Oleh: Junaidi bin Ibrahim [1]

A. Pendahuluan

Lahirnya berbagai peralatan teknologi dalam bidang penyiraan: radio, televisi, percetakan, telekomonikasi dan yang terakhir internet, telah memberi harapan baru bagi aktivis dakwah untuk sekala global. Seiring dengan itu maka muncullah istilah televangelism, teledakwah, e-dakwah dan lain-lain. Harapan ini memang sangat menjajikan, ini dikarenakan skop dakwah melalui signel tersebut jangkauannya sangat luas dan mendunia, bagaikan kata pepatah sekali terdayung dua-tiga pulau terlewati.

Dalam konteks ini, harapan yang ditawarkan oleh teknologi media untuk kepentingan dakwah-dakwah agama perlu dicermati dengan bijak, sehingga sarana yang ada dapat diakomudir dengan tepat sasaran dan terhindari dari efek negatif yang timbul secara seporadis. Dakwah dalam media bisa hadir dalam berbagai segmen yang intinya mengulas tentang isu relegius dalam berbagai sisi, baik di media cetak maupun media elektronik. Talk show, artikel dan teleconference keagamaan adalah beberapa contoh wajah baru dakwah agama yang tampil dalam teknologi media yang dapat membentuk citra dan sekaligus memperluas jangkauan audiens dakwah, tidak hanya mereka yang seagama, namun juga kepada pemeluk agama lain.

Di sisi lain para da’i dituntut agar peka dengan setiap isu yang muncul disamping bisa menguasai manajemen dalam mengelola media yang ingin ditranfer ide dakwah. Dengan demikian, tingkat penyebaran nilai-nilai agama menjadi lebih luas dan singkat waktu, minimal dalam tataran informatif. Orang-orang dapat mengambil banyak manfaat dari maraknya program agama Islam di radio, televisi, koran dan internet, dimana sebahagiannya sibuk tidak sempat menghadiri majelis taklim. Hadirnya nilai-nilai agama dengan perantaraan teknologi media tersebut sangat membantu mereka dalam menjaga kontinuitas keberagamaannya.

Dakwah melalui media massa seperti di radio, televisi, koran memang sangat menghematkan waktu dan sasaran yang ingin dicapaipun lebih banyak, namun biaya yang dikeluarkan tidak sedikit bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Akan tetapi hadirnya dunia internet dengan akses selama 24 jam ternyata memberi solusi kepada dunia dakwah hari ini, anda tidak perlu mereguh kocek sampai jutaan, cukup lima ribuan satu jam anda dapat mentranfer bermacam dokumen, artikel, makalah, ceramah ke dunia siber baik dalam bentuk audio atau video.

Bagi peminat dunia maya, dakwah melalui siber memang sangat mengasyikkan. Ini dikarenakan fasilitas yang disediakan oleh pemilik provider dan server cukup kreatif dan inovatif. Hanya sedikit tambahan ilmu pengetahuan tentang komputer terutama copy-paste nya anda sudah dapat memiliki sebuah bloger gratis. Hanya saja kreasi design web dan updatingnya yang memerlukan keseriusan dalam mengelola manajemen dakwah melalui siber tersebut. Walau bagaimanapun kita dituntut keseriusan dan kesungguhan dalam berbagai bidang yang ingin kita geluti jika memang kesuksesan mau diraih.

B. Pembahasan

1. Pengertian E-Dakwah Dan Siber

E-dakwah, secara sederhana, dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan dakwah dengan bantuan teknologi informasi, terutama Internet. Sebagaimana halnya e-mail yang digunakan untuk mengirim surat dan e-commerce yang merupakan perdagangan dengan bantuan Internet[2]. Pada umumnya istilah ini digunakan dalam dunia computer dan internet. Sedangkan istilah siber sering digunakan untuk sebuah komonitas dalam dunia maya atau dunia fantasi. Hadirnya berbagai istilah baru ini membawa kita ke sebuah alam tanpa wujud di dunia nyata namun ia muncul dalam alam pikiran computer dalam bentuk fantasi. Alam inilah yang kemudiannya menterjemahkan ide pikiran manusia menjadi rialtime di dunia nyata.

Istilah E-Dakwah selaras dengan istilah E-Book dan E- E- lainya di dunia computer. Istilah ini muncul untuk menjawab tantangan zaman, sehingga misi dakwah tetap jalan dalam kondisi bagaimanapun.

2. Dialektika Teknologi

Sebuah teknologi tentu datang dengan dialektikanya sendiri. Ada sisi baik dan ada sisi buruk. Sikap skeptis yang menolak sebuah teknologi apalagi mengharamkannya lantaran tidak dipahaminya bukanlah sebuah tindakan yang bijak. Namun juga tidak lantas menerima mentah-mentah semua teknologi yang ada tanpa ada filterisasi yang standar.

Disadari atau tidak, teknologi informasi kini telah berkembang begitu pesat dan telah merambah ke hampir setiap sisi kehidupan. Perkembangan ini memaksa manusia terutama kaum muslimin, menjadi lebih kreatif. Memang teknologi informasi ini, sebagaimana teknologi yang lain juga datang dengan dua sisi yang berbeda, yang dari sudut pandang akidah Islam, sangat diametral. Dimana seakan-akan dunia dakwah Islam pada satu sisi dan dunia anti dakwah Islam pada sisi yang lain, keduanya saling produktif.

Dialektika inilah yang harus dipahami oleh para da’i dalam mengelola website nya di internet. Pemanfaat teknologi ini sangat penting di era globalisasi sekarang, jika tidak praksi kejahatan dengan segala fasilitas dan kepakaran yang mereka miliki siap menyuguhkan informasi yang menggiurkan, yang pada akhirnya praksi kebenaran kalah bersaing di pentas dunia maya[3].

Pada dasarnya masalah dialektika teknologi ini dalam penyebaran nilai-nilai agama juga dihadapi oleh komunitas agama lain, seperti kekhawatiran seorang cendekiawan Kristen berikut: “Tetapi teknologi baru, dan komunikasi yang dimungkinkannya, bersifat ambigu (dua-arti): teknologi tersebut sama-sama dapat meneruskan atau merusak impuls-impuls profetik“[4]. Namun disamping kekhawatiran dan masalah yang muncul, di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata bahwa teknologi memberikan banyak manfaat positif bagi manusia. Hanya saja sejauh mana manusia tersebut dapat beradaptasi dengan dunia maya tersebut.

3. Perlukah berdakwah melalui internet?

Untuk menjawab pertanyaan diatas ada baiknya kita mengetahui sekilas tentang internet dan luas jangkauannya. Sebab tanpa diketahui apa itu internet maka akan sulit dipahami apa itu dunia maya atau siber. Oleh karena itu pengetahuan dasar tentang internet sangat penting agar dakwah tidak salah jalur bahkan tersesat dalam terang.

Sebagaimana diketahui internet merupakan sebuah saluran informasi melalui jaringan telepon baik seluler atau non seluler. Artinya dimana sinyal telepon dapat diakses maka disitu pula sekarang jaringan internet dapat diaktifkan. Jaringan ini lebih luas dari gelombang televisi dan radio, terutama di negara maju dimana rata-rata penduduknya memiliki jaringan internet. Oleh karena jangkauannya yang sedemikian luas maka tidak heran jika dalam satu waktu yang bersamaan internet dapat di akses oleh ratusan juta manusia.

Pada tahun 2004 pengguna Internet di seluruh dunia telah mencapai lebih dari setengah milyar dan diperkirakan akan mencapai satu milyar. Angka ini meningkat tajam pada tahun 2005 menjadi satu milyar dan pada tahun 2007 mencapat 1.4 milyar[5]. Inilah sebenarnya dakpak positif yang luar biasa yang dibawa internet dalam dunia informasi. Itu belum lagi kecanggihan internet yang melebihi teknologi TV dan radio dari berbagai sudut.

Jumlah pengguna Internet di Indonesia akan akan terus bertambah sejalan dengan waktu mengingat penetrasi Internet di Indonesia yang masih di bawah 2% tahun 2004. Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi meramalkan bahwa pengguna potensial Internet di Indonesia mencapai 61 juta yang terdiri dari pengguna rumahan, pengguna kantoran, pengguna di warung Internet, universitas, sekolah, dan pondok pesantren. Dalam konteks e-dakwah di Indonesia, statistik ini menunjukkan peluang e-dakwah. Belum lagi jika kita berpikir untuk membidik sasaran di luar Indonesia dengan bahasa utama Inggris[6].

Informasi di dunia internet muncul dengan sangat cepat dan dahsyat, maka lahirlah website-website yang nyeleneh dan kekirian yang membawa ribuan misi pribadi dan kelompoknya masing-masing, sehingga muncullah istilah peperangan siber. Istilah ini muncul setelah dua misi yang berbeda berlaga di alam maya, yang satu menarik ke kanan dan yang lainnya menarik ke kiri, begitu juga antara kejahatan dan kebenaran juga saling adu otak menarik kliennya.

Munculnya website seperti http://groups.yahoo.com/group/Anti-Islamicsite, http://groups.yahoo.com/group/anti-islamicapologists. dan berbagai website lainnya telah membuat ajang diskusi menjadi sangat keras dan ekstrim. Disinilah sebenarnya dunia dakwah mengambil andil meluruskan persepsi keislaman yang salah dan dangkal. Maka lahirlah website-website Islamic seperti http://theholyquran.com/, http://islamport.com dan banyak lagi. Semuanya mencoba merespon tantangan dunia maya yang bebas tak terkendali.

Jika kita tidak mau melirik perkembangan dunia internet saat ini sebagai usaha dalam rangka membendung arus penistaan moral yang kini mengarah pada titik nol, maka sebuah bom yang disinyalir sebagai sebuah bencana kemanusian di abad melenium kian tak terbendung, yang pada akhirnya generasi manusia akan bertukar menjadi generasi hewan berwajah manusia. Dari sisi inilah pentingnya dakwah hadir dalam dunia siber sebagai respon penyelamatan manusia menuju kehidupan yang bermartabat layaknya sebagai manusia bukan hewan.

4. Manajemen Dakwah Melalui Siber

Dalam komonitas dunia siber dakwah bisa berjalan dengan sebebas-bebas tanpa hambatan, sebenarnya bukan hanya dakwah, media yang lain yang anti dakwah juga menikmati kebebasan yang sama. Disinilah diperlukan sebuah manejemen yang matang untuk mengelola informasi dakwah bagi audiens nya. Jika tidak dakwah yang disiarkan bukan hanya ditinggalkan oleh pemeluk agama lain bahkan kaum muslimin sendiri akan meninggalkan website yang tidak propesional tersebut.

Pengelolaan website dakwah hampir sama dengan pengelolaan website lainnya yang tidak berbasis dakwah, jika sebuah website memerlukan manajemen yang matang maka website dakwahpun memerlukan hal yang sama demi memenuhi konfigurasi website itu sendiri. Yang membedakan website dakwah dengan website lainnya adalah hanya pada konfigurasi dan fitur-fitur Islami serta memenuhi standar dakwah secara propesional.

Manajemen dakwah melalui siber selayaknya dilihat sebagai upaya untuk memoptimalkan peran dakwah dalam skala global. Maka sudah semestinya organisasi dakwah di menej dengan berbagai sub kerja yang propesional sehingga website dapat di akses dengan updating nya secara berkala dan terus menerus. Prosedural ini sudah selayaknya diperhatikan dan ditinjau ulang dari waktu ke waktu agar kebutuhan masyarakat tentang dakwah terpenuhi.

Manajemen dakwah melalui siber ini tidak semestinya di tunjangi dengan dana yang besar, yang lebih penting adalah kepakaran web developer sebagai administrator atau sebagai admin bersedia membangun website yang menarik. Berdakwah melalui siber bukanlah hal yang sulit, yang dituntut adalah kesungguhan dan kerja keras dalam menghidangkan berbagai artikel, dokumen dan software yang memenuhi selera para web browser. Pasar dunia web tidak selalu meminta artikel, dokumen dan software pemilik web tersebut, namun apa yang mereka hidangkan memenuhi keperluan pasar dalam dunia siber.

5. Manajemen Web Dakwah

Sudah seyogianya web dakwah dikemas dan diramu dengan manajemen yang handal agar bisa bersaing website lain yang senada dengannya, berikut ini beberapa trik dalam mengolah website berbasis dakwah agar menarik minat para pengunjung dalam melayari web yang kita tampilkan:

< Design web yang menarik dan tidak terlalu fulgar, oleh itu pilih warna dasar, background color serta picture Islami yang sesuai, dan yang lebih penting penempatan fitur tepat pada posisinya sehingga menghasilkan sebuah design web yang menarik.

< Dalam penampilan web sebaiknya para web developer menghindari animasi dan picture yang berlebihan, oleh karena itu biasakan menggunakan animasi atau picture dalam format *.gif untuk mengecilkan bite yang besar, sehingga para pelayat web dapat mengakses web degan mudah.

< Web yang baik adalah web yang selalu menampilkan data dan informasi baru dalam dunia Islam, oleh karena itu usahakan agar web selalu di update minimal satu kali seminggu.

< Dalam melengkapi kesempurnaan penampilan web sebaiknya disertakan juga hal-hal kecil tapi manarik seperti menyediakan kolom poling pendapat, chat antar member, link web Islami yang sejenis dan berbagai hal lainya yang dianggap perlu.

< Kemeriahan web biasanya dengan banyak pelayat, salah satu trik agar web mendapat banyak palayatnya adalah dengan menghadirkan forum diskusi, mailing list yang dapat di akses oleh members.

< Web yang mendunia adalah web yang dapat di akses dengan cepat di urutan pertama oleh engine search seperti yahoo, google, altavista dan lain-lain. Maka diperlukan trik apa yang dinamakan add URL pada yahoo atau google, dan jangan lupa menentukan keyword Islami sehingga web anda berada di urutan pertama pada engine search[7].

< Pastikan web dakwah berisi berbagai artikel, dokumen, wallpaper, ceramah agama dan software yang Islami, kalua bisa siapkan database untuk menampung uploading anda tersebut.

< Usahakan proses download yang dilakukan para palayat secepat mungkin, oleh karena itu pilihlah provider yang menyediakan server dengan speed (berkecepatan) tinggi sehingga bisa menghemat dana dan waktu para pelayat web tersebut.

< Pagari web dakwah dengan security yang memadai, sehingga tidak memberi peluang bagi para hecker mengganyang serta merusak data dan fasilitas web, walaupun tidak ada web yang tidak bisa ditembus oleh para hecker setidaknya anda telah melakukan backup data sebagai antispasi kehilngan data sewaktu-waktu.

< Promosikan web dakwah tersebut keberbagai web lainnya baik melalui chat, forum diskusi, mailing list atau sarana lainnya yang disediakan oleh web lain, agar palayat tau web dakwah tersebut telah hadir untuk memenuhi kebutuhan mereka.

< Menejlah web dakwah dengan sehemat mungkin, baik dalam penggunaan dana, waktu dan tempat. Oleh karena itu diperlukan minimal seorang web developer (pembuat web) namun tidak perlu yang punya izajah web, yang penting orang tersebut dapat mengelola web dengan baik. Ini untuk menghemat dana, kecuali web dakwah tersebut berasal dari sebuah instansi yang memerlukan hal seprti itu.

6. Misi E-Dakwah

E-Dakwah merupakan sebuah metode baru dalam menyampaikan misi keislman dalam kontek yang lebih besar dan lebih luas. Pada dasarnya misi dakwah melalui internet sama dengan misi dakwah yang dilakukan melalui internet, namun E-Dakwah tidak berdiri sendiri dan lepas satu sama lain, melainkan saling berhubung. Oleh sebab demikian E-Dakwah pada dasarnya hanya memperkuat dakwah dalam dunia nyata dan dakwah yang sesungguhnya. E-Dakwah bisa di gunaka sebagai sarana untuk membantu dakwah dalam beberapa hal sebagai mana berikut:

a). Memperluas Jangkauan Dakwah

Ada ungkapan dalam manajemen pemasaran bahwa “sebetulnya konsumen ada di mana-mana, namun masalahnya pemasar tidak bisa berada di semua tempat itu”. Hal yang sama juga terjadi dalam medan dakwah dimana mad’u yang menginginkan siraman informasi dan nilai-nilai Islam, bisa berada di mana-mana, namun program dakwah tidak bisa menjangkau semuanya. Maka melalui model E-Dakwah cakupan dakwah dapat diperluas hampir tak terhingga, sehingga dapat merentas berbagai dimensi batas ruang dan waktu. Konsep ini sebenarnya telah lama dikembangkan dengan tujuan bisnis secara online via website dengan istilah e-commerce.

b). Menampilkan wajah Islam yang sesungguhnya

Menampilkan wajah Islam yang sesungguhnya sangatlah penting. Hal yang penting ini sekarang dapat diwujudkan dengan mudah jika kita mau. E-dakwah dengan jangkauannya yang hampir tak terbatas menyampaikan kita pada satu titik mau atau tidak berdakwah melalu internet?. Apalagi, sampai saat ini, sebagian pengguna Internet adalah mereka yang belum mengikuti jalan Islam dalam arti beragama Islam[8].

c). Membangun citra Islam

Citra Islam yang rusak akibat segelintir orang, setidaknya dapat diperbaiki dengan hadirnya jawaban yang berimbang antara Barat dan Islam. Keadaan ini dapat memperbaiki citra Islam di mata dunia, walaupun sebagian besar kalangan Barat sangat benci dengan Islam sebaik apapun citranya sebagaimana di sinyalir oleh Allah dalam Al-Qur’an. “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk “.Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Surat Al-Baqarah Ayat 120).

C. Penutup

Dengan hadirnya digital islamic library dengan mendokumentasikan naskah-naskah pemikiran Islam dalam bentuk digital pada tahun 2003 oleh International Institute for Islamic Thoughts (IIIT) dan banyak lagi website yang serupa, hendaknya menyadarkan kita untuk segera memanfaatkan barang gratisan tersebut. Oleh karena demikian E-Dakwah dapat disimpulkan sebagai berikut:

E-Dakwah adalah sebuah keniscayaan zaman yang merupakan respon terhadap kemajuan teknologi informasi. Umat Islam sebagai komunitas yang tidak bisa terpisahkan dari komunitas dunia, tidak bisa menutup mata dan pasrah terhadap perkembangan yang ada. Pemanfaatan teknologi dalam proses dakwah merupakan sebuah respon aktif-kreatif yang wajib dilakukan oleh umat Islam.

E-Dakwah sudah seharusnya dikelola serius sejalan dengan dakwah konvensional. Sudah banyak pihak yang mengelola dengan serius E-Dakwah di Indonesia. Namun tidak salah jika pengelolaan dan pengembangan E-Dakwah juga dilakukan oleh pihak yang peduli dengan dakwah Islam (seperti organisasi-organisasi sosial keberagamaan Islam. Sebagai konsekuensi dari peningkatan keseriusan pengelolaan e-dakwah harusnya ada departemen atau badan atau majelis teknologi informasi pada setiap organisasi Islam. Namun sayang banyak universitas Islam tidak memiliki website dalam mengelola informasi universitas tersebut. Muda-mudahan dengan tulisan singkat ini menggugah para pembaca untuk memberikan kontribusinya pada medan dakwah.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an, terjemahan Depag, 2000

Internet Users Will Top 1 Billion in 2008, Wireless Internet Users Will Reach 48% in 2008, http://www.c-i-a.com/pr032102.htm, diakses 02 Agustus 2008.

Fathul Wahid, e-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gava media, 2004.

http://www.drury.edu/ess/church/church.html, diakses pada tanggal 20 September 2002.

Budiayono, Homepage gratis, cet Gramedia, Jakarta: 2006.

Fathuddin. Dakwah Era Digital, cet media dakwah, Jakarta: 2007.

[1]Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Konsentrasi Dirasah Islamiyah. Makalah disampaikan pada diskusi Mata Kuliah Manajemen Dakwah, dengan dosen pembimbing Prof. Drs. Yusni Sabi, Phd dan Dr. Abdul Rani, Msi.

[2] Fathul Wahid, e-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gava media, 2004. hal 8.

[3] Fathul Wahid, e-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gava media, 2004. hal 30.

[4] http://www.drury.edu/ess/church/church.html, diakses pada tanggal 20 September 2002.

[5] Internet Users Will Top 1 Billion in 2008, Wireless Internet Users Will Reach 48% in 2008, http://www.c-i-a.com/pr032102.htm, diakses 02 Agustus 2008.

[6] Fathul Wahid, e-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gava media, 2004, hal 10.

[7] Budiayono, Homepage gratis, cet Gramedia, Jakarta, 2006, hal 54.

[8] Fathul Wahid, e-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gava media, 2004, hal 10.

“Orang Aceh dulu bekerja untuk Islam dan bangsa. Itu tidak mungkin terwujud tanpa bekerja dan beramal,” kata Hasanuddin. Pada kesempatan yang sama, DDII Kabupaten Pidie Jaya juga menggelar pelatihan dai dan Daurah Syariat Islam yang diikuti sejumlah kader dai Kabupaten Pidie Jaya.
Acara pelantikan ini selain dihadiri oleh masyarakat, tokoh masyarakat, kepala dinas terkait, pak camat juga dihadiri oleh bapak bupti Pidie Jaya Drs Gade Salam. beliau berpesan agar pengurus DDII Pidie Jaya mampu membantu pemerintah dalam hal keagamaan khususnya. Beliau juga mengingatkan bahwa dirinya termasuk pengurus DDII Aceh maka sudah sewajarnya beliau membantu DDII Pidie Jaya di kemudian hari.
Sementara Pengurus Daerah DDII Sabang yang dilantik, yaitu tgk H Junaidi Ibrahi,Lc, (Ketua Umum), Akmal Zaini. S.Pdi (Wakil Ketua), Syahrul M. Yusuf. S.Pdi (Wakil Ketua), Tgk Zainuddin Adam (Wakil Ketua), Husaini S.Pdi (Wakil Ketua), Mustafa, S.Pdi (Sekeretaris Umum),T Amzar (Ketua Bedahara). dan banyak lagi semunya berjumlah melebih 80 orang anggota.

Proses ini sudah mulai digagas pada awal tahun 2008, dengan mencoba mencari tanah wakaf, tetapi upaya tersebut tidak berhasil. Oleh sebab itu, pengurus bekerja keras menggalang dana dari berbagai sumber sehingga dapat menyediakan sepetak tanah, kendati belum lunas (masih terhutang) dengan pihak lain,  untuk pembangunan masjid dan sekaligus sebagai markas dan sarana pendidikan untuk masa mendatang.

Masjid yang berlokasi di Desa Rumpet Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar mulai pengerjaan pada awal Maret 2010 dengan diawali pengukuran arah kiblat. Proses pengukuran arah kiblat pada tanggal 9 Maret 2010 dilakukan langsung oleh Badan Hisab dan Rukyah Provinsi Aceh yang terdiri dari pihak Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Selanjutnya penyiapan pembangunan masjid yang dikelola langsung oleh pihak Yayasan Syeikh Eid Qatar diperkirakan akan rampung dalam waktu 4 bulan.

Pihak Dewan Da’wah Aceh mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yayasan Syeikh Eid atas bantuannya, juga kepada pimpinan masyarakat di Gampong Rumpet atas kerjasamanya sehingga masjid sudah dapat mulai dibangun dengan harapan tidak ada kendala. Ucapan terima kasih juga kepada para donator, para dermawan yang sudah menyumbangkan dana dalam bentuk wakaf untuk pembebasan tanah tempat pembangunan masjid tersebut.

Mengingat masih terhutangnya harga tanah, maka sekali lagi kami sangat mengharapkan kepada semua pihak yang memiliki kemudahan rezeki agar dapat menyumbangkan dana dalam bentuk wakaf tunai guna pelunasan harga tanah, dengan harga Rp. 300.000,-/meter. Sumbangan tersebut dapat diantar langsung ke sekretariat Dewan Da’wah Aceh Jl. T. Nyak Arief No. 159 Lamgugop-Jeulingke Banda Aceh, Telp. 0651-7406436, atau ditransfer ke Bank Muamalat Cabang Banda Aceh nomor Rekening 918.1604699 atas nama Hasanuddin Yusuf Adan QQ DDII-NAD. Atas semua bantuannya kami ucapkan al-hamdulillah.

 

Secara substansial tidak ada yang dapat dipertentangkan dari terminologi politik tersebut, tetapi akan muncul deferensiasi manakala dilakoni para politisi, yakni orang yang berkecimpung dalam bidang politik, karena pada saat yang sama terjadi pergumulan (struggle) dalam upaya menuju posisi/jabatan politik, eksekutif dan/atau legislatif. Deferensiasi itu, – memakai terminologi Amien Rais- (Cakrawala Islam, 1987) dapat berwujud high politics (politik kualitas tinggi) dan low politics (politik kualitas rendah). Dalam pergumulan dua kutub perilaku politik yang antgonis tersebut, dimana  semestinya  posisi dan  bagaimana dilakoni politisi profesional, wabil khusus yang berkiprah dalam teritori Nanggroe Aceh Darussalam yang secara de faco dan de jure serta pengakuan  internasional bagian dari Negara RI, dengan perangkat aturan RI, juga syrari’at Islam, tanpa mempertentangkannya, karena sudah dimaklumi semua khalayak, nasional dan internasional, bahwa syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam juga bagian dari undang-undang  Negara RI itu sendiri. Inilah yang dideskripsikan dalam makalah ini. Karena ia  berdasarkan referensi yang jelas, legal, dan kalau boleh disebut hanya merupakan saintifik/tesis kecil-kecilan belaka, kiranya tidak dikai-kaitkan personal dan/atau kelompok, serta menyoritinitas dan formalitas kalah menang dalam pergumulan politik.

 

High Politics

Adalah ciri-ciri  high politics (politik kualitas tinggi), yakni, pertama, setiap jabatan politik pada hakikatnya merupakan amanah dari masyarakat. Kedua, Setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban. Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan dengan prinsip ukhuwah (brotherhood), yakni persaudaraan antara sesama umat manusia. Dalam arti luas, ukhuwah  melampaui batas-batas etnik, agama, latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya. Dengan ciri-ciri minimal ini sangat kondusif  bagi pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar. Agaknya , inilah antara  lain yang dimaksudkan oleh ayat: “ Mereka adalah orang-orang yang bila diberi kekuasaan yang teguh dimuka bumi, niscaya menegakkan shalat dan membayar zakat dan menyuruh (manusia)  berbuat kebaikan serta mencegah kejahatan, dan bagi Allah sajalah  kembalinya segala macam urusan” (Al-Hajj, 22: 41).(Amien Rais, Ibid). Mudah-mudahan juga tidak salah, apabila saya pahami teks-teks dalam ayat ini; shalat merupakan representasi dari pembangunan mental spiritual, zakat, prmbangunan fisik material, amar ma’ruf nahi munkar, pembangunan politik, hukum, HAM, sosial budaya, keamanan dan pertahanan.

 

Low Politics

Low politics  (politik kualitas rendah), ditinjau dari sudut pandangan Islam, tidak mendukung maksud-maksud dakwah. Malah  menjegal dakwah, merusak tatanan/bangunan masyarakat Islami. Low politics  ini identik dengan “politik Macheavellis”, dengan konotasi yang tidak sehat, penuh hipokrisi (kemunafikan), kelicikan dan sebagainya. Prktek low politics, seperti, pertama, kekerasan, brutalitas dan kekejaman dapat digunakan kapan saja, asalkan tujuan yang dikejar bisa dicapai. Pandangan seperti ini ,mendorong manusia menjadi “tega”, dan menjadi manusia berdarah dingin, melangkahi mayat orang lain untuk mencapai tujuan sendiri sebagai suatu hal yang wajar. Kedua, penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak. Ketiga, dalam menjalankan kehidupan politik, seorang (pemburu) kekuasaan harus dapat bermain seperti binatang buas. Politik Macheavellis juga tidak berbicara sama sekali tentang pertanggungjawban  manusia dihadapan Allah (Ibid).

Adalah juga, Fathi Yakan dalam  bukunya Islam Ditengah Persekongkolan Musuh Abad 20, menulis ihwal politik kualitas rendah berkaitan dengan doktrin politik Zionis Yahudi, dalam protocol of zion pasal 5;” Semboyan kita haruslah berarti, semua sarana kekuasaan dan kemunafikan mengharuskan supaya tindakan kekerasan itu prinsip, dan kekerasan inilah merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai kebajikan. Maka hendaknya  kita tidak ragu-ragu membeli kehormatan, kecurangan atau tipu daya, kalau hal itu membantu kepentingan kita”.

Karena wawasan, ilmu dan bacaan sangat terbatas, sehingga saya tidak pernah mengetahui, apakah dalam pergumulan politik internal Negara Zionis Yahudi dipraktekkan doktrin politik sebagaimana ditulis Fathi Yakan. Yang pasti, demikianlah perilaku politik Zionis terhadap bangsa Palestina.

Dengan deskripsi ini, kiranya sudah teramat jelas perilaku yang dikategorikan politik kualitas tinggi dan kualitas rendah, siyaasah thayyibah dan siyaasah qabiihah. Menukik ke konteks Aceh, elok juga diketahui  beberapa laporan berikut ini.

“Pemantau UE  temukan  intimidasi  pada  pilakada NAD. Ketua misi pemantau pilkada Uni Eropa (UE) Glyn Ford mengatakan, bahwa telah terjadi sejumlah intimidasi selama pesta demokrasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang berlangsung 11 Desember 2006. Selama  penyelenggaraan pilkada terjadi sejumlah intimidasi, baik yang terjadi di luar Tempat Pemungutan Suara (TPS), maupun di luar TPS, kata Glyn Ford di Banda Aceh (Jurnalnet.com, 13/12/2006).

“Jaringan Pendidikan untuk Pemilihan Rakyat (JPPR) melaporkan adanya intimidasi pada hari-H pemungutan suara di Aceh. Di kabupaten  Aceh Tamiang, kelompok pendukung kandidat tertentu mengancam akan membakar rumah kepala desa jika calonnya tidak meraih 50 persen suara. Di Aceh Selatan, tim sukses dari salah satu pasangan calon menghalang-halangi relawan pemantau dan saksi” (Kompas, 12 Desember 2006).

Asian Network for Free Election (ANFREL), sebuah LSM internasional pemantau pemilu mengumumkan temuannya dalam pemilu 2009 di Aceh; “Banyak kasus intimidasi ditemukan di Aceh. Banyak orang berjaga dan menunggu di TPS-TPS untuk mengintimidasi pemilih sebelum mencontreng. Bahkan setelah mencontreng juga masih dilihat apakah pilihan mereka sesuai yang dianjurkan. Seharusnya pemilu tersebut layak diulang” (Serambi Indonesia, 12/04/2009).

Posko Masyarakat Sipil juga mengkhalayakkan; “Praktek intimidasi sangat sulit diungkap, pasalnya para korban tidak ingin keterangan dan identitasnya dibuka kepada publik, padahal kasus intimidasi dan kekerasan pasca hari pemungutan suara secara umum masih terjadi diseluruh wilayah. Sebelum hari pemungutan suara, intimidasi/kekerasan  terjadi di desa-desa atau pemukiman penduduk, pasca hari pemungutan suara, kasus dimaksud ke lokasi PPK, baik dalam bentuk SMS, ataupun melalui telepon gelap kepada petugas PPK, juga adanya penggelembungan suara” (Serambi Indonesia, 13/04/2009).

Menurut saya, adalah dasar a-moral, primitif, tidak ada harga diri dan rasa malu, anti demokrasi dan HAM jika perilaku politik kualitas rendah seperti ini dicari pembenaran dengan alasan masa transisi, kasuistis, tidak ada perintah, bukan kebijakan, diluar kontrol dan sebagainya.

Bagaimana persoalan dan wujud perilaku politisi profesional ? Berikut ini deskripsinya.

Profesional, bersifat profesi, memiliki keahlian dan ketrampilan karena pendidikan dan latihan dalam bidang itu sesorang beroleh bayaran karena pekerjaan itu (Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1994). Dari terminology ini, agaknya boleh  dideskripsikan, bahwa politisi profesional, ialah orang-orang yang berkecimpung dalam bidang politik, memiliki pendidikan, keahlian, ketrampilan dan dedikasi, karenanya ia mendapat bayaran dari profesinya itu.  Tetapi menurut saya, sesungguhnya kriteria pilitisi profesional, selain sebagaimana deskripsi tersebut, pertama, tidak menganut paham pragmatisme, yang mengusung semboyan, mari membangun dari pada banyak bicara. Dengan kata lain, pragmatisme tidak suka mempertanyakan secara kritis, baik tujuan maupun cara-cara mencapainya (Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila). Kedua, kiprahnya dalam rangka jihad di jalan Allah, amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan yang haq,  menentang yang batil, menebar rahmat (kasih sayang) bagi alam semesta, lat batat kayee batee. Ketiga, berdasarkan fakta dan realita teritori, ketika dalam pergumulan untuk  mencapai tujuan, berpedoman pada aturan (undang-undang)  nasional dan syari’at Islam, dengan pemahaman, kedua aturan ini tidak dipertentangkan satu sama lain. Dan memang menurut saya, teks-teks aturan itu, termasuk berkaitan dengan kehidupan berpolitik, diantara keduanya tidak ada yang kontradiktif. Sebagai contoh, high politics dan low politics yang diuraikan di atas, baik aturan Negara RI maupun syari’at Islam memiliki persepsi dan sikap yang sama, yakni sama-sama mendukung dan memuji high politics, serta menentang dan mencela low politics.

Yang pertama, positif konstruktif (membangun), terhormat dan bermartabat. Yang kedua, negative destruktif (merusak), tercela, hina, dina. Distruktif, dalam bahasa al-Quran disebut fasad, dan Allah SWT sangat keras  melarangnya; “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan (fasad) di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qashash, 28: 77).

Dr Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam tafsirnya itu merinci beberapa perilaku yang dikategorikan perbuatan fasad. Di antaranya ialah, al-baghyu ‘alaa ‘ibaadillaahi bighairi haq, bertindak sewenang-wenang dan melanggar hukum terhadap  hamba Allah (apapun suka dan agamanya) dalam berbagai sisi kehidupan, poitik, ekonomi, sosial budaya dan sebagainya dengan perkataan dan/atau tindakan, seperti intimidasi, terror dan sebagainya, juga safkud dimaa’, yakni sesukanya menumpah darah manusia . Keempat, setelah melalui koridor politik kualitas tinggi,  mendapat posisi/jabatan di eksekutif dan/atau legislative, memenejnya dengan benar, amanah, bertanggungjawab, cerdas, bijaksana, aspiratif, transparan dan komunikatif. Last but not least, kelima, meyakini Allah ‘Azza wa Jalla, pertama, selalu menjaga dan megawasi (An-Nisa’, 4: 1, Al-Ahzab, 33: 52). Kedua, berada di mana-mana, mengetahui yang tersembunyi dan transparan, serta mengatahui segala usaha/aktifitas manusia (Al-An’am, 6: 3). Ketiga, meyakini adanya makhluk Allah yang mulia (malaikat-malaikat) bertugas mengawasi, mencatat, dan mengetahui apapun yang dikerjakan, dan pada saatnya kelak ada yang termasuk abraar, yakni orang-orang yang berbakti dan menjadi penghuni surga yang penuh nikmat. Ada juga  fujjaar, yakni orang-orang durhaka, pembangkang  syari’at Allah, dan menjadi penghuni neraka jahim (Al-Infithar, 83: 10-14).

Sejatinya politik itu tidak kotor, dan para politisi, apakah di legislatif maupun eksekutif bukanlah orang-orang yang berlumuran noda kotor, selama aktifitas dan  pergumulan politik  dilakoni dalam koridor yang benar, high politics, siyaasah thayyibah.  Adapun kata-kata kuncinya adalah, memiliki dan kosisten (istiqamah) dengan lima kriteria tersebut, serta dalam segala  ruang dan waktu  menjauhkan diri dari, pertama, an-nafsul ammaarah, yakni nafsu yang selalu menyuruh dan cenderung kepada kejahatan, syahawat keji dan munkar (Yusuf, 12: 53). Kedua, an-nafsul lawwaamah, yakni nafsu (jiwa) yang amat menyesali dirinya sendiri setelah berbuat kejahatan, namun kejahatan itu kembali dilakukan (Al-Qiyamah, 75: 2).

Menurut ulontuan, seperti inilah sosok, karakter dan perilaku politisi profesional, bermartabat, terhormat dan pantas dihormati.

 

2. Clean Government

Sudah merupakan persepsi umum, pemerintah yang bersih adalah apabila dalam pengelolaan pemerintahan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tetapi menurut saya, tidak sebatas ini, yakni selain bersih dari KKN, juga dalam proses sampai mendapatkan posisi jabatan politik di pusat kekuasaan (center of power), eksekutif dan legislative harus dengan cara-cara yang benar, bersih dan beradab, high politics,  siyaasah thayyibah, bukan  low politics, siyaasah qabiihah.

Seseorang yang mendapatkan posisi politik tersebut karena peran dan jasa preman atau cukong rakus (politik uang), maka dapat diduga akan terjadi politik balas jasa, dan lazimnya harus dipenuhi. Tidak hanya sebatas ini, kinerjanyapun akan dikontrol dan diarahkan. Kata-kata kuncinya adalah, kekuasaan yang didapatkan  karena dukungan, peran dan jasa preman atau cukong rakus, adalah  kekuasaan kotor, dan munasabat (susuai) dengan ungkapan orang awam, bahwa sapu kotor tidak akan dapat membersihkan lantai kotor, bahkan semakin kotor. Dalam terminologi dan konsep  Islam sebagaimana hadis Rasulullah Muhammad SAW, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla Maha Baik, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikelola dengan cara) yang baik, Maha Bersih, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikelola dengan cara) yang bersih, Maha Mulia, tidak akan menerima (amal perbuatan) kecuali (didapatkan dan dikolola dengan cara) yang mulia.

Berbanding lurus dengan ungkapan ini, bahwa pemerintahan, eksekutif dan legislatif yang dipimpin politisi dimana dalam proses mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara kotor dan tidak beradab (politik kualitas rendah), maka tidak banyak dapat diharapkan menjalankan pemerintahan yang bersih (clean government). Juga dalam konteks Aceh yang merupakan salah satu tingkatan dalam system pemerintahan Negara bangsa Indonesia, seperti halnya obsesi rakyat lain di tanah air untuk daerahnya, niscaya terwujud clean government, rakyat Acehpun sangat mendambakannya, dan sampai saat ini dambaan itu belum terwujud.

Memang pihak petinggi pemerintahan, para aparatnya, serta tim ini dan tim itu, berplat merah dan/atau partikelir, melalui pernyataan, tabloid khusus, atau pariwara di media massa, kerap mengkhalayakkan rupa-rupa keberhasilan yang telah dicapainya, juga telah mewujudkan clean government. Hal ini saya hormati, sah dan manusiawi belaka. Namun banyak juga pendapat pihak lain, baik sendiri-nsendiri maupun berjamaah, institusi, berdasarkan fakta empirik, bahwa kinerja petinggi pemerintahan Aceh masih dibawah standard, masih amatiran, dan belum dapat dikatakan berhasil, belum mampu mewujudkan clean government. Hal ini menurut saya disebabkan beberapa faktor:

Pertama, lemahnya posisi rakyat, terutama rakyat di gampong-gampong. Berani bersuara dan bersikap kritis atas kekuasaan, serta merta menghadapi sikap dan bahasa kekuasan dari sementara preman gampong yang klo prip, disertai cap traumatis, pengkhianat, anti dan merusak perdamaian dan sebagainya, yang berujung kepada hilangnya hak-hak sipil sebagai warga Negara/warga masyarakat. Agakya di kota juga tidak sepi, bahkan boleh jadi ada  preman impor dari luar negeri. Yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan para pemilik keunggulan tertentu yang memperlihatkan sikap apatis dan menurunkan  tensi saraf peka akan kondisi di sekitarnya.

Kedua, anggota parlemen yang profesionalitasnya dipertanyakan.

Bagi anggota parlemen profesional, atau pernah menjadi anggota parlemen yang bekerja secara profesional, ikut aturan main, serta berfungsi sebagaimana fungsi parlemen, apalagi pakar hukum tata Negara dan ilmu politik, juga boleh jadi rakyat biasa yang melek politik gregetan melihat kinerja anggota parlemen Aceh.

Betapa  tidak,  halaman  media  massa  beberapa  tahun  terakhir  (saya  sudah hampir tiga tahun menetap di Aceh) kerap memuat berita tentang proyek fisik dan non fisik yang dananya melimpah  dari rupa-rupa sumber, dikerjakan/diurus asal-asalan/asal jadi, bahkan ada proyek diterlantarkan kontraktor setelah uang diambil.

Kendati diperhalus, bahwa itu adalah kerja orang tidak amanah, tetapi sejatinya ia adalah kerja para penipu, karena pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai  dengan perjanjian ketika mendapatkan proyek/pekerjaan itu. Tipu menipu, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah (konspiratif) adalah tindakan kriminal. Namun sampai saat ini terhadap jaringan kaum kriminal itu hanya  sebatas pernyataan di media massa, belum ada tindakan nyata.

Tanpa mengurangi apresiasi dan hormat saya kepada anggota parlemen yang bekerja profesional, tetapi secara umum dan kasat mata,  seperti inilah kualitas kinerja anggota parlemen selama ini. Dengan demikian patut dipertanyakan profesionalitas mereka berkaitan denga tugas-tugas/fungsi yang melekat pada lembaga dan anggota parlemen itu, yakni, penyusunan/penetapan anggaran (budgetter), penyusunan qanun/perda (legislasi) dan pengawasan (control). Lebih dari itu juga patut dipertanyakan keseriusan dan konsistensi  melaksanakan amanah rakyat, sesuai  maqam, status mereka, terlepas apakah status itu didapatkan dengan high politics atau low politics. Tetapi legal formal mereka  adalah wakil rakyat.

Semestinya, parlemen/anggota parlemen yang pada dirinya melekat fungsi kontrol misalnya, khusus berkaitan dengan kasus kriminal tersebut,  selain mengontrol melalui media massa, juga lebih nyata dengan menggelar rapat-rapat, apakah ia rapat kerja (raker), rapat dengar pendapat (RDP), maupun rapat dengar pendapat umum (RDPU). Melalui rapat-rapat inilah, berdasarkan data awal hasil temuan yang diduga ada unsur kriminal, mempertanyakan, meminta pertanggungjawaban, penjelasan dan klarifikasi kepada pihak-pihak terkait yang langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses tender dan penetapan sebagai pelaksana suatu proyek. Juga pihak-pihak yang melekat dengan pelaksanaan sebuah proyek, seperti kontraktor, konsultan, pengawas dan lain-lain, yang menyebabkan kerugian bagi rakyat, karena tidak mendapatkan manfaat dari proyek itu. Demikian pula semestinya secara berkala dan teratur menggelar rapat-rapat, selain  dengan mitra kerja, seperti dalam proses pembahasan anggaran belanja dan pendapatan daerah, penyusunan qanun/perda, juga rapat dengan mitra lainnya, maupun representasi masyarakat sesuai dengan jenis rapat  dan isu yang dibicarakan dalam rapat itu, semua rapat itu  terbuka untuk umum. Media massa dengan bebas meliput  dan menyiarkan kepada khalayak. Menurut saya, seperti inilah kinerja anggota parlemen yang profesional.

Ketiga, lemahnya penegakan hukum (low enforcement).

Adalah lumrah, wajar, manusiawi dan  hak petinggi pemerintah Aceh bersama instrumennya, dengan rupa-rupa modus operandi mengkhalayakkan keberhasilan, penampilan citra dan pesonanya kepada masyarkat. Namun sebagaimana telah disebut sebelumnya, banyak juga pihak lain dari kalangan  masyarakat, sendiri-sendiri dan/atau institusi, berdasarkan fakta menyatakan hal yang berbeda dengannya. Berikut  ini saya kemukakan rupa-rupa pernyataan dari berbagai pihak, termasuk para petinggi pemerintahan Aceh dan kaki tangannya yang menjadi berita media massa di Aceh.

“Tiga tahun pemerintahan Aceh, pemberantasan korupsi masih sekedar jargon. Temuan Tim Monitoring dan Eveluasi (MONEV) di pedalaman Aceh, ratusan miliar dana pengawasan menguap. Di antaranya banyak proyek fisik 2009 yang dananya berasal  dari berbagai sumber dikerjakan di bawah spesifikasi teknis (Spek), atau jauh di bawah kualitas standar kontraknya. Gubernur: Bongkar proyek tak sesuai spek. Temuan Koalisi Lembaga Anti Korupsi: Korupsi anggaran publik di Aceh capai Rp 316 M. Sekum Gapensi: PPTK juga berperan terlantarkan proyek. Banyaknya proyek Otonomi Khusus (Otsus) infrastruktur 2008 yang belum selesai dikerjakan hingga memasuki tahun 2010, telah munculkan keprihatinan di kalangan masyarakat. Sekum Gapensi Aceh menilai, kondisi ini tidak hanya disebabkan kesalahan kontraktor dan konsultan perencana dan pengawas, tapi juga karena tidak tegasnya sejumlah pihak terkait lainnya. Kesalahan juga ada pada  panitia tender, Pejabat Pelaksana Tektik Kegiatan (PPTK) dan Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh . Proyek sekolah Otsus diduga diperjualbelikan, ratusan paket pekerjaan terlantar. “Ada permainan terselubung dalam pengadaan  barang dan jasa di Aceh”. . Rekanan berusaha sogok tim pansus, minta data realisasi proyek digelembungkan. . Tunggakan proyek 2008, banyak realisasi fisik yang digelembungkan. Wagub: Proses saja secara hukum. Kejahatan proyek sudah terjadi, tunggu apa lagi ? LSM anti korupsi protes usul dana aspirasi dewan. Pagu RAPBA membengkak, pembahasan terancam molor. Dana aspirasi matikan aspirasi rakyat.

Atas nama lex specialis, beberapa  tahun terakhir Aceh bergelimang dengan uang/dana dari berbagai sumber yang sejatinya untuk kesejahteraan seluruh rakyat, dan  berita-berita yang dilansir mendia massa ini semuannya  seputar proyek/uang. Wallahu’alam, saya tidak tahu, apakah di daerah-daerah lain di tanah air juga ada berita yang serupa dengannya. Atau memang demikianlah salah satu wujud lain dari “lex specialis”  Aceh.

Bagaimanapun interpretasi terhadap berita-berita tersebut, yang jelas berkaitan dengan masalah uang di Aceh, sangat diharapkan perhatian dan sikap instrumen penegakan hukum dan lembaga pemberantasan korupsi tingkat pusat, KPK dan BPK. Karena faktanya, sampai saat ini instrumen dan lembaga dengan tugas yang sama di Aceh belum menunjukkan kinerja yang signifikan. Dengan ungkapan yang lebih tegas, bahwa penegakan hukum di Aceh masih lemah.

Keempat, karena gaji kecil. Hal ini masih bisa diperdebatkan. Memang ada hadis  yang menyatakan, “kefakiran mendekatkan  seseorang kepada kekafiran”, yakni melanggar ketentuan hukum dan syari’at Islam,  karena  adakalanya karena kebutuhan yang amat mendesak seseorang menjadi gelap mata terhadap sesuatu yang bukan miliknya. Tetapi, bukanlah berarti hadis ini dijadikan landasan pembenaran perilaku pelanggaran dan kriminalitas seseorang. Sangat banyak hamba Allah secara ekonomi tergolong miskin, mustadh’afin. tetapi tetap qanaah, menerima dan menikmati apa adanya dari usaha  kerasnya dengan cara-cara terhormat, legal, baik dan halal. Sebaliknya, tidak sedikit hamba Allah, yang secara secara ekonomi sudah sangat memadai, malah makmur dan melimpah ruah, tetapi berlaku kriminal dan menjadi penghuni penjara.  Adalah fakta, apabila dikaitkan dengan kasus KKN yang terjadi selama ini, ditingkat nasional dan daerah, para pelakunya bukanlah orang secara sosial dan struktural dari golongan kecil. Kasus membawa lari uang rakyat Aceh Utara Rp 220 M ke Jakarta  dalam upaya memburu fee dan bunga berlipat, yang melibatkan orang-orang hebat (petinggi) Aceh Utara, merupakan contoh aktual, betapa kendati  status sosial sudah tinggi dan harta melimpah, namun masih tetap saja menunjukkan watak serta perilaku tamak dan rakus.

Kelima, membangkang pada ajaran/syari’at agama, atau beragama sekedar ritualitas. Sejatinya tidak boleh demikian. Dalam konteks Islam, adalah konsekuensi menjadi mukmin/muslim, agar dalam segala ruang dan waktu, apapun aktifitas dan profesi harus sesuai dan terikat dengan ajaran/syari’at Islam , dan Islam adalah sistem peradaban yang komplit (lengkap) mencakup berbagai aspek hidup dan kehidupan (Al-Ahzaab, 33:36, An-Nisaa’, 5:43, An-Nahl, 16:89). Juga meyakini dan pasti, dalam segala ruang waktu Allah ‘Azza wa Jalla mengawasi dan mencatat segala aktifitas setiap hamba-Nya, dengan konsekuensi digolongkan diantara orang-rang yang konsisten dengan syari’at-Nya (al-braar), terhormat, mulia di dunia dan di akhirat, atau pembangkang  (al-fujjaar), hina, dina dan nista di dunia dan di akhirat (Al-Infithaar, 82:10-16).

Dengan keyakinan dan pemahaman Islam  seperti ini, niscaya dalam segala ruang dan waktu serta apapun profesi dan aktifitasnya, setiap muslim tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar syari’at Allah ‘Azza wa Jalla.

Kelima sebab ini (terutama sekali sebab kelima) berbanding lurus dengan belum terwujudnya clean government. Last but not lease, yang menjadi kata-kata kunci adalah teritori Aceh sebagai bagian dari Negara RI dan salah satu  lex specialis nya adalah secara legal formal berlaku syari’at Islam. Karenanya, sebagai rakyat Indonesia yang tinggal dan hidup di Aceh, terikat dan tunduk pada hukum nasional dan syari’at Islam, sebagaima telah diuraikan  sebelumnya dalam  makalah ini.

In uriidu illal ishlaaha mastatha’tu, wamaa tawfiiqii illaa bil-Laah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib (Ulontuan (saya) tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan sesuai kemampuan. Dan tidak ada taufik bagi ulontuan, melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah ulontuan bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah ulontuan kembali. Huud, 11:88).

 

Banda Aceh, 20 Pebruari 2010

*Disampaikan dalam Seminar Nasional “Optimalisasi Peran Mahasiswa Dalam Mengawal Pemerintah Menuju Indonesia Bersih dan Bermartabat”, di  Unversitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, 20 Pebruari 2010.

** Anggota Parlemen RI 1992-2004, Dosen Universitas Islam Jakarta (UID) 1986-2006

Kaitannya dengan akhir tahun yang hampir bersamaan ini, ada satu hal menarik dan strategis untuk dihitung di Provinsi Aceh, yakni sejauhmana prospek dan tanggung jawab percepatan pelaksanaan syariat Islam sudah terlaksana, mengingat proyek ini sudah berjalan hampir sepuluh tahun.

Dalam hitungan sementara, mensikapi perkembangan pelaksanaan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam saat ini yang telah berjalan satu dasawarsa sejak lahirnya UU No. 44, Tahun 1999, memperlihatkan-dalam tataran konsep–pemahaman masyarakat masih sangat rendah terhadap isi dan substansi yang terkandung didalamnya, di samping adanya kesulitan-kesulitan–dalam tataran aplikatif–untuk proses penerapannya.

Berangkat dari realitas dan atau asumsi di atas, Dewan Da’wah Aceh yang berperan dalam pengembangan dakwah dan menata kehidupan masyarakat islami bermaksud memberikan sumbangan pemikiran untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam rangka pembangunan Aceh yang lebih bermartabat dalam konteks percepatan penegakan syariat Islam melalui seminar tentang Prospek dan Tanggung Jawab Percepatan Penegakan Syariat Islam di Aceh  dalam rangka mengevaluasi apa yang sudah, belum dan akan dikerjakan berkaitan dengan implementasi Syariat Islam di Aceh pada hari Sabtu, tanggal 19 Desember 2009 di Aula Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Seminar ini sekaligus dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1431 H.

Seminar yang dibahani oleh Dr. Muhammad Nur Rasyid,SH.,MH., Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA. dan  Dr. Syukri M. Yusuf, MA. mengambil topik masing-masing; Legal Formal dan Prospek Pelaksanaan Syari`at Islam yang Tertuang dalam Undang-Undang  (UU No. 44/1999 dan UU No 11, Tahun 2006), Implementasi Syariat Islam Menggapai Masyarakat Yang bermartabat; Apa yang sudah, belum dan akan dilaksanakan? Dan Percepatan Penegakan Syariat Islam di Aceh, Tanggung Jawab Siapa?

Mengambil Tema “Hijrah Dari Kejahiliyahan Menuju Syari`At Islam Yang Bermartabat”, kegiatan ini bertujuan untuk menjaring aspirasi para peserta yang terhimpun dalam berbagai elemen masyarakat tentang   persoalan-persoalan umat yang terus berkembang, terutama yang terkait dengan prospek percepatan pelaksanaan Syari`at Islam dalam berbagai aspek. Kecuali itu diharapkan juga adanya muhasabah (menghitung) sejauhmana prospek dan tanggung jawab percepatan penegakan Syariat Islam yang sudah, sedang dan akan dikerjakan, baik oleh pemerintah, masyarakat, organisasi massa dan individu yang beragam latar belakang di Aceh. Tak dipungkiri kegaitan ini sekaligus berusaha mengantisipasi realitas dalam perayaan tahun baru, dimana tahun baru  Islam sering dilupakan ketimbang perayaan tahun baru masehi dan natal yang sering  diperingati secara besar-besaran, bahkan terkesan berhura-hura, sehingga keluar dari konteks pelaksanaan syari’at Islam. Apalagi waktunya agak berdekatan antara kedua tahun baru pada tahun ini. Hasil dari seminar ini diharapkan menjadi kontribusi bagi Pemerintahan Aceh dalam memajukan negeri ini menjadi negeri yang “Baldatun Thayyibatun wa Rabb al-Ghafur” di bawah payung syari`at.

Yang jelas ia menjadi momok dan ‘aib besar bagi muslim dan muslimah yang beriman kepada Allah SWT. 

      

 Para fuqaha telah memberikan definisi zina dalam pengertian yang tidak terlalu jauh berbeda antara satu dengan fuqaha lainya. Secara majmu’ mereka berpendapat bahwa zina adalah; memasukkan zakar (kelamin) lelaki kedalam faraj (vagina) perempuan sampai dengan teguh, diibaratkan seperti timba masuk kedalam sumur. Definisi ini sudah lumayan sempurna dan dapat dipahami secara umum oleh setiap orang, namun demikian kalaupun tidak sampai teguh atau tidak seperti timba masuk kedalam sumur karena sesuatu hal juga sudah termasuk dalam kategori zina.

            Allah sangat melarang perbuatan zina ini, malah melarangnya untuk tidak mendekati zina. Firman-Nya dalam surah Al-Israk (17) ayat 32 yang artinya  

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

 

Kelezatan sementara

            Banyak orang yang tergiur dengan perbuatan zina karena didorong keras oleh hawa nafsu yang tidak mampu dikendalikan. Dan banyak pula yang menyesal secara luarbiasa setelah melakukan zina. Tetapi tidak berguna lagi karena sudah terlanjur berbuat zina. Yang paling kita sayangkan adalah seorang pezina yang baru sekali berzina akan dipacu oleh syaithan untuk berzina kedua kali, kemudian ketiga kali dan seterusnya berkali-kali.

            Beberapa orang yang terlanjur berzina pernah menuturkan dan mengkisahkan pengalaman zinanya kepada penulis seperti itu. Karenanya penulis mengibaratkan berzina itu tak obahnya seperti orang minum air es yang semakin diminum semakin haus dan ia akan berakhir dengan pening kepala atau serak suara. Demikian juga dengan seorang pezina yang berakhir dengan kecewa dan dosa serta jiwa raga rusak binasa. Karenanya jauhilah perbuatan zina karena ia merupakan suatu perbuatan keji dan sebuah jalan yang buruk yang patut dilakukan orang-orang buruk dan keji.

            Bagi yang belum menikah, rasanya berzina itu sesuatu yang lezat dan sedap, tetapi setelah berzina menyesal luarbiasa. Kelezatan sementara yang ditimbulkan perbuatan zina sangat tidak sebanding dengan dosa dan akibat yang ditanggung di Mahkamah Allah Ta’ala. Oleh karena itu yang sudah membutuhkan persetubuhan maka kawinlah segera sesuai dengan syari’at Islam. Yang sudah punya seorang isteri lalu masih suka kepada isteri lainnya silakan tambah dua sampai menjadi empat orang isteri dengan syarat mau berlaku adil untuk semua mereka.

            Islam telah lama memberikan solusi kepada kita, lalu kenapa pula manusia itu meninggalkan ketentuan Islam dan mengambil ketentuan syaithan? Berarti mereka patut disamakan dengan syaithan karena telah mengambil perangai syaithan. Ketahuilah olehmu wahai anak Adam zina itu terkesan lezat dan mengasyikkan tetapi janganlah lupa bahwa itu perbuatan terkutuk dan terlarang yang amat mengecewakan. Untuk itu katakan tidak kepada zina, ingat azab Allah ketika dekat dengan zina, ingat anak-isteri dan anak-suami ketika sudah dekat dengan zina. Ingat kalau anak kita dizinahi orang ketika kita mau berzina, ingat bagaimana kalau isteri atau suami kita dizinahi orang.  Rasanya tidak ada perbedaan bersetubuh dengan isteri atau suami sendiri dengan berzina karena itu bukan buah mangga atau buah salak yang berlainan pohon maka berlainan pula rasanya.

 

Kesengsaraan Berkepanjangan

            Diakui atau tidak, kerusakan dan kesengsaraan bagi seorang pezina akan tinggal berkekalan sepanjang zaman. Seorang pezina akan hilang maruah dalam kehidupan, hina dalam pandangan orang, berdausa dengan tuhan dan diazad dalam neraka jahannam. Keturunan mereka akan disisihkan dan diboikot secara hukum alam, keberkatan hidup tidak akan pernah datang. Mereka senantiasa dikejar oleh bayang-bayang hitam yang mengerikan dan menyeramkan, kalau tidak di waktu muda, di waktu tua pasti akan datang.

            Dalam hukum Islam, seorang pezina muhsan (sudah kawin) harus dirajam sampai mati dilapangan atau di simpang jalan. Dizaman Rasulullah SAW ada kasus-kasus zina muhsan seperti kasus Maiz dan wanita Ghamidiyah. Sementara pezina ghair muhsan (seseorang yang belum kawin) maka hukumannya adalah dicambuk seratus kali. Demikian praktik yang pernah berlaku baik di zaman Rasulullah SAW maupun para sahabat. Untuk lebih puas tentang hukuman tersebut silakan baca Al-Qur’an al-Karim surah An-Nur ayat 2 sebagai berikut; Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

            Ini berarti di dunia ia akan sengsara dengan hukuman rajam atau cambuk, dalam masyarakat ia tidak terhormat dan hina dina, di akhirat kelak akan mendapat azab yang sangat luar biasa. Memang tidak seorangpun dapat memberikan contoh konkrit tentang azab neraka sebagai mana memberikan contoh konkrit untuk sebuah perbuatan di dunia seperti zina. Namun itu janji Allah yang pasti adanya dan tiada seorangpun yang mampu lari daripadanya, walau seorang jenderal, seorang presiden selama hidup di dunia. Kalau tidak percaya silakan tanya kepada mereka yang sudah melakukannya di hari kemudian nanti.

            Tapi semua itu akan tidak berguna lagi ketika Allah sudah menetapkan hukumannya. Sekaranglah waktunya untuk menjaga diri, keturunan dan keluarga. Dalam qa’idah syari’ah ada poin Hifzun-Nasl yang berkaitan dengan hak menjaga kemurnian keturunan. Seorang muslim perlu dan berhak menjaga kemurnian keturunan sehingga ia bersih dalam kehidupan. Ia juga punya hak untuk berketurunan dan mengembangkan keturunan secara sah dan bersih. Hal ini berbeda dengan kehidupan orang-orang kafir terutama di belahan barat dunia yang mengamalkan model kehidupan animal sehingga dapat bersetubuh dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja dengan satu azas yaitu; senang sama seang. Islam tidak membolehkan demikian karena itu dapat mengotori kehidupan, mengotori reputasi orang tua dan keturunan serta mengotori lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit yang sangat amat membahayakan. Untuk itu semua jauhilah akan perbuatan zina karena ia menjanjikan yang enak dengan menghasilkan yang sakit, menjanjikan kesedapan dengan memperoleh penyesalan yang pahit, baik setelah maupun ketika dilakukan. Katakan tidak kepada zina. Hän-ééék…lôn…meuzinaaaa…

 

Nabi telah meninggalkan sekelompok orang yang tidak mementingkan diri, yang telah mengabdikan dirinya kepada satu tujuan, yakni berbakti kepada agama yang baru itu. Salah seorang di antaranya adalah Umar al-Faruq, seorang tokoh besar, di masa perang maupun di waktu damai. Tidak banyak tokoh dalam sejarah manusia yang telah menunjukkan kepintaran dan kebaikan hati yang melebihi Umar, baik sebagai pemimpin tentara di medan perang, maupun dalam mengemban tugas-tugas terhadap rakyat serta dalam hak ketaatan kepada keadilan. Kehebatannya terlihat juga dalam mengkonsolidasikan negeri-negeri yang telah di taklukkan.

Islam sempat dituduh menyebarluaskan dirinya melalui ujung pedang. Tapi riset sejarah modern yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa perang yang dilakukan orang Muslim selama kekhalifahan Khulafaur Rasyidin adalah untuk mempertahankan diri. Ditambah lagi Umar adalah ahli strategi militer yang besar. Ia mengeluarkan perintah operasi militer secara mendetail hingga membuat peperangan dapat dimenangi.

Wilayah Kekusaan Super Power

Ketika Islam datang ditanah Arab telah muncul dua negara Super Power yaitu Romawi memimpin disebelah barat dan Persia memimpin disebelah timur. Wilayah kekuasaan Romawi saat itu melampaui Eropa, Mesir, Yordania, Palestina dan lain-lain. Sedangkan wilayah kekuasaan Persia meliputi Irak, Iran, khurasan dan daerah-daerah sekitarnya. Belum ada kekuatan lain yang mampu menyainginya Kedua Negara adidaya saat itu. Kalaupun ada mereka dengan mudah dapat mematahkannya.

Perang Melawan Kekuatan Super Power

Pada tahun 12 H, pernah terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan Islam dan Romawi di dataran Yarmuk, saat itu dibawah kekuasaan bangsa Romawi yang dipimpin oleh Herkules ((?????? ?? ??????? – ??? ?????? 1/390). Pihak Romawi mengerahkan 300.000 tentaranya, 80000 pasukan terlatih, 40000 pasukan berani mati, 40000 pasukan dengan syarat khusus agar tidak lari, 80000 pasukan infantri (?????? ?? ??????? – ??? ?????? 1/392).  sedangkan tentara Muslimin hanya 46.000 orang.

Disebabkan perbedaan yang sangat mencolok dalam peperangan tersebut, kaum muslimin membuat persiapan rapi. Walaupun tidak terlatih dan berperlengkapan buruk, pasukan Muslimin yang bertempur dengan gagah berani akhirnya berhasil mengalahkan tentara Romawi. Sekitar 100.000 orang serdadu Romawi tewas sedangkan di pihak Muslimin tidak lebih dari 3000 orang yang tewas dalam pertempuran itu. Ketika Caesar diberitakan dengan kekalahan di pihaknya, dengan sedih ia berteriak: "Selamat tinggal Syria," dan dia mundur ke Konstantinopel.

Pada tahun 12 H, setelah berhasil dengan peprangan Yamamah, Khalid bin Walid kembali di kirim ke Irak yang saat itu berada dibawah Persia sebagai panglima perang untuk mengamankan Umat Islam yang setia dan membersihkan kekuatan musuh yang mengancam umat Islam. Di Irak sempat terjadi beberapa titik peperangan diantaranya peperangan Assani, Alwaj'ah dan juga beberapa titik peperangan di Furat. (?????? ?? ??????? – ??? ?????? 1/382). Semua peperangan dimenangi oleh kaum muslimin di bawah komando Khalid bin Walid.

Motif Peperangan

Seiring dengan bertambahnya penganut agama Islam dari berbagai negara maka bertambah pula tekanan, siksaan dan pelecehan atas nama akidah maka Khalifah sangat merespon hal tersebut hingga dikirimkan pasukan tentara untuk mengamankan kaum muslimin. Namun pihak negara tersebut tidak menginginkan campur tangan negara luar hingga mereka bebas sesuka hati memperlakukan kaum muslimin di Negara tersebut, hal ini tentu menimbulkan gegesakan bahkan peperangan walau sebelumnya Khalifah kaum muslimin telah mengirimkan utusan perdamain bahkan Khalifah menginginkan kawasan yang telah menjadi muslim dipisahkan dan dipimpin oleh oleh orang muslim sendiri. Keadaan seperti itu menjadikan peperangan sesuatu hal yang sulit dihindari hingga akhirnya kaum muslimin memenangi peperangan demi peperangan.

Hampir semua peperangan yang dilalui oleh orang Islam masa Khalifaur Rasyidin lebih disebabkan faktor untuk mengamankan kaum muslimin yang telah masuk Islam dari tekanan, penindasan dan cacian terhadap agama dan rasulullah (??????? – ??? ?????? 1/447). Maka secara tidak langsung terbukalah pintu-pintu negara lain untuk dimasuki tentara muslimin, hingga akhirnya negeri tersebut tertaklukkan.

Perang melawan kaum yang murtad, bukan hanya berhasil menundukan mereka namun telah terbuka satu kesempatan lain untuk membuka negara-negara baru yang tunduk di bawah khilafah Islamiyah, ini terbukti dengan satu persatu Negara kafir menjadi negara Islam.

Yang membuat peperangan dengan mudah dimenangi kaum muslimin adalah dukungan rakyat kepada pemerintahan setempat sangat lemah, dimana pemerintahnya terkadang berlaku kasar, agak diktator dan pajak negara yang dibebani atas pundak rakyat semakin melambung tinggi. Sementara ketika negara tersebut dikuasai oleh Islam pajak yang dikenakan jauh lebih rendah bahkan lebih rendah dari kadar zakat yang dikutip dari umat Islam sendiri. Pajak yang dipungut dari mereka diambil dari hasil panen namun jika gagal panen pemerintah Islam waktu itu tidak mengambil pajak. Keadaan ini semakin membuat rakyat kritis dan ramai-ramai mendukung pemerintahan Islam bahkan ada sebahagian rakyat yang masih kafir namun mendukung pasukan kaum muslimin ketika perang berkecamuk.

Suatu penelitian pernah dilakukan untuk menunjukkan faktor-faktor yang menentukan kemenangan besar operasai militer Muslimin yang diraih dalam waktu yang begitu singkat., selama pemerintahan khalifah yang kedua, orang Islam memerintah daerah yang sangat luas. Termasuk di dalamnya Syria, Mesir, Irak, Parsi, Khuzistan, Armenia, Azerbaijan, Kirman, Khurasan, Mekran, dan sebagian Baluchistan. Pernah sekelompok orang Arab yang bersenjata tidak lengkap dan tidak terlatih berhasil menggulingkan dua kerajaan yang paling kuat di dunia. Apa yang memotivasikan mereka? Ternyata, ajaran Nabi SAW. telah menanamkan semangat baru kepada pengikut agama baru itu. Mereka merasa berjuang hanya demi Allah semata. Kebijaksanaan khalifah Islam kedua dalam memilih para jenderalnya dan syarat-syarat yang lunak yang ditawarkan kepada bangsa-bangsa yang ditaklukan telah membantu terciptanya serangkaian kemenangan bagi kaum Muslimin yang dicapai dalam waktu sangat singkat.

 

Sebaliknya apabila eksistensi muslim Aceh hari ini lebih banyak memihak kepada ingkar terhadap Allah SWT, maka itu bermakna mereka sedang berada pada dataran negatif yang pada suatu ketika akan mendapatkan sesuatu malapetaka dari Allah Azza wa jalla.

            Persoalan positif dan negatif dalam kehidupan ini merupakan keberadaan sejati yang selalu hinggap pada diri manusia. Akan tetapi manusia diperintahkan untuk mengumpulkan nilai positif dengan menolak keberadaan negatif sepanjang hidupnya. Kalau berhasil melaksanakan demikian ia akan berhasil dalam kehidupan dunia dan akhirat. Memang hidup di dunia ini banyak sekali hambatan dan rintangan yang harus dilalui ummat manusia, mereka harus mengarungi semua itu dengan penuh kesabaran dan kesungguhan sehingga keberadaan positif itu memihak kepadanya.

            Persoalan baru yang menggeruguti kehidupan muslim Aceh hari ini adalah lalai dengan perkembangan zaman dan kemutakhiran teknologi. Mereka yang dasar pendidikan Islamnya lemah cenderung membaur dengan kemajuan teknologi tanpa batas sehingga mencabuli eksistensi kemurnian Islam. Dengan cara demikian membuat Islam dan ummatnya kehilangan kehormatan di mata non muslim walaupun ia agama terhormat. Demikian juga dengan muslim yang baik, sempurna dan terhormat menjadi jorok, tidak sempurna dan tidak terhormat diakibatkan oleh prilakunya sendiri.

            Semua itu menjadi problem besar yang sulit diperbaiki dalam waktu singkat, apa lagi kalau muslim Aceh sempat phobi terhadap Islam seperti yang pernah terjadi di Turki, di Mesir, di Indonesia, di Iraq, di Siria dan di mana-mana. Di negara-negara tersebut pernah ummat Islam tidak senang kepada Islam, mereka lebih suka kepada cara hidup barat ketimbang cara hidup Islam. Mereka memang memilih budaya barat dalam kehidupannya dengan meninggalkan budaya Islam, mereka memilih sistem politik barat dengan menyisihkan sistem politik Islam. Mereka juga mengamalkan amalan sistem ekonomi kapital, sosial dan sekuler dengan mengorbankan sistem ekonomi Islam.

            Wujud dari semua perobahan hidup muslim seperti itu membuat mereka kehilangan arah dalam kehidupan ini. Masjid sebagai tempat ibadah paling utama bagi mereka dibiarkan kosong tanpa penghuni. Pasar sebagai salah satu tempat yang sangat tidak disukai oleh Rasulullah SAW menjadi tempat bermain bagi mereka siang dan malam. Masjid sebagai tempat ibadah dijadikan tempat tidur dan tempat buang hadas besar ketika diperlukan sehingga masjid bukan hanya sepi dari ibadatnya muslim melainkan menjadi jorok, berbau, kumuh dan menjijikkan.[1]

            Generasi muda Aceh yang diharapkan menjadi pioner penegakan Syari’at Islam di sini menjadi penghambat berjalannya Hukum Allah di bumi Aceh ini. Mereka tidak pernah sayang kepada Syari’at Islam sehingga selalu dilanggar dan tidak pernah dibela ketika dilanggar oleh orang lain. Fenomena semacam ini tengah menghantui Aceh hari ini sehingga Aceh menjadi lemah dan hilang daya tawar di mata jakarta. Pihak berkuasa Indonesia di Jakarta hari ini tidak lagi menghormati Aceh dan tidak lagi menganggap Aceh lebih penting daripada provinsi lain.[2] Ini semua disebabkan oleh ulah orang Aceh sendiri yang tidak sadar-sadar dari keterpurukan perpecahan yang tidak berujung.

 

REALITAS DAN EKSISTENSI MUSLIM ACEH HARI INI

Ummat Islam Aceh pasca konflik yang berkepanjangan mencapai 30 tahun dan musibah gempa bumi besar 8,9 SR serta tsunami tanggal 26 Desember 2004 banyak yang jatuh miskin. Kemiskinan yang ditimpa masyarakat Aceh hari ini melingkupi miskin akal, miskin pikiran, miskin ilmu pengetahuan, miskin ukhuwwah, miskin akhlak (moral) dan miskin harta benda. Semua itu melilit masyarakat Aceh yang sulit untuk melepaskan diri dari lilitan tersebut kalau tidak berupaya keras untuk keluar dari kemiskinan-kemiskinan tersebut.

Miskin akal yang menimpa masyarakat Aceh hari ini membuat mereka hidup seperti orang gila. Mereka teringan kepada kerja dan uang ketika sudah lapar dan haus, ketika sudah kenyang mereka kembali fokum dan tidak bergerak. Miskin pikiran yang menimpa mereka membuat mereka pasif dan lesu, mereka tidak banyak memikirkan sesuatu kecuali hanya sekedar cukup makan dan cukup minum. Miskin ilmu pengetahuan yang menimpa mereka membuat mereka selalu menjadi kuli dan buruh kasar bagi orang yang berilmu banyak. Kompensasi dari itu mereka berbondong-bondong keluar negeri untuk mencari rezeki dan menetas kehidupan baru. Ketika mereka berada di sana, biasanya jauh dari ibadah dan dekat dengan maksiyat.

Miskin ukhuwwah yang menimpa mereka membuat mereka masing-masing berjalan sendiri-sendiri, tanpa tegur sapa, tanpa saling membantu dan bahkan sering saling menghina dan memfitnah. Akibat dari itu muncul problem baru yaitu miskin akhlak dalam kehidupan sesama muslim Aceh sehingga terjadilah perzinaan, penipuan, pembohongan, saling memburukkan, saling menghujat, saling menyalahkan dan jarang saling berma’afan. Kemiskinan harta benda yang diderita masyarakat Aceh hari ini membuat mereka tidak mampu menyekolahkan anaknya, tidak mampu beribadah secara maksimal dan tidak ada kemampuan berobat ketika sakit.

            Kenyataan lain dari sisi kehidupan muslim Aceh hari ini adalah sangat ramai di antara mereka yang malas dan tidak melaksanakan salat lima waktu sehari semalam. Dengan demikian secara otomatis mereka jauh dari masjid, maka jadilah masjid di Aceh sebagai penghias bumi Aceh bukan tempat bertaqarrub dan beribadah kepada Allah. Masjid sangat banyak di Aceh hari ini, hampir setiap gampong mempunyai masjid dan setiap Kemukiman mempunyai lebih dari satu masjid, namun masjid-masjid tersebut hanya berisi penuh atau separuh masjid ketika salat Jum’at saja, sementara salat lima waktu lainnya tidak pernah berisi maksimal.

            Ini merupakan sebuah fenomena negatif untuk mengukur keta’atan muslim Aceh di era pasca bencana besar (konflik, gempa dan tsunami). Kalau boleh kita transparankan dengan perkiraan analisa hanya tiga puluh persen saja ummat Islam Aceh yang rutin salat. Dari tiga puluh persen itu hanya dua puluh persen saja yang menggunakan masjid untuk salat berjama’ah lima kali sehari semalam. Prosentase ini sangat menyedihkan apabila dikaitkan dengan prosentase muslim Aceh yang hampir mencapai seratus persen. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa mereka malas shalat? Apakah mereka tidak tau cara shalat? Atau iman mereka lemah sehingga tidak terikat dengan ibadah kepada Allah? Atau ada kemungkinan lain seperti jahil (bodoh), terpengaruh oleh lingkungan dan sebagainya.

            Kalau sekedar malas shalat jama’ah tetapi tetap shalat di rumah atau di kantor atau di kedai masing-masing masih lumayan. Tetapi setelah tidak melaksanakan shalat sama sekali banyak berbuat maksiat lagi di bumi Aceh ini. Kita akui atau tidak maksiat dan kemungkaran tetap saja merajalela di Aceh hari ini walaupun mereka sudah pernah dihayun gempa besar dan diterjang tsunami dahsyat. Buktinya, koran-koran lokal tiap hari mengangkat kasus perampokan, penculikan, perzinaan, khalwat, maisir, penipuan, ancaman, manipulasi, korupsi dan sebagainya.[3]

            Maksiat yang berkembang di Aceh hari ini lebih kentara kepermukaan dikarenakan ada muhtasib atau anggota wilayatul hisbah yang menangkap para pelakunya. Sesungguhnya maksiat itu sudah ada dari dulu tetapi tidak begitu nampak karena semua pihak diam dan tidak mau bertidak apa-apa. Padahal sebagaimana sekarang juga, dahulu banyak terjadi zina, banyak orang main judi, banyak peminum arak dan lain sebagainya. Akan tetapi muslim Aceh tidak punya wewenang dan kuasa untuk memberantasnya. Kini dengan berlakunya Syari’at Islam di Aceh dan ada lembaga Wilayatul Hisbah maka satu demi satu perbuatan maksiat terungkap, sebahagiannya diseret ke mahkamah dan sebagian yang lain didiamkan saja.[4]

            Kenyataan lain dari kehidupan muslim Aceh hari ini masih ada sifat suka memfitnah orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Umpamanya memfitnah si pulan yang sedang punya jabatan pada atasannya agar dipecat dan digantikan dengan tukang fitnah tersebut. Prihal semacam ini terus terjadi di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi dan hampir di mana-mana. Tabi’at suka memfitnah yang ada pada diri orang Aceh ini diperkirakan menular dari penjajah Belanda yang menggunakan politik devide et impera selama menjajah negeri Aceh tempo dulu. Ketika Belanda lari dari Aceh orang Aceh pula mengamalkannya terhadap orang Aceh lain.

            Satu lagi perangai orang Aceh yang amat berbahaya adalah ku ëh, ini merupakan satu sifat yang  jahat dari seseorang yang tidak suka orang lain senang dan sangat senang kalau orang lain susah. Sifat ini dimiliki oleh orang-orang tertentu zaman ini di Aceh untuk mempertahankan jabatan atau untuk mendapatkan jabatan. Sifat ini cenderung mirip dengan perangai kucing jantan yang tidak suka lahir dan besar kucing jantan lain karena dikawatirkan menjadi lawan baginya. Maka terlihatlah di kator-kantor ada atasan yang ku ëh kepada bawahannya sehingga si bawahan tidak diizinkan melanjutkan pendidikan, tidak diizinkan ikut pelatihan-pelatihan karena dikhawatirkan sibawahan menjadi pandai dan tidak bisa diatur semena-mena lagi.

            Ada juga atasan yang tidak mau menandatangani usulan pangkat bawahannya karena takut kalau bawahan sudah tinggi pangkat akan menjadi saingan baginya kedepan. Di kampung-ampung ku’eh itu juga terjadi pada petani yang menggunakan perangai tikus yang suka mengorek pematang sawah saudaranya agar air turun kesawahnya di musim kemarau. Dalam bidang ibadah juga terjadi ku’eh dari seorang teungku yang berupaya orang lain melaksanakan ibadah harus sesuai dengan cara ibadah orang tuanya. Walaupun orang lain punya nas dan dalil yang sarih untuk itu, biasanya sang teungku memprofokasi masyarakat agar ikut cara ibadahnya. Dan banyak jenis ku ëh lainnya yang bertaburan di Aceh hari ini sehingga membuat bangsa ini sulit untuk maju.

            Gambaran lain keberadaan muslim Aceh hari ini adalah jahil atau bodoh, dan mereka tidak mau belajar agar menjadi pandai. Ada juga yang dibodoh-bodohi oleh orang-orang tertentu. Masih banyak orang Aceh yang putus sekolah hari ini dan tidak mempunyai pekerjaan yang muslihat. Kebodohan itu boleh jadi karena orang tuanya tidak mampu mendidiknya, boleh jadi pula sistem pendidikan yang tidak representatif untuk memandaikan anak bangsa. Apapun penyebabnya orang Aceh masih banyak yang bodoh hari ini, sebagai cermin; belum ada orang Aceh yang mampu membuat kenderaan, membuat komputer, malah lahan yang banyak tersedia di Aceh tidak mampu dimanfa’atkan semaksimal mungkin seperti banyak ladang yang masih kosong banyak hutan yang tidak dimanfa’atkan. Malah semua kebutuhan hidup orang Aceh didatangkan dari luar Aceh seperti telur ayam, sapi, kambing, ayam, kacang, dan lainnya.

            Kebodohan lain yang masih ada di Aceh hari ini adalah; orang Aceh masih senang berantam sesama Aceh, masih suka menipu sesama Aceh, masih suka memfitnah sesama Aceh, masih suka membunuh sesama Aceh, masih suka merampok sesama Aceh, masih suka menganiaya sesama Aceh dan sebagainya. Ini merupakan pekerjaan jahat, jahil, sesat dan menyesatkan. Tetapi itulah yang terjadi di Aceh hari ini.[5]

            Masih banyak juga muslim Aceh yang lemah iman dalam kehidupan ini sehingga tidak takut kepada Allah. Mereka tidak melaksanakan salat berhari-hari. Malah ada juga yang siap dizinahi lelaki luar karena dikasih uang yang banyak[6] sehingga lupa kepada ancaman Allah di hari kemudian. Juga lemah iman sehingga mau melakukan korupsi uang rakyat dan uang negara, para penguasa mematok fee sekian persen pada kontraktor yang diberikan proyek dan sebagainya.

            Selain lemah iman mereka juga masih pendek wawasan sehingga selalu menganggap diri pandai dan orang lain bodoh. Ada golongan yang mengklaim ilmu itu hanya lebih banyak di Aceh, karenanya tidak perlu pergi keluar negeri karena di sana tidak banyak ilmu dan ilmu itu terkumpul di Aceh semuanya. Klaim seperti ini bukan hanya menunjukkan orang Aceh masih kurang wawasan, tetapi juga menunjukkan sebahagian orang Aceh tidak paham perkembangan zaman. Akibatnya hidup mereka seperti katak di bawah tempurung yang selalu menganggap diri pandai padahal ianya bodoh, selalu menganggap dirinya kuat padahal ia lemah, menganggap dirinya maju padahal ianya kolot.

            Kenyataan lain yang muncul dalam kehidupan orang Aceh hari ini adalah para pemuka masyarakat membiarkan kemaksiyatan dan kemungkaran berlalu di depan matanya. Kalau ada orang yang tidak salat tidak pernah dianjurkan untuk salat, kalau ada pemain judi di kampung tida pernah diberantas secara tegas, kalau ada penjual buntut juga dibiarkan ia berlalu. Malah yang amat menyedihkan lagi adalah orang-orang disekeliling dayah/pesantren tidak pernah salat tidak ada orang yang mengajaknya salat, mereka beranggapan itu bukan tanggung jawabnya.

            Kalau terjadi zina di sesuatu kampung bukannya dihukum pelaku zina tersebut tetapi segera dinikahkan.[7] Ini bermakna memberi kesempatan kepada pezina lain untuk berbuat zina yang banyak di Aceh. Dan mereka yang sudah suka sama suka antara lelaki dengan wanita yang tidak mendapat persetujuan orang tuanya mudah saja mereka kawin, pertama berzina dulu dan zinanya tidak perlu sembunyi karena punya target agar dinikahkan oleh pihak berkompeten. Begitulah kondisi Aceh hari ini yang tidak dapat kita tutup mata dan harus kita akui adanya.

            Upaya amar ma’ruf nahi munkar yang semestinya wujud di kawasan-kawasan mayorits muslim tidak ada lagi di Aceh hari ini. Mereka cenderung hidup nafsi-nafsi seperti di yaumil mahsyar yang tidak saling peduli kecuali masing-masing diri memikirkan dirinya sendiri. Gerakan dakwah yang ada hari ini di Aceh adalah mengajak orang melaksanakan kebajikan tetapi tidak ada ajakan untuk meninggalkan kejahatan, apalagi untuk memberantas kejahatan.

            Kenyataan lain yang sulit dipungkiri adalah orang Aceh berlomba-lomba membangun masjid besar-besar, elok-elok, cantik-cantik dan megah-megah. Tetapi mereka tidak mau mengisinya, memakmurkannya, membersihnya, merawatnya dan menggunakannya untuk pengkaderan.[8] Akhirnya kita hanya bangga dengan banyak masjid di Aceh tetapi tidak mungkin bangga dengan isi di dalam masjid tersebut. Dengan demikian maka jadilah masjid sebagai lambang Islam tetapi tidak banyak manfa’at yang dapat diambil Islam dari masjid-masjid tersebut.

            Satu kenyataan lagi yang sulit dibantah adalah para pemimpin Aceh hari ini belum menyatu dengan Hukum Islam atau Hukum Allah. Mereka susah kalau Syari’at Islam dijalankan semestinya di Aceh dan tidak mau mengesahkan aturan pelaksananya seperti qanun yang berhubungan dengannya.[9] Bukan hanya itu, sebahagian mereka tidak melaksanakan shalat rutin lima waktu sehari semalam, ini persoalan serius bagi muslim Aceh. Apalagi kalau sempat terjadi ketika maju menjadi pemimpin Aceh lewat jalur panas mengancam masyarakat, atau meneror masyarakat, atau menuba masyarakat dengan uang, dengan materi-matei khusus dan sebagainya.

 

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI

            Sangat banyak problematika umat Islam Aceh hari ini yang tidak pernah tuntas solusinya dari zaman ke zaman. Sehingga tiap hari, tiap minggu, tiap bulan dan tiap tahun terus saja dipikir dan dikerjakan yang itu-itu. Persoalan belum memadainya Sumber Daya Manusia (SDM) muslim Aceh tidak pernah tuntas sampai sekarang ini. Dahulu ada alasan rejim Orde Baru pimpinan Soeharto tidak menyisakan hasil LNG Arun sepersenpun untuk Aceh sehingga sulit mendongkrak SDM Aceh karena tidak ada dana. Setelah tumbangnya Soeharto tahun 1998 yang lalu Indonesia berubah cara dan Aceh mendapatkan 30 % hasil LNG Arun yang dituangkan dalam APBA dan dipeuntukkan 30 % pula untuk keperluan pendidikan anak bangsa Aceh, tetap saja SDM Aceh belum memadai walaupun sudah memakan waktu dekat sepuluh tahun.

            Prihal disintegrasi ukhuwah ummah terus menerus terjadi di Aceh walaupun mereka tau sesama muslim adalah bersaudara. Namun yang tau itu yang juga suka meyalahkan orang lain walaupun ia belum tentu salah. Yang menamakan ulama masih suka menyalahkan cara ibadah ulama lain, masih suka mengkafirkan muslim lain, masih suka menipu ummah, masih suka menjilat kepada penguasa, masih suka memperalat agama untuk mendapatkan uang dan sebagainya. Krisis ukhuwah lainnya juga wujud dalam bidang perdagangan di mana satu sama lain saling memburukkan agar langganan datang dan berbelanja pada dia. Dalam bidang pendidikanpun tidak kurang pecahnya, antara pimpinan pendidikan umum dengan pimpinan pendidikan agama selalu saling memburukkan yang diikuti oleh murid-murid mereka. Perebutan masjid terjadi di mana-mana dengan tujuan yang tidak berdasarkan agama seperti yang terjadi di Beureunuen,[10] di Bireuen[11] beberapa tahun yang lalu, di Gandapura tahun 2009 dan sebagainya. Begitulah keadaannya sampai kepada kehancuran ukhuwwah di gampong dan kuta. Belum nampak warna baru yang dapat menyelesaikan problematika ini.

            Kemiskinan masih merajalela di Aceh baik miskin harta benda maupun miskin ukhuwwah, miskin akhlak, miskin ilmu pengetahuan maupun miskin pemimpin Islami. Kemiskinan harta benda membuat bangsa ini tidak berdaya, miskin ukhuwwah dapat menghancurkan bangsa dan negara, miskin akhlak dapat mengganggu rakyat jelata, miskin ilmu pengetahuan dapat mengganggu kemajuan bangsa dan miskin pemimpin yang Islami dapat menyeret ummat Islam Aceh ke jurang perpecahan dan neraka jahannam. Apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus melakukan untuk menetralisir perkara ini untuk sa’at ini? Kita tetap menunggu kedatangan ratu adil untuk menuntaskan semua itu sebagaimana janjinya Rasulullah SAW.: ”Sesungguhnya Allah akan mengutuskan seorang pembaharu untuk ummat ini dalam seratus tahun sekali”.

Sistem pendidikan dan hukum yang ada hari ini sama sekali belum Islami, ia masih berhubung kait dengan sistem pendidikan dan hukum peninggalan Belanda. Karenanya produk yang dihasilkan tetap saja memihak kepada Belanda dalam eksistensinya dan dalam hal-hal tertentu bertentangan seratus persen dengan sistem pendidikan dan sistem huku Islam. Umpamanya; Islam mengharamkan zina dalam bentuk apapun termasuk senang sama senang, tetapi hukum peninggalan Belanda di Aceh menghalalkanya atas dasar senang sama senang. Sistem pendidikan Islam didasari pada kerangka ’aqidah sebagai azas paling dasar, sementara sistem pendidikan peninggalan Belanda di Aceh mengutamakan ilmu pengetahuan sebagai azas paling dasar. Maka tidak heran kalau semakin banyak sarjana yang dihasilkan negeri ini semakin banyak pula korupsi terjadi, semakin banyak pula penipuan terjadi dan sebagainya.

Belum ada frekuensi baru tentang kemajuan pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh hari ini walaupun Syari’at Islam itu sudah lebih tujuh tahun diisytiharkan di sini namun belum jalan maksimal sebagaimana harapan masyarakat di gampong dan di kota sekitar bumi peninggalan Iskandar Muda ini. Kalau belum jalan Syari’at Islam karena masyarakat belum tau caranya masih bisa diperbaiki, atau kalau terhambatnya perjalanan Hukum Allah di Aceh hari ini karena banyak kafir di sini masih bisa dipahami. Tetapi kalau belum jalannya Hukum Islam secara maksimal di Aceh hari ini karena para pemimpin Aceh benci kepadanya, ini yang sama sekali tidak dapat ditoleransi. Karenanya ini merupakan issue penting dan amat sensitif dibicarakan.

Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya dan menjadi problematika Muslim Aceh paling serius sekarang ini adalah merajalelanya rasukan pemahaman liberal, sekuler dan sosialis. Sebahagian kalangan akademisi sudah dirasuki oleh pamahaman ini, sejumlah mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa sudah meyatu dengan pemahaman ini dan tentu saja sejumlah masyarakat yang mengandalkan rasiopun ikut bergabung kesana. Sesungguhnya ini merupakan missi lama yang dikembangkan kaum penjajah yang bangkit kembali hari ini lewat penjajahan pemikiran yang juga disebut ghazwul fikr atau invasi pemikiran. Hal ini dilakukan oleh antek-antek penjajah karena mereka tau zaman ini tidak ada lagi penjajahan fisik, maka mereka beralih kepada penjajahan pemikiran dan intelektualitas. Problematika ini menjadi salah satu yang amat sangat berbahaya bgi muslim Aceh terutama sekali generasi muda sebagai generasi penerus kepemimpinan bangsa.

 

ALTERNATIF SOLUSI

            Solusi jitu untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut adalah ummat Islam Aceh harus kembali kepada Syari’at Islam pada dataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan kembali kepada ’aqidah serta akhlak Islam pada dataran spiritual dan duniawi. Kembali kepada syari’ah bermakna kita harus meninggalkan sistem hukum lama, sistem ekonomi lama, sistem pendidikan lama, sistem politik lama dan sistem kehidupan sebelumnya yang sudah jelas gharar dan syubhat di sana kalau tidak mau kita katakan haram. Seterusnya hiduplah sebagaimana ketentuan Hukum Islam, hiduplah mengikut tata cara ‘aqidah Islam dan akhlak Islam, insya Allah semua problematika ke-Aceh-an akan terlerai dengan serta merta. Di antara langkah-langkah jitu yang dapat dilakukan untuk menuju ke sistem hidup Islami adalah:

?  Kembali menghidupkan masjid

Masjid yang terhitung banyak dan indah-indah di Aceh harus segera diisi, dimakmurkan dan dihidupkan dengan shalat berjama’ah lima waktu sehari semalam. Ini merupakan amalan rutin dan tidak pernah absen dilakukan Rasulullah SAW beserta dengan para sahabat dan ummat Islam di zaman-Nya. Dengan demikian muncullah keberkatan, muncullah kekompakan dan muncullah rahmat tuhan bagi masyarakat sekelilingnya. Dan itu menjadi tolok ukur penyelesaian berbagai persoalan yang berkembang. Kalau muslim Aceh mengamalkan ini dengan sungguh-sungguh dan ikhlas insya Allah Aceh dalam masa singkat akan bernuansa lain dari sekarang ini.

            Jadikanlah masjid itu sebagai tempat utama penghambaan diri kepada Allah baik siang maupun malam, baik dalam keadaan murung maupun keadaan riang, baik ketika miskin, kaya maupun cukup-cukupan. Masjid adalah media penghubung kita dengan tuhan, maka hubungkanlah diri sendiri dan keluarga dengan Allah khaliqul alam. Penuhilah masjid-masjid untuk bersujud, bermunajat, bertaqarrub dan berserah diri kepada Allah. Sisihkan waktu untuk itu, robah kebiasaan lama yang menyisihkan masjid dalam kehidupan ini, sadarkanlah diri sendiri untuk keperluan asasi menghadap Ilahi.

?  Kembangkan pendidikan dan pengkaderan Islam via masjid

Apa saja jenis pendidikan yang dikembangkan harus Islami dan harus pula digunakan masjid sebagai salah satu medianya. Selama ini muslim Aceh menggunakan masjid sekedar tempat salat Jum’at saja, sebagian mereka menggunakannya untuk salat rawatib, selebihnya masjid yang banyak dan indah-indah di Aceh itu kosong tidak dimanfa’atkan secara maksimal. Untuk menjadi salah satu solusi sejumlah problematika muslim Aceh hari ini maka media masjid amat penting dan strategis untuk dijadikan tempat pencetakan kader-kader muslim yang beraqidah kuat, bersyari’ah mantab dan berakhlak mulia. Wujudkan dan kembangkan pendidikan berbasis Islam di seluruh masjid di Nanggroe Aceh Darussalam untuk menerobos kebekuan yang ada.

Pendidikan yang kita maksudkan di sini harus melingkupi pendidikan yang berbasis imtaq dan iptek. Dengan demikian diharapkan masjid tidak sia-sia, ummah dan kader-kader Islam berjaya lewat jalur pendidikan yang bersahaja dan dapat pula memajukan kehidupan bangsa. Robahlah kebiasaan selama ini yang saling melepas tangan terhadap pendidikan anak bangsa yang berbasi masjid. Kalau ada masjid-masjid yang sudah bagus pendidikan kanak-kanak, maka harus ditingkatkan kepada remaja dan pemuda, terus kepada orang tua sehingga setiap kampung semuanya paham Islam secara menyeluruh. Dengan demikian sesama muslim tidak akan bermusuhan, tidak akan berpecah belah, tidak akan saling menuduh dan mengancam, sebaliknya selalu rukun dalam kehidupan di bawah naungan Allah SWT.

?  Tolak pemikiran liberal dan sekuler

Merupakan kewajiban menyeluruh kepada muslim Aceh untuk menolak secara spontan pemikiran dan ajaran yang berbau liberal, sekuler yang dapat merusak iman. Tidak perlu didiskusikan lagi untuk pemahaman seperti itu karena sudah jelas dan dapat bukti bahwa itu punca kesesatan yang nyata bagi ummat Islam di dunia. Terlepas siapa yang sudah menyatu dengannya tidak perlu didiskusikan lagi karena itu memang mambahayakan aqidah anak bangsa di Aceh ini.

Sebahagian tokoh-tokoh liberal berani mengatakan jilbab bukan kewajiban dalam Islam, Al Qur’an tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,[12] poligami tidak benar, kawin sejenis dibolehkan menurut mereka,[13] naik haji boleh setiap bulan dalam setahun,[14] dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran semacam ini wajib kita tolak dan jauh dari bumi Aceh agar Aceh tetap bersih dan suci dari aliran dan pemahaman sesat.

?  Awasi kehidupan ummah dengan syari’at Islam

Hukum Islam merupaka Hukum Allah yang paling lengkap dan sempurna di dunia ini karena ia selalu selaras dengan perkembangan zaman. Untuk mengukur kelengkapan tersebut dapat kita lihat pada sumber hukum Islam itu sendiri yang terdiri dari dua kategori, yaitu sumber utama (Al Qur’an dan Hadis) dan sumber kedua (Ijma’, Qiyas, Ijtihad, istihsan, istishab, ’uruf, syar’u man qablana, pendapat para sahabat, dll). Ini menunjukkan tidak mungkin Hukum slam itu kaku atau ketinggalan zaman seperti hukum-hukum lain karena sumber utama menjadi fondasi sementara sumber kedua menjadi translasi, penyelaras dan penyesuai yang terikat kepada sumber utama.

Hanya orang-orang yang tidak paham Hukum Islam saja yang berkata macam-macam terhadapnya. Oleh karenanya sudah selayaknya Hukum Islam dijadikan pengawas dalam kehidupan ummat Islam Aceh kapan saja. Untuk itu pula deklarasikan secara gamblang bahwa Aceh menjalankan Hukum Islam, para pemimpin Aceh tidak boleh macam-macam karena ini menyangkut dengan Hukum Allah. Pemerintah Aceh harus secepatnya mengesahkan semua qanun yang berhubungan dengan pelaksanaan Hukum Islam di Aceh.[15]

?  Hidupkan gerakan dakwah melalui media cetak dan media elektronik

Gerakan dakwah merupakan salah satu media paling jitu untuk merubah suasana dari jahat menjadi baik, dari dhalim menjadi adil, dari bangsat menjadi ta’at dan seterusnya. Kita tau di Aceh banyak media cetak seperti koran, majalah, tabloid dan sebagainya, juga banyak media elektronik seperti radio, televisi, internet dan sebagainya. Kalau semua media tersebut dapat dimanfa’atkan menjadi media gerakan dakwah sepenuhnya sesuai dengan keadaan Aceh yang berlaku Syari’at Islam maka dapat dipastikan Aceh cepat berubah ke arah yang lebih positif.

Kalaupun tidak bisa memihak sepenuhnya kepada gerakan dakwah apabila semua media tersebut tidak memihak kepada kafir dan tidak ikut serta memprofokasi Islam saja sudah cukup untuk merobah situasi di Aceh hari ini menuju kearah yang Islami. Yang sedih dan menyedihkan adalah masih ada media yang turut menyudutkan Islam dan mengangkat kafir dalam issue-issue tertentu seperti issue jender, HAM, kekerasan terhadap perempuan, terhadap anak dan sebagainya.

?  Bangun dan optimalkan operasionalkan radio dakwah di masjid-masjid

Radio merupakan salah satu media elektronik yang paling mudah digunakan dan diserap informasinya oleh masyarakat, hal ini menyatu dengan kemalasan sejumlah orang Aceh untuk membaca tetapi rajin mendengar dan menonton. Untuk itu operasional gerakan dakwah lewat radio amat penting dan mustahak dilakukan untuk merobah kondisi Aceh yang dililit oleh berbagai problematika ummah. Perlu ada radio Islam paling kurang setiap masjid kabupaten/kota satu, kalau boleh diperluas ke peringkat kecamatan yang berjauhan dengan ibukota kabupaten jauh lebih baik lagi.

Radio ini diharapkan dapat memberikan informasi setiap waktu kepada masyarakat dan dapat mengajar masyarakat tentang ilmu-ilmu Islam dan sebagainya. Kalau setiap masjid kabupaten/kota sudah memiliki radio yang dibangun oleh pemerintah Aceh yang Islami kemudian ditata dengan baik dan rapi serta tidak diperebutkan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan kaum dan kelompoknya, insya Allah problematika-problematika yang selama ini mengancam Islam di Aceh dapat teratasi secara bertahap.

?  Dobrak pemimpin dhalim dan perbaiki rakyat rusak

Solusi yang amat mencabar yang harus dilakukan muslim Aceh hari ini adalah dobrak kejahilan pemimpin dhalim di Aceh dan perbaiki rakyat yang terlanjur rusak. Prihal ini sudah pernah berhasil dilakukan para endatu seperti pada masa Ali Mughayatsyah, Abdul Qahharsyah, Iskandar Muda, Tgk, Syhik Di Tiro, dan Tgk. Muhammad Dawud Beureu-éh. Kalau dahulu di zaman kuda sudah pernah berhasil dilakukan maka pada zaman komputer ini mustahil bisa gagal, hanya perlu orang yang berdiri dan berjalan di depan. Mudah-mudahan orang yang kita maksudkan akan segera datang agar ummat ini ada tempat pijakan.

 

KHATIMAH

            Banyak sekali problematika ummah yang tidak pernah tuntas dan tidak pernah dituntaskan dalam kehidupan muslim Aceh. Baik karena acuh dan phobinya orang Aceh terhadap permasalahan maupun karena tidak ada kapasitas untuk memberantasnya. Yang jelas faktor kepemimpinan dapat mempengaruhi semua itu, dahulu pemmpin Aceh komit dengan Islam dan syari’at Islam, komit memberdayakan dan membela rakyat, hari ini mereka hanya komit membela kaum dan golongan, mereka bukan tidak mau menjalankan syari’at Islam tetapi ada yang belum menyatu dengan ajaran Islam.

            Semua itu terjadi karena pilihan rakyat Aceh yang masih lugu dan rentan dengan ancaman. Merea ingin Aceh yang Islami tetapi ketika memilih pemimpin tetap saja memilih orang-orang yang kuat meneror rakyat, yang kuat mengancam rakyat, yang kuat menipu rakyat dan yang kuat menyuap rakyat. Pada masa itu rakyat tidak terpikir apa-apa, tetapi ketika dihadapkan dengan masalah seperti hari ini baru menyesal, tidaklah berguna lagi. Pepatah melayu megatakan: pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Karena itu jadilah pengalaman pahit ini untuk menentukan dan memilih pemimpin Islam yang Islami di Aceh masa depan, baik peringkat nanggroe maupun wilayah, sagoe dan gampong-gampong.


 

[1] Lihat Waspada onlineSelasa, 25 Maret 2008

[2] Wawancara dengan Tgk. Muhammad Yus, mantan anggota DPR RI periode 2004-2009 di Banda Aceh 15 Oktober 2009

[3] http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1873, http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1774, http://harian-aceh.com/news.php?bid=116

[4] http://harian-aceh.com/news.php?bid=116, http://www.acehkita.com/?dir=news&file=detail&id=1792

[5] Lihat berita tentang perkara itu dalam Serambi Indonesia Sabtu, 24 Oktober 2009, Ahad 25 Oktober 2009.

[6] Lihat kasus Nazaryah dengan bulek Eropa di Hotel Kiyah Langsa. Kasus perempuan asal Simpang Tiga (pegawai kantor Bupati Pidie) dengan lelaki bule asal Itali di salah satu rumah di Pulo Kiton Bireuen.

[7] Aceh Kita online, Jumat, 20 April 2007, 09:49 WIB

[8] Waspada Selasa, 25 Maret 2008.

[9] Lihat Serambi Indonesia Jum’at 17 September 2009, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tidak mau menandatangani qanun jinayah dan acara jinayah yang telah disahkan DPRA 14 September 2009. Lihat juga Serambi Indonesia Sabtu 24 Oktober 2009.

[10] Kejadian perebutan masjid Baitul A’la lilmujahidin yang dibangun ulama dan pemimpin besar Tgk. Muhammad Dawud Beureu-eh itu dipacu oleh sejumlah ulama dayah tradisional bersama murid-muridnya karena persoalan perbedaan cara ibadah di antara mereka.

[11] Kasus perebutan masjid kabupaten Bireuen ini dipacu oleh kepentingan politik bupati Mustafa Abdullah Geulanggang yang bernafsu menduduki jabatan bupati kedua kalinya, dia memperalat kaum dayah tradisional dan kaum dayah juga memanfa’atkan pengaruh dia untuk dapat menguasai masjid tersebut dari pengurus lama yang berpaham modernis.

[12] Ini pemikiran Munawir Syadzali, salah seorang Menteri Agama pada masa rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.

[13] Ini pemikiran Musdah Mulia, salah seorang tokoh liberal yang juga anti terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.

[14] Ini pemikiran Masdar F Masudi, tokoh muda Nahdhatul Ulama (NU) yang berpaham liberal.

[15] Gubernur Aceh Irwandi Yusuf masih enggan menandaangani Qanun Jinayah dan Acara Jinayah yang sudah disahkan oleh DPRA 14 September lalu. Lihat Serambi Indonesia Sabtu 24 Oktober 2009.

 

—–=hya=—–

 

Kondisi ini diperparah sikap pimpinan di Aceh yang tidak begitu proaktif dalam percepatan pelaksanaan syariat Islam, apalagi setelah tidak mau ditanda-tanganinya qanun jinayat dan qanun acara jinayah oleh Gubernur.

 Pada tataran sistem juga ada kelambanan tersendiri, dimana dasar hukum untuk operasional syariat Islam adalah qanun yang setingkat dengan perda, untuk menjadi aturan organik dari  UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU No 11 Tahun 2006, yang sering mentah ketika dikonsultasikan ke Mendagri, dengan alasan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Kecuali itu, produk legislasi pun-dari sisi kuantitas, terlebih kualitas, masih sangat kurang untuk menjawab kebutuhan penegakan hukum syariat Islam di Aceh.

Menyahuti kondisi di atas, Dewan Da’wah Aceh berinisiatif mengagas aliansi beberapa ormas Islam dan Lembaga dakwah untuk memikirkan jalan keluar apa yang dapat diberikan kepada pihak-pihak yang patut agar proses percepatan Syariat Islam di Aceh menjadi lebih cepat. Aliansi ini sebenarnya sudah pernah jalan pada tahun sebelumnya, hanya karena kesibukan masing- masing menyebabkan lembaga maka kembali vakum, jadi ini hanya meangktifkan kembali apa yang sudah pernah ada sebelumnya, demikian jelas Hasanuddin Yusuf Adan (Ketua Umum Dewan Da’wah Aceh) ketika memandu pertemuan perdana aliansi yang dihadiri oleh beberapa Ormas dan lembaga dakwah Islam (seperti DMI, HTI, GPI, Hidayatullah dan beberapa lembaga lain berhalangan hadir) pada Rabu, 6 Januari 2009 di Sekretariat Dewan Da’wah Aceh. Ke depan keberadaan aliansi ini menjadi strategis untuk kerja-kerja advokasi dan juga edukasi.

Ada beberapa kesepakatan yang disepakati dalam diskusi malam tersebut, di antaranya mengaktifkan kembali pertemuan rutin bulanan, segera menyusun konsep untuk masukan bagi Majelis Pendidikan Aceh agar mendesak Dinas Pendidikan menerapkan Qanun Pendidikan, dimana pendidikan di Aceh harus berdasarkan Islam, sehingga dalam waktu jangka panjang akan lahir generasi yang memahami dan mau mengamalkan Islam. Selain itu juga akan menawarkan kepada Pemerintah Aceh agar kendali Syariat Islam dipegang langsung oleh Gubernur atau Wagub sebagai koordinator sehingga ada kewenangan perintah kepada dinas/lembaga/badan lain  untuk proaktif menyukseskan syariat Islam.

 Beberapa konsep ini akan dimatangkan kembali dalam pertemuan kedua bulan depan yang rencanakan akan difasilitasi oleh Pengurus Wilayah Hidayatullah.

Khusus untuk kawasan Aceh bagian Timur, dua hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 4 Juli 2010, sudah dilantik Pengurus Daerah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kabupaten Aceh Timur. Beberapa hari ke depan, direncanakan pada tanggal 13 dan 14 Juli akan dilakukan pelantikan Pengurus Daerah Dewan Da’wah Kabupaten Aceh Tamiang dan Kota Langsa.

Pengurus Daerah Dewan Da’wah Kabupaten Aceh Timur yang baru dilantik tersebut diketuai oleh Drs. M. Natsir, SH. MH, Sekretaris Hasan Basri, S.Ag dan Bendahara Ismuha, S.Ag serta dilengkapi dengan sejumlah biro-biro.

Dalam sambutannya, M. Natsir, selaku ketua terpilih menyebutkan bahwa kepengurusan yang disusun untuk daerah Aceh Timur sudah mewakili berbagai stakeholder yang ada, baik latar belakang pendidikan, organisasi maupun daerah tempat tinggal yang mewakili semua kecamatan yang ada di Aceh Timur. Penyatuan semua potensi ini menurutnya merupakan langkah awal untuk memajukan organisasi Dewan Da’wah Aceh Timur. Tentu saja, di samping potensi yang sudah ada, perlu tindakan nyata guna lancarnya roda organisasi, dan untuk itu akan segera dicarikan sekretariat di posisi yang strategis, terjangkau bagi semua pengurus. Langkah berikutnya adalah melakukan rapat kerja (raker) guna merumuskan program dan pembagian tugas bagi masing-masing pengurus, demikian Natsir mengakhiri sambutan dengan mengharapkan dukungan dan kerjasama serta keikhlasan bekerja dari semua jajaran pengurus agar semua program berjalan sesuai rencana.

Pihak Pengurus Wilayah Dewan Da’wah Aceh, dalam amanat yang disampaikan oleh ketua umum Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, mengucapkan terima  kasih yang setinggi-tingginya atas keberhasilan penerima mandat menyusun Pengurus Daerah Dewan Da’wah Aceh Timur sekaligus melaksanakan seremonial pelantikan yang dikemas dengan acara workshop singkat tentang bahaya ghazwul fikri. Kecuali itu, Ketua umum wilayah Dewan Da’wah Aceh juga menguraikan bagaimana sejarah perjuangan dari para pendiri Dewan Da’wah bekerja keras dan penuh keikhlasan mengorbankan waktu, tenaga, fikiran dan harta benda guna memajukan da’wah agar Islam tegak di muka bumi. Begitu juga pengorbanan yang telah dilakukan oleh ulama-ulama Aceh masa dulu, dengan berbagai keterbatasan—sarana komunikasi, transportasi, tehnologi—mereka sanggup mengislamkan Aceh, kenapa kita hari ini dengan berbagai kemudahan yang ada belum mampu bekerja sebagaimana mereka, demikian Hasanuddin Yusuf Adan menggugah semua pengurus Dewan Da’wah untuk mencontoh etos kerja tokoh-tokoh Islam sebelumnya.

Sebelum pelantikan yang dilakukan sore  hari, pada pagi dan siang harinya diisi dengan workshop singkat tentang bahaya ghazwul fikri yang membedah tentang problematika ummat Islam, Pluralisme Agama dan Liberalisasi Islam di Indonesia. Ketiga sesi materi tersebut difasilitasi oleh Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, Abizal Lc, MA dan Sayid Azhar,S.Ag. Kepada peserta juga disediakan buku-buku bacaan yang berkaitan dengan tema workshop.

Diharapkan dengan workshop tersebut peserta mendapat pemahaman yang utuh tentang problematika ummat Islam hari ini, serta memahami program liberalisasi Islam serta upaya dari kaum pluralis untuk mengancurkan Islam. Sehingga workshop ini setidaknya diharapkan mampu membentengi peserta untuk tidak terpengaruh dan terjebak dengan pola pikir tersebut, alih-alih mampu mengcounter dan menunjukkan kelemahan dan kekeliruan dari argumentasi kaum liberal. Semoga!

Banda Aceh, 6 Juli 2010

Sayid Azhar

Sekjen DDII Aceh