalam penguatan pelak­sanaan syariat Islam di Aceh.

Ketua Dewan Dakwah Aceh, Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA mengata­kan, saat ini pihaknya sedang fokus pada pembinaan mualaf di daerah perbatasan Aceh. Hal itu dikarenakan para mualaf tersebut masih sangat minim dalam mema­hami keislaman.

“Sudah 5 tahun, Dewan Dakwah Aceh bekerja sama dengan Pemerintah Aceh melalui Baitul Mal melakukan pembinaan dan pendampingan mualaf yang berasal dari Subulussalam, Aceh Singkil, Simeulue, Aceh Tenggara, dan Aceh Tamiang.

Kepada mereka diajarkan akidah dan ibadah praktis, khususnya tata cara wudhuk dan salat menurut tuntunan sunnah. Juga tata cara membaca Alquran secara baik dan benar, sehingga sesuai aturan ilmu tajwid,” jelas Hasanuddin.

Ia juga berharap kepada Pemerintah Aceh mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah, yang nantinya akan diperuntukan khusus kepada mahasiswa Aceh. Mereka akan dibekali ilmu syariah, akidah dan akhlak serta penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Alumnus dari sekolah tinggi ini, nantinya dapat ditempatkan di gampong-gampong untuk mengawal pelaksanaan syariat Islam sekaligus memberikan pelatihan kepada perangkat gampong.

Saat ini, Dewan Dakwah Aceh juga se­dang melakukan pelebaran halaman masjid dan pembangunan gedung pelatihan ka­der dakwah di Markas Dewan Dakwah Aceh, Gampong Rumpet, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.

Usai mendengar tausiyah, Gubernur Zaini Abdullah memberikan membantu Rp100 juta, diikuti para tamu dan undangan lainnya. Sehingga pada malam itu terkumpul dana bantuan Rp209.213.000. (mhd)

Pengurus WIlayah Dewan Da'wah Aceh Periode 2016-2020 akan dilantik pada tanggal 31 Mei 2016 di Aula Anjong Mon Mata Pendopo Gubernur Aceh oleh Ketua Umum Dewan Da'wah Pusat, H. Muhammad Siidik Kertapati, MA. Acara Pelantikan dihadiri Oleh Gubernur Aceh, dr. H. Zaini Abdullah serta kepala SKPA, Pimpinan Ormas Islam, Partai Politik, OKP dan tokoh-tokoh masyarakat.

Di sela-sela pelantikan, juga diisi dengan Tausiyah Spiritual oleh Ustadz Syuhada Bahri, Lc, Ketua Umum Dewan Da'wah Pusat Periode 2015-2020, yang diikuti dengan penggalangan dana Waqaf Tunai untuk pembebasan Tanah Masjid dan Markaz Dewan Da'wah Aceh yang terletak di Gampong Rumpet Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar.

Pembinaan dan pendampingan syariah bagi para muallaf khususnya yang berdomisili di daerah perbatasan Aceh, perlu dilakukan secara berkelajutan dan berkesinambungan. Sebab para muallaf yang banyak bekerja sebagai buruh kebun sawit masih sangat minim dalam memahami keislaman.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Da;’ah Aceh Tgk Hasanuddin Yusuf Adan kepada wartawan, Rabu (06/01/2015) kemarin.

Menurutnya pembinaan dan pendampingan secara kontinyu ini untuk memudahkan para muallaf dalam memahami dan memaknai ajaran-ajaran tentang Islam sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Selama tahun 2015, Dewan Da’wah Aceh bekerjasama dengan Baitul Maal Aceh telah melakukan pembinaan dan pendampingan tersebut kepada 150 muallaf yang berasal dari Subulussalam, Aceh Singkil, Simeulue, Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang. Pada setiap Kab/Kota tersebut untuk 30 muallaf. Kepada mareka diajarkan tentang aqidah dan ibadah praktis, khususnya tata cara wudhuk dan shalat menurut tuntunan sunnah. Juga tata cara membaca Al-Quran secara baik dan benar sehingga mampu membaca Al-Quran menurut aturan ilmu tajwid,”jelas Tgk Hasanuddin.

Ia menambahkan program pembinaan dan pendampingan syariah ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dasar tentang dinul islam dan pelaksanaannya di dalam kehidupan sehari-hari. Kepada para muallaf juga diberikan buku bacaan islami dan al-quran terjemahan yang disediakan oleh Baitul Mal Aceh. Dengan demikian mareka akan istiqamah dengan agama Islam dan tidak akan kembali lagi ke agama sebelumnya.

“Apa yang telah dilakukan oleh Baitul Maal Aceh ini perlu di apresiasi dan kita berharap supaya program tersebut akan terus berlangsung pada tahun-tahun berikutnya serta juga dapat dipadukan dengan program pemberdayaan ekonomi masyarakat,” tutup Tgk Hasanuddin.*