Archive for month: Maret, 2018

Terbongkarnya kasus prostitusi online “jilid 2” di Hotel The Pade, Aceh Besar, masih menyisakan banyak persoalan. Salah satunya terkait hukuman yang pantas diberikan kepada para pelakunya, baik untuk germo, wanita pesanan dan pihak hotel.
Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, MCL MA pun angkat bicara terhadap persoalan tersebut. Menurutnya para pelaku itu harus di hukum dengan hukuman cambuk dengan jumlah cambukan sesuai dengan tingkatannya.
“Saat ini di Aceh sudah berlaku Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Dan kepada pelaku tersebut harus di hukum cambuk sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam Qanun Jinayah itu,” kata Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, Selasa (27/3/2018).
Tgk Hasanuddin menjelaskan dalam pasal 3 ayat 2 Qanun Jinayah tersebut mengandung ancaman hukuman terhadap 10 jarimah (perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam), yaitu; 1. Khamar (minum arak); 2. Maisir (berjudi); 3. Khalwat (berduaan antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram di tempat yang sepi); 4. Ikhtilath (bermesraan laki-perempuan yang bukan mahram di tempat keramaian); 5. Zina; 6. Pelecehan seksual; 7. Pemerkosaan; 8. Qadzaf (menuduh orang berzina tapi tidak menghadirkan empat orang saksi yang melihat kemaluan pezina lelaki keluar-masuk dalam kemaluan pezina perempuan); 9. Liwath (homo sexual); dan 10. Musahaqah (lesbian).
“Dikarenakan dalam kasus prostitusi online ini melibatkan tiga pihak, yaitu germo, wanita pesanan dan pihak hotel, maka ketiganya ini bisa dijerat dengan Qanun Jinayah tersebut,” tegas Tgk Hasanuddin.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN AR-Raniry ini menjelaskan pihak pertama yang terlibat adalah Andre sebagai tukang promosi zina. Sang germo ini terjerat pasal 33 ayat 3 Qanun Jinayat. Pasal tersebut berbunyi “Setiap Orang dan/atau Badan Usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan”.
“Sang germo diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan,” jelas Tgk Hasanuddin.
Pihak kedua adalah perempuan pesanan yang sudah berbuat zina atau tidak sampai berbuat zina tetapi sudah melakukan khalwat. Bagi mereka terancam hukuman dalam jarimah khalwat sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (1) Qanun Jinayat yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak 100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan”.
“Akan tetapi jika para lonte ini mengaku telah berzina maka bagi mereka 100 kali cambuk. Hal tersebut juga diatur dalam Qanun Jinayah pasal 33 ayat 1,” terang Tgk Hasanuddin.
Sementara pihak ketiga adalah pemilik hotel yang terjebak dengan penyediaan fasilitas berupa kamar untuk orang-orang berbuat zina/khalwat. Maka terancam dengan pasal 23 ayat (2) Qanun Jinayat yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan”.
“Kalau pihak hotel terbukti menyediakan fasilitas untuk pelaku zina maka ia terjerat dengan pasal 33 ayat (3),” ungkap Tgk Hasanuddin.
Dengan demikian, lanjutnya kepolisian wajib memeriksa kasus tersebut dengan seksama, serius, adil, muslihat, dan berperadaban. Kalau ternyata melanggar Qanun Hukum Jinayat maka polisi harus segera menyeret mereka ke meja hijau mengikut prosedur yang berlaku.
Ia juga berharap Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Besar atas dasar pemimpin ummat harus bertanggung jawab terhadap kasus prostitusi online itu dan bertindak tegas sesuai dengan hukum Islam yang di atur dalam Qanun Jinayah. Selain itu bagi hotel yang terlibat agar dicabut izin operesionalnya.
“Masyarakat Aceh sangat antusias dengan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, maka penegak dan pelaksana hukum di Aceh juga harus lebih antusias lagi untuk menuntaskan kasus semacam itu,” pungkas Tgk Hasanuddin

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan keputusan radikal Rektor UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta Prof. KH. Yudian Wahyudi, PhD. Sang rektor telah mengeluarkan Keputusan Rektor yang berisi larangan mahasiswi UIN memakai cadar di kampusnya dengan alasan untuk mencegah berkembangnya paham radikal. Persoalan ini menjadi berita hangat di media online dan cetak. Bahkan telah viral dan menjadi pembicaraan hangat di medsos beberapa hari lalu.
Instruksi rektor kepada Direktur Pascasarjana, Dekan fakultas dan Kepala Unit Lembaga, melalui surat tertanggal 20 Februari 2018 tersebut bertujuan untuk mendata dan melakukan pembinaan terhadap mahasiswi bercadar dalam proses perkuliahan dan di lingkungan kampus. Kemudian para mahasiswi tersebut diberikan konseling untuk diarahkan agar tidak lagi menggunakan cadar untuk kepentingan ideologi. Jika nekad tetap memakai cadar dalam batas waktu tertentu setelah konseling, maka mahasiswi tersebut akan dikeluarkan dari kampus.
Tentu saja Keputusan Rektor UIN Suka ini menuai reaksi dan kecaman keras serta penentangan dari umat Islam. Aturan rektor tersebut dianggap telah melukai hati umat Islam dan menimbulkan keresahan dan kegaduhan, bukan saja di internal kampus UIN Suka, namun juga di luar UIN dan telah menasional. Keputusan rektor UIN ini terkesan islamophobia. Maka sebagai seorang muslim, penulis perlu untuk mengkritisi dan “merajam” keputusan radikal rektor dan pemahaman orang-orang liberal lainnya. Agar kasus seperti ini tidak terulang di Indonesia.
“Merajam” Keputusan Radikal Rektor UIN Suka
Kita patut menyayangkan sikap Rektor UIN Suka yang melarang cadar bagi mahasiswi muslimah di kampusnya. Menuding cadar sebagai aksi radikalisme sama saja menghina Islam dan keluarga Nabi. Istri-istri dan anak-anak Nabi saw bercadar. Tindakan sang rektor ini telah melecehkan dan “mengeksekusi” syariat Islam yang suci dan mulia. Sebagai seorang muslim, sepatutnya sang rektor berperilaku islami, mendukung mahasiswi dalam menutup aurat baik dengan cadar maupun jilbab dan takut kepada Allah Swt.
Parahnya, larangan cadar ini terjadi di sebuah institusi pendidikan Islam yang bernama Universitas Islam Negeri (UIN). Nilai-nilai keislaman seharusnya melekat di kampus ini dan diterapkan sesuai dengan nama kampus ini. Tentu saja tindakan sang rektor ini telah mencoreng nama baik UIN Suka. Tindakannya ini bertentangan dengan visi dan misi UIN Suka yang islami seperti yang telah dicetuskan oleh para pendahulu dan pendiri kampus ini yang terdiri para ulama, tokoh Islam dan para cendikiawan muslim. Maka tidak heran jika selama ini ada persepsi negatif dari masyarakat terhadap kampus UIN Suka gara-gara ulah para oknum dosen dan alumninya yang berpikiran nyeleneh dan anti syariat alias liberal. Anehnya, pemahaman liberal yang selama ini berkembang di UIN Suka tidak dilarang. Padahal inilah radikal sesungguhnya.
Alasan pihak rektor UIN Suka mengeluarkan aturan larangan cadar untuk mencegah berkembangnya paham radikal di kampus UIN Suka. Tentu saja alasan ini sangat tidak logis dan terlalu mengada-ada. Ini menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan atau ghuluw. Terkesan sikap rektor ini islamophobia. Orang yang bercadar dituduh radikal. Padahal tidak kaitan sama sekali antara memakai cadar dengan radikalisme. Seandainya terbukti ada mahasiswi bercadar yang radikal, maka sepatutnya oknum mahasiswi itu saja yang dibina atau diberi sanksi. Tidak boleh mengeneralkan tuduhan ini kepada semua mahasiswi yang bercadar sehingga menjadikan alasan untuk melarang cadar. Jika mau jujur, tidak ada muslimah bercadar itu teroris dan radikal. Kalaupun ada, itu provokator. Jutaan muslimah bercadar di Mekkah dan Madinah setiap tahunnya, namun tidak ada aksi terorisme atau radikalisme dilakukan oleh muslimah bercadar.
Tidak hanya itu, keputusan rektor itu telah merusak dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Aturan itu telah menzhalimi hak seorang muslimah dalam mengamalkan agamanya. Tuduhan radikal terhadap muslimah bercadar telah melukai hati umat Islam, khususnya para mahasiswi UIN Suka yang bercadar. Padahal mereka wanita baik yang menjaga auratnya dan taat beragama. Tentu saja ini fitnah. Bercadar itu hak dan pilihan seorang muslimah. Maka tindakan rektor ini menunjukkan intolerasi dan otoriter yang merusak nilai-nilai humanis dan agama. Oleh karena itu, tindakan rektor ini sangat tidak humanis.
Di samping itu, sang rektor telah menciptakan aturan yang bersifat diskriminatif dan ketidakadilan di UIN Suka. Mahasiswi muslimah yang menutup aurat dipermasalahkan dan dianggap radikal. Padahal menutup aurat itu perintah agama. Namun anehnya mahasiswi yang tidak menutup aurat tidak dipermasalahkan dan tidak dianggap radikal. Padahal perbuatan mereka melanggar agama. Mahasiswi yang menutup aurat dengan memakai cadar dilarang dan dipaksa untuk meninggalkan cadarnya. Jika tetap bercadar, maka akan diberi sanksi tegas dengan dikeluarkan dari kampus. Sebaliknya muslimah yang tidak menutup aurat tidak dianggap radikal dan tidak pula dilarang. Tidak ada sanksi apapun bagi mahasiswi yang menampakkan aurat. Padahal mereka ini lebih patut dikatakan radikal, karena menentang hukum Allah Swt.
Keputusan rektor ini juga telah melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan Internasional, dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah memberikan jaminan kebebasan bagi setiap orang untuk beragama dan menjalankan agamanya. Pasal 29 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila menjadi dasar hukum bagi setiap orang untuk mengamalkan agamanya, termasuk muslimah bercadar. Di negara-negara lain, bahkan di Eropa sekalipun yang penduduknya minoritas muslim, memakai cadar tidak dilarang. Kebebasan untuk mengamalkan agama dijamin oleh negara-negara itu. Maka sangat aneh, jika menutup aurat dengan cadar yang merupakan ajaran Islam dilarang di UIN Suka di negara Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim. Padahal hukum di Indonesia menjamin kebebasan beragama dan mengamalkan agama.
Bercadar itu hak dan pilihan seseorang yang harus dihargai dan dihormati. Maka tidak boleh dilarang atau sebaliknya dipaksa. Selama tidak menggangu perkuliahan atau tidak memaksa orang lain untuk bercadar tidak ada upaya radikalisasi, maka cadar tidak boleh dilarang. Tindakan rektor tersebut bisa dipidanakan, karena telah melanggar hukum NKRI. Selain itu, rektor telah melecehkan dan mendiskreditkan Islam dengan tuduhan radikal. Menuding radikal terhadap orang yang bercadar sama saja menghina Islam.
Parahnya lagi, aturan rektor itu juga telah menentang perintah Allah Swt untuk menutup aurat. Seorang muslim sepatutnya wajib mentaati hukum Allah Swt dan Rasul-Nya, jika dia benar-benar orang beriman. Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan). Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (An-Nsa’: 59). Allah Swt berfirman: “Hanya ucapan orang-orang yang beriman, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, “Kami mendengar, dan kami taat. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51). Allah Swt berfirman: “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36). Oleh karena itu, yang radikal sebenarnya adalah orang yang melarang dan menghalangi syariat Allah, termasuk melarang cadar, karena menentang aturan Allah Swt.
Hukum Bercadar Menurut Pandangan Para Ulama
Di antara syariat Allah Swt adalah perintah menutup aurat. Allah Swt berfirman: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para nelayan laki-laki (tua) yang tidak punya keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan…” (An-Nur: 31).
Allah Swt juga berfirman: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. “Yang demikian itu agar mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyanyang.” (Al-Ahzab: 59). Begitu pula hadits-hadits Rasul saw memerintahkan untuk menutup aurat. Bahkan istri-istri dan anak-anak Rasul saw bercadar.
Berdasarkan Alqur’an dan Hadits, maka para ulama sepakat (ijma’) bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya. Mereka juga berijma’ bahwa pakaian paling utama dan paling sempurna dalam menutup aurat itu cadar. Ini tidak ada khilafiah di antara para ulama. Sebagaimana merekapun sepakat bahwa bercadar itu merupakan simbol, pemikiran dan ajaran agama.
Namun para ulama berbeda pendapat apakah bercadar itu wajib atau sunnat? Perbedaan pendapat mereka ini disebabkan perbedaan pendapat mereka mengenai batasan aurat sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Alqur’an dan hadits-hadits perintah menutup aurat. Sebahagian ulama berpendapat bahwa aurat wanita itu seluruh tubuhnya. Maka hukum bercadar itu wajib. Ini pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah. Sebahagian ulama lain berpendapat bahwa aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Menurut mereka muka dan telapak tangan itu bukan aurat. Maka bercadar itu hukumnya tidak wajib, namun sunnat atau dianjurkan, karena lebih utama dan sempurna dalam menutup aurat. Ini pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah.
Kesimpulannya, perintah menutup aurat dengan cadar maupun jilbab memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Al-Quran, as-Sunnah dan ijma’. Melarang cadar berarti menentang Al-Quran, hadits dan ijma’ para ulama. Terlepas dari khilafiah para ulama mengenai hukum cadar wajib atau tidak, namun para ulama sepakat bahwa bercadar itu paling utama dan sempurna dalam menutup aurat. Merekapun sepakat bahwa cadar itu ajaran Islam dan tidak boleh dilarang.
Jadi, jelaslah bahwa cadar merupakan simbol, pemikiran dan ajaran Islam, bukan budaya Arab seperti yang dituduh oleh orang-orang kafir orientalis dan pengikut mereka dari orang-orang Islam Liberal yang anti terhadap syariat Islam. Oleh karena itu, bercadar tidak boleh dilarang. Apapun alasannya, pelarangan cadar tidak bisa diterima secara agama, logika, HAM dan hukum. Kasus seperti ini tidak boleh terulang lagi di Indonesia.
Meskipun secara pribadi penulis memilih pendapat ulama yang mengatakan bahwa muka dan kedua telapak tangan bukan aurat, namun penulis tetap objektif dan proporsional dalam memandang persoalan cadar dengan menghargai pendapat ulama yang mewajibkan cadar dan tidak menafikan cadar dan jilbab itu sebagai simbol, pemikiran dan ajaran Islam.
Akhirnya, mari kita bersikap objektif dan proporsional dalam menilai persoalan cadar. Meskipun persoalan cadar itu persoalan khilafiah, namun kita wajib menghargai pendapat ulama yang mewajibkannya. Kita harus jujur dan akui bahwa cadar dan jilbab merupakan identititas muslimah, pemahaman para ulama dan ajaran Islam. Melarang cadar sama saja menafikan simbol, pemikiran dan ajaran Islam. Selain itu, sama saja telah menentang, melecehkan dan “mengeksekusi” ajaran Islam. Perbuatan ini maksiat. Inilah paham radikal sesungguhnya. Semoga kita selalu diberi petunjuk dari Allah Swt dan dijaga dari kesesatan. Amin!
Penulis adalah Ketua MIUMI Aceh, Pengurus Dewan Dakwah Aceh & anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

“Muslimat harus mengambil perannya dalam kebangkitan ekonomi Islam”, demikian pesan Ir. Muhammad Iqbal mewakili Pengurus Dewan Da’wah Pusat membuka Pelatihan Home Industri dan Motivasi bagi ibu-ibu muslimah di Aula Masjid Al-Furqan, Jakarta (Kamis, 15/3).
Melihat pertumbuhan ekonomi saat ini yang ternyata didominasi oleh para konglomerat non-muslim, muslimat harus bisa mengambil peran membangkitkan ekonomi umat walaupun hanya dengan keripik singkong. Hal ini, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw yang berhasil membangun ekonomi Islam dengan menguasai pasar-pasar saat berada di Madinah.
Pelatihan yang bertajuk “Berani Gagal, Berani Sukses” ini mendatangkan pemateri Ibu Muslimah, seorang pengusaha keripik singkong yang cukup sukses meraup omset ratusan juta rupiah setiap bulannya.
Motivator yang dahulunya seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia ini membeberkan rahasia kesuksesannya berbisnis kripik singkong berlabel “Cantir”. Ia memulai usahanya hanya bermodalkan Rp50 ribu. Inspirasinya datang lantaran ia merasa orang kampung, yang juga terbiasa dengan cita rasa jajanan kampung berupa olahan singkong. Usahanya bermula dengan berjualan di kereta commuter linenya yang tadinya masih diperbolehkan, lalu dititipkan di warung-warung tradisional.
“Untuk mengembangkan usaha, akhirnya saya beranikan meminjam modal dari KUR, waktu itu dapat Rp5 juta,” katanya sambil menambahkan, selain keripik Cantir, wanita ini juga membuat jenis jajanan lainnya berbahan dasar singkong.
Di tangannya yang terampil, sisa-sisa potongan singkong tak bernilai diolah menjadi cemilan nikmat dan gurih. Wanita berkerudung ini mampu merubah jajanan ‘kampung’ menjadi cemilan trendi di Jakarta. “Saya beri nama Cantir untuk melestarikan budaya aslinya, juga agar nama yang tadinya terlalu kampungan jadi terkenal,” ujar Ibu Muslimah.
Turut hadir dalam pelatihan yang berlangsung satu hari ini, Ustadzah Andi Nuruljannah, Lc selaku Ketua Muslimat Dewan Da’wah Pusat. Dalam sambutannya, ia menjelaskan bahwa pelatihan ini merupakan salah satu program Biro Ekonomi dan UKM Muslimat Dewan Da’wah Pusat. “Pelatihan ini akan berlanjut di beberapa perwakilan Muslimat Dewan Da’wah Daerah di seluruh Indonesia salah satunya kota Medan yang menyatakan telah siap”, jelasnya. Dewan Da’wah Pusat pun telah siap memfasilitasi seandainya perwakilan daerah menghendaki pelatihan serupa.
Peserta yang berjumlah ratusan tampak cukup antusias mengikuti jalannya acara. Tidak hanya teori yang didapat, peserta juga berkesempatan praktik membuat dan mencicipi keripik singkong olahan Ibu Muslimah yang saat ini pangsa pasarnya sudah go Internasional.

Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Aceh bekerjasama dengan Markaz Al Muhtasib Riyadh, Saudi Arabia menggelar Daurah Syar’iyah Al Ihtisab Qawai’id Wa Mahaarat yaitu Pelatihan Metode dan Skill Amar Makruf Nahi Mungkar di Hotel Kuala Radja, Kamis (1/3).
Kegiatan yang berlangsung dengan menggunakan bahasa arab tersebut di buka secara resmi oleh Kasatpol PP dan WH Aceh yang diwakili oleh Kabid Pengawasan Syariat Islam, Drs H Aidi Kamal, MM
Dalam sambutannya saat membuka acara, Aidi Kamal mengatakan di zaman moderen yang hidup serba gemerlap dengan kemajuan teknologi ini telah membuat perilaku seseorang semakin berubah gaya hidupnya. Arus globalisasi yang datang dari dunia barat tersebut semakin menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Belum lagi pergaulan dan perilaku yang banyak menyimpang dari ajaran agama.
“Oleh karenanya apabila kaum muslimin tidak lagi beramar makruf nahi mungkar, sudah pasti kejahatan akan merajalela. Akibatnya kita akan binasa ditelan oleh kejahatan itu sendiri,” kata Aidi.
Ia menambahkan betapa mulianya seorang muslim yang menyibukkan diri untuk beramar makruf nahi mungkar dalam setiap kesempatan. Seperti menyampaikan dakwah islamiyah di berbagai tempat yang tidak terikat dengan waktu, menegur yang berbuat salah dan mengajak untuk berlomba-lomba menuju kebaikan.
“hal ini tentunya sesuai dengan tupoksi Satpol PP dan WH Aceh yang melaksanakan urusan pemerintah bidang penegakan qanun dan syariat islam, ketentraman dan ketertiban umum serta perlidungan masyarakat dan hubungan antar lembaga,” tegas Aidi.
Sementara itu Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA, dalam sambutannya mengatakan Syariat Islam yang sudah berjalan lebih dari satu dekade ini senantiasa harus di kawal dan di jaga pelaksanaanya. Pasalnya pelaksanaan syariat islam di Aceh ini selalu menjadi sorotan dunia luar.
Dosen Fak. Syariah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry ini menambahkan melalui daurah syar’iyah ini akan dapat memberikan pemahaman konsepsional tentang metode amar makruf nahi mungkar. Selain itu juga dapat menyusun strategi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar tersebut di tengah-tengah masyarakat.
“Daurah ini akan bernilai tinggi dan bermanfaat dalam kehidupan kita. Dari itu kami berharap para peserta dapat bersungguh-sungguh dalam mengukutinya. Yang terpenting pasca daurah ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Dan kami juga berterima kasih kepada semua pihak atas prakarsa kegiatan ini,” ungkap Tgk Hasanuddin.
Sebelumnya panitia pelaksana Muhammad Muslem, Lc MA menyampaikan kegiatan tersebut diikuti oleh 50 peserta yang terdiri dari ulama, dai, ormas islam, muhtasib dan lembaga pendidikan islam.
“Panitia juga menghadirkan pemateri dari Riyadh, Saudi Arabia. Yaitu Syaikh Dr Abdullah bin Abdurrahman Al-Wathaban dan Syeikh Shalih bin Sa’id Al-Dha’yan,” tutup Muslem